Bukti Islam Memuliakan Ibu : Kisah Ibunda Hebat dalam Al Quran

Ibu dalam Islam menempati posisi yang mulia. Peringatan Hari Ibu sejatinya juga sejalan dengan semangat prioritas Islam tentang keberadaan seorang ibu. Hadist yang begitu sangat populer tentang disebutkannya ibu tiga kali oleh Rasulullah ketika ditanya seorang sahabat tentang siapa yang berhak diperlakukan dengan baik.

Ulama sepakat penyebutan tiga kali itu sebagai bukti perjuangan ibu dalam membesarkan anak lebih berat dari pada seorang ayah. Ibu mengalami perjuangan saat hamil, melahirkan dan merawat anak hingga dewasa.

Islam dalam penghormatan seorang ibu melukiskan perjuangan wanita-wanita dalam al-Quran. Kisah yang pertam dan sangat fenomenal adalah Ibunda Ismail, Hajar. Dalam surat Ibrahim kisah itu dilukiskan ketika mereka berdua ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim di gurun yang tandus.

Lihatlah kesabaran, ketabahan dan kegigihan Hajar yang mencari air untuk memenuhi bayinya yang kehausan. Berlari bolak balik dari bukit Shafa dan Marwah untuk mencari air. Kisah ketulusan seorang ibu inilah yang diabadikan dalam Islam dalam ritual haji sa’i. Itulah prasasti perjuangan seorang ibu.

Kisah kedua adalah keberanian seorang ibu bernama Milyanah Ibunda Nabi Musa. Dikisahkan dalam Surat Al-Qashash ketika Firaun mengeluarkan kebijakan yang kejam untuk membunuh semua bayi laki-laki bani Israel kala itu. Untuk menyelematkan sang anak, Milyanah mengambil sikap yang berani di tengah ketakutan orang-orang kala itu.

Atas petunjuk Allah ia meletakkan Nabi Musa dalam peti dan dihanyutkan ke Sungai Nil. Allah memerintahkan Ibunda Nabi Musa untuk menyusui anaknya dan segera menghanyutkan ke sungai. Allah menjanjikan anak itu akan kembali dan tidak perlu khawatir. Sungguh kesedihan luar biasa yang dihadapi ketika harus berpisah dengan bayi yang baru ia lahirkan.

Ketiga ibunda yang hebat lainnya adalah Maryam ibunda Nabi Isa. Al-Quran menceritakannya sebagai perempuan yang mulia, suci dan penuh kesabaran. Namun, ia harus menghadapi kenyataan yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya. Ia telah dipilih Allah untuk mengandung seorang bayi tanpa seorang ayah. Kesucian Maryam menjadi bukti kekuasaan Tuhan tentang kelahiran Nabi Isa.

Islam mendorong umatnya untuk menghormati dan memuliakan ibunya. Nabi suatu ketika memerintahkan Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Tahlib untuk mencari seorang pemuda biasa agar mendoakan mereka berdua. Sungguh penasaran kedua sahabat tentang siapa pemuda itu.

Tentu tidak lain, orang itu bernama Uwais al Qarni seorang pemuda dengan pengetahuan keagamaan yang biasa dan bukan bangsawan. Tetapi, ia adalah seorang yang berbakti kepada ibunya. Sesungguhnya tabi’in yang terbaik adalah seorang lelaki bernama Uwais, ia memiliki seorang ibu, dan ia memiliki tanda putih di tubuhnya. Maka temuilah ia dan mintalah ampunan kepada Allah melalui dia untuk kalian. (HR Muslim). Itulah kemuliaan anak yang bisa menghormati dan memuliakan ibunya.

ISLAMKAFFAH

Memetik Hikmah dari 3 Kisah Peristiwa Perjuangan Seorang Ibu

Kehadiran kita di dunia ini, tidak dapat kita pungkiri, adalah dengan sebuah pengorbanan yang sangat besar dari ibu kita. Dalam Al-Quran, Allah SWT menggambarkan dalam surat Luqman ayat 14:

وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِۚ حَمَلَتْهُ اُمُّهٗ وَهْنًا عَلٰى وَهْنٍ وَّفِصَالُهٗ فِيْ عَامَيْنِ اَنِ اشْكُرْ لِيْ وَلِوَالِدَيْكَۗ اِلَيَّ الْمَصِيْرُ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu.”

Dalam artikel ini, penulis akan memaparkan mengenai tiga peristiwa dari sekian banyak peristiwa, yang menunjukkan betapa besar perhatian Islam terhadap ibu, yaitu:

Pertama, Peristiwa Saat Nabi Isa AS Berbicara Saat Masih Bayi

Sungguh adalah sebuah peristiwa yang sangat besar saat Allah menciptakan Nabi Isa AS tanpa seorang ayah, untuk menunjukkan kebesaran Allah SWT. Namun kelahiran Nabi Isa AS sempat mendatangkan tuduhan keji kepada Maryam. Digambarkan dalam surat Maryam ayat 27-28, yang artinya:

“Kemudian dia (Maryam) membawa dia (bayi itu) kepada kaumnya dengan menggendongnya. Mereka (kaumnya) berkata, “Wahai Maryam! Sungguh, engkau telah membawa sesuatu yang sangat mungkar.

Wahai saudara perempuan Harun (Maryam)! Ayahmu bukan seorang yang buruk perangai dan ibumu bukan seorang perempuan pezina.”

Lalu apa yang dilakukan oleh siti Maryam? Ia menunjuk Nabi Isa A.S. yang kala itu masih bayi. Lalu Nabi Isa A.S. berkata, yang terekam dalam surat Maryam ayat 30-32

Dia (Isa) berkata, “Sesungguhnya aku hamba Allah, Dia memberiku Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang Nabi. Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (melaksanakan) salat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup; dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.”

Mari kita garis bawahi bahwa dalam peristiwa yang luar biasa tersebut, Allah menggerakkan lisan Nabi Isa AS. untuk mendeskripsikan dirinya sebagai orang yang berbakti kepada ibuku. Dan penjelasan ini datang setelah penjelasan bahwa beliau adalah orang yang melaksanakan shalat dan menunaikan zakat. Dari peristiwa tersebut, jelas bahwa berbakti kepada ibu adalah bukti dari kemuliaan seseorang dan keimanannya kepada Allah SWT.

Peristiwa Kedua, Saat Nabi Ismail AS Ditinggal Bersama Ibunya Di Padang Tandus

Atas perintah Allah SWT, Nabi Ibrahim AS harus meninggalkan Nabi Ismail AS yang masih bayi bersama ibunya, siti Hajar di Mekah yang saat itu begitu tandus. Siti Hajar bertanya kepada Nabi Ibrahim, “Apakah ini adalah perintah Allah?” Ketika Nabi Ibrahim AS mengiyakan, maka siti Hajar menerima perintah tersebut dengan pasrah.

Dalam suasana haus dan terik, siti Hajar lalu berusaha mencari air dari Shafa ke Marwa, hingga tujuh kali ulang-alik. Dan Alhamdulillah, dengan pertolongan Allah, akhirnya air Zamzam muncul di tanah dekat kaki Nabi Ismail. Yang luar biasa adalah, peristiwa seorang ibu ini, yang berusaha untuk mencari air untuk putranya, diabadikan oleh Allah SWT sebagai salah satu ritual dalam ibadah Haji yang disebut sa’i.

Maka siapapun yang telah menunaikan ibadah umrah dan haji selayaknya selalu ingat kebesaran Allah dan kasih sayangnya pada Ibu dan anaknya, serta menghayati betapa besar perjuangan seorang ibu.

Peristiwa Ketiga, Saat Ibu Nabi Musa AS Mendapat Ilham Dari Allah SWT

Saat Fir’aun sedang mencanangkan untuk menghabisi seluruh anak laki-laki di negerinya, ibu Nabi Musa AS. teramat sedih dan khawatir bahwa putranya akan turut dihabisi. Namun dengan kekuasaan Allah, Allah memberikan ilham kepada Ibu nabi Musa AS.

وَاَوْحَيْنَآ اِلٰٓى اُمِّ مُوْسٰٓى اَنْ اَرْضِعِيْهِۚ فَاِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَاَلْقِيْهِ فِى الْيَمِّ وَلَا تَخَافِيْ وَلَا تَحْزَنِيْ ۚاِنَّا رَاۤدُّوْهُ اِلَيْكِ وَجَاعِلُوْهُ مِنَ الْمُرْسَلِيْنَ

“Dan Kami ilhamkan kepada ibunya Musa, “Susuilah dia (Musa), dan apabila engkau khawatir terhadapnya maka hanyutkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah engkau takut dan jangan (pula) bersedih hati, sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya salah seorang rasul.” (QS. Al-Qasas ayat 7)

Akhirnya Nabi Musa AS dihanyutkan ke sungai Nil, lalu ia ditemukan oleh istri Fira’un. Dan karena bayi tersebut tidak mau menyusui kepada siapapun, akhirnya Allah mengembalikan bayi tersebut ke pangkuan ibunya untuk disusui oleh ibunya.

Kita lihat betapa sentral peranan Ibu dari Nabi Musa AS dalam peristiwa di atas. Bahkan hingga Allah memberikan ilham padanya. Semua peristiwa di atas sangat jelas menunjukkan betapa besar perhatian Islam kepada seorang Ibu. Ia begitu mulia kedudukannya, lebih berharga dari berlian. Dan dalam tingginya derajatnya itu, cinta Ibu pada kita, sungguh tak bertepi.

ISLAM KAFFAH

Khutbah Jumat: Hari-Hari Ibu

Ringkasan Khutbah Jumat: Ada dan tidaknya peringatan hari ibu, setiap waktu Islam menganjurkan umatnya memuliakan ibu, sebelum meluliakan orang lain

Oleh: Ali Akbar bin Muhammad bin Aqil

ISLAM mengajarkan umatnya berlaku baik dengan mengutamakan kebaikan kepada ibu sebelum melakukannya kepada orang lain. Itulah akhlak Muslim kepada ibunya, tanpa perlu memperingati “Hari Ibu” setiap tahun. Inilah naskah ringkasan Khutbah Jumat:

Khutbah Jumat Pertama

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى سيدنا مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن

عِبَادَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ قَالَ اللهُ تَعَالَى: يَاأَيّهَا النَاسُ اتّقُوْا رَبّكُمُ الّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتّقُوا اللهَ الَذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَام َ إِنّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا

Kaum Muslimin, Jamaah Jumat Rahimakumullah

Peringatan Hari Ibu yang diselenggarakan di berbagai negara, termasuk di Tanah Air kita setiap 22 Desember, memang masih menjadi perkara yang diperselisihkan di antara ulama. Ada yang membolehkan. Ada pula yang melarang.

Beberapa ulama yang membolehkan adalah Syekh Syauqi Allam (mufti Mesir), Syekh Ali Jum’ah (mantan mufti Mesir), Syekh Abdul Fattah Asyur, Syekh Muhammad Ismail Bakar, dan Lembaga Fatwa Mesir (Darul Ifta’ Al-Mishriyyah). Sementara sebagian ulama yang melarang seperti Syekh Abdul Aziz bin Baz, Syekh Shalih al-Fauzan, Syekh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, dan Lembaga Fatwa Arab Saudi (Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Fatwa).

Sebagai umat Baginda Nabi Muhammad ﷺ kita menganut keyakinan bahwa Allah ﷻ telah mewajibkan kepada kita sebagai anak untuk berbuat baik, untuk bakti kepada ayah bunda kita, di tiap waktu, bukan di satu waktu tertentu. Allah ﷻ juga memberikan ancaman berupa sanksi tegas kepada kita sebagai anak jika sampai berani berlaku durhaka kepada orang tua, baik durhaka dalam bentuk sikap atau ucapan.

Allah ﷻ berfirman  :

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia, hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah satu seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka, ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS; Al-Isra’ : 23)

Dikisahkan, Abdullah bin Umar pernah melihat seorang lelaki menggendong wanita yang telah tua renta. Ia gendong di punggungnya sembari tawaf mengelilingi Ka’bah sekian putaran.

Abdullah bin Umar bertanya, “Siapa wanita ini?” Ia menjawab, “Sesungguhnya ia adalah ibuku. Apakah menurutmu, aku telah bisa memenuhi haknya?” Abdullah bin Umar menjawab, “Demi Allah, sekali pun engkau melakukan seperti ini, tetap tak akan mampu menandingi satu erangan dari rasa sakit saat melahirkanmu.”

Ma’asyiral Muslimin, Jamaah Jumat Hafidzakumullah

Menilik kehidupan masyarakat sekuler seperti di negara-negara Barat, ada beberapa keluarga yang memandang orang tua mereka sebagai beban hidup. Banyak dari mereka yang kemudian memasukkan orang tuanya ke panti-panti jompo karena tidak sanggup melayani dan berkhidmat kepada mereka.

Dalam momen seperti Hari Ibu, mereka berbondong-bondong mendatangi para orang tuanya, memuliakan, membawakan hadiah, makanan, dan minuman. Setelah itu, keadaan yang sunyi kembali dirasakan oleh para ibu. Mereka ditinggal oleh anak anak yang telah ia lahirkan antara hidup dan mati, yang ia rela berkorban demi kehidupan anak-anaknya. Mereka dilupakan begitu saja.

Beragam cara telah diajarkan Islam dalam berbakti kepada ibu. Pertama, berlaku baik dengan mengutamakan kebaikan kepada ibu sebelum melakukannya kepada orang lain dan mencegahnya dari semua hal yang menganggu atau membuatnya merasa tidak nyaman. Ibu adalah sosok yang paling berhak mendapatkan perlakuan terbaik yang bisa kita lakukan.

Dalam hadits disebutkan,

يا رَسُولَ الله من أَحَقُّ الناس بِحُسْنِ صَحَابَتِي قال أُمُّكَ قال ثُمَّ من قال ثُمَّ أُمُّكَ قال ثُمَّ من قال ثُمَّ أُمُّكَ قال ثُمَّ من قال ثُمَّ أَبُوكَ

“Ada seseorang yang datang menghadap Rasulullah dan bertanya, “Ya Rasulallah, siapakah orang yang lebih berhak dengan kebaikanku?” Jawab Rasulullah, “Ibumu.” Ia bertanya lagi, “Lalu siapa?” Jawabnya, “Ibumu.” Ia bertanya lagi, “Lalu siapa?” Jawabnya, “Ibumu.” Ia bertanya lagi, “Lalu siapa?” Jawabnya, “Ayahmu.” (HR: Bukhari-Muslim)

Diriwayatkan juga :

أن جاهمة جاء إلى النبي  صلى الله عليه وسلم  فقال يا رسول الله أردت أن أغزو وقد جئت أستشيرك فقال هل لك من أم قال نعم قال فالزمها فإن الجنة تحت رجليها

“(Ada seorang bernama) Jahimah datang kepada Nabi lalu berkata, “Ya Rasulullah, aku hendak berjihad, aku menemuimu untuk meminta pendapatmu.” Rasul berkata, “Apakah engkau memiliki ibu?” Ia menjawab, “Iya,” Rasul berkata, “Senantiasalah bersamanya, sesungguhnya surga berada di bawah kedua kakinya.” (HR: Nasa’i)

Kedua, memenuhi segala kebutuhan ibu kita. Seorang anak yang berbakti harus cerdas dalam mengetahui apa yang menjadi kebutuhan ibunya, kemudian berusaha memenuhi sesuai kemampuan yang dimilikinya.

Karena banyak dari ibu yang merasa sungkan dan malu untuk meminta langsung. Di sinilah diperlukan kepekaan dari diri kita sebagai anak sehingga kita dapat menunaikan kebutuhan ibu kita. Caranya dengan sering duduk bersamanya.

Kita bisa belajar banyak kepada Sayidina Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Beliau tidak berani makan bersama ibunya, padahal beliau ini termasuk anak yang sangat berbakti kepadanya.

Ketika ditanya mengapa ia tidak pernah makan bersama ibunya, ia menjawab, “Aku takut saat makan bersama ibuku, tanganku terlebih dahulu mengambil makanan yang sebenarnya diinginkan oleh ibuku, tanpa aku sadari. Dengan demikian aku menganggap hal ini sebagai perbuatan durhaka kepadanya.”

Ketiga, membantu dan berkhidmat dengan sebaik-baiknya kepada ibu. Kita mesti mengetahui apa yang menjadi kesukaan ibu kita dan apa yang tidak disukai.

Kita harus tahu apa yang membuatnya bahagia dan apa yang membuatnya marah. Jika memungkinkan, kita perlu mengetahui apa isi hati yang menjadi keinginannya lalu kita penuhi.

Dikisahkan, Ibnu Sirin pernah membeli satu pohon kurma yang harganya kala itu tengah melambung tinggi, mencapai seribu dirham. Setelah ia beli, ia lubangi dan mengambil isi pohon tersebut, kemudian ia berikan kepada ibunya.

Orang-orang bertanya, “Apa yang membuat engkau melakukan hal ini, padahal engkau tahu harga kurma mencapai seribu dirham?” Ibnu Sirin mengatakan, “Karena ibuku menginginkannya, tidaklah ibu menginginkan sesuatu dan aku mampu memberikannya, pasti akan aku berikan.”

Jamaah Jumat yang dimuliakan Allah

Keempat, mengalokasikan harta secara khusus untuk ibunya. Meski ibu kita misalnya, termasuk orang kaya, tapi sebagai anak yang berbakti, sudah sepatutnya kita tidak bersikap kikir, kita berikan hadiah dari harta yang kita miliki, untuk menyenangkan hatinya. Insya Allah harta kita diberkahi oleh Allah ﷻ sebab pemberian kepada ibu.

Demikianlah beberapa cara dalam berbakti kepada orang tua kita khususnya ibu. Ada dan tidaknya peringatan hari ibu, setiap waktu kita tetap berusaha berlaku luhur dan mulia kepadanya.

Kita berkhidmat dengan baik, kita sisihkan sebagian gaji atau harta untuk memberinya, dan memenuhi segala kebutuhannya. Insya Allah kita termasuk anak yang mengamalkan ajaran birrul walidain (berbakti kepada orang tua).

بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فيِ القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنيِ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآياَتِ وَالذِّكْرِ الحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنيِّ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ َإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْليِ هذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ ليِ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

Khutbah Jumat Kedua

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى سيدنا مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن. اَمَّا بَعْدُ :

فَيَا اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ تَعَالىَ وَذَرُوا الْفَوَاحِشَ مَاظَهَرَ وَمَا بَطَنْ، وَحَافِظُوْاعَلىَ الطَّاعَةِ وَحُضُوْرِ الْجُمْعَةِ وَالْجَمَاعَةِ.

وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهَ اَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَنَّى بِمَلاَئِكَةِ قُدْسِهِ، فَقَالَ تَعَالىَ وَلَمْ يَزَلْ قَائِلاً عَلِيْمًا: اِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِىْ يَاَ يُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سيدنا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سيدنا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سيدنا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سيدنا إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى سيدنا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سيدنا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سيدنا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سيدنا إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالمسْلِمَاتِ وَالمؤْمِنِيْنَ وَالمؤْمِنَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ،

اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوذُ بِكَ مِنَ البَرَصِ وَالجُنُونِ والجُذَامِ وَسَيِّيءِ الأسْقَامِ

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا, اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى والتُّقَى والعَفَافَ والغِنَى، رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ و َمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

Khutbah Jumat ini diterbitkan Rabithah Alawiyah Kota Malang, Arsip lain terkait Khutbah Jumat bisa diklik di SINI

HIDAYATULLAH

Hari Ibu; Belajar Jadi Ibu Terbaik dari Sosok Maryam

Maryam adalah sosok perempuan yang dipuji di bumi. Pun dicintai di langit. Kemasyhuran namanya diabadikan dalam Al-Qur’an yang mulia. Ia  digambarkan sebagai perempuan mulia, terbaik, suci, dan taat beribadah.

Sebagai bukti, dalam Q.S Ali Imran/3;42, dijelaskan secara gamblang bahwa Maryam tergolong perempuan yang terpilih. Putri dari Imran ini merupakan perempuan yang mampu menjaga diri dan kehormatannya dari keburukan. Sehingga Allah menyematkan titel sebagai perempuan suci.  Allah berfirman;

 وَاِذْ قَالَتِ الْمَلٰۤىِٕكَةُ يٰمَرْيَمُ اِنَّ اللّٰهَ اصْطَفٰىكِ وَطَهَّرَكِ وَاصْطَفٰىكِ عَلٰى نِسَاۤءِ الْعٰلَمِيْنَ – ٤٢

Dan (ingatlah) ketika para malaikat berkata, “Wahai Maryam! Sesungguhnya Allah telah memilihmu, menyucikanmu, dan melebihkanmu di atas segala perempuan di seluruh alam (pada masa itu).

Pada sisi lain, Maryam merupakan seorang ibu. Orang tua dari seorang lelaki yang mulia pula. Dinobatkan sebagai utusan Tuhan, Isa alaihi salam. Yang keagungannya diakui di agama Kristen, pun diagungkan dalam agama Islam.

Sebagai seorang ibu, Maryam merupakan sosok ibu yang baik. Taat beribadah pada Tuhan. Pun menyayangi anaknya. Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar menjelaskan bahwa kemuliaan akhlak dari Maryam sudah terbentuk sejak belia.

Dalam sejarah dikatakan, sejak awal Maryam sudah dididik langsung oleh seorang guru yang mulia, Nabi Zakaria. Pasalnya, sejak mengandung Hannah, ibunda dari Maryam sudah bernadzar, bahwa jika anaknya lahir akan dikirimnya ke Rumah Suci (Baitul Muqaddas) agar menjadi penjaga rumah tempat beribadah kepada Allah.

Akhirnya nadzar itu ditunaikan, kendatipun anak tersebut bukan laki-laki. Penjaga rumah suci itu, yaitu Nabi Zakariya. Nabi Zakariya itulah yang mengasuh dan mendidiknya di rumah suci sejak dia lahir sampai dewasa. Berkat itu, Maryam senantiasa terpelihara kesuciannya, dari kejahatan manusia dan setan yang terkutuk.

Wajar saja, ketika ia mempunyai anak—dari rahim yang suci itu—, lahir anak yang shaleh juga. Yang ia didik dengan penuh cinta dan kasih sayang. Tak lupa ia ajarkan, akhlak dan norma kebajikan.  Terlebih untuk taat dan beribadah pada Allah, yang menciptakan dirinya, kendatipun tak memiliki seorang ayah.

قَالَ اِنَّمَآ اَنَا۠ رَسُوْلُ رَبِّكِۖ لِاَهَبَ لَكِ غُلٰمًا زَكِيًّا – ١٩

Dia (Jibril) berkata, “Sesungguhnya aku hanyalah utusan Tuhanmu, untuk menyampaikan anugerah kepadamu seorang anak laki-laki yang suci.”

Pada sisi lain, Maryam merupakan seorang ibu yang pembarani. Jamak diketahui, ia hamil tanpa seorang suami, sehingga marak isu ia perempuan tak benar. Sebab mengandung tanpa seorang suami yang sah. Sehingga ia dikucilkan dan dihujat secara brutal oleh kaumnya.

Pada suatu hari, sebagaimana dijelaskan dalam Tafsir Al Misbah, Volume VII, halaman 435, Maryam datang menemui kaumnya. Setelah 40 hari pasca melahirkan, Ia mengendong anaknya, Isa yang masih bayi. Ia datang dengan berani, tanpa ada rasa malu,  dan percaya diri.

Dalam forum itu, kaumnya memburunya dengan pelbagai pertanyaan.Yang tidak beraturan, dan penuh penghakiman. Tetapi ia tetap diam. Quraish Shihab menyebutkan, diamnya Maryam sebagai nadzar yang jamak dijumpai pada masa lalu. Kendati demikian, Allah menurunkan mukjizat—Bayi, Nabi Isa menjelaskan pada kaummya tentang identitas dirinya.

قَالَ اِنِّيْ عَبْدُ اللّٰهِ ۗاٰتٰنِيَ الْكِتٰبَ وَجَعَلَنِيْ نَبِيًّا ۙ – ٣٠

Dia (Isa) berkata, “Sesungguhnya aku hamba Allah, Dia memberiku Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang Nabi.

وَّجَعَلَنِيْ مُبٰرَكًا اَيْنَ مَا كُنْتُۖ وَاَوْصٰنِيْ بِالصَّلٰوةِ وَالزَّكٰوةِ مَا دُمْتُ حَيًّا ۖ  وَّبَرًّاۢ بِوَالِدَتِيْ وَلَمْ يَجْعَلْنِيْ جَبَّارًا شَقِيًّا وَالسَّلٰمُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُّ وَيَوْمَ اَمُوْتُ وَيَوْمَ اُبْعَثُ حَيًّا

 Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (melaksanakan) salat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup;

Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari kelahiranku, pada hari wafatku, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.”

Dengan demikian, di era sekarang, kisah Maryam tersebut dapat diambil ikhibar dan manfaat. Ia adalah orang tua yang menyayangi anaknya. Momentum hari iu ini, seyogianya sosok Maryam mampu dijadikan sebagai suri teladan bagi generasi hari ini.

BINCANG SYARIAH

Berbakti pada Ibu, Mendatangkan Kasih Sayang Allah

BAGI seorang muslim, penghormatan kepada ibu termasuk bagian bakti kepada Allah SWT. Sebab Allah memerintahkan agar kita senantiasa berbakti kepada kedua orangtua, khususnya ibu. Sebaliknya, apabila kita kurang berbakti atau bahkan menyakiti hati dan perasaan ibu, maka kita mengundang murka Allah.

“Sembahlah Allah dan jangan menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, dan terhadap kedua orang tua, ayah ibu harus berbakti (berbuat baik).” (QS. an-Nisa: 36)

Rasulullah saw mempertegas perintah Allah itu. Datanglah seseorang kepada Rasulullah dan bertanya, “Siapakah yang berhak aku layani sebaik-baiknya?” Jawab Rasul, “Ibumu.” “Kemudian siapa?” Jawab Rasul, “Ibumu.” “Kemudian siapa lagi?” Jawab Rasul, “Ibumu.” “Lalu siapa lagi?” Jawab Rasul, “Bapakmu.” (HR. Bukhari Muslim dari Abu Hurairah ra)

Islam sangat besar perhatiannya terhadap nasib kaum ibu. Hal ini sekaligus menepis anggapan keliru kaum feminisme bahwa dalam Islam perempuan (baca: ibu) mempunyai tingkatan atau derajat di bawah laki-laki, bahkan eksistensinya sering terpinggirkan.

Mengapa dalam Islam perhatian terhadap kaum ibu sangat besar? Allah SWT memberikan penjelasan, “Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapih dalam dua tahun.” (QS. Luqman: 14)

Karena itu, bagi seorang muslim, ada atau tidak ada Hari Ibu yang biasanya dirayakan setiap tanggal 22 Desember, tetap berkewajiban berbakti kepadanya. Kewajiban ini sebagai bagian dari keimanan dan ibadah kepada Allah SWT. Kita harus tetap memuliakan dan menghormati ibu, apalagi jika orangtua kita itu telah tua renta dan lanjut usia.

“Apabila telah lanjut usia salah seorang ibu atau bapak atau keduanya, maka janganlah kamu berkata kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan jangan membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu kepada mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkan (doa): ‘Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.’” (QS. al-Isra: 23-24)

Jangan sampai kita membuat ibu kita hidupnya telantar, membiarkannya jadi pengemis di jalanan, atau menempatkannya di panti jompo. Padahal sudah begitu banyak pengorbanan yang telah dikorbankan oleh seorang ibu untuk membesarkan anaknya, dan itu tak mungkin dapat dibalas oleh anaknya sampai kapan pun. Tapi, kebaikan seorang ibu yang demikian besar itu malah dibalas dengan penderitaan teramat perih oleh anaknya.

Kita sering menyaksikan di televisi bagaimana seorang ibu meninggal dengan cara tak wajar akibat dibunuh oleh anaknya sendiri. Na’udzubillah. Jika seorang anak memarahi, memukul, melukai, bahkan membunuh ibunya, maka mereka tergolong anak durhaka.

“Dosa-dosa besar ialah mempersekutukan Allah dan durhaka kepada kedua ayah bundanya dan membunuh manusia dan sumpah palsu (sumpah yang menenggelamkan ke dalam neraka).” (HR. Bukhari)

Semoga kita bisa menjadikan setiap hari kita sebagai hari berbakti kepada ibu, tidak harus menunggu sebulan apalagi setahun sekali. Mumpung ibu kita masih diberi oleh Allah nafas kehidupan. Kalau pun ibu kita sudah meninggal, maka doa dan amal saleh yang kita lakukan semoga menjadi bagian amal saleh juga bagi ibu kita. Aamiin. 

MOESLIM CHOICE

Hari Ibu Setiap Hari, Bukan Setahun Sekali

Berbakti kepada orang tua khususnya ibu memang lebih dianjurkan oleh agama Islam. Karena memang ibu sangat besar jasanya bagi anak-anaknya melebihi bapak. Oleh karena itu berbakti kepada Ibu didahulukan daripada berbakti kepada Bapak. Sebagaimana dalam hadits berikut,

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ :يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ، قَالَ أَبُوْكَ

Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, belia berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu’. Orang tersebut bertanya kembali, ‘kemudian siapa lagi’, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu’” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548).

Akan tetapi haruskah hari Ibu diperingati setiap setahun sekali? Perlukah memperingati hari ibu? Bagaimana hukum Islam mengenai hal ini?

Hari Ibu Setiap Hari

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “seorang ibu lebih berhak untuk senantiasa dihormati sepanjang tahun, daripada hanya satu hari saja, bahkan seorang ibu mempunyai hak terhadap anak-anaknya untuk dijaga dan dihormati serta ditaati selama bukan dalam kemaksiatan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, di setiap waktu dan tempat” (Majmu’ Fatawa wa Rasa’il no. 535 2/302, Darul wathan, 1413 H, Asy Syamilah).

Pandangan Islam Terhadap Perayaan Hari Ibu

Hari ibu biasanya dirayakan setiap tanggal 22 Desember, berikut fatwa Al-Lajnah Ad- Daimah (semacam MUI di Saudi) mengenai hal ini. Al Lajnah Ad Daimah ditanya, “kapan tanggal yang tepat untuk memperingati hari ibu?”

Mereka menjawab:

“Tidak boleh mengadakan peringatan yang dinamakan dengan peringatan hari ibu, dan tidak boleh juga memperingati perayaan peringatan tahunan yang dibuat-buat (tidak ada tuntunannya dalam al-Qur’an dan As-sunnah, karena perayaan (ied) tahunan yang diperbolehkan dalam Islam hanya Idul Fitri dan Idul Adha, pent).

Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wassalam bersabda,

من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد

Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak pernah kami tuntunkan, maka amalan itu tertolak

Perayaan hari ibu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam, para sahabat radhiallahu anhum dan para imam salafus shalih. Perayaan ini adalah sesuatu yang diada-adakan dan menyerupai orang kafir (tasyabbuh) (Fatawa Komite Tetap Kajian Ilmiah dan Fatwa Arab Saudi, jilid 3 hal.85, http://goo.gl/sU2cG2).

Demikian semoga bermanfaat.

Penyusun: dr. Raehanul Bahraen

Artikel Muslim.Or.Id

Sahabat, Inilah Kedudukan Seorang Ibu dalam Islam

Hari ini tepatnya pada tanggal 22 Desember setiap tahunnya selalu diperingati sebagai “Hari Ibu”. Bukan tanpa sebab kenapa tanggal 22 diperingati sebagai hari Ibu, kenapa bukan hari orang tua. Apakah sosok seorang ibu lebih mulia dibandingkan sosok bapak?

Memperingati hari ibu bertujuan bukan hanya sekedar seremonial belaka atau sekedar menaruh atau memasang status ucapan selamat hati ibu di BBM atau di jeraring media sosial. Peringatan hari ibu harus dimaknai dengan sungguh-sungguh, yang dapat mengingatkan kita betapa mulianya kedudukan seorang Ibu dalam kehidupan umat manusia, bukan berarti kita lantas mengabaikan peran seorang Bapak.

Kemulian seorang ibu pernah menjadi suatu legenda di Indonesia yang di ceritakan dalam kisah malim kundang, kisah legenda dari daerah Sumatera Barat. Di zaman Rasulullah saw juga banyak dikisahkan mengenai kemulian seorang Ibu dalam Islam.

Terlepas dari kisah-kisah Ibu dalam Islam tersebut, sesungguhnya Allah SWT melalui firman-Nya dan dari Rasulullah SAW dalam haditsnya, telah memerintahkan kepada kita semua sebagai orang muslim untuk senantiasa selalu menghormati, memuliakan, mentaati perintahnya yang tidak bertentang dengan perintah dan larangan-Nya, menyayanginya sampai akhir hayatnya, dan selalu mendoakannya ketika sudah wafat.

Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah saw bersabda, “Seorang datang kepada Rasulullah saw dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali? Rasulullah saw menjawab, ‘Ibumu!’ dan orang tersebut kembali bertanya, ‘kemudian siapa lagi?, Rasulullah saw menjawab, ‘Ibumu!,’ orang tersebut bertanya kembali, ‘kemudian siapa lagi?, Beliau menjawab, ‘Ibumu.” Orang tersebut bertanya kembali, ‘kemudian siapa lagi,’ Rasulullah saw menjawab, ‘kemudian ayahmu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

IBU DALAM ISLAM

Imam Al-Qurthubi dalam penjelasannya, bahwa Hadits tersebut menunjukkan bahwa kecintaan dan kasih sayang terhadap seorang Ibu dalam Islam, harus tiga kali lipat besarnya dibandingkan terhadap seorang ayah. Sedangkan Imam Adz-Dzahabi rahimahullaah berkata dalam kitabnya al-Kabaair :

  • Ibumu telah mengandungmu di dalam perutnya selama sembilan bulan, seolah-olah sembilan tahun.
  • Dia bersusah payah ketika melahirkanmu yang hampir saja menghilangkan nyawanya.
  • Dia telah menyusuimu dari putingnya, dan ia hilangkan rasa kantuknya karena menjagamu.
  • Dia cuci kotoranmu dengan tangan kirinya, dia lebih utamakan dirimu dari padadirinya serta makanannya.
  • Dia jadikan pangkuannya sebagai ayunan bagimu.
  • Dia telah memberikanmu semua kebaikan dan apabila kamu sakit atau mengeluh tampak darinya kesusahan yang luar biasa dan panjang sekali kesedihannya dan dia keluarkan harta untuk membayar dokter yang mengobatimu.
  • Seandainya dipilih antara hidupmu dan kematiannya, maka dia akan meminta supaya kamu hidup dengan suaranya yang paling keras.
  • Betapa banyak kebaikan ibu, sedangkan engkau balas dengan akhlak yang tidak baik.
  • Dia selalu mendo’akanmu dengan taufik, baik secara sembunyi maupun terang-terangan.
  • Tatkala ibumu membutuhkanmu di saat dia sudah tua renta, engkau jadikan dia sebagai barang yang tidak berharga di sisimu.
  • Engkau kenyang dalam keadaan dia lapar.
  • Engkau puas minum dalam keadaan dia kehausan.
  • Engkau mendahulukan berbuat baik kepada istri dan anakmu dari pada ibumu.
  • Engkau lupakan semua kebaikan yang pernah dia perbuat.
  • Berat rasanya atasmu memeliharanya padahal itu adalah urusan yang mudah.
  • Engkau kira ibumu ada di sisimu umurnya panjang padahal umurnya pendek.
  • Engkau tinggalkan padahal dia tidak punya penolong selainmu.
  • Padahal Allah telah melarangmu berkata ‘ah’ dan Allah telah mencelamu dengan celaan yang lembut.
  • Engkau akan disiksa di dunia dengan durhakanya anak-anakmu kepadamu.
  • Allah akan membalas di akhirat dengan dijauhkan dari Allah Rabbul ‘aalamin.
    (Akan dikatakan kepadanya),

Demikianlah dijelaskan oleh Imam Adz-Dzahabi tentang besarnya jasa seorang Ibu dalam Islam terhadap anak dan menjelaskan bahwa jasa orang tua kepada anak tidak bisa dihitung.

Kita sebagai manusia yang memiliki banyak kekurangan dan kelemahan, mungkin tidak punya kapasitas untuk menghitung satu demi satu hak-hak yang dimiliki seorang ibu dalam Islam. Islam hanya menekankan kepada umatnya untuk sedapat mungkin menghormati, memuliakan kedudukan sang ibu dalam Islam dengan selalu melakukan hal-hal terbaik yang dapat kita lakukan, demi membahagiakan Ibu kita.

 

 

sumber: YoyaHijab