Waktu Mustajab di Hari Jumat

Mohon jelaskan waktu yang mustajab untuk berdoa di hari jumat. Apakah di sepanjang hari jumat? Atau bagaimana?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Dalam hadis dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang hari Jumat, lantas beliau bersabda,

فِيهِ سَاعَةٌ لاَ يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ ، وَهْوَ قَائِمٌ يُصَلِّى ، يَسْأَلُ اللَّهَ تَعَالَى شَيْئًا إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ

“Di hari Jumat terdapat suatu waktu yang tidaklah seorang hamba muslim yang ia berdiri melaksanakan shalat lantas dia memanjatkan suatu doa pada Allah bertepatan dengan waktu tersebut melainkan Allah akan memberi apa yang dia minta.” (HR. Bukhari 935, Muslim 2006, Ahmad 10574 dan yang lainnya).

Kapan Waktu Mustajab Itu

Hadis di atas menyebutkan bahwa waktu mustajab itu jatuh di hari jumat. Dan itu hanya sesaat. Tanpa menyebutkan batasan, kapan tepatnya waktu itu terjadi.

Ada beberapa pendapat ulama tentang waktu mustajab tersebut. Dari sekian banyak pendapat, ada 2 pendapat yang dianggap lebih kuat (Fathul Bari, 11/199),

Pertama, waktu mustajab itu adalah antara duduknya imam sampaii selesainya shalat jumat.

Pendapat ini berdalil dengan beberapa riwayat berikut,

Dari Abu Burdah bin Abi Musa Al Asy’ari. Ia berkata, “Abdullah bin  Umar bertanya padaku, ‘Apakah engkau pernah mendengar ayahmu menyebut suatu hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai waktu mustajabnya doa di hari Jumat?” Abu Burdah menjawab, “Iya betul, aku pernah mendengar dari ayahku (Abu Musa), ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

هِىَ مَا بَيْنَ أَنْ يَجْلِسَ الإِمَامُ إِلَى أَنْ تُقْضَى الصَّلاَةُ

“Waktu tersebut adalah antara imam duduk ketika khutbah hingga imam menunaikan shalat Jumat.” (HR. Muslim 2012 dan Abu Daud 1051).

Kemudian disebutkan dalam riwayat lain,  dari Amr bin Auf al-Muzanni Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ فِي الْجُمُعَةِ سَاعَةً لَا يَسْأَلُ اللَّهَ الْعَبْدُ فِيهَا شَيْئًا إِلَّا آتَاهُ اللَّهُ إِيَّاهُ ) !قَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، أَيَّةُ سَاعَةٍ هِيَ ؟ قَالَ : ( حِينَ تُقَامُ الصَّلَاةُ إِلَى الِانْصِرَافِ مِنْهَا )

Sesungguhnya pada hari jumat terdapat satu waktu, jika para hamba memohon kepada Allah, pasti akan dikabulkan oleh Allah.

Para sahabat bertanya, ‘Ya Rasulullah, waktu kapankah itu?’

Jawab beliau, “Ketika shalat dimulai hingga selesai shalat.”

(HR. Turmudzi 490, Ibn Majah 1138, namun hadis ini dinilai dhaif oleh al-Albani dan Syuaib al-Arnauth).

Kedua, waktu mustajab itu jatuh setelah asar. Ini merupakan pendapat Abdullah bin Sallam, Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Imam Ahmad dan beberapa ulama.

Ada beberapa hadis yang mendukung pendapat ini,

  1. Hadis dari Abu Said al-Khudri dan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ فِي الْجُمُعَةِ سَاعَةً لَا يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ فِيهَا خَيْرًا إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ وَهِيَ بَعْدَ الْعَصْرِ

Di hari Jumat terdapat suatu waktu, dimana jika ada seorang hamba muslim yang memanjatkan doa kepada Allah bertepatan dengan waktu tersebut, Allah akan memberi apa yang dia minta. Waktu itu adalah seteah asar. (HR. Ahmad 7631 dan dinilai shahih Syuaib al-Arnauth).

2. Hadis dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَوْمُ الْجُمُعَةِ اثْنَتَا عَشْرَةَ سَاعَةً ، لَا يُوجَدُ فِيهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللَّهَ شَيْئًا إِلَّا آتَاهُ إِيَّاهُ فَالْتَمِسُوهَا آخِرَ سَاعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ

Pada hari jumat ada 12 jam. (Diantaranya ada satu waktu, apabila ada seorang muslim yang memohon kepada Allah di waktu itu, niscaya akan Allah berikan. Carilah waktu itu di penghujung hari setelah asar. (HR. Abu Daud 1048, Nasai 1389 dan dishahihkan al-Albani).

3. Hadis dari Abdullah bin Sallam Radhiyallahu ‘anhu, beliau pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Kami menjumpai adalam kitabullah, bahwa di hari jumat ada satu waktu, apabila ada seorang hamba beriman melakukan shalat bertepatan dengan waktu tersebut, kemudian memohon kepada Allah, maka Allah akan penuhi permohonannya.”

Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berisyarat kepadaku, ‘Itu hanya sebentar?’

‘Anda benar, hanya sebentar.’ Jawab Abdullah bin Sallam.

Lalu Abdullah bertanya, ‘Kapan waktu itu’

Jawab beliau,

هِيَ آخِرُ سَاعَاتِ النَّهَارِ

“Itu adalah waktu di penhujung hari.”

‘Bukankah itu waktu larangan shalat?’

Jawab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

بَلَى ، إِنَّ الْعَبْدَ الْمُؤْمِنَ إِذَا صَلَّى ثُمَّ جَلَسَ لَا يَحْبِسُهُ إِلَّا الصَّلَاةُ ، فَهُوَ فِي الصَّلَاةِ

“Benar, namun ketika seorang hamba melakukan shalat (di awal asar), lalu dia duduk menunggu shalat berikutnya, dia terhitung sedang melakukan shalat.” (HR. Ibn Majah 1139)

Dari dua pendapat di atas, menunjukkan bahwa pendaat kedua inilah yang lebih mendekati kebenaran.

Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

KONSULTASI SYARIAH

Memperbanyak Shalat Sunnah sebelum Datangnya Khatib Jum’at

Anjuran memperbanyak shalat sunnah ketika menunggu khatib Jum’at

Jika seseorang sudah hadir di masjid dalam rangka shalat Jum’at, yang dianjurkan adalah memperbanyak shalat sunnah tanpa dibatasi dengan bilangan raka’at tertentu. Hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari sahabat Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ الجُمُعَةِ، وَيَتَطَهَّرُ مَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ، وَيَدَّهِنُ مِنْ دُهْنِهِ، أَوْ يَمَسُّ مِنْ طِيبِ بَيْتِهِ، ثُمَّ يَخْرُجُ فَلاَ يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ، ثُمَّ يُصَلِّي مَا كُتِبَ لَهُ، ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ الإِمَامُ، إِلَّا غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الجُمُعَةِ الأُخْرَى

“Tidaklah seorang laki-laki mandi pada hari Jum’at, lalu bersuci semaksimal mungkin, memakai wewangian miliknya atau minyak wangi keluarganya, lalu keluar rumah menuju masjid, dia tidak memisahkan dua orang pada tempat duduknya, lalu dia shalat sebanyak yang dia mampu dan diam mendengarkan khutbah imam, kecuali dia akan diampuni dosa-dosanya yang ada antara Jum’at itu dan Jum’at yang lainnya.” (HR. Bukhari no. 883)

Demikian pula dalam hadits Abu Ayyub radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، ثُمَّ أَقْبَلَ إِلَى الْمَسْجِدِ، لَا يُؤْذِي أَحَدًا، فَإِنْ لَمْ يَجِدِ الْإِمَامَ خَرَجَ، صَلَّى مَا بَدَا لَهُ، وَإِنْ وَجَدَ الْإِمَامَ قَدْ خَرَجَ، جَلَسَ فَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ، حَتَّى يَقْضِيَ الْإِمَامُ جُمُعَتَهُ وَكَلَامَهُ، إِنْ لَمْ يُغْفَرْ لَهُ فِي جُمُعَتِهِ تِلْكَ ذُنُوبُهُ كُلُّهَا، أَنْ تَكُونَ كَفَّارَةً لِلْجُمُعَةِ الَّتِي تَلِيهَا

“Ketika seorang muslim mandi di hari Jum’at, kemudian berangkat ke masjid, lalu dia tidak menyakiti (mengganggu) seorang pun, jika dia menjumpai imam shalat Jum’at belum datang, dia pun shalat sebanyak yang dia mampu. Adapun jika dia melihat imam sudah datang, dia pun duduk, mendengarkan khutbah dan diam, sampai imam menyelesaikan shalat Jum’at dan khutbahnya, jika dia tidak diampuni pada hari Jum’at tersebut dosa-dosa dia seluruhnya, maka hal itu adalah penggugur dosa sampai hari Jum’at berikutnya.“ (HR. Ahmad 38: 547, Ibnu Khuzaimah 3: 138, Ath-Thabrani dalam Al-Kabiir 4: 160-161, dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhiib 1: 360)

Faidah-faidah dari hadits di atas

Hadits-hadits di atas mengandung beberapa faidah sebagai berikut:

Pertama, yang dianjurkan ketika seseorang sudah memasuki masjid dalam rangka shalat Jum’at adalah shalat sunnah sebanyak yang dia kehendaki (tidak dibatasi bilangan raka’at tertentu) sampai imam (khatib) shalat Jum’at tiba di masjid [1]. (Lihat Nailul Authar, 6: 335)

Status shalat sunnah ini adalah shalat sunnah muthlaq, bukan shalat sunnah qabliyyah Jum’at. Shalat sunnah muthlaq adalah shalat yang dilakukan tanpa terikat dengan waktu tertentu, sebab tertentu, atau jumlah raka’at tertentu. [2] Hal ini karena shalat Jum’at tidak memiliki shalat sunnah qabliyyah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

“Oleh karena itu, mayoritas ulama bersepakat bahwa sebelum shalat Jum’at tidak ada shalat sunnah yang dikaitkan dengan waktu tertentu atau dibatasi oleh bilangan raka’at tertentu. Hal ini karena ketentuan semacam itu harus ditetapkan berdasarkan perkataan atau perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan hal itu sama sekali tidak disyariatkan, baik dengan ucapan ataupun dengan perbuatan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah madzhab Imam Malik, Asy-Syafi’i, mayoritas para shahabat, dan pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Ahmad … “ (Majmu’ Fataawa, 24: 189. Lihat pula pembahasan bagus dalam masalah ini dalam kitab Al-Ajwibah An-Naafi’ah karya Syaikh Al-Albani)

Adapun perbuatan sebagian orang, lebih-lebih di Masjidil Haram, berupa shalat dua rakaat atau empat rakaat yang langsung dikerjakan setelah adzan Jum’at yang pertama, dengan keyakinan bahwa shalat tersebut adalah shalat sunnah qabliyyah Jum’at sebagaimana ada shalat sunnah qabliyyah untuk shalat dzuhur, maka perbuatan tersebut tidak ada dalilnya.

Demikian pula, perbuatan tersebut tidak bisa dilandasi dengan dalil hadits,

بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ

“Terdapat shalat di antara dua adzan.” (HR. Bukhari no. 601 dan Muslim no. 838)

Karena yang dimaksud dengan “dua adzan” dalam hadits tersebut adalah adzan dan iqamat (iqamat juga bisa diistilahkan dengan adzan). Taruhlah bahwa yang dimaksud hadits tersebut adalah dua adzan, maka kita tidak menjumpai contoh praktik pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di hari Jum’at kecuali adzan pertama dan iqamat. Sedangkan antara adzan dan iqamat adalah khutbah Jum’at, tidak ada shalat sunnah yang disyariatkan di antara keduanya di hari Jum’at. Sehingga tidak tepat menjadikan hadits di atas sebagai dalil adanya shalat sunnah qabliyyah Jum’at dengan menetapkan bilangan rakaat tertentu, baik dua atau empat rakaat.

Ibnul Haaj rahimahullah berkata,

“Manusia hendaknya dilarang dari apa yang mereka ada-adakan berupa shalat setelah adzan pertama untuk shalat Jum’at. Perbuatan ini menyelisihi contoh dari salafus shalih, karena mereka dulu terbagi dalam dua kelompok. Sebagian mereka mendirikan shalat sunnah ketika masuk masjid, dan terus-menerus shalat sampai imam (khatib) naik mimbar. Jika khatib sudah naik mimbar, mereka menghentikan shalat sunnah. Sebagian lagi, mereka shalat sunnah, lalu duduk (menunggu), sampai shalat Jum’at didirikan. Jadi, tidak ada lagi shalat sunnah yang dikerjakan setelah duduk (setelah mereka berhenti mengerjakan shalat sunnah, pent.), dan tidak ada duduk lagi (duduk kedua) setelah mengerjakan shalat sunnah (berikutnya). Perbuatan salaf tersebut berbeda dengan perbuatan orang jaman sekarang, dimana orang di jaman sekarang ini mereka duduk sampai muadzin mengumandangkan adzan pertama, kemudian mereka berdiri lagi untuk shalat sunnah (kemudian duduk lagi setelahnya, pent.) … “ (Al-Madkhal, 2: 239 karya Ibnul Haaj)

Kedua, shalat tersebut boleh dikerjakan di waktu kapan pun, karena di dalam hadits dikatakan,

ثُمَّ يُصَلِّي مَا كُتِبَ لَهُ، ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ الإِمَامُ

“ … lalu dia shalat sebanyak yang dia mampu dan diam mendengarkan khutbah imam … “

Dzahir (makna yang tertangkap) dari hadits di atas adalah bolehnya shalat sunnah di hari Jum’at tersebut sebelum zawal (bergesernya matahari ke arah barat). Ini adalah di antara kekhususan hari Jum’at tersebut, dikecualikan dari waktu larangan shalat, yaitu sejak matahari tepat di tengah-tengah sampai bergeser ke barat. Dalil pengecualian ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh shahabat Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu yang telah kami sebutkan sebelumnya.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

“Maka dianjurkan shalat sunnah sebanyak yang dia mampu, tidak ada yang menghentikan shalat sunnah tersebut kecuali ketika imam (khatib) shalat Jum’at sudah tiba (di masjid). Oleh karena itu, banyak ulama salaf mengatakan, di antaranya ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, yang kemudian diikuti oleh Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah,

خروج الإمام يمنع الصلاة وخطبته تمنع الكلام

“Keluarnya (datangnya) imam menghentikan shalat (sunnah), sedangkan khutbah imam menghentikan pembicaraan.”

Jadi, mereka jadikan yang menghentikan shalat (sunnah) adalah kedatangan imam di masjid, bukan pertengahan siang (ketika matarahari tepat di tengah-tengah).” (Zaadul Ma’aad, 1: 378) [3]

Adapun tata caranya, dikerjakan seperti shalat biasa (tidak ada tata cara khusus) dan dikerjakan dua rakaat salam – dua rakaat salam. [2]

Demikian pembahasan ini, semoga bermanfaat.

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.Or.Id

Inilah Amalan Hari Jumat, Sejak Pagi hingga Petang

DALAM satu pekan ada satu hari yang disebut-sebut istimewa, khususnya dalam Islam. Hari tersebut adalah Jumat.

Apa sih artinya Jumat dan kenapa dinamakan Jumat?

Kata “Jumat” dalam bahasa Arab bisa dibaca dengan tiga cara, yaitu jumu’ah, jum’ah, atau juma’ah. Adapun bacaan yang terkenal adalah “jumu’ah”. Demikian pula cara baca pada qiraah sab’ah, dalam firman Allah ta’ala,

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian diseru untuk menunaikan shalat Jumat maka bersegeralah mengingat Allah.” (Q.S  Al-Jumu’ah: 9).

Adapun bacaan “jum’ah” adalah bacaan ringan, yaitu dengan menghilangkan harakat pada huruf mim, menjadi lebih mudah diucapkan.

Sedangkan cara baca “juma’ah” berasal dari sifat hari Jumat yang mengumpulkan banyak orang, seperti kata “humazah” yang berarti ‘orang yang banyak mengumpat’ dan kata “dhuhakah” yang berarti ‘orang yang banyak tertawa’. Bacaan “juma’ah” dalam bahasa Arab dikenal sebagi dialek Bani Uqail. Adapun bentuk jamak kata “jumu’ah” adalah jumu’at atau juma’.

Dalam ajaran Islam, semua hari adalah baik. Namun hari Jumat mempunyai kemuliaan dan keutamaan tersendiri karena di hari itu juga memiliki nilai historis dalam sejarah islam.

Rasulullah teramat memuliakan hari Jumat dan sudah banyak riwayat yang membahas tentang keutamaan hari jumat.

Ada banyak amalan yang dianjurkan oleh Rasulullah Muhammad shalallahu alaihi wasallam, yang nilai pahalanya sangat besar.

Rasulullah Muhammad shalallahu alaihi wasallam, menyebut keistimewaan hari Jumat.

“Hari terbaik di mana pada hari itu matahari terbit adalah hari Jumat. Pada hari itu Adam diciptakan, dimasukkan surga serta dikeluarkan darinya. Dan kiamat tidak akan terjadi kecuali pada hari Jumat”. (H.R Abu Hurairah).

Berikut amalan apa saja yang disunahkan untuk dikerjakan bagi umat Islam:

1. Membaca shalawat untuk Nabi Muhammad SAW

Ketika Jumat datang, umat Muslim disunahkan untuk memperbanyak membaca shalawat.

“Sesungguhnya di antara hari kalian yang paling afdhal adalah hari Jum’at. Pada hari itu Adam diciptakan dan diwafatkan, dan pada hari itu juga ditiup sangkakala dan akan terjadi kematian seluruh makhluk. Oleh karena itu perbanyaklah shalawat di hari Jum’at, karena shalawat akan disampaikan kepadaku.” (Aus Bin Aus ra)

Nabi menganjurkan agar memperbanyak membaca shalawat pada hari Jumat.

Dalam sebuah hadits yang lain ditegaskan:

“Perbanyaklah membaca shalawat kepadaku di hari dan malam Jumat. Barangsiapa membaca shalawat untuku satu kali, maka Allah membalasnya sepuluh kali”.

Hadits tersebut diriwayatkan al-Baihaqi dengan beberapa sanad hasan.

2. Memperbanyak berdoa

Dan ketika Jumat datang, umat Muslim disunahkan untuk memperbanyak berdoa, tentu di hari lain pun dianjurkan untuk berdoa. Hanya, di hari jumat Rasulullah Muhammad SAW menyebutkan keutamaannya.

“Sesungguhnya pada hari Jumat terdapat waktu mustajab bila seorang hamba muslim melaksanakan shalat dan memohon sesuatu kepada Allah pada waktu itu, niscaya Allah akan mengabulkannya. Rasululllah mengisyaratkan dengan tangan beliau sebagai gambaran akan sedikitnya waktu itu” (H.R Muttafaqun Alaih).

3. Membaca Surat Al Kahfi

Dalam hadits Imam Muslim disebutkan:

“Barang siapa berwudhu kemudian memperbaiki wudhunya, lantas berangkat Jumat, dekat dengan Imam dan mendengarkan khutbahnya, maka dosanya di antara hari tersebut dan Jumat berikutnya ditambah tiga hari diampuni”. (HR. Muslim).

Muslim yang membaca surat al-Kahfi pada hari Jumat, ia akan dinanugi cahaya di antara dua Jumat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Barang siapa membaca surat al-Kahfi pada hari Jumat, maka Allah memberinya sinar cahaya di antara dua Jumat”.

Hadits tersebut diriwayatkan dan dishahihkan oleh imam al-Hakim.

Demikianlah keutamaan hari Jumat yang harus kita tahu. Namun masih banyak dalil-dalil yang menyebutkan keutamaan hari Jumat, jauh lebih banyak dari apa yang telah disebutkan di atas. Allahu A’lam. []

ISLAMPOS



Hukum Jual Beli ketika Shalat Jumat

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ashalatu was salaamu ‘ala rasulillah sayyidil mursalin,

Pembaca yang budiman, kita ketahui bersama bahwa shalat Jum’at adalah ibadah yang agung, yang diwajibkan bagi sebagian kaum Muslimin. Oleh karena itu dalam artikel ini akan kita bahas bagaimana hukum berjual-beli ketika shalat Jum’at sedang dilangsungkan.

Orang-orang yang diwajibkan shalat Jum’at

Shalat Jum’at hukumnya fardhu ‘ain bagi setiap Muslim yang berakal, kecuali :
1. wanita
2. budak
3. anak kecil
4. orang yang sakit. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

الجمعةُ حقٌّ واجبٌ على كلِّ مسلمٍ فبجماعةٍ إلاَّ أربعةً عبدٌ مملوكٌ أوِ امرأةٌ أو صبيٌّ أو مريضٌ

“Shalat Jum’at adalah wajib bagi setiap Muslim dengan berjama’ah kecuali empat orang: hamba sahaya, wanita, anak kecil, orang sakit” (HR. Abu Daud no. 1067, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).

5. Musafir

Abdullah bin Umar radhiallahu’anhu mengatakan:

ليس على مسافِرٍ جمعَةٌ

Tidak ada kewajiban shalat Jum’at bagi musafir” (HR. Ad Daruquthni 2/111, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’, no. 5404).

6. Semua orang yang memiliki kesulitan menghadiri shalat jama’ah di masjid
baik karena hujan, badai, kondisi mencekam, atau semacamnya. Berdasarkan keumuman hadits:

Dari Ibnu Umar radhiallahu’anhuma:

كَانَ يَأْمُرُ مُؤَذِّنًا يُؤَذِّنُ ، ثُمَّ يَقُولُ عَلَى إِثْرِهِ ‏‏: ” أَلَا صَلُّوا فِي ‏‏الرِّحَالِ ‏” فِي اللَّيْلَةِ الْبَارِدَةِ أَوْ الْمَطِيرَةِ فِي السَّفَرِ

“Dahulu Nabi memerintahkan muadzin adzan lalu di akhirnya ditambahkan lafadz /shalluu fii rihaalikum/ (shalatlah di rumah-rumah kalian) ketika malam sangat dingin atau hujan saat safar” (HR. Bukhari no. 616, Muslim no. 699).

Hukum jual-beli ketika shalat Jum’at

Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru untuk melaksanakan shalat pada hari Jum’at, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (QS. Al-Jumu’ah: 9).

Ayat ini dengan jelas melarang jual-beli ketika shalat Jum’at bagi orang yang diwajibkan shalat Jum’at. As Sa’di dalam Tafsir-nya mengatakan:

أي: اتركوا البيع، إذا نودي للصلاة، وامضوا إليها

“maksudnya tinggalkan jual-beli ketika adzan dikumandangkan, dan hendaknya pergi menuju shalat” (Taisir Karimirrahman, 825).

Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya mengatakan:

اتفق العلماء رضي الله عنهم على تحريم البيع بعد النداء الثاني

“Para ulama radhiallahu’anhum bersepakat haramnya jual-beli setelah adzan yang kedua”

Yaitu jika berpegang pada pendapat bahwa adzan Jum’at boleh dua kali. Adapun jika adzan Jum’at hanya sekali maka ketika adzan itu sudah tidak boleh berjual-beli. Ibnu Qudamah mengatakan:

والنداء الذي كان على عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم هو النداء عَقِيْب جلوس الإمام على المنبر ، فتعلق الحكم به دون غيره . ولا فرق بين أن يكون ذلك قبل الزوال أو بعده

“Adzan (shalat Jum’at) yang ada di zaman Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam hanyalah adzan setelah imam duduk di mimbar. Maka larangan jual-beli ini dikaitkan pada adzan tersebut bukan adzan yang lainnya. Dan tidak ada bedanya apakah itu sebelum zawal ataukah sesudah zawal” (Al-Mughni, 2/145).

Ringkasnya, ketika imam sudah naik mimbar lalu setelah itu dikumandangakan adzan maka berlakulah larangan jual-beli ketika itu.

Sahkah akad jual-belinya?

Ketika orang yang diwajibkan shalat Jum’at melakukan akad jual-beli, setelah khatib naik mimbar dan adzan, sahkah akadnya?

Ulama berbda pendapat dalam masalah ini dalam dua pendapat:

Pendapat pertama, akadnya sah. Ini pendapat Hanafiyah dan Syafi’iyyah. Karena larangan jual-beli di sini bukan pada dzat akadnya namun karena sebab lain yaitu bisa memalingkan orang dari shalat Jum’at.

Pendapat kedua, tidak sah akadnya, dengan dalil surat Al Jumu’ah ayat 9. Secara eksplisit, ayat tersebut menunjukkan tidak sahnya akad menurut mereka. Ini merupakan pendapat Malikiyyah dan Hanabilah.

Wallahu a’lam, yang kami pandang lebih kuat dalam hal ini adalah pendapat kedua. Karena larangan berjual-beli dalam hal ini adalah maani’ (penghalang) untuk sempurnanya akad. Sehingga akad tidak sah dengan adanya penghalang. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan:

الصحيح من العقود ما ترتبت اثاره على وجوده كترتب الملك على عقد البيع مثلا . ولا يكون الشيء صحيحا إلا بتمام شروطه و انتفاء موانعه

“Akad yang sah adalah yang bisa membuat berlakunya konsekuensi dari akad tersebut. Seperti konsekuensi kepemilikan dalam akad jual-beli misalnya. Dan akad tidak disebut sah kecuali dengan terpenuhinya syarat-syarat dan hilangnya mawani’ (penghalang)” (Al Ushul min ‘Ilmil Ushul, 13).

Oleh karena itu Syaikh Ibnu Al Utsaimin dalam masalah ini mengatakan:

إن البيع بعد نداء الجمعة الثاني حرام وباطل أيضا ، وعليه فلا يترتب عليه آثار البيع ، فلا يجوز للمشتري التصرف في المبيع ؛ لأنه لم يملكه ، ولا للبائع أن يتصرف في الثمن المعين ؛ لأنه لم يملكه ، وهذه مسألة خطيرة ؛ لأن بعض الناس ربما يتبايعون بعد نداء الجمعة الثاني ثم يأخذونه على أنه ملك لهم

“Jual-beli setelah adzan jum’at yang kedua hukumnya haram dan juga batal (tidak sah). Oleh karena itu semua konsekuensi dari jual-beli tidak terjadi. Maka tidak boleh seorang yang membeli barang ketika itu menjual barangnya, karena ia belum memilikinya. Dan tidak boleh juga yang menjual ketika itu mentransaksikan uang hasil penjualannya, karena ia tidak memilikinya. Ini masalah yang urgen, karena sebagian orang saling berjual-beli setelah adzan kedua dan mereka merasa uang dan barang (hasil jual-beli tadi) adalah miliknya” (Syarhul Mumthi’, 8/52).

Bolehkah orang-orang yang tidak wajib shalat Jum’at berjual beli

Dari penjelasan di atas kita ketahui bahwasanya yang terkena larangan jual-beli adalah orang-orang yang diwajibkan shalat Jum’at. Maka mafhumnya, orang-orang yang tidak wajib shalat Jum’at tidak terlarang melakukan jual-beli. Dengan syarat, kedua pihak yang melakukan jual-beli adalah orang-orang yang tidak diwajibkan shalat Jum’at. Seperti jual beli antara sesama wanita, antara wanita dengan musafir, antara anak kecil dengan wanita, dan semisalnya. Ibnu Qudamah mengatakan:

وتحريم البيع , ووجوب السعي , يختص بالمخاطبين بالجمعة , فأما غيرهم من النساء والصبيان والمسافرين , فلا يثبت في حقه ذلك ; فإن الله تعالى إنما نهى عن البيع من أمره بالسعي , فغير المخاطب بالسعي لا يتناوله النهي , ولأن تحريم البيع معلل بما يحصل به من الاشتغال عن الجمعة , وهذا معدوم في حقهم . وإن كان أحد المتبايعين مخاطبا والآخر غير مخاطب , حرم في حق المخاطب , وكره في حق غيره ; لما فيه من الإعانة على الإثم

“Pengharaman jual-beli dan wajibnya sa’yu (pergi menuju shalat), ini khusus bagi orang-orang yang diwajibkan shalat Jum’at. Adapun yang selain mereka, baik wanita, anak kecil, musafir, maka larangan tidak berlaku. Karena yang Allah larang untuk berjual-beli adalah orang-orang yang Allah perintahkan untuk pergi menuju shalat. Adapun yang tidak diperintahkan shalat maka tidak tercakup dalam larangan. Kemudian, larangan berjual-beli juga alasannya adalah karena ia dapat menyibukkan dari shalat Jum’at. Dan alasan ini tidak ada pada orang-orang yang tidak wajib shalat Jum’at. Adapun jika salah satu pihak yang bertransaksi adalah orang yang wajib shalat Jum’at sedangkan pihak yang lain tidak wajib. Maka hukumnya haram bagi orang yang diwajibkan tersebut. Dan makruh bagi yang tidak waijb karena terdapat unsur tolong-menolong dalam dosa” (Al Mughni, 2/73).

Maka hendaknya orang-orang yang tidak diwajibkan shalat Jum’at mereka memberi nasihat kepada orang-orang yang lalai dari shalat Jum’at padahal wajib atas mereka. Dan jangan membantu mereka dalam kelalaian dengan bertransaksi jual-beli dengan mereka.

Demikian paparan singkat mengenai jual-beli ketika shalat Jum’at, semoga bermanfaat.

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

***

Penulis: Yulian Purnama

MUSLIMorid

Hari Jumat di 10 Hari Awal Bulan Dzulhijjah yang Istimewa

Mengapa istimewa? Karena ada siang hari Jumat di bulan Dzulhijjah ini terkumpul dua keutamaan, yaitu keutamaan hari Jumat dan keutamaan siang hari 10 awal bulan Dzulhijjah. Mengenai keutamaan bulan hari Jumat, umumnya mayoritas kaum muslimin sudah mengetahuinya, akan tetapi bisa jadi banyak kaum muslimin yang belum mengetahui keutamaan 10 hari awal bulan Dzulhijjah, sehingga mereka menjalani hari-hari tersebut seperti biasa tanpa mengetahui keutamaannya.

Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan istimewanya hari Jumat pada bulan 10 awal bulan Dzulhijjah. Beliau berkata,

‏ويوم الجمعة في عشر ذي الحجة أفضل من الجمعة في غيره؛ لاجتماع الفضلين فيه

“Hari Jum’at pada 10 hari di (awal) Dzul Hijjah lebih afdhal dibandingkan hari Jum’at pada waktu yang lainnya, karena berkumpulnya dua keutamaan padanya.” [Fathul Bari 3/391]

Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Abbad Al-Badr hafidzahullah menjelaskan bahwa 10 awal bulan Dzulhijjah memiliki keistimewaan sebagaimana 10 hari akhir bulan Ramadhan,

أنّ العشر الأيام الأوّل من شهر ذي الحجة هي خير أيام السنة على الإطلاق ، والعشر الليالي الأخيرة من شهر رمضان هي خير ليالي السنة على الإطلاق

Sepuluh siang hari pertama bulan Dzulhijjah lebih baik dari hari-hari setahun secara mutlak dan sepuluh malam akhir bulan Ramadhan lebih baik dari malam setahun secara mutlak” [http://al-badr.net/detail/zVFpX7gDBA2K ]

Terlebih hari jumat tersebut berada pada 10 awal bulan Dzulhijjah, maka keutamaannya akan berlipat. Perhatikan keutamaan hari Jumat berikut:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُ يَوْمٍ طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ يَوْمُ الْجُمُعَةِ فِيهِ خُلِقَ آدَمُ وَفِيهِ أُدْخِلَ الْجَنَّةَ وَفِيهِ أُخْرِجَ مِنْهَا وَلاَ تَقُومُ السَّاعَةُ إِلاَّ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ

“Sebaik-baik hari di mana matahari terbit di saat itu adalah hari Jum’at. Pada hari ini Adam diciptakan, hari ketika ia dimasukan ke dalam Surga dan hari ketika ia dikeluarkan dari Surga. Dan hari Kiamat tidak akan terjadi kecuali pada hari Jum’at.”[HR. Muslim]

Beliau juga bersabda,

“أَضَلَّ اللهُ عَنِ الْجُمُعَةِ مَنْ كَانَ قَبْلَنَا فَكَانَ لِلْيَهُوْدِ يَوْمُ السَّبْتِ وَكَانَ لِلنَّصَارَى يَوْمُ الأَحَدِ فَجَاءَ اللهُ بِنَا فَهَدَانَا اللهُ لِيَوْمِ الْجُمُعَةِ”

“Allah memalingkan kaum sebelum kita dari hari Jum’at. Maka untuk kaum Yahudi adalah hari Sabtu, sedangkan untuk orang-orang Nasrani adalah hari Ahad, lalu Allah membawa kita dan menunjukan kita kepada hari Jum’at.’” [HR. Muslim]

Apa saja amalan yang dilakukan selama 10 awal bulan Dzulhijjah, terutama di hari jumatnya? Ibnul Qayyim menjelaskan,

وَالْأَفْضَلُ فِي أَيَّامِ عَشْرِ ذِي الْحِجَّةِ الْإِكْثَارُ مِنَ التَّعَبُّدِ ، لَاسِيَّمَا التَّكْبِيرُ وَالْتَهْلِيلُ وَالْتَحْمِيدُ 

“Yang utama pada 10 awal bulan Dzulhijjah adalah memperbanyak ibadah terutama takbir, tahlil, tahmid.” [Madarijus Salikin 1/110]

Syaikh Abdul Bin Baz menjelaskan juga,

فهذه العشر مستحب فيها الذكر، والتكبير، والقراءة، والصدقات، منها العاشر
أما الصوم لا، ليس العاشر منها، الصوم يختص بعرفة

 “Di 10 awal bulan Dzulhijjah ini disunnahkan berdzikir, bertakbir, membaca AlQuran, bersedekah, termasuk pada hari ke sepuluhnya. Adapun berpuasa, maka tidak dilakukan pada hari kesepuluh (boleh puasa pada 1-9 Dzulhijjah). Puasa sampai (khusus) pada hari Arafah saja.” [https://binbaz.org.sa/fatwas/17339]

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

MUSLIM.COM

Renungkan 7 Rahmat dalam Surat Al-Kahfi!

 Allah Swt Berfirman tentang Ashabul Kahfi :

(1).

إِذۡ أَوَى ٱلۡفِتۡيَةُ إِلَى ٱلۡكَهۡفِ فَقَالُواْ رَبَّنَآ ءَاتِنَا مِن لَّدُنكَ رَحۡمَةٗ وَهَيِّئۡ لَنَا مِنۡ أَمۡرِنَا رَشَدٗا

(Ingatlah) ketika pemuda-pemuda itu berlindung ke dalam gua lalu mereka berdoa, “Ya Tuhan kami. Berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah petunjuk yang lurus bagi kami dalam urusan kami.” (QS.Al-Kahfi:10)

(2).

فَأۡوُۥٓاْ إِلَى ٱلۡكَهۡفِ يَنشُرۡ لَكُمۡ رَبُّكُم مِّن رَّحۡمَتِهِۦ وَيُهَيِّئۡ لَكُم مِّنۡ أَمۡرِكُم مِّرۡفَقٗا

“Maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusanmu.” (QS.Al-Kahfi:16)

(3).

وَرَبُّكَ ٱلۡغَفُورُ ذُو ٱلرَّحۡمَةِۖ

“Dan Tuhanmu Maha Pengampun, memiliki kasih sayang.” (QS.Al-Kahfi:58)

Allah Swt Berfirman tentang Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir as :

(4).

فَوَجَدَا عَبۡدٗا مِّنۡ عِبَادِنَآ ءَاتَيۡنَٰهُ رَحۡمَةٗ مِّنۡ عِندِنَا وَعَلَّمۡنَٰهُ مِن لَّدُنَّا عِلۡمٗا

“Lalu mereka berdua bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan rahmat kepadanya dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan ilmu kepadanya dari sisi Kami.” (QS.Al-Kahfi:65)

(5).

فَأَرَدۡنَآ أَن يُبۡدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيۡرٗا مِّنۡهُ زَكَوٰةٗ وَأَقۡرَبَ رُحۡمٗا

“Kemudian kami menghendaki, sekiranya Tuhan mereka menggantinya dengan (seorang anak) lain yang lebih baik kesuciannya daripada (anak) itu dan lebih sayang (kepada ibu bapaknya).” (QS.Al-Kahfi:81)

(6).

إِلَّا رَحۡمَةٗ مِّن رَّبِّكَۚ إِنَّ فَضۡلَهُۥ كَانَ عَلَيۡكَ كَبِيرٗا

“Kecuali karena rahmat dari Tuhanmu. Sungguh, karunia-Nya atasmu (Muhammad) sangat besar.” (QS.Al-Isra’:87)

Allah Swt Berfirman tentang Zulkarnain :

(7).

قَالَ هَٰذَا رَحۡمَةٞ مِّن رَّبِّيۖ

Dia (Zulkarnain) berkata, “(Dinding) ini adalah rahmat dari Tuhanku.” (QS.Al-Kahfi:98)

Inilah 7 ayat Al-Qur’an yang membawakan tentang Rahmat Allah Swt di dalam Surat Al-Kahfi.

Bila kita renungkan, 7 ayat ini cukup sebagai pegangan dan keyakinan kita akan luasnya rahmat Allah pada 7 hari dalam seminggu.

Baginda Nabi Muhammad Saw bersabda :

مَن قَرَأَ سُورَةَ الكَهفِ فِي يومِ الجُمعةِ، أَضَاء له مِنَ النُّورِ مَا بَينَ الجُمعتَينِ

“Barangsiapa yang membaca Surat Al-Kahfi di hari Jum’at, maka Allah Swt akan memancarkan cahaya untuknya hingga Jum’at berikutnya.”

Semoga Bermanfaat …

KHAZANAH ALQURAN

Hukum Safar di Hari Jum’at

Dalam artikel kali ini akan dibahas menganai hukum bepergian jauh (safar) di hari Jum’at

2 Kondisi Safar di Hari Jum’at

Perlu diketahui bahwa ada dua kondisi (keadaan) safar di hari Jum’at, yaitu:

Pertama, safar yang dilakukan (berangkat) sebelum zawal (sebelum matahari bergeser ke arah barat).

Kedua, safar yang dilakukan setelah zawal dan sebelum shalat Jum’at didirikan.

Kondisi Pertama

Berangkat safar sebelum zawal di hari Jum’at

Safar yang dilakukan sebelum zawal di hari Jum’at, baik dilakukan pada waktu subuh atau pada waktu dhuha, maka hukumnya boleh menurut pendapat yang paling kuat dari dua pendapat ulama dalam masalah ini. 

Terdapat atsar dari ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, 

أَبْصَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَجُلًا عَلَيْهِ أُهْبَةُ السَّفَرِ، فَقَالَ الرَّجُلُ: إِنَّ الْيَوْمَ يَوْمُ جُمُعَةٍ، وَلَوْلَا ذَلِكَ لَخَرَجْتُ، فَقَالَ عُمَرُ: إِنَّ الْجُمُعَةَ لَا تَحْبِسُ مُسَافِرًا، فَاخْرُجْ مَا لَمْ يَحِنِ الرَّوَاحُ

“’Umar bin Khaththab melihat seseorang yang berada dalam kondisi hendak safar. Orang itu mengatakan, “Sesungguhnya hari ini adalah hari Jum’at. Seandainya hari ini bukan hari Jum’at, tentu aku akan berangkat safar.” ‘Umar kemudian mengatakan, “Sesungguhnya hari Jum’at itu tidaklah menahan seseorang dari safar. Berangkatlah selama sore hari belum tiba.” [1]

Dari Shalih bin Kaisan, beliau berkata,

أَنَّ أَبَا عُبَيْدَةَ خَرَجَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ، وَلَمْ يَنْتَظِرِ الْجُمُعَةَ

“Sesungguhnya Abu ‘Ubaidah berangkat safar di hari Jum’at dalam sebagian safar beliau, dan tidak menunggu shalat Jum’at.” [2]

Dari Al-Hasan, beliau berkata, 

لَا بَأْسَ بِالسَّفَرِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، مَا لَمْ يَحْضُرْ وَقْتُ الصَّلَاةِ

“Tidak masalah untuk safar di hari Jum’at, selama waktu shalat Jum’at belum tiba.” [3]

Atsar-atsar (riwayat) ini secara keseluruhan menunjukkan bolehnya safar pada hari Jum’at selama waktu shalat Jum’at belum tiba (belum masuk). Hal ini karena seseorang tidaklah diperintahkan untuk menghadiri shalat Jum’at sebelum ada panggilan adzan. 

Sebagian ulama melarang safar di hari Jum’at setelah terbit fajar, sampai dia mendirikan shalat Jum’at terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan beberapa atsar dari para salaf yang menunjukkan terlarangnya hal tersebut. Wallahu a’lam. [4]

Kondisi Kedua

berangkat safar setelah zawal di hari Jum’at

Adapun safar yang dilakukan setelah zawal (setelah matahari geser ke arah barat), maka hal ini terlarang bagi orang-orang yang memiliki kewajiban shalat Jum’at, sebelum dia menunaikan shalat Jum’at terlebih dahulu. Hal ini merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Alasannya, setelah zawal itu sudah masuk waktu shalat Jum’at, dan umumnya, imam shalat Jum’at itu sudah hadir di masjid ketika zawal. Sehingga, dengan sengaja safar setelah zawal, dia telah sengaja meninggalkan kewajiban shalat Jum’at. 

Juga berdasarkan firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Jumu’ah [62]: 9)

Sisi pendalilan dari ayat di atas, Allah Ta’ala memerintahkan untuk segera menuju shalat Jum’at dan meninggalkan jual beli. Karena aktivitas jual beli adalah sarana untuk menyibukkan diri di dalamnya sehingga menyebabkan lalai dan tidak mendatangi shalat Jum’at. Demikian pula, safar ketika sudah ada panggilan adzan Jum’at itu dilarang, karena akan menyebabkan seseorang tidak menghadiri shalat Jum’at. Dan mengaitkan hukum larangan ini dengan adanya adzan Jum’at itu lebih baik daripada mengaitkannya dengan zawal. [5]

Perlu diketahui bahwa tidak terdapat satu pun hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkaitan dengan safar pada hari Jum’at. [6] Adapun hadits-hadits yang berkaitan dengan hal itu, maka haditsnya dha’if sehingga tidak bisa dijadikan sebagai sandaran. Di antara hadits tersebut adalah hadits yang berisi doa malaikat bagi orang-orang yang safar di hari Jum’at bahwa para malaikat tidak akan menemani safarnya dan tidak akan tertunaikan tujuan safarnya, sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dan semakna dengannya adalah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. [7]

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

السفر يوم الجمعة إن كان بعد أذان الجمعة الثاني فإنه لا يجوز لقوله تعالى: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسَعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ [الجمعة:9] فلا يجوز للإنسان أن يسافر في هذا الوقت

“Safar di hari Jum’at, jika setelah adzan Jum’at yang kedua, maka tidak diperbolehkan berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al-Jumu’ah [62]: 9) Jadi, seseorang tidak boleh memulai safar di waktu tersebut.” [8]

Asy-Syaukani rahimahullah berkata setelah menyebutkan tentang berbagai pendapat ulama tentang hukum safar di hari Jum’at,

“Dzahirnya adalah bolehnya safar sebelum masuk waktu shalat Jum’at dan setelah masuk waktu shalat Jum’at, karena tidak ada larangan dalam masalah ini. Adapun hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah dan Ibnu ‘Umar, keduanya tidak layak dijadikan sebagai dalil adanya larangan tersebut. Karena telah diketahui kedha’ifannya dan bertentangan dengan dalil-dalil yang lebih kuat, juga bertentangan dengan hukum asal (yaitu boleh, pent.). Maka tidaklah hukum tersebut dipindah dari hukum asalnya (yaitu boleh, pent.) kecuali dengan dalil (yang berisi larangan) yang shahih. Dan dalil (larangan) tersebut, tidaklah ditemukan.

Adapun safar di waktu shalat Jum’at, maka dzahirnya adalah tidak diperbolehkannya hal itu bagi orang-orang yang memiliki kewajiban shalat Jum’at. Kecuali jika dikhawatirkan adanya mudharat jika dia menunda safar demi menghadiri shalat Jum’at, seperti tertinggal dari rombongan yang tidaklah mungkin bisa berangkat safar kecuali bersama rombongan tersebut. Juga ‘udzur-‘udzur lain yang mirip dengan hal itu. Syariat memperbolehkan tidak menghadiri shalat Jum’at karena adanya ‘udzur berupa hujan. Maka diperbolehkannya (tidak shalat Jum’at) karena hal-hal yang termasuk masyaqqah (kesulitan)tentu lebih layak lagi.” [9] 

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

والأحسن ألا يسافر إلا إذا كان يخشى من فوات رفقته أو مثل أن يكون موعد الطائرة في وقتٍ لا يسمح له بالحضور أو ما أشبه ذلك وإلا فالأفضل أن يبقى.

“Yang lebih baik adalah tidak safar (menjelang tibanya waktu shalat Jum’at), kecuali jika dikhawatirkan tertinggal dari rombongan, atau misalnya jam keberangkatan pesawat terbang di waktu yang tidak memungkinkan menghadiri shalat Jum’at, atau semacam itu. Jika tidak (dalam kondisi demikian), maka yang lebih afdhal adalah menunda keberangkatan.” [8]

Berdasarkan hal tersebut, maka hukum asalnya adalah terlarang safar ketika sudah masuk waktu shalat Jum’at. Namun dikecualikan jika hal itu menyebabkan dia tertinggal rombongan, atau tertinggal jadwal keberangkatan pesawat, atau udzur sejenis itu yang bisa menggugurkan kewajiban shalat Jum’at. Demikian pula, ketika memungkinkan baginya untuk shalat Jum’at di perjalanan, sebagaimana hal itu sangat memungkinkan di zaman ini, berbeda dengan safar-safar di zaman sebelumnya. [10]

[Selesai]

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55639-hukum-safar-di-hari-jumat.html

8 Amalan pada Hari Jumat Walau Shalat Jumat Ditiadakan

Walau shalat Jumat ditiadakan karena wabah corona (diganti shalat Zhuhur di rumah), tetap ada amalan-amalan yang bisa dilakukan pada hari Jumat. Di antaranya sebagai berikut disertai dalil.

Pertama: Membaca surah Al-Kahfi pada malam Jumat dan hari Jumat

Dalam hadits dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu disebutkan,

مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ الْعَتِيقِ

Barangsiapa yang membaca surah Al-Kahfi pada malam Jumat, dia akan disinari cahaya antara dia dan Kabah.” (HR. Ad-Darimi, 2:546. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih sebagaimana dalam Shahih Al-Jami’, no. 6471).

Juga dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ فِى يَوْمِ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ مَا بَيْنَ الْجُمُعَتَيْنِ

Barangsiapa yang membaca surah Al-Kahfi pada hari Jumat, dia akan disinari cahaya di antara dua Jumat.” (HR. Al-Baihaqi dalam Al-Kubra, 3:249. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih sebagaimana dalam Shahih Al-Jami’, no. 6470).

Kedua: Membaca Surah As-Sajdah dan Surah Al-Insan pada shalat Shubuh hari Jumat

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَقْرَأُ فِى الصُّبْحِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِ (الم تَنْزِيلُ) فِى الرَّكْعَةِ الأُولَى وَفِى الثَّانِيَةِ ( هَلْ أَتَى عَلَى الإِنْسَانِ حِينٌ مِنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْئًا مَذْكُورًا)

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca pada shalat Shubuh pada hari Jum’at “Alam Tanzil …” (surah As-Sajdah) pada raka’at pertama dan “Hal ataa ‘alal insaani hiinum minad dahri lam yakun syai-am madzkuro” (surat Al-Insan) pada raka’at kedua.” (HR. Muslim, no. 880)

Ketiga: Bersih-bersih diri pada hari Jumat seperti memotong kuku, memotong rambut, dan bersiwak

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Imam Syafii dan para ulama mazhab Syafiiyah rahimahumullah menegaskan dianjurkannya memotong kuku dan mencukur rambut-rambut di badan (kumis dan bulu kemaluan, pen.) pada hari Jumat.” (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 1:287)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah pernah memberikan keterangan, “Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya tentang memotong kuku. Beliau menjawab, ‘Dianjurkan untuk dilakukan di hari Jumat, sebelum matahari tergelincir.’ Beliau juga mengatakan, ‘Dianjurkan di hari kamis.’ Beliau juga mengatakan, ‘Orang boleh milih waktu untuk memotong kuku.’” Setelah membawakan pendapat Imam Ahmad, kemudian Al-Hafizh memberikan komentar, “(Pendapat terakhir) adalah pendapat yang dijadikan pegangan, bahwa memotong kuku itu disesuaikan dengan kebutuhan.” (Dinukil dari Tuhfah Al-Ahwadzi Syarh Sunan Tirmidzi, 8:33).

Keempat: Bershalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Dari Abu Umamah Al-Bahily radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَكْثِرُوا عَلَىَّ مِنَ الصَّلاَةِ فِى كُلِّ يَوْمِ جُمُعَةٍ فَإِنَّ صَلاَةَ أُمَّتِى تُعْرَضُ عَلَىَّ فِى كُلِّ يَوْمِ جُمُعَةٍ ، فَمَنْ كَانَ أَكْثَرَهُمْ عَلَىَّ صَلاَةً كَانَ أَقْرَبَهُمْ مِنِّى مَنْزِلَةً

Perbanyaklah shalawat kepadaku pada setiap Jum’at. Karena shalawat umatku akan diperlihatkan padaku pada setiap Jum’at. Barangsiapa yang banyak bershalawat kepadaku, dialah yang paling dekat denganku pada hari kiamat nanti.” (HR. Al-Baihaqi 3:249 dalam Sunan Al-Kubra. Hadits ini hasan ligoirihi –yaitu hasan dilihat dari jalur lainnya-).

Kelima: Melakukan shalat Dhuha

Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلاَمَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ : فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ ، وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ ، وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ ، وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ ، وَأَمْرٌ بِالمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ ، وَنَهْيٌ عَنِ المُنْكَرِ صَدَقَةٌ ، وَيُجْزِىءُ  مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى

Pada pagi hari, setiap ruas tulang salah seorang di antara kalian itu ada sedekahnya. Maka setiap tasbih (ucapan subhanallah) adalah sedekah, setiap tahmid (ucapan alhamdulillah) adalah sedekah, setiap tahlil (ucapan laa ilaha illallah) adalah sedekah, setiap takbir (ucapan Allahu Akbar) adalah sedekah, memerintahkan kepada kebaikan adalah sedekah, melarang dari kemungkaran adalah sedekah, dan yang mencukupkan dari semua itu adalah dua rakaat shalat Dhuha.” (HR. Muslim, no. 720)

Keenam: Melakukan shalat sunnah qabliyah dan bakdiyah Zhuhur

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia mengatakan,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَليِّ فِي بَيْتِي قَبْلَ الظُّهْر أَرْبَعاً، ثُمَّ يخْرُجُ فَيُصليِّ بِالنَّاسِ، ثُمَّ يدخُلُ فَيُصَليِّ رَكْعَتَينْ، وَكانَ يُصليِّ بِالنَّاسِ المَغْرِب، ثُمَّ يَدْخُلُ بيتي فَيُصليِّ رَكْعَتْينِ، وَيُصَليِّ بِالنَّاسِ العِشاءَ، وَيدْخُلُ بَيْتي فَيُصليِّ ركْعَتَيْنِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan shalat qabliyah Zhuhur empat rakaat di rumahnya. Kemudian beliau keluar, lalu shalat mengimami orang-orang, lalu masuk ke rumahku, kemudian melakukan shalat dua rakaat bakdiyah. Beliau pun melakukan shalat Maghrib mengimami orang-orang, kemudian memasuki rumahku, lalu melakukan shalat dua rakaat. Dan beliau mengerjakan shalat Isya mengimami orang-orang dan masuk ke rumahku, kemudian melakukan shalat dua rakaat. (HR. Muslim, no. 730)

Ketujuh: Berdoa pada hari Jumat

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang hari Jumat. Beliau bersabda,

فِيهَا سَاعَةٌ لاَ يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ ، وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي يَسْألُ اللهَ شَيْئاً ، إِلاَّ أعْطَاهُ إيّاهُ

Di dalamnya terdapat satu waktu yang tidaklah seorang hamba yang muslim tepat pada saat itu berdiri shalat meminta sesuatu kepada Allah, melainkan Allah pasti memberikan kepadanya.” Beliau pun mengisyaratkan dengan tangannya untuk menggambarkan sedikitnya (sebentarnya) waktu tersebut.” (HR. Bukhari, no. 935 dan Muslim, no. 852)

Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafizhahullah berkata, “Sudah sepantasnya seorang muslim berusaha untuk memperbanyak doa di hari Jum’at di waktu-waktu yang ada secara umum.” Lihat bahasan dalam Fiqh Ad-Du’a’, terbitan Maktabah Makkah, cetakan pertama, 1422 H, hlm. 46-48.

Kedelapan: Mencurahkan waktu untuk ibadah pada hari Jumat

Amalan-amalan ini kami peroleh dari @zadtv di Instagram (binaan Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid), lalu dikembangkan dengan dalil-dalil.

Semoga hari Jumat kita penuh berkah, walau hanya mengganti dengan shalat Zhuhur di rumah, tidak Jumatan di masjid karena sebab wabah yang semakin menyebar. 

Jangan lupakan doa-doa baik pada Allah pada hari Jumat, kita terus memohon semoga bala dan musibah ini segera terangkat.


Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/23699-8-amalan-pada-hari-jumat-walau-shalat-jumat-ditiadakan.html

Hari Jumat Hadiah Allah Bagi Umat Nabi Muhammad?

ADA yang bertanya, benarkah hari Jumat itu atas hadiah dari Allah untuk umat Muhammad saw? Ustaz Ammi Nur Baits menjawabnya sbb:

Allah berfirman,

“Sesungguhnya diwajibkan (menghormati) hari Sabtu atas orang-orang (Yahudi) yang berselisih padanya. Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar akan memberi putusan di antara mereka di hari kiamat terhadap apa yang telah mereka perselisihkan itu.” (QS. an-Nahl: 124).

Ibnu Katsir menjelaskan tafsir ayat ini: Allah menuntukan setiap penganut agama untuk memilih satu hari istimewa dalam sepekan. Hari untuk berkumpul bersama dalam rangka melakukan ibadah. Allah syariatkan untuk umat ini (umat Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam) agar mereka memuliakan hari Jumat. Karena itu hari keenam, di mana Allah sempurnakan makhluk-Nya. Dan itu nikmat sempurna bagi mereka.

Selanjutnya Ibnu Katsir menyebutkan keterangan sebagian ahli tafsir,

“Ada yang menyatakan bahwa Allah mensyariatkan kepada bani Israil melalui Musa untuk memuliakan hari Jumat. Namun mereka menolaknya dan memilih hari Sabtu. Mereka meyakini, di hari Sabtu, Allah tidak menciptakan makhluk apapun, karena telah Allah sempurnakan di hari Jumat. Akhirnya Allah tetapkan ibadah hari Sabtu itu sebagai kewajiban untuk mereka dalam Taurat. Allah wasiatkan agar mereka komitmen dengan hari Sabtu dan berusaha menjaganya. (Tafsir Ibnu Katsir, 4/612).

Demikian pula dengan Nasrani.Al-Hafdiz Ibnu Katsir melanjutkan keterangannya. Mereka terus konsisten dengan ibadah hari Sabtu, sampai Allah mengutus Isa bin Maryam. Selanjutnya ada banyak versi di sana. Ada yang mengatakan, Allah memindahkannya kepada hari Ahad. Ada yang mengatakan, mereka tidak meninggalkan syariat Taurat, selain beberapa hukum yang dihapus dengan Injil.

Mereka terus konsisten dengan hari Sabtu, hingga Allah mengangkat Isa. Kemudian, oleh orang Nasrani, itu diubah menjadi hari Ahad di zaman kerajaan Konstatinopel, agar berbeda dengan orang yahudi. Mereka juga melakukan salat menghadap ke Timur, ke arah batu di Timur Al-Aqsha. (Tafsir Ibnu Katsir, 4/612).

Karena itulah, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sangat membanggakan adanya hari Jumat. Karena berarti kita benar. Kita memuliakan hari Jumat, dan itu sesuai dengan apa yang Allah pilihkan. Sementara pilihan Yahudi dan Nasrani meleset.

Abu Hurairah Radhiyallahu anhu menceritakan: Ketika hari jumat, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah mengingatkan,

“Kita adalah umat terakhir namun pertama di hari kiamat. Kitalahyang pertama kali masuk surga. Meskipun mereka mendapatkan kitab suci sebelum kita dan kita mendapatkan kitab suci setelah mereka. Lalu mereka menyimpang dan kita ditunjukkan Allah kepada kebenaran dalam hal yang mereka perselisihkan. Inilah hari mereka yang mereka menyimpang darinya dan Allah tunjukkan kepada kita. Beliau bersabda lagi: Hari Jumat adalah hari kita dan esoknya hari Yahudi dan setelah besok adalah hari Nasrani.” (HR Muslim 2017).

Sudah selayaknya kaum Muslimin bersyukur dengan dijadikannya hari Jumat sebagai hari besar untuk mereka dalam setiap pekan. Saatnya memuliakan hari Jumat.[]

INILAH MOZAIK

Ternyata ini Makna Jumat bagi Kristen dan Hindu

BAGI yang beragama Nasrani, mereka mengenal Jumat Agung yakni hari Jumat sebelum Minggu Paskah. Hari yang diperingati untuk mengingat Penyaliban Yesus Kristus dan wafatnya di bukit Golgota (bukit Tengkorak) Jerusalem.

Meskipun dari sebagian literatur menyebutkan bahwa wafatnya Yesus jatuh pada hari Rabu tanggal 14 Nisan (kalender Yahudi). Satu hari menjelang hari Pesakh (Hari Paskah Yahudi).

Jumat dalam terminologi Hindu

Nama lain lagi untuk hari jumat ini adalah Sukra, yang diambil dari bahasa Sanskerta yang berarti planet Venus, mirip dengan pengertian dalam bahasa-bahasa di Eropa. Sukra (Sanskerta) dalam mitologi Hindu, adalah nama seorang acarya, dan merupakan salah satu graha di antara sembilan graha (Nawagraha), yang menguasai planet Venus dan hari Jumat (Sukrawara).

Menurut kitab Purana, ia adalah keturunan Resi Bregu. Istrinya adalah Jayanti, putri Indra. Ia memiliki seorang putri bernama Dewayani, yang kemudian menjadi istri Raja Yayati, keturunan Candra. Dalam mitologi Hindu, Sukra bergelar sebagai guru para raksasa, saingan Wrehaspati, guru para dewa. Konon Dia mengetahui mantra sakti yang disebut mertasanjiwani, mampu menghidupkan orang mati, meskipun jenazahnya telah menjadi abu. Mantra itu diperolehnya dari Sang Hyang Sangkara (Siwa), dan kemudian diturunkan kepada salah satu muridnya, Kaca, putra Wrehaspati.

Menurut mitologi Hindu, pada zaman dahulu kala, para raksasa seringkali berperang dengan para dewa. Banyak raksasa yang gugur dalam peperangan melawan para dewa. Sukracarya menjadi sedih karena hal tersebut. Kemudian ia bertapa memuja Sang Hyang Sangkara atau Dewa Siwa, dengan dilayani oleh putri Dewa Indra yang bernama Jayanti. Setelah melakukan tapa yang berat selama ribuan tahun, Siwa berkenan mengabulkan permohonan Sukracarya. Siwa memberikan sebuah mantra yang disebut mertasanjiwani, yang mampu digunakan untuk menghidupkan orang mati. Setelah menerima anugerah tersebut, Sukracarya menikah dengan Jayanti sebagai balas budi atas pelayanannya.

Sementara Sukracarya tidak melindungi para raksasa, para raksasa menginap di kediaman Resi Bregu, dengan maksud memperoleh perlindungan di sana. Selama berlindung, mereka menjalani kehidupan sebagai pertapa. Wrehaspati, guru para dewa memanfaatkan waktu tersebut dengan menyamar sebagai Sukracarya. Penyamaran tersebut tidak diketahui oleh para raksasa sehingga saat Sukracarya palsu datang, mereka melayaninya dengan sangat baik seolah-olah mereka sedang melayani Sukracarya asli. Ketika Sukracarya asli datang, para raksasa terkejut sebab mereka merasa bahwa ada dua Sukracarya. Keadaan fisik keduanya persis sama sehingga sulit dibedakan. Saat para raksasa diminta menentukan siapa Sukracarya yang asli, mereka menunjuk Sukracarya yang palsu, sebab mereka sudah melayani orang tersebut dengan baik selama sepuluh tahun, sebelum kedatangan Sukracarya yang asli. Hal itu membuat Sukracarya yang asli marah. Lalu ia mengutuk para raksasa bahwa kaum mereka akan hancur. Setelah mengucapkan kutukan tersebut, Sukracarya yang palsu kembali ke wujudnya semula, yaitu Wrehaspati. Kemudian Wrehaspati melesat ke angkasa dengan perasaan lega karena kaum raksasa akan hancur akibat kutukan guru mereka sendiri.

Jumat dalam Mitologi Nordik

Dalam Mitologi Nordik, Frigg atau Frigga adalah istri Dewa Odin. Ia bergelar: Ratu para sir, pemimpin para Dewi, Dewi Kasih Sayang, Dewi Kesuburan, Dewi Rumah Tangga, Dewi Perkawinan, dan Dewi Langit.

Dia punya kemampuan meramal namun ia tidak menceritakan apa yang ia ketahui. Anak-anaknya bernama: Balder, Hodhr, dan Wecta. Anak-anak tirinya bernama: Hermodhr, Heimdall, Tyr, Vidar, Vali, Skjoldr. Thor adalah saudaranya sekaligus anak tirinya. Nama Frigg berarti cinta atau yang tersayang (bahasa Proto-Jerman: frijj; atau dalam bahasa Sanskerta: priy; yang tersayang).

Balairung Frigg di sgard bernama Fensalir yang berarti Balairung Rawa. Mungkin tempat berawa-rawa terkesan sakral untuknya namun tidak diketahui batasan yang jelas. Saga, Dewi yang diceritakan minum bersama Odin dengan cangkir emas di balairungnya, Bangku Cekung, mungkin adalah Frigg dengan nama lain. [akarnews]

INILAH MOZAIK