Idul Fitri; Kembali Pada Fitrah Manusia

Bila tak ada aral melintang, Rabu (12/5) umat Islam akan merayakan Idul Fitri. Saban Idul Fitri sebagai manusia kita dituntut untuk memahami pelbagai pesan moral yang terkandung di dalamnya. Idul Fitri sejatinya momentum untuk kembali ke fitrah manusia.

Idul Fitri terdiri dari dua suku kata; id dan al fitri. Adapun kata id berasal dari kata a’ud—kata memiliki makna kembali—, lebaran diidentik dengan kembali. Ada yang kembali mudik, ada juga yang arti kembali, yakni tiap tahun datang kembali.

Sementara itu, kata fitri—jamak disebut fitrah—, memiliki makna sifat awal tercipta manusia, tanpa ada setitik noda pun. Maka sejatinya, Fitri adalah kembali pada fitrah. Seorang yang fitri adalah  ia yang kembali pada esensi dasar manusia. Tak ada dosa. Tak kenal sumber dosa. Polos bak kertas putih belum tercemar noda tinta. Itulah manusia fitri.

Berangkat dari pengertian di atas, maka Idul Fitri sejatinya adalah kembalinya manusia kepada sifat dasarnya, ketika ia pertama diciptakan oleh Tuhan yang Maha Kuasa. Sifat lahiriyah manusia; tak berdosa, suci, dan bersih.

Pada sisi lain, Sufi besar Al Hallaj menyebutkan bahwa dalam diri manusia ada sifat; nasuth dan lahut. Sifat nasuth merupakan sifat insani yang tertanam dalam diri manusia sejak azali. Ia adalah sikap yang melekat dalam diri manusia. Sifat nasuth membuat manusia layaknya manusia biasa; makan, minum, pergi ke pasar, ingin kaya, ingin punya jabatan.

Sedangkan sifat lahut dalam pengertian manusia sejatinya memiliki sifat dasar ke-Tuhanan (lahut). Sifat lahut ini menjelma dalam diri manusia. Manusia akan memiliki kemuliaan tatkala sifat lahut ini mendominasi dalam dirinya. Seperti Maha Pengasih, Maha Pemurah, dan Maha cinta.

Idul Fitri ini sejatinya mengembalikan sifat lahut, yang ada dalam diri manusia. Pertarungan melawan nafsu birahi dan sifat kemanusiaan—selama puasa dalam diri manusia— hendaknya membawakan hasil, berupa kembalinya manusia kepada sifat aslinya.

Sementara itu, menurut Profesor KH. Ali Musthafa Yaqub dalam Islam Masa Kini, sifat asli manusia salah satunya pengabdi kepada Allah. Dalam Al-Qur’an Q.S al Dzariyat ayat 56 Allah berfirman;

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Artinya; Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.

Mengabdi kepada Allah taat adalah perwujudan dari pada iman manusia kepada-Nya. Iman yag tertanam dalam jiwa manusia. Pasalnya, manusia pada dasarnya adalah makhluk beriman. Keimanan manusia itu sudah terpatra sejak azali. Keimanan itu merupakan perjanjian primordial manusia dan Tuhan.

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَافِلِينَ

Artinya; Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”,

Pada ayat tergambar karakter dasar manusia; pengabdi pada Allah. Perjanjian primordial antara manusia dan Tuhan mengidinkasikan bahwa manusia adalah makhluk yang suci, taat, dan beriman. Dalam alam azali manusia telah berikhtiar dan mengaku bahwa Allah adalah pencipta dan Tuhannya.

Namun semua itu buyar, tatkala ruh bertemu jasad. Saat ruh yang suci, bercampur-baur dengan jasad, kemudian menghirup noda dunia, manusia menjadi makhluk asing. Pasalnya, ruh masih tetap pada watak asalnya; suci, pengabdi, taat. Sementara jasad manusia, telah terkontaminasi dengan pelbagai kenikmatan duniawi yang bersifat sesaat.

Dalam kondisi ini terjadi pertarungan. Saling tarik menarik antara ruh dan jasad. Terkadang ruh yang menang. Bila ruh yang dominan, manusia ingat akan perjanjian azali nya dengan Tuhan. Ia menjadi manusia taat. Pada sisi lain, terkadang jasad yang lebih dominan. Manusia lupa akan fitrahnya. Terjebak dalam luapan dosa.

Bulan Ramadhan adalah medium untuk mengembalikan manusia pada fitrah awal. Ramadhan sarana untuk menjaga manusia untuk kembalipada sifat aslinya. Dalam bulan Ramadhan, jasad manusia dilatih agar tunduk pada perintah Allah. Pendek kata, Ramadhan merupakan upaya mengembalikan manusia pada sifat asli, yakni fitri.

Momentum Idul Fitri ini diharapkan manusia mampu memahami jati dirinya sebagai insan Tuhan. Lebih jauh lagi, Idul Fitri diharapkan menjadi tongggak agar manusia mampu mereformasi dirinya,agar kembali menjadi manusia sejati. Tak tenggelam dalam lautan dunia tak bertepi. Dengan Idul Fitri ini pula, menjadi momentum untuk menjadi manusia yang berkualitas di hadapan Allah dan manusia lain.

Demikian penjelasan Idul Fitri; kembali pada fitrah manusia. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Tuntunan Hari Raya dan Takbiran

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum
Ana mau tanya bagaimana tuntunan dalam berhari raya? Bagaimana juga tuntunan mengumandangkan takbir?

Jawaban Ustadz:

Adapun berkenaan dengan tuntunan berhari-raya dapat kami simpulkan sebagai berikut di bawah ini dari kumpulan beberapa kitab dan risalah berkenaan masalah 2 hari raya:

Pertama, Bersuci dengan mandi untuk hari raya, berdasarkan riwayat dari Nafi’ bahwa Abdullah Bin Umar mandi di hari raya ‘Idul Fitri sebelum berangkat ke Musholla (tanah lapang untuk sholat) (HR. Imam Malik)

Kedua, Makan pada hari raya ‘Idul Fitri sebelum melaksanakan sholat dan tidak makan di hari raya ‘Idul Adha sampai selesai sholat, hal ini berdasarkan hadits dari Anas Bin Malik beliau berkata, “Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berangkat pada hari ‘Idul Fitri sampai beliau memakan beberapa butir kurma.” (HR. Bukhari), dan riwayat lain dari Buraidah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari raya Idul Adha tidak makan sampai kembali, lalu makan dari sembelihan kurbannya (HR. Tirmidzi)

Ketiga, berhias dan mempercantik diri dengan memakai pakaian yang terbaik yang ada serta memakai minyak wangi dan bersiwak, sebagaimana Ibnul Qoyyim di dalam Zaadul Ma’ad (I/441) menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki Hullas (sebuah jenis pakaian khusus) untuk berhari raya.

Keempat, disunahkan berangkat dengan berjalan kaki, tenang dan santai ke Musholla (tanah lapang), dan pulang melewati jalan yang lain, berdasarkan perkataan Imam Sa’id bin Mussayib, “Sunah Idul Fitri ada tiga: berangkat ke Musholla, makan sebelum berangkat dan mandi.” Ibnul Qoyyim di dalam Zaadul Ma’ad ( I/449) berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dengan berjalan kaki dan keluar melalui jalan yang berbeda pada hari raya.” (Riwayat Al-Firyabi dengan sanad shahih lihat Irwaul Gholil 2/104)

Adapun masalah tuntunan mengumandangkan takbir dalam hal ini kami jelaskan dulu tentang jenis-jenis takbir, bahwa takbir terdiri dari 2 jenis yaitu Takbir Mutlak (bebas) dan Takbir Muqoyyad (terikat). Takbir Mutlak menurut pendapat yang rajih (kuat), disyaratkan pada dua malam hari raya sampai selesai khutbah demikian juga disyaratkan di 10 hari pertama bulan Zulhijah sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Qudamah di dalam Al Mughni (3/256) berkenaan takbir di malam dua hari raya dimulai dari melihat hilal bulan syawal (jika memungkinkan dan jika tidak maka dimulai dari sampai berita ‘Id melalui cara yang benar atau dengan terbenamnya matahari tanggal 30 Ramadhan), sedangkan pada malam ‘Idul Adha mulai dari terbenamnya matahari tanggal 9 Dzulhijjah, sebagaimana Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskannya, “Pendapat yang rajih dalam masalah takbir yang menjadi amalan mayoritas salaf dan ahli fikih dari kalangan sahabat dan para imam adalah bertakbir dari fajar hari Arafah sampai akhir hari tasyrik setelah sholat, disyaratkan bagi setiap orang mengeraskan takbirnya ketika keluar dari sholat ‘Id dan inilah kesepakatan dari 4 imam mazhab. Adapun takbir Idul Fitri dimulai dari melihat hilal dan berakhir dengan selesainya ‘Ied yaitu selesainya imam dari khutbah menurut pendapat yang benar.” (Lihat Majmu Fatawa XXIV/220-221).

***

Penanya: Partono
Dijawab oleh: Ust. Jundi Abdullah, Lc.
(Staf Pengajar Islamic Centre Bin Baz)

Sumber: muslim.or.id

Read more https://konsultasisyariah.com/335-tuntunan-hari-raya-dan-takbiran.html