Melawan Hawa Nafsu adalah Jalanmu Menuju Surga

Allah Swt telah menjelaskan pada setiap hamba-Nya bahwa jalan keselamatan dari api neraka hanya bisa di lalui dengan berjihad melawan hawa nafsu dan tidak menuruti dorongan keinginan syahwatnya.

وَأَمَّا مَنۡ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِۦ وَنَهَى ٱلنَّفۡسَ عَنِ ٱلۡهَوَىٰ – فَإِنَّ ٱلۡجَنَّةَ هِيَ ٱلۡمَأۡوَىٰ

“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya, maka sungguh, surgalah tempat tinggal(nya).” (QS.An-Nazi’at:40-41)

Seorang mukmin sejati adalah yang selalu memiliki rasa takut dalam hatinya dan selalu memikirkan akibat di balik permintaan hawa nafsunya.

Mengabaikan dorongan hawa nafsu memang sangat berat namun layaknya obat yang pahit, kesulitan dan kepahitan itu akan membawa pada keselamatan dan kebahagiaan.

Lalu apa yang bisa membantu kita untuk melawan hawa nafsu?

1. Meningkatkan pengenaln kita terhadap Allah Swt. Sehingga kita tau bagaimana posisi kita dihadapan Sang Pencipta sehingga memiliki rasa takut kepada-Nya dan khawatir akan siksa-Nya.

2. Selalu mengingat dan memikirkan kematian. Bahwa ajal itu sangatlah dekat dan bisa datang kapan saja.

Seringlah mengingat bagaimana nasib kita kelak sendirian di alam kubur. Lalu dibangkitkan dan dihadapkan dalam Mahkamah Allah Swt. Untuk dimintai pertanggung jawaban atas semua amal perbuatan kita di dunia.

Lalu darisana lah hasil rapot kita akan muncul, apakah kita akan dituntun menuju surga atau dihempaskan ke neraka.

Seorang hamba yang mengenal Allah dan takut kepada-Nya tidak akan berani melawan Allah dengan bermaksiat kepada-Nya. Namun terkadang ia tergelincir dalam kesalahan namun ia segera menyesali kekhilafan manusiawinya dan segera kembali kepada Allah.

Sebenarnya, hanya ada dua jalan dan tidak ada jalan ketiga.

Jalan istiqomah dalam mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya. Dan ini adalah kehidupan yang sesungguhnya dan kebahagiaan yang sebenarnya.

Dan yang kedua adalah jalan mengikuti desakan hawa nafsu dan kelalaian.

Allah Swt berfirman :

ثُمَّ جَعَلۡنَٰكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٖ مِّنَ ٱلۡأَمۡرِ فَٱتَّبِعۡهَا وَلَا تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَ ٱلَّذِينَ لَا يَعۡلَمُونَ

“Kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad) mengikuti syariat (peraturan) dari agama itu, maka ikutilah (syariat itu) dan janganlah engkau ikuti keinginan orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS.Al-Jatsiyah:18)

فَإِن لَّمۡ يَسۡتَجِيبُواْ لَكَ فَٱعۡلَمۡ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهۡوَآءَهُمۡۚ وَمَنۡ أَضَلُّ مِمَّنِ ٱتَّبَعَ هَوَىٰهُ بِغَيۡرِ هُدٗى مِّنَ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلظَّٰلِمِينَ

“Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), maka ketahuilah bahwa mereka hanyalah mengikuti keinginan mereka. Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti keinginannya tanpa mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun? Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.”
(QS.Al-Qashash:50)

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Bahaya Hawa Nafsu: Ini Kiat Mengendalikannya

SECARA common sense (akal sehat) kita tahu bahayanya seseorang mengikuti hawa nafsu. Bahkan pada tingkatan tertentu seseorang akan bisa terjatuh ke dalam syirik akbar karena ia memperbudakkan dirinya kepada hawa nafsu dan menyembahnya.

Nah, bagaimana cara mudah agar selamat dari penyembahan hawa nafsu tersebut? Ustaz Said Abu Ukasyah memberikan dua kiat berikut semoga bisa membantu Anda.

Kiat umum mengendalikan nafsu

1. Konsultasikan kepada dua “Dewan Pertimbangan Jiwa”, yaitu Agama Islam dan Akal Sehat sebelum melangkah

Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah berkata, “Tatkala seorang yang sudah baligh diuji dengan hawa nafsu, tidak seperti binatang (yang tidak diuji dengannya), dan setiap waktu ia menghadapi gejolak hawa nafsu, maka dianugerahkan kepadanya dua penentu keputusan, yaitu agama Islam dan akal sehat. Ia pun selalu diperintahkan untuk mengkonsultasikan gejolak hawa nafsu yang dihadapi kepada dua penentu keputusan tersebut dan tunduk kepada keduanya”.

Maksudnya, ulama sudah menjelaskan bahwa setiap kali seseorang menghadapi suatu masalah, sebelum mengambil langkah, ia tertuntut untuk muhasabah (introspeksi) diri, agar bisa memutuskan langkah yang tepat, yaitu langkah yang diridhai oleh Allah Taala.

Untuk bisa memutuskan langkah yang tepat, maka haruslah dikonsultasikan terlebih dahulu kepada penentu keputusan yang asasi, yaitu syariat Islam, ia harus menimbang keputusan yang akan diambilnya dengan tinjauan syariat Islam, dan ia gunakan akal sehatnya agar bisa memahami syariat Islam dengan baik, mengokohkan keimanannya, dan membantunya dalam mempertimbangkan maslahat dan mudharat yang ada.

Jika sebuah alternatif keputusan sesuai dengan syariat Islam dan akal sehatnya, maka diambillah keputusan tersebut, namun jika tidak, maka ditinggalkannya. Dan ketahuilah bahwa agama Islam pastilah selaras dengan akal sehat (yaitu akal yang lurus dan sesuai dengan fitrah), keduanya tidaklah mungkin bertentangan.

Orang yang tidak sudi menghambakan hatinya kepada hawa nafsu adalah orang yang selalu menimbang suatu masalah dengan tinjauan syariat dan akal sehat. Dengan keduanya ia kendalikan hawa nafsunya

2. Anda galau? Jauhilah apa yang paling disukai hawa nafsu Anda

Sebagian Salafus Saleh berkata,

“Jika Anda bimbang menghadapi dua alternatif pilihan keputusan, Anda tidak tahu mana yang paling bahaya, maka tinggalkanlah sesuatu yang paling dekat/disukai hawa nafsumu, karena sikap yang terdekat dengan kesalahan itu ada pada mengikuti hawa nafsu”.

Tidak jarang dikarenakan minimnya ilmu syari yang dimiliki seseorang dan kelemahan akal sehatnya, maka di dalam memutuskan suatu perkara, ia menemui kesulitan.

Ia bingung ketika menghadapi dua alternatif pilihan keputusan, mana yang harus diambil, padahal, ia harus mengambil keputusan sekarang juga, tidak ada satupun orang alim yang bisa dihubungi ketika itu. Maka sebagian salaf sudah memberikan resep mudah kepada kita, yaitu tinggalkanlah sesuatu yang paling dekat dengan hawa nafsumu atau paling disukai hawa nafsumu! Dan pilihlah sebuah keputusan yang terjauh dari hawa nafsumu.

Mengapa demikian? Rahasianya terdapat dalam ucapan Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah rahimahullah berikut ini, “Ketika sikap yang sering terjadi pada orang yang mengikuti hawa nafsu, syahwat dan amarah adalah tidak bisa berhenti sampai pada batas mengambil manfaat saja (darinya), karena itulah (banyak) disebutkan nafsu, syahwat, dan amarah dalam konteks yang tercela, karena dominannya bahaya yang ditimbulkannya (dan) jarang orang yang mampu bersikap tengah-tengah dalam hal itu (mengatur nafsu, syahwat, dan amarahnya- pent)”. Wallahu alam. []

Sumber: Asbabut Takhallaush minal hawa karangan Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah rahimahullah

INILAH MOZAIK

Tundukan Hawa Nafsu Demi Ikut Dalil

Orang-orang yang beriman meyakini Al Qur’an dan As Sunnah adalah kebenaran hakiki, tidak ada keraguan di dalamnya. Maka wajib menundukkan hawa nafsu untuk tunduk kepada kebenaran yang hakiki tersebut.

 

Al Qur’an dan As Sunnah adalah kebenaran

Al Qur’an adalah petunjuk bagi manusia. Allah Ta’ala berfirman:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ

“bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)” (QS. Al Baqarah: 185).

Jika Al Qur’an adalah petunjuk, maka ia pasti benar. Tidak mungkin Allah Ta’ala memberikan manusia petunjuk yang simpang-siur dan tidak mutlak benarnya. Tidak ada keraguan tentang kebenaran Al Qur’an. Allah Ta’ala berfirman:

ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ

“Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa” (QS. Al Baqarah: 2).

Selain Al Qur’an, Allah juga menjadikan As Sunnah sebagai petunjuk, Allah Ta’ala berfirman:

وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَمَا أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِنَ الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ يَعِظُكُمْ بِهِ

“dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu” (QS. Al Baqarah: 231).

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

تركتُ فيكم أمريْنِ لن تضلُّوا ما تمسَّكْتُم بهما : كتابَ اللهِ وسُنَّةَ رسولِه

“Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara yang membuat kalian tidak akan sesat jika berpegang teguh padanya: Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya” (HR. Malik 2/889, dihasankan Al Albani dalam Takhrij Al Misykah no. 184).

 

Solusi Dari Semua Masalah Adalah Kembali Pada Al Qur’an dan As Sunnah

Jika Al Qur’an dan As Sunnah adalah petunjuk bagi manusia, maka keduanya juga merupakan solusi dari semua masalah dan perselisihan di dunia ini. Allah Ta’ala berfirman:

يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An Nisa: 59).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

“Karena barangsiapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang pada sunnah-ku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin yang mereka itu telah diberi petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian” (HR. At Tirmidzi no. 2676. ia berkata: “hadits ini hasan shahih”).

 

Bahkan solusi untuk menggapai kemenangan dan kejayaan adalah kembali kepada ajaran Al Qur’an dan As Sunnah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إذا تبًايعتم بًالعينة وأخذتم أذناب البقر ، ورضيتم بًالزرع ، وتركتم الجهاد سلط الله عليكم ذلا لا ينزعه حتى ترجعوا إلى دينكم

“Jika kalian berjual beli dengan sistem inah (riba), dan kalian berpegang pada ekor-ekor sapi, dan kalian ridha para pertanian, sehingga kalian tinggalkan jihad, maka Allah akan timpakan kehinaan pada diri kalian, hingga kalian kembali pada agama kalian” (HR. Abu Daud no. 3462, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 11).

Tundukkan Opini, Selera dan Hawa Nafsu Demi Ikuti Dalil

Agar Al Qur’an dan As Sunnah menjadi petunjuk dan solusi dari semua masalah, maka kita perlu tunduk dan mengalahkan hawa nafsu kita demi mengikuti keduanya. Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka” (QS. Al Ahzab: 36).

 

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Hanya ucapan orang-orang beriman, yaitu ketika mereka diajak menaati Allah dan Rasul-Nya agar Rasul-Nya tersebut memutuskan hukum diantara kalian, maka mereka berkata: Sami’na Wa Atha’na (Kami telah mendengar hukum tersebut dan kami akan taati). Merekalah orang-orang yang beruntung (QS. An Nuur: 51)

Dalam hadits dari Abdullah bin Amr bin Al Ash radhiallahu’anhu, diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

لا يؤمنُ أحدُكم حتَّى يكونَ هواه تبعًا لما جئتُ به

“Tidak beriman seseorang sampai hawa nafsunya ia tundukkan demi mengikuti apa yang aku bawa” (HR. Ibnu Abi Ashim 15, Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir, dishahihkan oleh An Nawawi, Adz Dzahabi, Ahmad Syakir. Didhaifkan oleh Ibnu Rajab, Al Albani. Dan ini pendapat yang rajih, namun maknanya shahih).

Demikianlah sikap para sahabat Nabi terhadap Al Qur’an dan Sunnah, mereka tunduk dan pasrah walaupun memiliki opini lain. Dari Rafi bin Khadij radhiallahu’anhu, ia berkata:

نَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَمْرٍ كَانَ لَنَا نَافِعًا وَطَوَاعِيَةُ اللَّهِ وَرَسُولِهِ أَنْفَعُ لَنَا

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah melarang sesuatu yang kami anggap lebih bermanfaat. Namun taat kepada Allah dan Rasul-Nya tentu lebih bermanfaat bagi kami” (HR. Muslim, no. 1548).

 

Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata:

أجمع الناس على أن من استبانت له سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يكن له أن يدعها لقول أحد من الناس

“Para ulama bersepakat bahwa jika seseorang sudah dijelaskan padanya sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak boleh ia meninggalkan sunnah demi membela pendapat siapapun” (Diriwayatkan oleh Ibnul Qayyim dalam Al I’lam 2/361. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 28).

Wajib kita tundukkan semua opini, ide, pendapat, selera dan perasaan demi mengikuti Al Qur’an dan As Sunnah. Jika kita memang ingin menjadikan Al Qur’an dan As Sunnah sebagai petunjuk bagi hidup kita dan ingin menemukan solusi dari semua permasalahan yang kita hadapi.

 

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/47063-tundukan-hawa-nafsu-demi-ikut-dalil.html

Cara Paling Ampuh Menolak Bisikan Nafsu !

Salah satu fungsi terpenting dari Al-Qur’an adalah menjadi obat dan penyembuh untuk mengobati berbagai penyakit. Al-Qur’an datang dengan resep-resep ampuh yang mampu membasmi semua penyakit. Karena setiap penyakit baik itu menimpa fisik ataupun maknawi seseorang, pasti ada obatnya.

Al-Qur’an selalu memberikan cara yang simpel ketika memberi resep atau solusi bagi seseorang yang sedang sakit.

Pertama, Al-Qur’an seringkali memberikan penanganan cepat sebelum penyakit itu menjalar semakin dalam. Bahkan Al-Qur’an telah memberi resep-resep ampuh sebagai pencegahan sebelum penyakit itu menimpa seseorang.

Kedua, Al-Qur’an selalu memberikan resep dan solusi yang mudah sehingga setiap orang mampu untuk mendapatkannya.

Sebagai contoh ketika dorongan nafsu begitu dahsyat dan syahwat sedang bergejolak menggiring seseorang untuk berbuat maksiat, maka disaat itulah Al-Qur’an memberi satu obat yang mampu meredam gejolak tersebut. Obat itu adalah memohon perlindungan kepada Allah swt!

Memohon perlindungan kepada Allah artinya sebesar apapun dorongan syahwat yang ingin menguasai kita, yakinilah bahwa tidak ada kemampuan yang kita miliki kecuali atas kehendak-Nya.

Allah swt memberi beberapa contoh dalam Al-Qur’an :

1. Ketika Jibril datang berbentuk manusia untuk menemui Maryam as, spontan beliau berlindung kepada Allah swt :

قَالَتۡ إِنِّيٓ أَعُوذُ بِٱلرَّحۡمَٰنِ مِنكَ إِن كُنتَ تَقِيّٗا

Dia (Maryam) berkata, “Sungguh, aku berlindung kepada Tuhan Yang Maha Pengasih terhadapmu, jika engkau orang yang bertakwa.” (QS.Maryam:18)

2. Ketika Zulaikha mempersiapkan berbagai skenario untuk menggoda Nabi Yusuf as, spontan beliau berlindung kepada Allah swt :

قَالَ مَعَاذَ ٱللَّهِۖ إِنَّهُۥ رَبِّيٓ أَحۡسَنَ مَثۡوَايَۖ إِنَّهُۥ لَا يُفۡلِحُ ٱلظَّٰلِمُونَ

Yusuf berkata, “Aku berlindung kepada Allah, sungguh, tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.” Sesungguhnya orang yang zhalim itu tidak akan beruntung.” (QS.Yusuf:23)

Dalam setiap keadaan, ketika syahwat sedang merongrong kita maka segeralah berlindung kepada Allah swt !

وَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ ٱلشَّيۡطَٰنِ نَزۡغٞ فَٱسۡتَعِذۡ بِٱللَّهِۚ إِنَّهُۥ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Dan jika setan datang menggodamu, maka berlindunglah kepada Allah. Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS.Al-A’raf:200)

إِنَّ ٱلَّذِينَ ٱتَّقَوۡاْ إِذَا مَسَّهُمۡ طَٰٓئِفٞ مِّنَ ٱلشَّيۡطَٰنِ تَذَكَّرُواْ فَإِذَا هُم مُّبۡصِرُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa apabila mereka dibayang-bayangi pikiran jahat (berbuat dosa) dari setan, mereka pun segera ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat (kesalahan-kesalahannya).” (QS.Al-A’raf:201)

Inilah obat yang paling mujarab ketika nafsu, syahwat dan godaan setan sedang memaksa kita untuk menuruti keinginan kotornya. Segeralah berlindung kepada Allah swt dan mohonlah kekuatan dari-Nya untuk melawan berbagai bisikan itu!

Semoga bermanfaat…

 

KHAZANAH ALQURAN

Pengontrol Akal dan Hawa Nafsu

MANUSIA adalah makhluk Allah yang Allah ciptakan dengan sempurna. Disamping dibekali akal, manusia juga diberi hawa nafsu. Dengan adanya akal, manusia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Dan dengan adanya nafsu, maka manusia punya cinta keinginan terhadap sesuatu dan kemudian melakukan upaya mewujudkan keinginannya.

Akal dan nafsu yang melengkapi manusia, dapat menjadi kebaikan bagi dirinya. Yakni apabila akal dan nafsu tunduk pada kebenaran (alhaq). Namun akan menjadi bumerang, akan menyebabkan diri manusia celaka di dunia dan akhirat, yakni apabila manusia mengunggulkan akal dan mendahulukan nafsunya, sementara alhaq ia taruh di belakang punggungnya.

Syetan menjerumuskan manusia dari alhaq menuju kepada kesesatan dengan mengalihkan akal dan nafsunya. Terhadap akal manusia, setan menyuguhkan syubhat atau keragu-raguan terhadap alhaq. Dimunculkan kerancuan kepada akalnya tentang apa saja yang datang dari alhaq. Adapun terhadap nafsunya, manusia disesatkan syetan melalui syahwat. Dijadikan dunia dan wanita sebagai tujuan dan arah hidup manusia. Dibawanya manusia kepada hal-hal yang bersifat keduniaan, sehingga manusia lalai dan melupakan akhirat.

Nabi Muhammad shalallaahu alaihi wasallam bersabda, tiga perkara yang membinasakan adalah: kebakhilan dan kerakusan yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan seseorang yang membanggakan diri sendiri.

Adapun orang-orang yang dirahmati oleh Allah dengan ilmu (yakni agama) akan menjadikan akal dan nafsunya berada di bawah atau di belakang alhaq. Apapun yang datang dari al Quran dan Assunnah, ia terima dengan lapang dada dan beriman. Meskipun yang datang dari sisi syariat adalah yang bertentangan dengan akal dan nafsunya.

Sebagai orang beriman, harus mampu menekan dan mengontrol keduanya agar selalu dalam koridor syariat. Dan satu-satunya alat untuk menekan dan mengontrol akal dan nafsu adalah ilmu. Dengan ilmu, Allah menyelamatkan seseorang dari syubhat dan syahwat yang dilontarkan syetan.

Bila ada bisikan keraguan atau kerancuan tentang agama, maka orang berilmu dapat menepisnya dengan ilmunya. Tentu tidak bagi orang jahil (tidak berilmu). Boleh jadi keharaman atau kemungkaran akan nampak baginya sebagai sesuatu yang haq dan halal. Dan sebailknya, yang jelas-jelas alhaq, bisa jadi ditampakkan oleh syetan baginya sebagai kebatilan.

Orang berilmu yang tentu memiliki hawa nafsu pula, kalau dia tidak lalai karena ilmunya, maka ilmunya akan dapat melahirkan rasa takut yang akan menekan dan menahan hawa nafsunya. Ilmunya akan mengingatkan ia akan bahaya dan kesemuan kesenangan duniawi yang digandrungi nafsunya.

Semoga Allah mengampuni kita dan menganugerahi ilmu kepada kita. [*]

 

INILAH MOZAIK

Astagfirullah, Inilah Dampak Menuruti Hawa Nafsu

SALAH satu sifat dari hawa nafsu adalah “Tidak Pernah Terpuaskan”. Di saat kita menuruti satu keinginannya, nafsu itu akan menuntut hal yang lain.

Terus begitu hingga tak ada habisnya. Mempunyai satu gunung emas pun masih tak cukup. Ia masih ingin yang lebih. Karena itu, Allah tidak hanya menciptakan nafsu. Dia juga menciptakan akal sebagai alat untuk mengontrolnya.

Kenapa hawa nafsu diciptakan? Karena manusia tidak dapat hidup tanpa hawa nafsu. Mereka tak bisa hidup jika tidak ada “keinginan” untuk makan, mencari harta dan keinginan lainnya. Nafsu itu termasuk hal yang paling penting dalam hidup manusia. Tapi jika tidak dikontrol akal, keinginan itu akan terus meledak dan akibatnya sangat berbahaya.

Apa gambaran Alquran tentang bahaya mengikuti hawa nafsu? Allah swt Berfirman,

“Dan seandainya kebenaran itu menuruti keinginan mereka, pasti binasalah langit dan bumi, dan semua yang ada di dalamnya.” (QS.Al-Mukminun:71)

Ya, menuruti hawa nafsu tanpa kontrol akal akan memberikan dampak yang sangat berbahaya. Bahkan Alquran menggambarkan akibatnya dengan “pasti binasalah langit dan bumi, dan semua yang ada di dalamnya.”

Coba perhatikan, kehancuran di muka bumi ini terjadi karena hawa nafsu manusia yang tak terkontrol. Manusia tidak memikirkan dampak atau akibatnya, yang ada dalam pikirannya hanyalah keuntungan dan kenikmatan. Lihatlah hutan yang gundul, tambang yang merusak alam, bangunan-bangunan yang mengganggu, penyakit yang berkembang, semua itu karena nafsu manusia yang tak pernah puas.

Dan pada akhirnya dunia ini akan semakin dekat pada kehancuran karena ketamakan manusia. Mari kita jaga diri dan lingkungan sekitar dengan mengontrol hawa nafsu. Jadikan “keinginan-keinginan” itu sebagai jalan untuk mendekatkan kepada-Nya. Dan jangan jadikan itu semua sebagai media untuk merusak kehidupan dunia dan akhirat kita.

“Sungguh beruntung orang yang mensucikan jiwa itu, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams : 9-10).

 

INILAH MOZAIK

Akhir yang Buruk Bagi Orang-Orang yang Tergoda Nafsu

Al-Qurthubi meriwayatkan, “Pada zaman dahulu hiduplah seorang muazin yang mengumandangkan azan selama 40 tahun.

Pada suatu hari dia naik ke menara untuk mengumandangkan adzan. Ketika sampai pada lafal  “Hayya alal Falah” (mari kita menuju kemenangan) padangan matanya tertuju pada seorang perempuan Nasrani. Setelah itu konsentrasinya hilang dan hatinya terombang-ambing . Kemudian dia segera meninggalkan adzan dan bergegas menuju si perempuan itu. Dia berniat untuk melamarnya.

“Mahar yang aku minta cukup berat bagimu.” kata si perempuan mengajukan tawaran. “Mahar apakah itu?” tanya si muazin. “Engkau harus masuk dalam agamaku dan meninggalkan Islam.” jawab si perempuan. Si muazin kemudian kufur kepada Allah dan memeluk agama Nasrani.

Suatu hari dia naik ke atas atap untuk melakukan suatu pekerjaan. Tiba-tiba kakinya terpeleset kemudian jatuh dari atas genteng dan mati. Dengan kecelakaan ini, dia tidak berhasil mendapatkan si perempuan dan juga tidak memperoleh keberuntungan dalam agama Islam. Dia merugi di kehidupan dunia sekaligus akhirat. Semoga Allah menjauhkan kita dari akhir yang buruk dan akibat yang tercela.

***

Dikutip dari buku Bisikan Untuk Pendosa, terbitan Maghfirah Pustaka

Hati dan Hawa Nafsuku Masih Bersatu

ABDUL HUSAIN adalah seorang rohaniawan asal Irak. Dia telah menempuh jalan spritual sejak mudanya dan mendapat gelar Nuri (manusia yang bercahaya) karena bisa menjelaskan rahasia-rahasia kehidupan yang amat pelik dengan cahaya batinnya.

Kisah hidupnya cukup unik. Setiap hari, dia akan meninggalkan rumahnya saat masih subuh buta, pergi ke kedainya untuk mengambil beberapa potong roti, lalu menyerahkannya pada fakir miskin. Setelahnya dia ke mesjid untuk salat Subuh dan tetap di situ hingga matahari terbit. Lalu dia kembali ke kedainya untuk berjualan. Dengan rutinitas seperti itu, orang-orang di rumahnya menyangka bahwa dia telah makan di kedai. Sementara orang-orang di pasar menyangka bahwa dia selalu makan di rumah. Salah sangka orang atas Nuri ini berlangsung selama 20 tahun tanpa seorang pun mengetahui perihal sebenarnya.

Tentang dirinya sendiri, Nuri pernah berkisah: “Bertahun-tahun aku berjuang mengekang diri dan meninggalkan pergaulan ramai. Tapi betapapun aku berusaha keras, jalan menuju Allah tak kunjung terbuka. Aku harus melakukan sesuatu untuk memperbaiki diriku. Aku membatin, Jika tidak, biarlah aku mati terlepas dari hawa nafsu ini’. Hai tubuhku, aku berkata, bertahun-tahun sudah kau menuruti hawa nafsumu sendiri; makan, melihat, mendengar, berjalan-jalan, tidur, bersenang-senang dan memuaskan hasrat. Sungguh semua itu akan mencelakakanmu. Sekarang masuklah ke dalam penjara, akan kubelenggu dirimu dan kukalungkan di lehermu segala kewajiban Allah. Jika kau sanggup bertahan dalam keadaan seperti itu, kau pasti akan meraih kebahagiaan. Tapi jika kau tak sanggup, maka setidaknya kau akan mati di jalan Allah’.”

 

Demikianlah aku berjalan di jalan Allah. Pernah kudengar bahwa hati para pesuluk merupakan alat yang amat awas dan mengetahui rahasia segala sesuatu yang terlihat dan terdengar oleh mereka. Karena aku sendiri tak memiliki hati seperti itu, maka aku pun berkata pada diriku sendiri: Ucapan-ucapan para nabi dan manusia suci adalah benar. Mungkin sekali aku telah bersikap munafik dalam usahaku selama ini, dan kegagalanku ini adalah karena kesalahanku sendiri …

Sekarang aku ingin merenungi diriku sendiri, sehingga aku benar-benar mengenalnya’. Maka aku pun merenungi diriku sendiri. Ternyata kesalahanku adalah bahwa hati dan hawa nafsuku masih bersatu. Sadarlah aku bahwa hal inilah yang menjadi sumber kemuskilanku selama ini. Cahaya Tuhan yang bersinar dalam hatiku telah dicuri oleh hawa nafsuku.” []

Sumber: islamindonesia.co.id

Sedikit Memperturutkan Hawa Nafsu, Sedikit Pula Kelelahannya

ORANG yang paling besar ke-rahah (senang memperturutkan kesenangan dunia)-annya, terlampau gemar akan kesenangan dan kelezatannya, dan paling giat mengejar kemewahannya, adalah juga (orang) yang paling besar kepayahannya dan kesulitannya. Paling banyak menghadapi ancaman bahaya dan paling sering diliputi kerisauan, kegundahan, dan kesedihan. Sebagai contoh para raja dan hartawan.

Ada pun seseorang yang paling sedikit merasakan kerahahan serta kelezatan duniawi, dan paling sedikit kegemaran dalam mencari kemewahan, adalah juga yang paling ringan kepayahan dan kesulitan yang dihadapinya. Paling sedikit bahaya yang mengancamnya, dan paling sedikit kerisauan dan kegundahan yang dialaminya. Contohnya, kaum fakir miskin (yang sabar).

Hal itu disebabkan kelezatan dunia, kesenangan, serta gejolak syahwatnya, pada hakikatnya lebih banyak mengakibatkan kekeruhan hati, kesusahan, dan kegelisahan. Dan bahwa orang yang bersaing, berebut, dan cemburu untuk mendapatkan kelezatan dunia, sungguh amat banyak jumlahnya. Itu pulalah penyebab makin besarnya kesulitan, bahaya, serta kegundahan yang dialami dalam upaya memperolehnya, menikmatinya, menjaganya, serta mengembangkannya. Dan, makin berlipat gandalah –bersamaan dengan itu– segala kesulitan, bahaya, kegelisahan, dan kegundahan hati, dengan bertambah gencarnya pencarian dan memuncaknya kegemaran padanya.

Sebaliknya, makin lemah keinginan meraih kelezatan dunia dan makin redup kegemaran memperolehnya, makin sedikit pula kepayahan, bahaya, kegelisahan, dan kegundahan yang dialami. Itulah sebabnya Anda melihat para raja dan hartawan adalah orang-orang yang paling lelah hidupnya, paling banyak mengalami kegundahan dan keresahan, serta paling besar ancaman yang dihadapinya. Sehingga, mereka bersedia berjudi dengan nyawanya dan mengorbankan hidupnya demi meraih idaman hatinya dan memenuhi syahwat nafsunya atau demi menjaga miliknya dan mengembangkannya. Keadaan seperti itu dapat disaksikan dengan jelas oleh setiap orang yang menggunakan akalnya.

Ada pun kaum fakir miskin, mereka itu adalah manusia yang paling sedikit kegundahan dan kegelisahannya disebabkan oleh sedikitnya tuntutan akan kelezatan dunia dan kemewahan hidup. Hal itu juga disebabkan oleh lemahnya keinginan mereka untuk meraih hal-hal tersebut, baik dengan cara sukarela — seperti keadaan para ahli zuhud–, atau karena terpaksa seperti dalam keadaan kaum yang lemah. Yakni, orang-orang yang tidak membiarkan hati mereka membicarakan kehidupan duniawi yang berlebih-lebihan, dan karena itu tidak berkeinginan untuk meraihnya atau bersusah payah mempertahankannya. Sebagai akibatnya, sedikit pula kepayahan dan kegundahan yang mereka alami.

Ketahuilah bahwa orang yang hanya mencari kehidupan untuk hidupnya sehari, lebih sedikit kepayahan dan kegundahannya daripada yang mencari kecukupan untuk hidupnya seminggu. Orang yang mencari kecukupan untuk seminggu lebih sedikit kegundahannya daripada yang mencari kecukupan untuk sebulan. Dan, yang mencari kecukupan sebulan lebih sedikit kegundahannya daripada yang mencari kecukupan untuk setahun.

Selanjutnya, orang yang mencari kecukupan untuk dirinya sendiri lebih sedikit kepayahan dan kegundahannya daripada yang mencari kecukupan untuk dirinya sendiri ditambah untuk orang lain. Makin banyak tuntutan hidup, makin besar pula kepayahan dan kesulitan serta kegundahan dan kegelisahan. Dengan demikian, kesenangan dan kerahahan duniawi yang diperoleh seorang manusia, semuanya itu berada di atas sebuah lengan neraca, sedangkan kepayahan, bahaya, serta kegundahan yang dialami dan dideritanya berada di sebuah lengan neraca lainnya. Persis sama banyaknya, kendati ada kemungkinan salah satu dari keduanya sedikit lebih banyak atau lebih ringan. Manusia dalam hal ini memang agak berbeda antara yang satu dan lainnya.

Inilah yang diperoleh oleh kedua kelompok dalam kehidupan dunia. Ada pun di akhirat kelak, masing-masing masih akan mengalami balasannya sendiri-sendiri. Para pencari kelezatan duniawi dan pengumbar syahwat hawa nafsu akan mengalami balasan yang berupa perhitungan, hukuman, dan malapetaka. Demikian pula kaum tak berpunya yang ikhlas, yang –di dunia ini– terhalang atau menahan diri dari kelezatan duniawi dan syahwat hawa nafsu. Mereka itu akan menerima balasan berupa kehormatan, kenikmatan, kejayaan, dan kesenangan. Semua itu telah dikenal dan masyhur dalam berbagai berita, dalam Al-Quran dan hadis-hadis yang amat panjang sebutannya dan sangat sulit dicakup bilangannya.

Oleh sebab itu, jika Anda benar-benar menginginkan “kerahahan sejati” dalam kehidupan dunia, Anda dapat memperolehnya dengan meninggalkan kerahahan di dalamnya. Kepada seorang bijak bestari pernah diajukan pertanyaan, “Untuk siapakah akhirat itu?”

Jawabnya, “Untuk siapa yang mencarinya.”

Ketika ditanyakan pula, “Untuk siapakah dunia itu?” Jawabnya ialah, “Untuk siapa yang meninggalkannya.”

Ibrahim bin Adham rahimahuliah (seorang pangeran dari Balakh yang meninggalkan istana demi mencari kepuasan batin dengan mendekatkan diri pada Allah Subhanahu Wa Ta’ala) pernah berkata kepada seorang miskin yang dilihatnya sedang murung, “Jangan risau dan jangan bersedih hati, kawan. Sekiranya para raja mengetahui ‘ke-rahah-an (sejati)’ yang sedang kita alami, niscaya mereka akan memerangi kita dengan pedang untuk merebutnya.”

Ada pun sebab Ibrahim bin Adham mengeluarkan diri dari kemewahan kehidupan dan melepaskan kerajaannya yang fana ialah ketika pada suatu siang ia melongok dari istananya, dilihatnya seorang pengemis sedang berteduh di bawah dinding istana itu. Sang pengemis mengeluarkan sekerat roti dari buntelannya, lalu minum air. Selesai itu tidur dengan sangat lelapnya dalam bayang-bayang istana.

Ibrahim bin Adham sangat terkesan dan kagum akan keadaan orang itu dan merasa iri atas ke-rahahan (sejati)nya. Ia memerintahkan seorang pengawal istana agar menghadapkan orang itu apabila ia telah terjaga. Ketika orang itu datang, Ibrahim berkata kepadanya, “Telah Anda makan roti itu dalam keadaan lapar, lalu merasa kenyang dengannya?”

“Ya,” jawab orang itu.

“Dan, Anda telah tidur dan puas beristirahat?” “Ya,” jawabnya lagi. •

Mendengar itu, Ibrahim berkata kepada dirinya sendiri, “Jika nafsu manusia dapat merasakan kepuasan dengan sesuatu seperti ini, apa artinya kemewahan dunia ini bagiku?”

Pada malam harinya, Ibrahim bin Adham keluar dari istananya, meninggalkan kebiasaan hidupnya sebelum itu, dan mencurahkan semua waktunya menuju Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Maka, jadilah ia seorang tokoh sufi yang besar.

Dengan uraian di atas, Anda mengetahui bahwa kesenangan-kesenangan duniawi, kelezatan-kelezatannya, serta pengumbaran syahwat nafsu di dalamnya, semua itu mengundang kepayahan, bahaya, kegundahan, kerisauan, dan kesedihan. Makin besar yang “itu” makin besar pula yang “ini”, dan makin patut seorang manusia menderita karenanya. Sebaliknya, makin sedikit kelezatan, kerahahan, dan pengumbaran syahwat nafsu di dalamnya, makin sedikit pula kepayahan, bahaya, kegundahan dan kerisauannya, serta makin damai pula hati manusia karenanya.

Di samping itu semua, masih ada lagi risiko dan konsekuensi di akhirat bagi mereka yang berfoya-foya di dunia. Dan, masih ada pula kemuliaan yang disediakan bagi siapa yang meninggalkan tuntutan hawa nafsu duniawi dan yang berpaling darinya, baik secara sukarela maupun karena terpaksa. Demikianlah, semuanya itu terang dan jelas bagi siapa saja yang memerhatikannya dan bersikap tulus terhadap dirinya sendiri.*Al-Allamah ‘Abdullah Al-Haddad, dari bukunya Meraih Kebahagiaan Sejati.

 

HIDAYATULLAH