4 Macam Hidayah Menurut Ibnu Qayyim

Artikel di bawah ini akan menjelaskan 4 macam hidayah menurut Ibnu Qayyim al Jauziah. Hidayah secara bahasa mempunyai arti petunjuk dan bimbingan. Sedangkan hidayah secara istilah adalah petunjuk yang sangat halus yang dapat mengantarkan manusia kepada jalan kebenaran dan kebaikan.

Syekh Muhammad bin Ahmad bin Salim As-Sifaarini Al-Hanbali dalam karyanya Ghidzaul Albab Syarhu Mandhumatil Adab Juz, 1, halaman 30, mengutip pernyataan Ibnu Qayyim. Menurut penuturan Ibnu Qayyim bahwa hidayah terbagi menjadi empat bagian:

Pertama, hidayah umum yang diperuntukkan bagi manusia dan hewan. Hidayah untuk manusia, yaitu, bisa bersemangat dalam melakukan kebajikan dan pengabdian kepada Allah SWT. Sedangkan hidayah kepada hewan, yaitu, bisa bergerak atau melata di muka bumi, dengan tujuan untuk memperoleh makanan dan bisa terhindar dari mara bahaya.

 Manusia dan hewan mereka saling menyukai kepada lawan jenisnya, sehingga mereka dapat berkembang dan mempunyai keturunan, itu semua karena hidayah atau petunjuk dari Allah. Allah SWT berfirman:

 الَّذِيْٓ اَعْطٰى كُلَّ شَيْءٍ خَلْقَهٗ ثُمَّ هَدٰى

Artinya:  “Yang telah memberikan bentuk kejadian kepada segala sesuatu, kemudian memberinya petunjuk.” (QS. Taha: 50)

Kedua, hidayah mengetahui dalil-dalil. Orang-orang yang mengetahui dalil-dalil dapat membedakan kebaikan dan kejelekan. Dan dengan hidayah mengetahui dalil-dalil ia dapat mengetahui jalan keberuntungan dan jalan kesesatan.

Allah SWT berfirman:

وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

Artinya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus”. (QS. Asy-Syura : 52)

Ketiga, hidayah pertolongan dan ilham. Hidayah ini, diperuntukkan kepada orang-orang yang dikehendaki atau dipilih oleh Allah SWT. Dalam artian hidayah pertolongan dan ilham adalah hak prerogatif Allah SWT.

Allah SWT, berfirman: 

فَإِنَّ ٱللَّهَ يُضِلُّ مَن يَشَآءُ وَيَهْدِى مَن يَشَآءُ

Artinya: “Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya“.(QS. Fatir: 8)

Keempat, hidayah di masukkan ke surga atau di masukkan ke neraka. Hidayah ini, adalah hidayah pemungkas, karena semua manusia nanti di akhirat hanya ada dua pilihan, kalau tidak masuk surga, pasti masuk neraka. Oleh karena itu, perbanyaklah berbuat kebajikan dan jauhi larangan supaya kelak kita dimasukkan ke dalam surga. 

Demikian penjelasan terkait 4 macam hidayah menurut Ibnu Qayyim al Jauziah. Semoga bermanfaat. Wallahu’ A’lam Bissawab.

BINCANG SYARIAH

3 Penghalang Hidayah Allah SWT untuk Seorang Hamba

Terdapat faktor yang bisa menyebabkan terhalangnya hidayah.

Umat Islam banyak yang memohon hidayah kepada Allah SWT. Namun, ada sebagian orang yang terhalang dari petunjuk Allah tersebut hingga sengsara.

Ada pula orang yang hanya mendapatkan sebagian hidayah, dan ada yang mendapatkan hidayah kemudian diambil kembali. 

Mengapa orang-orang tersebut terhalang dari hidayah? Seperti dikutip dari laman alukah, setidaknya ada tiga penyebab orang terhalang dari hidayah, yaitu berbuat zalim, berbuat maksiat, dan melakukan pengkhianatan.  

Hal ini sebagai ditegaskan dalam Alquran bahwa Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim (QS al Baqarah 258), dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik (QS al Maidah 108), dan bahwa Allah tidak meridhai tipu daya orang-orang yang berkhianat (QS Yusuf 52]. Berikut ini tiga penyebab terhalangnya hidayah: 

Pertama, zalim 

Kezaliman adalah kegelapan di dunia dan di akhirat, dan seseorang terhalang dari petunjuk karena zalim terhadap dirinya sendiri atau orang lain, serta pada jiwanya. Syirik merupakan salah satu kezaliman yang paling buruk yang patut dihindari agar tidak terhalang dari hidayah Allah SWT.

Sementara, orang-orang yang tidak mencampuradukkan imannya dengan perbuatan syirik akan memperoleh hidayah. Allah SWT berfirman: 

الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَٰئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ ”Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan syirik, mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk.” (QS al Anam 82).

Kedua, berbuat maksiat atau menjadi fasik 

Maksiat juga menjadi salah satu penghalang seseorang untuk mendapatkan hidayah dari Allah SWT. Karena, maksiat merupakan bentuk penyimpangan dari ketaatan kepada Allah alias fasik. Allah sering menggambarkan orang-orang munafik dengan sifat ini. Allah SWT berfirman: 

فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ ۚ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ “Maka ketika mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (QS as Saff 5).

Ketiga, pengkhianatan

Pengkhianatan, baik dengan perkataan atau perbuatan sangat berbahaya, serta akan terhalang dari hidayah. Di antara pengkhianatan terbesar adalah ketika seseorang mengkhianati agama dan kepercayaannya. Allah SWT berfirman: 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS al Anfal  27).

Sumber: alukah  

KHAZANAH REPUBLIKA

Tanda Seseorang Mendapatkan Hidayah Allah

Dalam perjalanan waktu seorang hamba, pastilah pernah menjumpai berbagai pengalaman keagamaan secara  pribadi. Pengalaman tersebut akan mengalami suatu proses perenungan dan reduksi secara spiritual. Proses ini selanjutnya akan menghasilkan konklusi terhadap hubungan dan kedekatan seorang hamba tersebut dengan Allah Swt. Ketika seseorang sudah dekat dengan Allah, ia pun akan terus mendapatkan hidayah.

Realitanya, banyak yang beranggapan bahwa hidayah merupakan suatu perkara yang harus ditunggu kehadirannya. Asumsi ini memang tidak sepenuhnya keliru, karena faktor datangnya hidayah memang berasal dari Allah Swt. Syekh al Habib Abdullah bin Alwi al Haddad dalam karyanya, Risalah Adab Suluk al-Murid, mengutarakan bahwa,

وهذاالباعث من جنودالله الباطنة، وهومن نفحات العناية وأعلام الهداية، وكثيرامايفتح به على العبدعندالتخويف والترغيب والتشويق

Artinya : “Perasaan ingin menuju Allah Swt. ini, termasuk salah satu tentara Allah Swt. dari segi batin, ia merupakan hembusan pertolongan dan petunjuk yang jelas, sehingga ia akan diliputi kegamangan dan kerinduan (kepada Allah Swt.)

Akan tetapi, hal tepat yang harus dilakukan seorang hamba adalah menjemput serta mendekat kepada hidayah Allah Swt. Apabila seseorang sudah melangkah untuk taqarrub ilallah, maka sungguh Allah Swt. telah menanamkan benih hidayah pada hati orang tersebut. Sebagaimana yang dinyatakan Syekh Abdullah bin Alwi al Haddad,

اعلم ان اول الطريق باعث قوي يقذف فى قلب العبد يزعجه ويقلقه ويحثه على الاقبال على الله والدارالاخرة

Artinya : “Ketahuilah bahwa seorang yang ingin menempuh jalan menuju Allah Swt., datangnya perasaan itu dari Allah Swt. yang ditanamkan di hati seorang hamba, sehingga hati orang itu tergerak untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. dan menuju kebahagiaan di kampung akhirat

Kapan Hidayah akan Datang?

Tentu akan muncul pertanyaan mengenai waktu diturunkannya hidayah secara kaffah kepada seorang hamba. Apakah Allah Swt. ingin menguji komitmen kita untuk senantiasa mengharapkan hidayah dari-Nya, adalah sebuah pertanyaan besar. Akan tetapi, bila merujuk pernyataan-pernyataan di atas, memiliki tekad awal untuk dekat dengan Allah Swt. saja, sebenarnya Allah Swt. pun juga sudah menanamkan benih hidayah tersebut.

Nabi SAW. dalam al Mu’jam al Kabir li at Thabarani (no. 519) pernah bersabda bahwa,

إِنَّ لِرَبِّكُمْ فِي أَيَّامِ دَهْرِكُمْ نَفَحَاتٌ فَتَعَرَّضُوا لَهُ، لَعَلَّهُ أَنْ يُصِيبَكُمْ نَفْحَةٌ مِنْهَا فَلَا تَشْقَوْنَ بَعْدَهَا أَبَدًا

Artinya : “Sesungguhnya Tuhan memiliki curahan rahmat dalam setiap waktunya bagi kalian. Karena itu, nantikanlah selalu kedatangannya bagi kalian. Mudah-mudahan sesuatu yang kalian adalah karunia dari-Nya. Maka jangan selalu bersusah (hati) setelahnya” (HR. at Thabarani)

Syekh Abdullah bin Alwi al Haddad pun kembali memberikan penegasan terhadap bagaimana respon kita terhadap tertanamnya benih hidayah dan rahmat yang kita rasakan. Hal ini dituangkan pada kitabnya,

ومن اكرمه الله بهذاالباعث الشريف فليعرف قدره المنيف, وليعلم انه من اعظم نعم الله تعالى عليه التى لايقدر قدرها ولا يبلغ شكرها فليبالغ فى شكرالله تعالى على مامنحه واولاه، وخصه به من بين اشكاله واقرانه فكم من مسلم بلغ عمره ثمانين سنة واكثرلم يجد هذا الباعث ولم يطرقه يوما من الدهر

Artinya : “Barangsiapa yang dimuliakan Allah Swt. dengan (ditanamkannya) dorongan untuk berada di jalannya yang lurus, hendaknya ia memahaminya sebagai karunia terbesar dari Allah Swt. yang (nilainya) sangat tinggi kepadanya. Sehingga karunia tersebut harus disyukuri dengan benar-benar, karena banyak dari kaum muslimin yg telah mencapai usia delapan puluh tahun lebih, namun ia belum pernah mendapat jalan petunjuk menuju Allah Swt.

Jadi, dapat kita petik informasi bahwa kedatangan hidayah Allah Swt. adalah merupakan kehendak yang preogratif dari Allah Swt. sendiri. Namun dapat disinyalir bahwa seorang hamba yang berkeinginan untuk menjemput hidayah, sekaligus taqarrub kepada Allah Swt., maka Allah Swt. akan menanamkan benih hidayah tersebut.

Ikhtiar ini harus senantiasa dilakukan secara berkesinambungan dan berkelanjutan. Mengingat bahwa hidayah Allah Swt. bisa datang kapanpun dan dimanapun, sekaligus kepada siapapun seseorang yang dikehendaki-Nya. Niscaya jalan menuju kedekatan kepada Ilahi Robbi akan semakin jelas dan dimudahkan untuk melakukannya.

Wallahu A’lam bi as Showaab

BINCANG SYARIAH

Jangan Memaksa, Apalagi Berlagak Memberikan Hidayah

Tidak ada paksaan dalam beragama. Begitu titah Tuhan dalam surat Al-Baqarah 255. Penegasan ini sangat tegas menggambarkan bagaimana Islam dengan misi dakwahnya tidak pernah sedikitkan mempunyai tendensi untuk memaksa orang lain untuk mengikuti Islam.

Apabila dilihat dari asbabun nuzulnya pun lebih jelas menggambarkan bagaimaan sesungguhnya pilihan keyakinan adalah hak setiap manusia. Orang tidak bisa memaksakan orang lain untuk memeluk apa yang kita peluk. Bahkan orang tua tidak boleh memaksakan keyakinan anaknya ketika sudah memantapkan pada keyakinan tertentu. Itulah, paling tidak salah satu versi sebab turunnya ayat tersebut.

Jadi, Islam menempatkan beragama sebagai hak asasi yang tidak boleh disentuh orang lain melalui pemaksaan apalagi jalur kekerasan. Beragama adalah pilihan seseorang yang tidak boleh dikotori oleh pemaksaan. Begitu indahnya Islam yang sangat maju pada zamannya hingga saat ini.

Lalu, apa pentingnya dakwah jika demikian? Pertama harus dipahami bahwa dakwah adalah esensinya mengajak. Ingat dakwah adalah mengajak, bukan memaksa apalagi menghardik. Mengajak berarti memberikan suatu yang indah tentang Islam, bukan memberikan ketakutan dan kepanikan tentang jati diri Islam.

Jika dakwah tidak membuahkan hasil, apa tidak boleh melakukan pemaksaan? Tuhan menjawab dengan sangat tegas :

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا ۚ أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ

Artinya: Dan jikalau Tuhan menghendak, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (QS Yunus [10]:99).

Bukan tidak mampu Tuhan menjadikan semuanya beriman kepadaNya. Bukan hal mustahil bagi Sang Pencipta untuk menjadikan satu umay secara seragam. Itulah bagian dari cara Tuhan memberikan kebebasan kepada manusia yang berakal. Manusia sebagai makhluk sempurna untuk membedakan hak dan batil yang sudah jelas adanya.

Jika demikian, engkau masih mau berlagak ingin mengislamkan semua orang dengan paksaan? Sindiran Tuhan sudah sangat jelas bahwa sekali lagi persoalan keyakinan bukan dengan cara memaksa.

Apakah Allah tidak bisa menyatukan umat menjadi satu warna? Tuhan Maha Kuasa dan Maha Pencitpa, tidak akan sulit bagi-Nya untuk menjadikan umat manusia dalam satu umat. Tetapi Allah mempunyai rencana yang berbeda:

لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا ۚ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَٰكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ

Artinya : Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu (QS: al Maidah [5]: 48).

Bukan Memaksa, Ini Kunci Sukses Berdakwah

Sampai di sini sudah sangat jelas bagaimana Tuhan mengajarkan kepada umat untuk tidak memaksa. Perbedaan adalah keniscayaan. Lalu, Tuhan akhirnya memberikan kunci sukses dalam mengajak orang lain.

Islam telah mengajarkan bagaimana mengajak dan mengingatkan orang yang dalam kategori kita sedang melakukan kesalahan dan kesesatan. “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS: al-Nahl [16]125).

Inilah sebenarnya yang dilupakan ketika berdakwah. Prinsip menyeru dalam kebaikan dengan cara yang baik. Mengajak, berjuang, mendidik dan berdakwah di jalan Allah bukan berarti menghalalkan segala cara. Tujuan mulia harus dilakukan dengan cara yang mulia.

Jangan pernah mengotori dakwah yang suci dengan tindakan yang keji. Itulah kesalahan memaknai dakwah, selalu mementingkan tujuan, tetapi melupakan cara untuk meraih tujuan. Tuhan memberikan panduan untuk tidak boleh memaksa apalagi berlagak mengislamkan seluruh manusia.

Tuhan mengajak seluruh umat manusia berlomba-lomba dalam kebaikan dalam perbedaan. Kita tidak boleh merasa angkuh melebihi keangkuhan Tuhan? Hanya Allah yang berhak memberikan hidayah yang menentukan keimanan dan kekafiran? Tugas umat Islam adalah berdakwah dengan baik dengan sikap lembut dan menghargai perbedaan.

Wallahu’alam

ISLAM KAFFAH

Kenapa Masuk Islam?

Bagi saya, termasuk nikmat besar dari Allah yang didapatkan di Masjid Nabawi ini, kita akan dapati kaum muslimin dari berbagai penjuru dunia.

Seringkali saya menyapa, berkenalan, mengajak mereka berbicara, mengenal mereka lebih mendalam, mencoba mencari tahu bagaimana Islam di negeri mereka.

Suatu saat saya bertemu dengan seorang pemuda Kaukasian. Rambutnya pirang matanya biru. Namun dia menggunakan kurta, seperti yang sering dipakai oleh saudara-saudara kita di India, Pakistan dan Bangladesh.

Ketika itu kami duduk bersebelahan. Setelah berkenalan, kami pun larut dalam perbincangan hangat.

Nama beliau Michael. Asalnya dari Houston, Texas. Usianya 30-an tahun. Beliau masuk Islam dari sekitar lima tahun yang lalu. Sebelumnya beliau beragama Kristen Protestan.

Michael bekerja di bidang IT. Dulu dia pernah bekerja di perusahaan besar macam IBM. Michael pun sudah menikah dan berputra satu. Istrinya juga orang Amerika, tapi keturunan Bangladesh. Ini menjelaskan kenapa Michael mengenakan kurta.

Saya bertanya kepada Michael tentang apa yang membuat dia masuk Islam. Faktor apa yang menarik dia untuk bersyahadat.
Michael kemudian bercerita tentang latar belakang keluarganya. Beliau lahir di keluarga yang taat beragama.

“Anda mungkin pernah dengar, Texas itu termasuk daerah bible belt. Di sana masih banyak orang yang pergi ke gereja. Berbeda dengan tempat lainnya di Amerika.
Keluarga kami termasuk keluarga yang aktif di gereja…”

American bible belt (sabuk injil Amerika) adalah istilah yang dipakai untuk menamakan area di selatan Amerika Serikat yang pengaruh Kristen Protestan Evangelical masih sangat kuat. Tingkatan kunjungan ke gereja di area ini lebih tinggi daripada daerah lainnya di Amerika Serikat.

Michael kemudian melanjutkan ceritanya,
“Ketika kuliah, saya berteman dengan seorang muslim, a nice person, seorang yang baik…”

Seingat saya Michael menyebutkan bahwa temannya ini adalah seorang muslim dari Pakistan, wallahu a’lam.

Michael kemudian banyak bertanya kepada temannya ini tentang Islam.

Actually, saya suka mempelajari agama-agama. Saya juga baca buku-buku tentang Budhisme dan Hinduisme..

Kawan saya yang muslim kemudian memberikan Al Qur’an untuk saya pelajari. Begitu saya membacanya, saya dapati antusiasme yang demikian besar pada diri saya. Setelah selesai dari satu halaman, halaman berikutnya seakan-akan memanggil saya untuk membuka dan membacanya. Setelah cukup lama membaca Al Qur’an dan berdiskusi dengan kawan muslim saya tadi, saya pun memutuskan untuk menjadi seorang muslim..”

Saya kemudian bertanya kepada Michael, “Dari apa yang kamu baca dan kamu pelajari dari Islam, apa yang paling kuat menarikmu untuk menjadi seorang muslim?”

Michael kemudian terdiam sejenak. Dia lalu menjawab, “Saya kira ada dua faktor utama yang menarik saya untuk bersyahadat.

Yang pertama, konsep tauhid, monoteisme dalam Islam. It’s very clear. Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (1) اللَّهُ الصَّمَدُ (2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (3) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (4)

Katakanlah, “Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula-diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia” (QS. Al Ikhlash).

Dia bukan merupakan satu dari yang tiga. Dia Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Its very simple.

Adapun yang kedua, di dalam Islam kita hanya bertanggung jawab atas apa yang kita lakukan. Yang beramal baik maka dia dibalas dengan kebaikan, yang beramal buruk maka keburukannya akan dibalas. Allah Ta’ala berfirman:

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ (7) وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ (8)

Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula” (QS. Al Zalzalah: 7-8)

Di dalam Islam kita tidak menanggung dosa orang lain. Kita hanya bertanggung jawab atas dosa kita. Allah ta’ala berfirman:

وَلا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى

Dan orang-orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain” (QS. Fathir: 18).

Ini dua perkara yang saya kira merupakan faktor terkuat yang menarik saya ke dalam Islam.

Saya kemudian bertanya tentang kedua orang tuanya. Bagaimana respon mereka ketika dia masuk Islam.

“Awalnya mereka terkejut. Apakah kamu yakin mau masuk Islam? Namun setelah itu mereka pun menerima keislaman saya. Demikian juga menerima istri saya. Bahkan ayah saya sangat sayang dengan putra kami yang kami beri nama Jibreel.”

Setelah shalat, kami pun berpisah dan saling mendoakan agar Allah mewafatkan kami dalam keislaman.

Demikian sedikit kisah yang bisa kami tuturkan.

Dari sini banyak faidah yang bisa kita dapatkan. Di antaranya:

1. Islam adalah agama universal. Dia diperuntukkan kepada seluruh manusia tanpa melihat suku bangsa dan warna kulit.

2. Akhlak yang mulia dari seorang muslim bisa menjadi pembuka hidayah bagi manusia untuk masuk Islam. Ingat masuknya Islam ke nusantara, dia bermula dari akhlak yang baik dari para dai dan pedagang muslim yang berkunjung ke negeri kita.

3. Mengajak seseorang ke dalam Islam bisa melalui diskusi, apa yang menjadi penghalang atau membuat ragu seseorang untuk masuk Islam didiskusikan dengan baik dan di atas ilmu Al Qur’an dan Sunnah.

4. Al Qur’an merupakan sebab hidayah. Betapa banyak orang-orang non muslim setelah membaca Al Qur’an, walaupun hanya terjemahan, dia menyadari bahwa apa yang dia baca bukanlah bacaan biasa, namun ucapan Allah rabbul ‘alamin.

5. Konsep tauhid dalam Islam yang demikian sempurna. Kaum muslimin hanya menyembah satu Tuhan. Tuhan yang maha Esa, yang Maha Kuasa menciptakan dan mengatur alam semesta. Yang tidak beranak dan diperanakkan. Yang tiada sesuatu apapun yang setara dengan Nya.

6. Keadilan dalam Islam di mana tidaklah seseorang diganjar melainkan sesuai dengan amalannya. Yang beramal baik akan dibalas dengan kebaikan, yang berbuat buruk akan dibalas dengan keburukan pula.

Wallahu a’lam.

***

Ditulis di kota Nabi

Jumat 9 Rabiul Awwal 1441 H – 6 November 2019.

Ustadz Wira Mandiri Bachrun

MUSLIMAH

Masuk Islam setelah Menguji Keajaiban Alquran

SATU-satunya kitab suci yang dijamin selalu autentik oleh Allah hanyalah alquran. Allah berfirman, “Sungguh Kami yang telah menurunkan alquran dan Kamilah yang akan menjaganya.” (QS. al-Hijr: 9)

Sementara Taurat dan Injil, kitab ini Allah turunkan kepada Bani Israil, namun Allah tidak memberi jaminan untuk menjaganya. Namun penjagaan itu Allah serahkan kepada manusia. Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya.” (QS. al-Maidah: 44)

Dan hasilnya bisa kita lihat, teks asli alquran tidak pernah mengalami perubahan, padahal usianya lebih dari 14 abad. Teks aslinya selalu ada, tidak kurang tidak lebih. Alquran apapun yang anda jumpai, diterjemahkan ke bahasa apapun, teks aslinya pasti dicantumkan di samping terjemahan. Berbeda dengan taurat dan injil, hingga sekarang, manusia kesulitan untuk menemukan teks injil yang asli. Bahkan orang tidak pernah tahu, kapan teks aslinya dihilangkan. Mereka bisa menemukan Injil dengan bahasa tertua, bahaya yunani. Tapi itu bukan teks asli Injil.

Sehingga upaya manusia untuk mengubah Injil sangat mudah. Dan itulah yang terjadi. Revisi terjemah Injil, berarti Injil seutuhnya. Karena teks aslinya tidak ada. Al-Qurthubi menceritakan dengan sanadnya sampai kepada Yahya bin Aktsam, Kisah ini terjadi di zaman Khalifah Abbasiyah, Khalifah al-Makmun.

Suatu hari beliau bertemu orang yahudi di sebuah majelis, pakaiannya bagus, wajahnya bagus, baunya harum, dan jika bicara sangat indah didengar dan ungkapannya bagus. Setelah majelis usai, Makmun memanggil orang ini.

Bani Israil? tanya Makmun.
Benar. Jawab yahudi.
Silahkan masuk islam, nanti kamu saya janjikan xxx Al-Makmun menjanjikan banyak hal.
Ini agamaku dan agama bapakku. Jawab yahudi, lalu dia pergi.

Setelah setahun, bani Israil ini datang lagi di majelis khalifah al-Makmun, tapi kali ini sudah masuk islam. Dia bisa menjelaskan tentang fikih dan masalah agama dengan bagus. Seusai majlis, orang ini dipanggil al-Makmun.

Bukankah kamu orang yang tahun kemarin datang? tanya al-Makmun.
Benar. Jawab beliau.
Apa yang membuatmu masuk islam? tanya al-Makmun.

Dia mulai bercerita: Setelah saya meninggalkan anda, aku melakukan eksperimen untuk ketiga agama: nasrani, yahudi dan islam. Orang mengakui tulisanku bagus. Akupun menulis Taurat sebanyak tiga naskah. Di sana aku tambahi dan aku kurangi. Lalu aku bawa ke Sinagog, tulisan 3 lembar itupun mereka beli. Lalu aku menulis Injil sebanyak 3 naskah. Saya beri tambahan dan saya kurangi. Lalu saya bawa ke gereja, dan mereka membelinya dariku.

Kemudian aku menulis alquran sebanyak 3 naskah. Saya beri tambahan dan saya kurangi. Lalu saya bawa ke penerbit alquran. Mereka buka-buka. Ketika mereka melihat ada tambahan dan ada yang kurang, mereka langsung membuangnya. Dan tidak mau membelinya dariku. Di sana aku sadar, bahwa kitab ini mahfudz (terjaga). Inilah sebab aku masuk islam. (Tafsir al-Qurthubi, 5/10).

Dan mukjizat ini terbukti. Di dunia ini ada ribuan manusia muslim hafidz alquran di luar kepala. Di sana ada lembaga yang meneliti tafsir alquran. Di sana ada lembaga yang mengkaji qiraah alquran. Bahkan ada lembaga yang membidangi mukjizat ilmiah alquran, kajian antar alquran dengan sains modern.

Beberapa kali orang barat dan orang syiah membuat teks alquran baru. Mereka tawarkan ke masyarakat. Menyebar di dunia maya. Tapi tetap saja, semua upaya itu nihil hasilnya. Itulah bukti bahwa alquran adalah kitab suci yang terjaga. Allahu alam. [Ustadz Ammi Nur Baits]

INILAH MOZAIK

Sombong Hambat Hidayah

RASULULLAH Shallallahualaihi Wasallam mengabarkan dalam sebuah hadits bahwa tidak akan masuk surga orang yang ada di dalam hatinya terdapat kesombongan.

Beliau Shallallahualaihi Wasallam bersabda: “tidak akan masuk surga, orang yang ada di dalam hatinya sebesar biji sawi kesombongan”. Lalu ada seorang lelaki dari sahabat Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam berkata: “wahai Rasulullah, salah seorang dari kami ingin agar bajunya bagus, demikian pula sandalnya bagus, apakah itu termasuk kesombongan wahai Rasulullah?”. Maka Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan. Adapun kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (HR. Muslim, no.91).

Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam mengabarkan bahwa kesombongan menghalangi seseorang untuk masuk ke dalam surga. Dan Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam juga menjelaskan hakikat kesombongan, bahwa kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan menganggap remeh manusia. Ketika suatu kebenaran telah sampai kepada seseorang, berupa Al Quran dan hadits Nabi Shallallahualaihi Wasallam, kemudian ia menolaknya karena kelebihan yang ia miliki atau kedudukan yang ia miliki. Maka ini menunjukkan adanya kesombongan dalam dirinya.

Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam mengatakan, sombong itu menolak kebenaran, dan kebenaran itu adalah apa yang datang dari Allah Subhanahu wa Taala, berupa Al Quran dan hadits Nabi Shallallahualaihi Wasallam. Betapa banyak kesombongan yang menyebabkan seseorang terhalang dari kebenaran.

Lihatlah iblis laanahullah, ia tidak mau sujud kepada Nabi Adam alaihissalam karena kesombongan yang ada dalam hatinya. Allah Taala berfirman: “ia enggan dan sombong sehingga ia pun termasuk orang-orang kafir” (QS. Al Baqarah: 34). Lihatlah Firaun, ia merasa merasa sombong dengan kelebihannya, ia merasa sombong dengan kedudukan yang ia miliki. Sehingga ia menolak dakwah yang disampaikan Nabi Musa alaihisshalatu was salam. “Kami utus Musa dan Harun kepada Firaun dan pemuka-pemuka kaumnya, dengan (membawa) tanda-tanda (mukjizat-mukjizat) Kami, maka mereka menyombongkan diri dan mereka adalah orang-orang yang berdosa” (QS. Yunus: 75). Maka lihatlah wahai saudaraku, orang yang bersombong diri biasanya ia tidak bisa mendapatkan hidayah dari Allah Subhaanahu wa Taala.

Dan Subhaanallah dalam hadits ini seorang sahabat bertanya kepada Nabi Shallallahualaihi Wasallam, “wahai Rasulullah, salah seorang dari kami ingin agar bajunya bagus, demikian pula sandalnya bagus, apakah itu termasuk kesombongan?”. Maka Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam seakan mengatakan, “itu bukan kesombongan, Allah itu indah dan mencintai keindahan”.

Artinya pakaian yang bagus bukan termasuk kesombongan sama sekali, bahkan itu suatu hal yang dicintai oleh Allah karena menunjukkan keindahan sebagai suatu nikmat yang diberikan oleh Allah. Bahkan memperlihatkan kenikmatan adalah bentuk rasa syukur kepada Allah subhanahu wa taala. Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah suka melihat tampaknya bekas nikmat Allah pada diri hamba-Nya” (HR. Tirmidzi, no.2819. Ia berkata: “hasan”, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Al Jami).

Akan tetapi kesombongan itu ketika seseorang menolak kebenaran atau ia menganggap remeh orang lain. Baik karena orang yang ia remehkan itu miskin atau ia lebih rendah derajatnya dalam masalah ilmu dan amalan shalih. Saudaraku, dalam hadits lain Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam bersabda: “cukuplah bagi seseorang itu keburukan, ia menganggap remeh Muslim yang lain” (HR. Muslim, no.2564).

Terkadang misalnya kita orang yang memiliki kekayaan, dan punya kelebihan. Ketika kita melihat orang miskin yang tidak punya kekayaan, kita pandang dia dengan pandangan yang remeh sekali. Ini lah bentuk meremehkan orang. Atau misalnya orang yang memiliki kedudukan, mungkin Bupati, presiden, atau camat, ketika melihat orang biasa atau rakyat jelata ia merasa dirinya punya kelebihan, lalu ia pun bersombong diri.

Atau misalnya kita diberi kelebihan berupa amalan shalih, terkadang ketika melihat orang yang amalan shalihnya kurang, kita merasa memiliki kelebihan dan melecehkan dia. Terkadang juga kita merasa punya kelebihan ilmu, punya titel yang tinggi, ketika melihat orang yang lebih rendah titelnya, dalam diri kita terasa ada sesuatu perasaan lebih baik dari dia. Inilah sebenarnya benih-benih kesombongan.

Terlebih ketika ada orang yang menasehati kita adalah orang yang lebih muda dari kita atau orang yang tidak lebih berilmu dari kita. Terkadang kesombongan dan keangkuhan muncul di hati kita sehingga kita enggan untuk menerima nasehat-nasehatnya. Ini juga merupakan fenomena kesombongan. Dan bukankah seorang Mukmin yang sejati itu senantiasa menerima nasehat? Allah Taala berfirman (yang artinya): “Berilah peringatan! Sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman” (QS. Adz Dzariyat: 55).

Dan subhaanallah, ini sangat menakutkan sekali. Karena Nabi Shallallahualaihi Wasallam bersabda: “tidak akan masuk surga, orang yang ada di dalam hatinya sebesar biji sawi kesombongan”. Hanya sebesar biji sawi dari kesombongan, ternyata menyebabkan kita tidak masuk surga.

Ikhwati fillah rahimaniy wa rahimakumullah, sudah menjadi kewajiban kita untuk menyadari bahwa apa yang Allah berikan kepada kita berupa kelebihan-kelebihan baik itu kekayaan, kedudukan, hakikatnya adalah pemberian dari Allah Subhanahu wa taala. Orang kaya hendaknya sadar, kekayaan itu datangnya dari Allah. Orang yang mempunyai kedudukan hendaknya sadar, bahwa kedudukan itu adalah amanah di sisi Allah yang akan dimintai pertanggung-jawabannya. Bukan untuk disombongkan sama sekali.

Orang yang berilmu segera sadar bahwa ilmunya itu bukan untuk disombongkan, tapi untuk menjadikan ia lebih tawadhu dan lebih takut kepada Allah Subhanahu wa Taala. Orang yang beramal shalih, banyaknya amal shalih, bukan untuk dibanggakan dan disombongkan. Akan tetapi untuk membuat ia lebih dekat kepada Allah.

Maka, saudaraku aazzaniyallah waiyyakum, orang yang sombong itu pada hakikatnya tidak menyadari jati dirinya, tidak menyadari siapa dia sebenarnya. Bahwa dia hakikatnya adalah seorang hamba, hamba yang tidak punya dan tidak memiliki apa-apa. Dia faqir kepada Allah, faqir kepada rahmat-Nya dan karunia-Nya. Lalu untuk apa ia menyombongkan diri dengan segala kelebihannya sementara pada hakikatnya ia tidak memiliki apapun. Allah taala berfirman (yang artinya), “Wahai umat manusia! Kalian adalah fakir kepada Allah. Adapun Allah, maka Dia Maha Kaya lagi Maha Terpuji” (QS. Fathir: 15).

Saudaraku, terkadang penting sekali untuk melihat bagaimana pemberian Allah kepada kita dan kekuasaan Allah yang berikan kepada kita. Allah Subhanahu wa Taala menciptakan alam semesta yang begitu luar biasa, keindahan alam yang luar biasa, semua itu milik Allah. Allah menciptakan tubuh kita dengan bentuk yang indah, Allah Subhanahu wa Taala sediakan bagi kita berbagai macam harta dan kebutuhan, jika seorang hamba menyadari semua ini saya yakin ia akan ber-tawadhu (rendah hati).

Dan tawadhu itu adalah akhlak yang sangat agung. Allah Taala berfirman (yang artinya): “Ibadurrahman adalah orang-orang yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati (tawadhu) dan apabila orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.” (QS. Al Furqaan: 63). Dan Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam bersabda: “tidaklah salah seorang di antara kalian ber-tawadhu kecuali Allah akan meninggikannya derajatnya” (HR. Muslim, no.2588).

Bahkan manusia sendiri pun tidak suka kepada orang yang sombong. Ketika kita melihat ada orang yang angkuh, pasti kita tidak suka. Tapi ketika kita melihat orang yang tawadhu, yang tidak menonjolkan kelebihannya di hadapan orang, bahkan ia merasa takut kalau Allah mengadzabnya sekonyong-konyong, itu adalah orang yang Allah jadikan kecintaan kepada dia di hati-hati para hamba karena sikap tawadhu-nya tersebut.

Maka dari itu saudaraku, jika kita diberi Allah Subhanahu wa Taala kelebihan, berhati-hatilah. Segera introspeksi diri, segera periksa hati kita. Kalau Allah Subhanahu wa Taala memberikan kepada kita kekayaan, kedudukan, atau kelebihan dalam beramal shalih, segera periksa hati kita jangan sampai itu menimbulkan kesombongan yang menyebabkan kita terhalang masuk ke dalam surga. [Ustaz Badrusalam, Lc.]

Ketika Allah SWT Berkuasa Atas Hidayah

Lelaki itu tumbuh di tengah keluarga terhormat. Ia dikaruniai bakat kepenyairan yang membuatnya terkenal di seluruh kabilah. Pada musim-musim Pasar ‘Ukazh, ketika para penyair Arab berdatangan dari segala penjuru, lelaki bernama ath-Thufail Ibn ‘Amr ad-Dausi itu berada di posisi terdepan.

Thufail adalah aset suku Quraisy. Suatu bencana bagi Quraisy bila Thufail menggunakan bakat kepenyairannya untuk membela Rasulullah SAW. Karena itu, para pemuka Quraisy bergegas menyambut tatkala mendengar kabar kedatangan Thufail ke Makkah. Mereka khawatir Thufail bertemu Rasulullah dan masuk Islam. Mereka mencegat lelaki itu. Ia disuguhi jamuan yang mewah dan penginapan.

“Muhammad itu memiliki kata-kata laksana sihir yang bisa memisahkan seorang ayah dari anaknya, saudara dari saudaranya, atau suami dari istrinya. Kami mengkhawatirkan dirimu dan kaummu darinya. Karena itu, janganlah kau berbicara dengannya dan janganlah mendengarkan kata-katanya!” pesan para pemuka Quraisy, seperti dikisahkan Khalid Muhammad Khalid dalam Biografi 60 Sahabat Rasulullah.

Begitu gencar kaum Quraisy memengaruhinya sampai-sampai Thufail terpengaruh. “Demi Allah, mereka terus membujuk diriku hingga aku benar-benar memutuskan untuk tidak mendengar sesuatu pun dari Rasulullah dan tidak pernah bertemu dengannya. Ketika pergi ke Ka’bah, aku tutup telingaku dengan kapas agar aku tidak mendengar apa pun yang beliau katakan.”

Keesokan harinya, Thufail pergi ke Ka’bah dengan telinga tersumpal kapas. Setibanya di sana, ia melihat Rasulullah tengah menunaikan shalat. Lelaki itu tertarik dengan tata cara shalat Rasulullah yang amat berbeda dengan kaumnya. Perlahan-lahan, ia mulai mendekat. Allah tidak menghendaki selain memperdengarkan sedikit dari yang dibaca Rasul kepadanya. Thufail mendengar kalam yang indah.

Penyair itu membatin, “Aduhai, celakalah ibuku. Demi Allah, aku adalah seorang penyair dan laki-laki yang cerdas. Aku bisa membedakan yang baik dan yang buruk. Jadi, apa salahnya jika aku mendengarkan apa yang dibaca oleh Muhammad. Jika yang dibawanya adalah baik, aku bisa menerimanya dan jika yang dibawa itu buruk, aku tinggalkan.”

Lelaki itu pun menanti hingga Rasulullah kembali ke rumah. Thufail mengikutinya. Ia berkata, “Wahai Muhammad, sesungguhnya kaumku telah menceritakan ini dan itu tentang dirimu. Demi Allah, mereka tidak pernah berhenti untuk menakut-nakuti diriku terhadapmu sehingga aku menutup kedua telingaku dengan kapas agar tidak bisa mendengar apa yang engkau katakan.”

“Tetapi, Allah menghendaki agar aku mendengar. Aku pun mendengar kalam yang indah. Karena itu, tunjukkanlah apa yang kau bawa!” lanjut Thufail meminta.

Rasulullah pun membacakan beberapa ayat dari Alquran. Demi Allah, kata Thufail, ia tidak pernah mendengar kalam yang lebih indah daripada Alquran dan lebih adil daripada Rasulullah. Lelaki itu kemudian menyatakan kalimat syahadat.

Tidakkah kita lihat ada kesamaan antara lelaki ini dan Umar bin Khatab? Mereka orang-orang terhormat dengan citarasa sastra tinggi, tumbuh di tengah tradisi syair yang melegenda, namun tunduk mendengar ayat-ayat-Nya. Fitrah yang suci membimbing mereka mengakui kebenaran kalam Ilahi.

Lewat surah az-Zumar ayat 18, Allah telah menyanjung mereka “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya.” Thufail adalah perwujudan fitrah yang suci. Semua orang berusaha menjauhkannya dari kebenaran, tapi kehendak-Nya tak dapat dikekang. Thufail pun bersikap adil dengan tidak membabi buta mengikuti nasihat kaum Quraisy. Dia pergunakan akal untuk memilah yang baik dan yang buruk.

 

REPUBLIKA

Ini 5 Ciri Orang yang Mendapatkan Hidayah

Seorang Muslim yang menegakkan shalat lima waktu, sesungguhnya ia meminta hidayah 17 kali dalam sehari. “Setiap kali membaca Surat Al-Fatihah, pada ayat keenam ia membaca “Ihdinash shirathal mustaqim”, yang artinya “tunjukilah (berilah hidayah) kepada kami jalan yang lurus,” kata Habib Abdurrahman Al-Habsy saat mengisi pengajian guru dan karyawan Sekolah Bosowa Bina Insani (SBBI) di Masjid Al-Ikhlas Bosowa Bina Insani Bogor, Jawa Barat, Jumat (22/9).

Abdurrahman menambahkan, ada dua bentuk hidayah. Pertama, hidayah bayan wal irsyad (penjelasan dan petunjuk). “Hidayah ini cenderung dimiliki oleh para nabi dan rasul. Hidayah turun kepada mereka dan mereka punya kewajiban menyampaikan dan menjelaskan hal tersebut kepada umat yang ada bersama mereka pada saat itu,” ujarnya.

Kedua, hidayah taufiq. Ini adalah hidayah yang Allah turunkan kepada hamba-hamba Allah, siapa saja, dengan syarat punya kemauan dan kesungguhan untuk mendapatkan hidayah Allah. “Hidayah ini akan sampai kepada seseorang manakala dia mau menjemputnya. Hanya hamba-hamba Allah yang punya persiapan yang baik, punya keinginan yang baik dalam hidupnya, dan mau berikhtiar sungguh-sungguh untuk menjemputnya, yang akan mendapatkan hidayah taufiq,” tuturnya.

Lalu, apa kendaraan untuk menjemput hidayah taufiq tersebut? Menurut Abdurrahman, ada dua kendaraannya, yakni Alquran dan Sunnah Rasulullah SAW. “Hendaklah kita selalu mengakrabi Alquran, baik dengan cara membacanya, memahaminya, mendalaminya dan mengamalkannya. Selain itu, pelajari Sunnah Rasulullah SAW dengan sebaik mungkin, baik perkataan, perbuatan maupun penetapan beliau,” paparnya.

Abdurrahman lalu mengungkapkan lima cirri orang yang mendapat hidayah Allah. Pertama, ia merasakan mudah atau tidak berat melaksanakan kewajiban (ketaatan) kepada Allah dan menjauhi larangan-Nya. “Termasuk di dalamnya tidak berat melaksanakan Tahajud, shalat fardhu berjamaah dan ketaatan lainnya kepada Allah,” ujarnya.

Kedua, kalau mendengar nama Allah disebut cintanya kepada Allah bertambah, hatinya bergetar.   “Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah bergetar hati mereka. dan apabila dibacakan ayat-ayatnya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya, dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal.” (QS Al-Anfal: 2)

Ketiga, senantiasa istiqamah/ konsisten. Artinya berpegang teguh pada nilai-nilai keimanan yang dimiliki. “Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah, maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS Ali ‘Imran: 101)

Keempat, rajin dan sungguh-sungguhn menghadiri majelis-majelis ilmu, guna menambah perbendaharaan keilmuan dan keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya. “Allah akan meninggikan beberapa derajat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan (iImu) beberapa derajat.” (QS Al Mujadalah: 11)

Kelima, hidupnya bermahkotakan rasa malu. Baik malu kepada Allah maupun makhluk Allah.

Abdurrahman mengatakan, banyak sekali hadits Rasulullah yang menegaskan pentingnya sifat malu (haya’).  Salah satu di antaranya, “Malu itu sebagian dari iman.” Hadits lainnya, “Jika kamu tidak punya rasa malu, silakan lakukan sesuka hatimu.” “Malu dan iman itu ibarat saudara kembar. Orang yang beriman pasti punya rasa malu.” “Malu itu tidak mendatangkan sesuatu, kecuali kebaikan.”

 

REPUBLIKA

Antara Bencana dan Hidayah

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar” (QS al-Baqarah [2]:155 ).

Setiap orang beriman pasti akan dicoba. Huruf lam pada ayat di atas disebut laamut taukid (lam untuk suatu yang pasti ). Jika laamut taukiddigunakan dalam bahasa Arab sehari-hari, hal itu sesuatu yang biasa. Namun, bila berasal dari Yang Maha Pencipta, hal itu sesuatu yang sangat luar biasa. Artinya, setiap orang yang meyakini syariat agama Islam, melaksanakan perintah Allah, dan menjauhi larangan-Nya tidak akan luput dari musibah dan cobaan.

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah berkomentar: “Bahwa Allah SWT akan mencoba hambanya terkadang dengan hal yang mengembirakan dan terkadang dengan kesusahan berupa rasa takut dan lapar, sedikit, bahkan hilangnya harta benda, meninggalnya para karib kerabat serta sawah ladang yang tidak mendatangkan hasil seperti biasanya.”

Ketika musibah menimpa kita dan saudara-saudara kita, maka ucapan yang seharusnya kita perbanyak adalah Inna lillaahi wa inna ilaihi raaji’un(Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali. Kalimat ini dinamakan kalimat istirjaa (pernyataan kembali kepada Allah).

”Barang siapa yang membaca istirjaa ketika ditimpa musibah, maka Allah akan mengalahkan musibahnya, memberikan balasan yang baik kepadanya dan menjadikan baginya ganti yang baik yang diridhainya.” (HR As Suyuthi dalam kitab Ad Durrul Mantsur).

Said bin Jubair berkata: “Sungguh umat ini telah dikaruniai satu ucapan yang belum pernah diberikan kepada para nabi dan umat-umat sebelumnya, yaitu istirjaa.”

Namun, semestinya bukan hanya lidah yang berucap. Lebih dari itu, hati dan seluruh jiwa raga kita harus benar-benar kembali kepada-Nya, meratapi kesalahan, mengakui dosa-dosa yang telah kita lakukan serta mengisi detik-detik hidup kita dengan amal saleh dan ketaatan.

Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS Al Baqarah [2]:157 ). Al Muhtaduun (orang-orang yang mendapat petunjuk) merupakan derajat yang tidak sederhana dalam kacamata Alquran. Derajat ini biasanya diperuntukkan para nabi dan rasul. Akan tetapi, dalam ayat ini, ungkapan al muhtaduun diberikan bagi setiap orang yang mendapat musibah.

Modal mereka hanya satu, yaitu sabar. Menjadikan apa yang mereka peroleh sebagai sarana untuk memperoleh berkah, rahmat, dan hidayah Allah. Mereka tidak berkeluh kesah dengan derita yang mereka terima. Bagi mereka, seluruh peristiwa yang terjadi adalah yang terbaik bagi mereka.

“Sungguh menakjubkan urusan orang yang beriman, sungguh setiap urusannya mengandung kebaikan. Jika ia ditimpa hal yang menyenangkan, maka ia bersyukur dan itu baik bagi dirinya, dan jika ia ditimpa musibah, ia bersabar dan itu juga baik bagi dirinya. Hal itu tidak dimiliki oleh siapa pun selain orang yang beriman (HR Muslim)”. Wallahu a’lam.

 

Oleh:  Abu Afifah Zulfiker

REPUBLIKA