Hidup Sehat Ala Rasulullah

Bagaimana hidup sehat ala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Hadits kali ini dari Jamiul Ulum wal Hikam akan menjawabnya.

Hadits Ke-47 dari Jamiul Ulum wal Hikam Ibnu Rajab

الحَدِيْثُ السَّابِعُ وَالأَرْبَعُوْنَ

عَنِ المِقْدَامِ بْنِ مَعْدِيْكَرِبَ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ:

مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ

رَوَاهُ الإِمَامُ أَحْمَدُ وَالتِّرْمِذِيُّ وَالنَّسَائِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ وَقَالَ التِّرْمِذِيُّ:حَدِيْثٌ حَسَنٌ

Hadits ke-47

Dari Al-Miqdam bin Ma’dikarib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada tempat yang lebih jelek daripada memenuhi perut keturunan Adam. Cukup keturunan Adam mengonsumsi yang dapat menegakkan tulangnya. Kalau memang menjadi suatu keharusan untuk diisi, maka sepertiga untuk makannya, sepertiga untuk minumannya, dan sepertiga untuk nafasnya.” (HR. Imam Ahmad, Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan) [HR. Ahmad, 4:132; Tirmidzi, no. 2380; Ibnu Majah, no. 3349. Syaikh Syuaib Al-Arnauth mengatakan bahwa perawi hadits ini tsiqqah, terpercaya].

Faedah hadits

  1. Hadits ini dijadikan landasan untuk memahami kiat hidup sehat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:468)
  2. Ada seorang dokter di masa silam bernama Ibnu Masawaih ketika ia membaca hadits ini di dalam kitab Abu Khaitsamah, ia berkata, “Andai kaum muslimin mengamalkan isi hadits ini, niscaya mereka akan selamat dari berbagai penyakit. Kalau demikian, rumah sakit dan farmasi akan jadi kosong.” Beliau mengatakan demikian dikarenakan berbagai penyakit disebabkan oleh perut yang terbiasa terisi penuh. Sebagian pakar juga mengatakan, “Asal dari berbagai penyakit adalah perut yang selalu terisi penuh.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:468)
  3. Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Sedikit makan itu lebih baik daripada banyak makan. Ini lebih manfaat bagi sehatnya badan.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:468)
  4. Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Manfaat dari sedikit makan bagi baiknya hati adalah hati akan semakin lembut, pemahaman semakin mantap, jiwa semakin tenang, hawa nafsu jelek tertahan, dan marah semakin terkendali. Hal ini berbeda dengan kondisi seseorang yang banyak makan.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:469)
  5. Imam Syafii rahimahullah berkata, “Aku tidaklah pernah kenyang selama 16 tahun kecuali satu kali saja yang aku berusaha untuk mengeluarkannya. Kekenyangan itu membuat badan menjadi sulit bergerak, kecerdasan semakin berkurang, jadi sering tidur, dan melemahkan seseorang dari beribadah.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:474)
  6. Hadits ini menerangkan adab syari bahwa kita ketika makan hendaklah sesuai kadar kebutuhan.
  7. Hadits ini mengingatkan agar tidak membuat perut kekenyangan karena dampaknya adalah mudah datang penyakit, dan mudah malas.
  8. Secukupnya dalam mengisi perut lebih memanjangkan umur.
  9. Jika memang mau makan lebih dari cukup, jadikanlah jangan sampai lebih dari sepertiga untuk perut.

Referensi:

  1. Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam. Cetakan kesepuluh, Tahun 1432 H. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.
  2. Fath Al-Qawi Al-Matin fii Syarh Al-Arba’in wa Tatimmah Al-Khamsiin li An-Nawawi wa Ibnu Rajab rahimahumallah. Cetakan kedua, Tahun 1436 H. Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Muhammad Al-‘Abbad Al-Badr.

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/25270-hidup-sehat-ala-rasulullah-hadits-jamiul-ulum-wal-hikam-47.html

Belajar Hidup Sehat dari Nabi SAW

Seorang dokter ahli bedah usus asal Jepang, Hiromi Shinya, tak henti-hentinya menekankan pentingnya kesehatan lambung dan usus. Hasil penelitiannya menunjukkan, jika sistem pencernaan seseorang bersih, orang itu dapat melawan jenis penyakit apa pun dengan mudah.

Sebaliknya, katanya, bila sistem pencernaan tidak bersih, orang tersebut rentan terserang penyakit. Ia menjelaskan dalam bukunya The Miracle of Enzyme bahwa makanan dan keadaan saluran pencernaan (termasuk usus dan lambung) berhubungan dengan timbulnya tumor, baik jinak maupun ganas. Bahkan, dapat berhubungan dengan semua penyakit, baik yang sudah muncul maupun yang belum.

Jauh sebelum Hiromi Shinya mengungkapkan hal tersebut, Nabi Muhammad SAW telah mengingatkan umatnya untuk menjaga kesehatan pencernaan dengan mengatur pola makan. Beliau bersabda, ”Tidak ada tempat yang paling jelek pada diri anak Adam selain perut yang penuh (oleh makanan). Cukuplah baginya beberapa suap sekadar untuk menegakkan tulang punggungnya. Jika ia bisa mengendalikan dirinya, cukuplah (perutnya terisi) sepertiga makanan, sepertiga minuman, dan sepertiganya lagi untuk udara.” (HR Ibnu Majah).

Peribahasa, ”Mencegah lebih baik daripada mengobati” tecermin jelas dalam sabda Nabi itu. Untuk mencegah penyakit dalam, Nabi SAW mengajarkan supaya mengatur pola makan. Sedangkan untuk mencegah penyakit luar dengan cara menjaga kebersihan. Kewajiban wudhu sebelum shalat, sunah mandi sebelum shalat Jumat, juga sunah bersiwak menjadi bukti bahwa Nabi menganjurkan kebersihan diri.

Beberapa abad kemudian, Ibnu Butlan dalam kitabnya Taqwin As-Shihha (Menjaga Kesehatan) menjelaskan enam langkah menjaga kesehatan badan. Boleh dikata, enam langkah ini merupakan penjabaran dari hadis di atas dan sunah Nabi SAW sehari-hari. Karena, langkah hidup sehat yang diungkap lebih menekankan pencegahan daripada pengobatan.

Pertama, menghirup udara yang bersih, karena ini punya efek yang baik bagi kesehatan jantung. Kedua, mengatur pola makan dan minum secara baik. Ketiga, menjaga keimbangan antara aktivitas dan istirahat. Keempat, mengatur pola tidur. Kelima, membiasakan diri dengan relaksasi dan suasana humor. Dan keenam tidak berlebihan dalam meluapkan emosi ketika senang, marah, sedih, dan takut.

Karena ada kesadaran yang tinggi akan kesehatan itulah, kajian-kajian tentang kesehatan dalam dunia sudah berkembang pesat sejak awal. Sarjana-sarjana Muslim sedari awal melakukan penelitian ilmu kedokteran dan berhasil menemukan bermacam jenis penyakit dan obat-obatan.

Tak hanya itu, lembaga-lembaga kesehatan, klinik, dan rumah sakit, didirikan di setiap kota atas biaya pemerintah. Bahkan, berdasarkan catatan Afzalur Rahman dalam Muhammad sebagai Pecinta Ilmu, pada abad ke-11 M sudah ada rumah sakit keliling di kota-kota Islam.

Etika dokter

Spirit ajaran Nabi SAW tidak hanya menginspirasi umat Islam dalam ilmu medis, tetapi juga etika pengobatan pasien. Perumusan etika kedokteran dilakukan secara matang pada zaman Turki Usmani.

Akdeniz dalam karyanya Dokter Ottoman dan Etika Kedokteran menyebutkan, secara garis besar ada empat hal yang harus dipegang teguh seorang dokter di era kekhalifahan Turki Usmani, yakni; kesederhanaan/kesopanan, kepuasan, harapan, dan kesetiaan. Seorang dokter yang baik, lanjutnya, akan mematuhi keempat aturan dalam menjalankan praktiknya.

Para dokter di zaman Turki Usmani bersama-sama menyusun kode etik kedokteran. Mereka mengusulkan apa yang harus dilakukan serta yang harus dihindari saat menjalankan praktik medis. Menurut Akdeniz, berdasarkan catatan para dokter di zaman itu, etika kedokteran mengatur perilaku dokter saat berinteraksi dengan pasiennya.

Dalam hal kesopanan/kesederhanaan, seorang dokter harus menyadari bahwa dia sebagai khalifah Tuhan yang bertugas menolong proses penyembuhan pasien. Seorang dokter hanyalah sarana, sedangkan penyembuh nyata adalah Allah SWT.

Di samping itu, seorang dokter harus melawan uang yang bukan haknya dengan alasan pengobatan. Etika yang ditetapkan menuntut agar seorang dokter menahan diri, tidak menjadi ambisius, dan tekun mengumpulkan uang. Dalam sikap yang demikian, seorang dokter juga diwajibkan melanjutkan pengobatan kepada pasiennya selama dia mampu; merawat pasiennya secara jujur, dan tidak mengenal putus asa.

Akan tetapi, spirit modernitas mendorong terjadinya perubahan etika kedokteran yang begitu besar,. Akibatnya, nilai-nilai moral yang menjadi pegangan para dokter terdahulu terkikis dan tergantikan dengan nilai-nilai baru yang lebih pragmatis. ”Kebaikan telah mengalami kemunduran,” papar Prof Nil Sari dalam karyanya berjudul Tip Deontolojisi.