Perjalanan Hijrah Dimas Seto dan Dini Aminarti

Perjalanan pasangan artis muda Dimas Seto dan Dini Aminarti berhijrah tidak dilakukan secara spontan. Mereka membutuhkan waktu panjang dan usaha yang tidak kecil untuk mempelajari serta mendalami agama secara konsisten.

Dimas mengatakan, sebenarnya ia dididik di keluarga taat beragama. Tapi, dirinya saja yang kerap bandel, termasuk ketika bekerja di dunia seni selama hampir 19 tahun.

“Secara duniawi, saya memang menghasilkan banyak. Namun, untuk akhirat, saya menganggapnya tidak ada,” ujarnya dalam sebuah talkshow di Masjid At-Taqwa Thamrin Residence, Jakarta Pusat, Ahad (8/4).

Saat bekerja di dunia hiburan itu, Dimas merasa hanya mengejar hal duniawi. Ia bahkan tidak sungkan mengorbankan waktu dua hari tidak pulang untuk sekadar mengejar kepuasan semata tanpa henti.

Kesadaran itu perlahan muncul pada 2003 ketika rasa ingin tahu terhadap agama timbul dalam diri Dimas. Ia ingin mencari tahu, apa yang menyebabkannya selalu gelisah, merasa kurang dan emosional tidak terkontrol.

“Saya cari tahu dan saya menyadari rasa itu ada karena selama ini saya tidak mengimbangi kepuasan duniawi dengan akhirat,” ujar Dimas.

Penggalian Dimas terhadap agama terus berlanjut sampai 2009 ia memutuskan menikah dengan Dini. Keduanya sama-sama memiliki rencana menata hidup lebih rapi. Komitmen itu semakin dirasa kuat pada 2012, saat teman-teman terdekat Dimas satu persatu meninggal dunia di usia yang masih muda.

Di saat proses penggalian ilmu semakin besar, sempat timbul keinginan Dimas untuk berhenti dari dunia seni. Tapi, ia menyadari di dunia banyak jalan berdakwah.

“Saya bisa menjadi virus yang baik. Tidak perlu berceramah di depan orang-orang, cukup mengajak kebaikan, misal shalat tepat waktu,” ucap Dimas.

Kondisi serupa juga terjadi pada Dini. Perjalanannya untuk berhijrah yang diawali dengan berhijab tidak dilakukan secara instan. Ia bahkan harus mempertimbangkan berkali-kali untuk menutup auratnya.

Dini menceritakan, pada awal nikah, Dimas sempat menyatakan keinginannya memilki istri berhijab. Dini yang waktu itu belum berhijab hanya meminta sang suami  mendoakan.

“Saya saat itu jawabnya hanya asal. Doain saja ya,” ujarnya.

Sampai suatu hari, Dini membaca sebuah artikel dengan cerita yang tidak akan pernah dilupakannya. Dalam artikel itu tertulis ada seorang perempuan tidak dapat masuk surga karena tidak berhijab.

Dengan berbagai pemikiran, sepekan setelahnya, Dini memutuskan berhijab. Keputusan itu diambilnya setelah berbicara dengan sang ibu, sepupu terdekat dan suami.

“Saya merasa, sebenarnya saya sudah mendapatkan hidayah sejak lama, hanya suka memungkiri,” ujarnya.

Tidak sampai di sini, Dini dan Dimas berupaya terus belajar mendalami agama secara beriringan. Selain belajar dengan menghadiri berbagai kajian di masjid, keduanya rutin bertukar pikiran bersama orang-orang yang lebih memahami ilmu agama.

 

REPUBLIKA

Hijrah: Migrasi dari Gelap Menuju Terang

ORANG yang lama berada dalam gelap akan merasa kaget dan tersiksa ketika ada cahaya terang mengenai dirinya, terlebih kedua matanya. Tapi dia harus dipaksa membiasakannya agar mampu menikmati nikmat dah indahnya terang.

Orang yang terbiasa dengan kehinaan, kejahatan dan kemaksiatan akan kaget dan merasa tak nyaman jika ada dakwah untuk kemuliaan, ajakan kebaikan dan panggilan untuk ibadah.

Salah satu bentuk riyadlah (latihan) jiwa yang lazim dijalankan orang-orang baik masa lalu untuk membiasakan lembali dengan kebaikan adalah memaksa diri untuk duduk bersama orang-orang shalih dan membiasakan diri dzikir mengingat Allah untuk menetralkan hati dari toxin cinta dunia dan berdoa terus untuk menentramkan jiwa dari kegelisahaan yang tak perlu.

Salah satu doa yang diajarkan oleh Rasulullah adalah: “Wahai Dzat yang Maha Mengetahui atas segala apa yang ada dalam dada, keluarkankan hamba dari kegelapan (dhulumat)menuju terang (nur). Begitu pentingnya migrasi dari zona gelap ke zona terang, sampai Rasulullah mengajarkan doa ini. Selamat bagi yang sudah di zona terang, mari kita istiqamah di zona penuh ridla itu. Bagi yang masih belum migrasi, hijrahlah dengan cara yang tepat menuju tempat yang tepat untuk bersama-sama dengan orang yang tepat.

Mulailah hari ini dengan membuka mata dan membuka hati, berdzikir dengan lisan dan mengingat dengan kalbu, melangkah dengan kaki dan berangkat dengan jiwa menuju cahaya, Cahaya di atas cahaya. Jadikan hari-hari kita sebagai hari yang indah dan berkah.

 

INILAH MOZAIK

Berhijrah untuk Melepaskan Himpitan Hidup

APAKAH dunia serasa begitu sempit menghimpit sendi-sendi kehidupan kita? Kebutuhan dan penghasilan yang tidak seimbang, sehingga kegalauan finansial sering datang menghantui pada malam dan siang hari? Mungkin salah satu jalan keluarnya adalah berhijrah. Pindah tempat tinggal dan mencari jalan rezeki yang lebih mudah.

Pindah atau hijrah bisa menjadi sebuah solusi permasalahan kehidupan, terutama rezeki, yang selalu menghimpit kehidupan banyak manusia. Allah berfirman di dalam Al-Quran:

Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak.” (an-Nisa’: 100)

Hijrah sebagaimana dikatakan oleh Imam Raghib al-Asfahani adalah keluar dari negeri kafir menuju negeri iman, sebagaimana Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabat yang berhijrah dari Makkah ke Madinah. Hijrah di jalan Allah, menurut Rasyid Ridha, harus dalam arti sejati. Maksudnya, tujuan orang melakukan hijrah itu untuk mendapatkan ridha Allah dengan menegakkan agama-Nya. Hal itu merupakan kewajiban yang dicintai Allah. Hijrah juga bertujuan untuk menolong saudara-saudara seagama dan seiman yang menyelamatkan diri dari orang-orang kafir.

Yang dimaksud ayat di atas agar manusia berani dan mau melakukan hijrah. Sedangkan yang dimaksud dengan hijrah di jalan Allah, bisa jadi umum, yaitu semua jalan yang diizinkan dan diperintahkan oleh Allah. Tempat hijrah seharusnya merupakan sebuah tempat yang lebih luas.

Apa yang dilakukan pemerintahan Presiden Soeharto dengan program transmigrasinya, bisa jadi termasuk hijrah. Beberapa keluarga memilih untuk pindah dari tanah Jawa yang sudah padat penduduknya, ke Kalimantan dan Sumatera yang penduduknya relatif lebih jarang. Di sana, para transmigran disediakan tempat tinggal dan bekerja demi mencari rezeki yang berkah dan halal.

Banyak keluarga yang kemudian menjadi penduduk baru di sana, akhirnya menjadi orang-orang sukses dan berkecukupan. Namun, ada juga yang pulang ke tanah kelahirannya karena satu dan lain alasan. Meskipun demikian, orang-orang yang bertransmigrasi dan sukses di tempat tinggalnya yang baru itu, jelas merasakan kemudahan dalam membuka pintu-pintu rezeki yang telah disediakan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala di bumi yang luas ini.

Di dalam potongan ayat di atas, Allah memberikan janji kepada orang-orang yang berhijrah. Janji itu setidaknya mencakup dua hal; pertama, tempat hijrah yang luas dan kedua, rezeki yang banyak.

Janji pertama yang diterjemahkan sebagai tempat hijrah yang luas ini, bisa jadi bukan sebuah tempat dalam arti yang sesungguhnya. Imam Fakhrur Razi menafsirkan bahwa yang dimaksud adalah orang yang berhijrah dari tempatnya menuju tempat lain, kemudian dia menjadi orang sukses di tempat baru itu, serta banyak mendapatkan kenikmatan dan rezeki. Akibatnya, musuh-musuh orang tersebut kebakaran jenggot dan menyesal karena memusuhi orang tersebut.

Sedangkan janji yang kedua dalam ayat itu adalah mendapatkan rezeki berupa kekayaan harta yang banyak. Penafsiran itu disampaikan oleh Ibnu ‘Abbas radiyallahu anhu, ‘Atha’, adh-Dhahhak, dan mayoritas ulama. Bisa jadi rezeki yang dimaksud tidak selalu berupa harta, tetapi berupa jalan kebenaran dan petunjuk dari Allah. Dengan kata lain, luas dan banyaknya rezeki yang dijanjikan Allah, bisa jadi berupa harta atau kenikmatan Allah yang lain.

Fakta di sekitar kita menunjukkan, masih banyak orang yang meninggalkan tanah kelahirannya untuk mengais rezeki ke luar kota, ibu kota, luar pulau, bahkan ke luar negeri menjadi TKI dan TKW. Mereka semua adalah bukti bagaimana hijrah menjadi salah satu kunci untuk membuka pintu rezeki Allah, terlepas apakah mereka berangkat karena yakin terhadap janji Allah ataupun tidak.

Apabila kita menengok sejarah Rasulullah dan para sahabatnya yang hijrah dari Makkah ke Madinah, tentu kita akan mendapatkan bukti dari janji Allah untuk membukakan pintu rezeki kepada manusia yang berhijrah. Rasulullah dan Abu Bakar meninggalkan Makkah tanpa membawa harta benda apa pun, kemudian Allah memberikan kelapangan rezeki di tempat hijrah yang baru, Madinah.

Sebagian sahabat ada yang meninggalkan hartanya di Makkah, lalu dihadang di tengah jalan agar mau memberitahukan tempat simpanan harta kekayaan mereka di Makkah. Namun di tempat hijrahnya, mereka mendapatkan penggantinya berupa harta yang melimpah dan berkah.

Banyak sahabat Rasulullah yang saat tinggal di Makkah merupakan orang-orang yang miskin dan fakir. Namun, setelah mereka hijrah ke Madinah, Allah membalik nasib mereka dan membukakan banyak pintu rezeki untuk mereka.

Tidak sedikit di antara sahabat merupakan orang-orang yang rendah status sosialnya lagi lemah. Namun, setelah mereka berhijrah, Allah memberikan kemuliaan dan menjadikan mereka para pemimpin yang tidak kekurangan harta. Begitulah jika orang mukmin berhijrah dengan penuh keyakinan tanpa rasa takut, demi menjalankan aturan Allah. Tidak mungkin Allah membiarkan mereka sengsara hanya karena urusan rezeki.

Tidak hanya berhenti dari Makkah ke Madinah saja. Silakan membaca sejarah para sahabat Rasulullah. Banyak sekali sahabat yang dahulu dihina, direndahkan, bahkan disiksa di Makkah, menjadi orang-orang yang sangat dihormati dan disegani di Madinah. Mereka menjadi orang kaya dan penguasa. Lihat pula, bagaimana mereka menjadi para pemimpin di wilayah-wilayah kekuasaan umat Islam yang baru di Mesir, Irak, Suriah, dan berbagai wilayah kekuasaan umat Islam lainnya. Para sahabat yang telah berhijrah dari tanah kelahirannya, tidak lagi menjadi orang-orang Islam yang lemah, miskin, dan mudah ditindas.

Imam Fakhrur Razi menjelaskan kesimpulan tafsir dari ayat di atas: “Allah Subhanahu Wa Ta’ala seakan-akan mengatakan: ‘Wahai manusia, apabila kalian membenci hijrah dari tanah kelahiranmu hanya karena takut mendapatkan kesulitan dan ujian dalam perjalanan, maka sekali-kali jangan demikian, karena Allah akan memberi kalian berbagai nikmat dan pahala yang besar dalam hijrah kalian. Hal itu akan menyebabkan rendahnya musuh-musuh kalian dan lapangnya rezeki dalam hidup kalian.”

Bukti bahwa hijrah merupakan salah satu kunci pembuka pintu rezeki Allah adalah firman-Nya:

Dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, kemudian mereka dibunuh atau mati, benar-benar Allah akan memberikan kepada mereka rezeki yang baik (surga). Dan sesungguhnya Allah adalah sebaik baik pemberi rezeki.” (al-Hajj: 58)

Rezeki dari Allah tidak terbatas pada harta benda dunia. Namun, rezeki yang abadi di akhirat itu jauh lebih penting dan mulia.

Firman Allah ini dengan gamblang memberikan janji rezeki yang baik berupa surga kelak di akhirat. Rezeki yang tidak hanya dalam bentuk harta dunia yang fana, melainkan rezeki yang bersifat abadi, yaitu dalam kehidupan manusia di surga.

Ayat di atas hampir sama dengan firman Allah:

Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya, maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (an-Nisa’:100)

Tidak ada salahnya jika kita kembali menggugah kesadaran kita tentang rezeki Allah yang tidak hanya terbatas dengan harta benda. Sebaiknya persepsi kita dalam hal ini lebih dikembangkan, sehingga kita menyadari bahwa yang jauh lebih penting adalah rezeki yang abadi di akhirat. Demikianlah persepsi dan pemahaman orang-orang yang bertakwa sesungguhnya.

Kita pun perlu menyegarkan pemahaman bahwa rezeki harta di dunia diberikan Allah kepada siapa saja yang dikehendaki, baik orang-orang mukmin atau orang-orang kafir sekalipun. Namun, kenikmatan surga di akhirat tidak akan diberikan oleh Allah, kecuali kepada orang-orang mukmin yang berani berhijrah sesuai tuntunan Allah. Jangan sampai terlena dengan rezeki harta, sehingga menjadi orang-orang yang disinggung Allah dalam firman-Nya berikut ini.

Allah meluaskan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit).” (ar-Rad: 26).*Nur Faizin M., M.A, dari bukunya Rezeki Al-Quran-Solusi Al-Quran untuk yang Seret Rezeki

 

HIDAYATULLAH

Semua Masih Punya Harapan Hijrah

Subhanallah walhamdulillah, sungguh sebesar apapun dosa seseorang selama ia masih hidup, berarti masih ada harapan untuk baik. Dan sungguh tiada kesempatan terindah dalam sejarah hidup di dunia selain kesempatan taubat. Sebaliknya sealim kayak apapun seseorang,  selama ia masih hidup, bisa saja ia kemudian kufur nikmat.

Karena itulah Allah melarang diri kita merasa paling suci. “Jangan sekali kali kalian merasa paling suci, karena hanya Allah yang paling tahu siapa yg paling bertakwa.” (QS An-Najm: 32). Semua kita punya aib, hanya saja masih ditutupi Allah. Jadi,  jangan sinis, jangan pesimistis, apalagi memvonis, semua boleh hancur, semua sudah terjadi, tetapi semua masih punya harapan hijrah, yakni berpindah dari akhlak dan perikehidupan yang buruk kepada akhlak dan perikehidupan yang baik. Allahu akbar.

Ingat sahabatku! Sebesar apapun dosa seorang hamba, sungguh rahmat dan ampunan Allah lebih besar dari dosa hamba-Nya sebanyak apapun. Simaklah kalam Allah ini dengan  iman,  “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Az-Zumar: 53).

Berita gembira dari Rasulullah, “Barangsiapa bertaubat sebelum matahari terbit dari barat niscaya Allah menerima taubatnya.” (HR Muslim). Betapa sayang dan  cintanya Allah kepada hamba-Nya yang bertaubat, alhamdulillah.

Allahumma ya Allah ampunilah seluruh dosa dosa kami, terimalah taubat kami, dan jadikanlah kami hamba-hamba-Mu yang istiqomah taat hingga Engkau mewafatkan kami. Aamiin.

Oleh Ustaz Muhammad Arifin Ilham

REPUBLIKA

 

 

—————————————————————-
Artikel keislaman di atas bisa Anda nikmati setiap hari melalui smartphone Android Anda. Download aplikasinya, di sini!

Hijrah, Momentum Persatuan dan Sirit Peradaban

Dominasi kaum Yahudi yang menyingkirkan bangsa Arab secara politik dan ekonomi di Yastrib, menimbulkan pertikaian di sana. Klan Aus dan Khazraj, sebagai penduduk pribumi Yatsrib mencari sosok pemimpin Arab yang mampu mengangkat martabat dan membebaskan mereka dari belenggu penindasan Yahudi.

Memang sudah lama ada desas desus di kalangan Yahudi, berdasarkan informasi dalam Kitab Taurat, bahwa akan datang seorang mesias dan Nabi akhir zaman yang akan memimpin dan menyelamatkan umat manusia dengan ciri-ciri yang juga disebutkan dalam Taurat. Namun kalangan Yahudi kecewa, karena sosok tersebut adalah seorang Arab, bukan Yahudi dan tinggal di Makkah. Informasi ini kemudian disimpan rapat-rapat oleh kalangan Yahudi.

Tapi, Informasi tersebut bocor juga kepada kaum Arab Yatsrib. Mereka mendengar di Makkah ada sosok yang ciri-cirinya persis yang digambarkan oleh Taurat. Sosok itu bernama Muhammad putera Abdullah dari klan Hasyim.

Berangkatlah perwakilan Aus dan Khazraj ke Makkah. Sesampainya di Makkah, mereka memohon kepada Muhammad SAW agar berkenan menjadi pemimpin mereka, serta bersumpah setia untuk mematuhi dan membelanya. Peristiwa ini dikenal dengan Bai’at Aqabah I. Setelah itu datanglah lagi gelombang kedua dari Yatsrib dengan jumlah yang lebih besar. Peristiwa ini dikenal dengan Bai’at Aqabah II.

Muhammad SAW kemudian hijrah menuju Yatsrib bersama pengikut-pengikutnya. Beliau berangkat paling akhir bersama Abu Bakar pada malam hari. Kedatangan Muhammad SAW disambut gegap gempita oleh penduduk Yatsrib.

Langkah pertama yang dilakukan Muhammad SAW adalah mempersaudarakan kaum Muhajirin yang datang dari Makkah dan Kaum Ansor penduduk asli Yatsrib. Kedua, mengganti nama Yatsrib menjadi Madinah Al Munawwarah yang bermakna Kota yang terang benderang. Ketiga membentuk konstitusi Madinah dengan kesepakatan seluruh suku-suku di Madinah, yakni Suku Quraisy, Aus, Khazraj, dan empat suku Yahudi: Bani Nadhir, Musthaliq, Quraizhah, dan Qainuqa. Perjanjian ini dikenal dengan Piagam Madinah. Sebuah konstitusi pertama yang terbentuk dari masyarakat yang plural.

Di antara isi Piagam Madinah adalah:

1. Kaum Yahudi bersama kaum muslimin wajib turut serta dalam peperangan.
2. Kaum Yahudi dari Bani Auf diperlakukan sama kaum muslimin.
3. Kaum Yahudi tetap dengan Agama Yahudi mereka, dan demikian pula dengan kaum muslimin.
4. Semua kaum Yahudi dari semua suku dan kabilah di Madinah diberlakukan sama dengan kaum Yahudi Bani Auf.

5. Kaum Yahudi dan muslimin harus saling tolong menolong dalam memerangi atau menhadapi musuh.
6. Kaum Yahudi dan muslimin harus senantiasa saling berbuat kebajikan dan saling mengingatkan ketika terjadi penganiayaan atau kedhaliman.
7. Kota Madinah dipertahankan bersama dari serangan pihak luar.
8. Semua penduduk Madinah dijamin keselamatanya kecuali bagi yang berbuat jahat.

Dari perjanjian ini tampak bahwa Rasulullah SAW tidaklah mendirikan negara Islam, melainkan sebuah negara yang berdasarkan kesepakatan unsur-unsur yang menghuni negara Madinah. Dari sinilah kemudian lahir istilah masyarakat madani. Masyarakat yang berperadaban.

*****

1.300 tahun tahun kemudian di Jakarta, tepatnya tanggal 18 Agustus 1945, panitia 9 yang terdiri dari: Ir Sukarno, Drs Muhammad Hatta, KH Wahid Hasyim, H Agus Salim, Abdul Kahar Muzakir, AA Maramis, Abikusno Cokrosuyoso, Mr Ahmad Subarjo, Mr Muhammad Yamin menyepakati dan menetapkan Pancasila sebagai dasar negara serta menetapkan UUD 1945.

Memang, sempat ada ketegangan perihal sila pertama dalam piagam Jakarta. Pihak Indonesia Timur yang diwakili oleh AA Maramis menuntut penghapusan 7 kata pada sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya” hanya menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” saja. Jika tidak dihapus, maka Indonesia Timur akan memisahkan diri dari republik yang baru saja kemerdekaannya diproklamasikan itu. Namun, pada akhirnya pihak Islam, demi persatuan, lapang dada untuk menerima penghapusan 7 kata tersebut.

Toh secara dalam pandangan para ulama, walaupun tidak dituliskan 7 kata tersebut, kenyataannya umat Islam tetap wajib menjalankan syariat Islam. Meski dalam beberapa hukum tertentu seperti hudud dan jinayat tidak bisa diterapkan oleh negara, namun hal ini mengikuti kaidah fiqh yang berbunyi “menolak kerusakan lebih diutamakan daripada mengambil kebaikan”. Implementasinya, persatuan lebih diutamakan daripada perpecahan. Selain itu, pada saat itu bangsa yang baru saja merdeka ini, masih terancam oleh keinginan Belanda untuk menguasai Indonesia kembali.

Apakah hari ini kaidah itu masih berlaku? Menurut saya jelas masih berlaku. Karena hingga kini, bayang-bayang perpecahan bangsa masih menghantui. Ingat, sepanjang sejarah bangsa ini masih banyak terjadi konflik yang berlatarbekalang agama. Apalagi akhir-akhir ini jurang perpecahan semakin menganga akibat perbedaan pandangan politik dan pemahaman ekstrem dan radikal.

Pancasila adalah konsensus nasional para pendiri bangsa ini, yang setengahnya adalah para ulama. Lalu ketika ada kelompok yang ingin mengganti dasar negara ini dengan ideologi lain, maka hal itu merupakan pengkhianatan terhadap bapak-bapak bangsa kita. Pengkhiatan kepada para ulama dan santri serta para pejuang yang telah memerdekakan bangsa ini.

*****

Walhasil hijrah merupakan momentum persatuan, sebagaimana Rasulullah saw mempersatukan masyarakat Madinah yang berbeda etnik dan agama dalam sebuah konsensus yang disebut Piagam Madinah. Rasul SAW berhasil membangun masyarakat Madinah yang berbeda-beda dalam sebuah negara untuk mencapai tujuan yang sama. Dalam bahasa kita kini: Bhineka Tunggal Ika.

Semangat hijrah juga merupakan semangat membangun peradaban. Peradaban dalam bahasa Arab diungkapkan dengan “tamaddun”, “madaniyah”. Istilah ini berasal dari kata madinah. Ketika Rasulullah SAW mengganti nama Yatsrib dengan Madinah, tentu beliau memiliki maksud, yakni bahwa Rasulullah SAW ingin membangun sebuah peradaban.

Dalam sebuah peradaban pasti tidak akan dilepaskan dari tiga faktor yang menjadi tonggak berdirinya sebuah peradaban. Ketiga faktor tersebut adalah sistem pemerintahan, sistem ekonomi, dan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Dan Rasulullah SAW telah memulai itu. Di Madinah Beliau SAW meletakkan dasar-dasar pemerintahan, sistem ekonomi, dan ilmu pengetahuan melalui ajaran Islam yang dibawa Beliau SAW. Dari sinilah Islam kemudian menyebar ke Afrika, Asia, dan Eropa.

Islam adalah agama peradaban. Artinya agama yang membangun peradaban. Islam berkembang dan tersebar luas bukan oleh ekspedisi militer, bukan juga oleh gerakan politik. Islam maju dan berkembang karena Islam membangun peradaban. Karena itulah hijrah dijadikan sebagai awal dari kalender Islam.

Perdaban barat yang maju hingga menemukan bentuknya seperti saat ini karena bersentuhan dengan peradaban Islam dalam perang salib. Jika tak ada perang salib, mustahil barat mampu mencapai kemajuan seperti saat ini.

Selamat tahun baru Hijriah 1439 H.
Mari jadikan hijrah sebagai momentum persatuan dan spirit membangun peradaban.

 

Oleh: M Imaduddin, Wakil Sekretaris Lembaga Dakwah PBNU

 

REPUBLIKA

Cerita Mohammad Ahsan Tentang Prosesnya Berhijrah

“Saya hanya berusaha menerapkan ajaran agama saya, yakni agama Islam semampu yang saya bisa. Semuanya mengalir begitu saja. Jika perilaku saya di tengah lapangan kemudian menjadi viral di media sosial, saya tidak memikirkannya. Kalau ada yang menggangap baik dan mencontoh apa yang saya lakukan, Alhamdullillah,”

begitulah kata-kata pertama yang meluncur dari mulut Mohammad Ahsan, salah satu atlet bulu tangkis andalan Indonesia di nomor ganda putra saat berbincang dengan Republika di acara persemian Gedung Bulutangkis milik Candra Wijaya di Serpong, Tangerang Selatan, Banten, pekan lalu.

Penampilan dan perilaku Ahsan saat mengikuti Kejuaraan Dunia BWF 2017 lalu di Glasgow, Scotlandia menjadi perbincangan masyarakat, terlebih di dunia maya. Foto-foto Ahsan dan pasangannya di ganda putra, Rian Agung Saputra dengan menggunakan legging untuk menutup aurat hingga di bawah lutut menjadi pembeda dengan atlet lainnya.

Ditambah lagi dengan Ahsan saat minum setengah duduk, menjadi ‘buah bibir’ di media sosial. Pasalnya bisa dibilang pemain lainnya minum saat jeda pertandingan atau istirahat sambil berdiri dan hanya Ahsan yang minum setengah duduk.

Ahsan juga tidak menyalami wasit atau hakim garis perempuan karena bukan muhrimnya. Ahsan hanya menangkupkan kedua telapak tangan kepada wasit atau hakim garis perempuan dalam pertandingan yang dijalaninya sebagai pengganti bersalaman. Ahsan juga selalu sujud syukur setiap usai menjalani pertandingannya. Ahsan juga mulai memelihara Jenggot

“Semua mengalir begitu saja, pertama kali yang saya lakukan adalah menggunakan legging,” tuturnya.

Ini sudah ia lakukan saat ia masih berpasangan dengan Hendra Setiawan. Ia tidak ingat persis kapan pertama kalinya memakai legging. Namun Ahsan mengaku dirinya mantap memakasi legging di awal tahun 2017, ketika itu ia baru saja pulang menunaikan ibadah umrah.

“Saya lebih mantap dan memutuskan untuk memakai legging (menutup) aurat usai melakukan umrah awal tahun 2017,” ujarnya.

Sedangkan untuk minum sambal duduk dan tidak bersentuhan dengan lawan jenis itu berjalan begitu saja. Ketika ia tahu itu memang ajaran Islam dan Sunnah dari Nabi Muhammad SAW, maka ia mengikutinyaa. Tidak ada niat macam-macam, ternyata setelah itu ia ikuti, ia jadi lebih tenang, terlebih saat dalam pertandingan.

Ahsan mengungkapkan dirinya mendapat adab-adab Islam yang dia praktekkan tersebut dari pengajian maupun dari buku-buku ataupun artikel di internet yang dibacanya. “Saya ikut pengajian di Masjid dekat rumah, selain itu saya juga menambah pengetahuan dari membaca baik dari buku-buku islami ataupun artikel islami di internet,” jelasnya.

Sebagai pemain bulutangkis profesional dan menjadi andalan Indonesia, Ahsan mesti pandai mengatur waktu antara urusan dunia dan akhirat. “Saya berusaha menjalankan apa yang saya bisa, jika ada yang mengikuti saya alhamdulillah kalau itu baik, menjadi amal jariah bagi saya,” tegas Ahsan.

 

REPUBLIKA

Hijrah, Jalan Para Muhajirin

Imam Al-Asfahani mendefinisikan hijrah sebagai perpisahan atau perpindahan. Hijrah dari suatu tempat berarti memisahkan diri secara jarak darinya. Demikian juga hijrah dari perbuatan buruk berarti ia tak mau lagi berniat dan melakukan perbuatan tersebut. Jasad dan hatinya benar-benar terpisah dari apa yang ia tinggalkan.

Ketua Komisi Fatwa MUI Prof Hasanuddin AF mengatakan, pemaknaan hijrah perlu diluaskan menurut makna aslinya, yakni perpindahan. Tidak hanya perpindahan tempat sebagaimana pada zaman Rasulullah SAW. Berpindah bisa jadi dari hal-hal negatif kepada positif.

“Hijrah bisa kita maknai dengan perpindahan kepada kondisi yang lebih baik. Cakupannya baik dalam segala hal, baik dalam keluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,” jelasnya kepada ROL, belum lama ini.

Menurutnya, hijrah sangat diperlukan dari hal-hal yang sekecil-kecilnya sampai masalah terbesar seperti urusan bernegara. Karena hijrah adalah jalan para Muhajirin. Hijrah ke arah yang lebih baik bisa diikuti kalangan elite politik yang punya tanggung jawab besar membawa bangsa ke arah lebih baik.

“Kita harapkan mereka yang mempimpin bangsa ini, baik dari elite politik, mau bermuhasabah. Tahun-tahun sebelumnya kondisi bangsa ini banyak yang harus diperbaiki. Contohnya dari segi kebijakan. Jika kebijakan kurang baik, ya hijrah,” jelasnya.

Hasanuddin menegaskan, kalau saja para pemimpin mau bermuhasabah secara jujur, sebenarnya banyak yang perlu diperbaiki dari bangsa ini. Dari segi ekonomi, penegakan hukum, dan sebagainya masih banyak yang kurang.

“Yang kurang harus segera diperbaiki. Harus bisa membawa bangsa ini hijrah ke arah yang lebih baik. Kalau tidak, negeri baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur itu tidak akan ada,” ujarnya.

 

sumber:Republika Online

Prinsip Gerak dalam Hijrah

Hijrahnya Rasulullah SAW dari Makkah ke Madinah merupakan peristiwa fenomenal. Hal itu terlihat dari kemajuan dakwah Islam setelah peristiwa hijrah tersebut. Hanya dalam waktu singkat yaitu sekitar 13 tahun setelah hijrah, dakwah Islam berkembang pesat hampir ke seluruh Jazirah Arab.

Padahal, ketika Rasulullah SAW masih di Makkah dalam rentang waktu 10 tahun, yang menyambut dakwah Islam jumlahnya dapat dihitung dengan jari.

Sesungguhnya fenomena hijrah menghasilkan kemajuan sudah dijanjikan oleh Allah SWT. “Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS an-Nisa [4]: 100).

Aktivitas hijrah yang menghasilkan kemajuan bukan hanya fenomena ekslusif hijrah Rasul SAW, tapi merupakan fenomena universal. Hampir semua negara dan peradaban besar di dunia dibangun oleh masyarakat pendatang (muhajir).

Dalam konteks modern, Amerika Serikat salah satu negara termaju di dunia baik dalam bidang ekonomi, militer, maupun sosial budaya dibangun oleh masyarakat pendatang (muhajir).

Demikian juga kelompok masyarakat yang menguasai sebagian besar sumber daya alam dan ekonomi di Indonesia adalah etnis pendatang, yaitu Cina. Bahkan kelompok masyarakat yang maju secara ekonomi, sosial, dan budaya di kota-kota besar, khususnya di Indonesia, sebagian besar penduduk pendatang, bukan penduduk asli.

Lantas, ada apa di balik fenomena hijrah tersebut? Hijrah secara bahasa berarti pindah dari satu tempat ke tempat lain. Peristiwa pindah ini biasa juga disebut gerak. Sesungguhnya pada gerak inilah rahasia kemajuan di balik peristiwa hijrah. Di alam ini segala sesuatu yang bergerak keberadaannya relatif lebih sehat dan maju.

Otak kita yang sering digerakkan untuk berpikir akan jauh lebih sehat dan berkembang dibanding dengan otak yang tidak pernah digerakkan untuk berpikir. Hati yang digerakkan melalui berzikir juga akan relatif lebih sehat dibanding dengan yang tidak pernah digunakan untuk berzikir.

Demikian juga dengan tubuh yang digerakkan melalui olahraga, ia akan lebih sehat dibanding dengan tubuh yang tidak pernah diolahragakan. Fenomena gerak yang menghasilkan kesehatan tidak hanya terjadi pada makhluk hidup, tetapi juga terjadi pada makhluk mati.

Air yang mengalir (bergerak), misalnya, lebih sehat dari air yang tergenang. Sebersih-bersih air jika tidak bergerak (tergenang), ia akan menjadi sumber penyakit.

Imam Syafi’i dalam sebuah syair pernah berkata, “Sesungguhnya aku pernah melihat air tergenang itu merusak. Jika air itu mengalir menyehatkan dan jika tergenang akan merusak (sumber penyakit).

Jadi, prinsip gerak atau pindah dari satu tempat ke tempat lain merupakan prinsip dasar pada hijrah yang menghasilkan kemajuan. Oleh karena itu, pantas kalau Allah SWT mendorong hamba-Nya untuk senantiasa bergerak dengan melakukan perjalanan di atas bumi.

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (QS an-Nahl [16]: 36). Wallahu a’lam.

 

 

Oleh: H Karman

sumber: Republika Online

Ummu Ma’bad, Penolong Hijrah Nabi

Ummu Ma’bad Al Khuza’iyah, satu nama yang terselip di tengah peristiwa hijrah Nabi Muhammad ke Madinah. Pada masa jahiliyah, ia bukan siapa-siapa. Ia hanyalah seorang wanita Badui sederhana.

Dikisahkan oleh Mahmud Al Mishri dalam Biografi 35 Shahabiyah Nabi, Ummu Ma’bad memiliki nama asli Atikah binti Khalid bin Munqidz.  Ummu Ma’bad menjadi salah satu perempuan ternama dalam Islam setelah Nabi bertamu di tendanya di tengah perjalanan hijrah ke Madinah.

Kala itu, dalam perjalanan hijrah, Rasul dan Abu Bakar melewati tenda milik Ummu Ma’bad. Ummu Ma’bad biasa duduk di depan tenda memberi makan minum kepada siapapun yang lewat, tapi hari itu tak ada apapun yang tersisa.

“Demi Allah, andai kami punya persediaan makanan, tentu sudah aku sediakan untuk kalian. Saat ini, kambing-kambing kami tidak menghasilkan susu, tahun ini juga tahun paceklik,” kata Ummu Ma’bad saat Rasul menanyakan apakah ia memiliki persediaan makanan.

Rasulullah kemudian mengarahkan pandangan kepada seekor domba betina di samping tenda. Domba itu sudah tidak bisa melahirkan dan terlalu tua untuk menghasilkan susu. Rasul pun bertanya, “Apa engkau berkenan jika aku memerah susunya?” Ummu Ma’bad mengizinkan.

Rasulullah kemudian mengusap kantung susu domba itu seraya berdoa. Seketika, kantungnya yang semula kempes menjadi besar dan menggelembung. Beliau pun memerah susu domba itu dan meminumnya hingga puas. Rasul bahkan masih menyisakan satu bejana penuh untuk Ummu Ma’bad.

Tatkala suaminya datang sambil menggiring domba, ia heran melihat ada air susu di dekat istrinya. Ummu Ma’bad menceritakan secara detail tentang sosok yang bertamu ke tenda mereka. Mendengar penuturan istrinya, suami Ummu Ma’bad langsung mengenali Rasulullah dan menyatakan keinginan untuk masuk Islam.

Angin keimanan pun rupanya telah menerpa hati Ummu Ma’bad. Ketika para pemuda Quraisy yang tengah mengejar Rasul itu melintas dan menanyakan keberadaan beliau padanya, ia menjawab, “Kau menanyakan sesuatu yang belum pernah aku dengar sebelumnya.”

Tak lama setelah itu, Ummu Ma’bad dan suami datang ke Madinah untuk berbaiat pada Nabi. Para sahabat mengakui kedudukan Ummu Ma’bad di hadapan Nabi. Hingga akhir hayatnya, Ummu Ma’bad hidup dalam lingkup iman, rajin shalat malam, puasa, dan beribadah pada Allah.

 

 

sumber: Republika Online