Hikmah Puasa (Bag. 2)

Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah. Amma ba’du,

SEBAB KETAKWAAN SELAIN PUASA PADA BULAN RAMADAN

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa puasa Ramadan termasuk sebab ketakwaan yang terbesar. Dan sebab-sebab ketakwaan yang lain pada bulan Ramadan -alhamdulillah- itu banyak, di antaranya:

Pertama, dibukanya pintu-pintu surga dan tidak satu pun pintu surga yang ditutup. Itu berarti terbuka kesempatan yang luas untuk melakukan banyak amal saleh dan mengandung dorongan yang kuat untuk taat kepada Allah semata.

Kedua, ditutupnya pintu-pintu neraka dan tidak satu pun pintu neraka yang dibuka. Ini isyarat bahwa pada bulan Ramadan sedikit kemaksiatan yang dilakukan oleh hamba yang beriman.

Ketiga, dibelenggunya dedengkot setan-setan. Ini isyarat tidak adanya alasan bagi mukalaf untuk bermaksiat. Masalahnya lebih kepada berjihad mengendalikan hawa nafsu dan jiwa yang banyak mengajak kepada keburukan karena dedengkot setan telah dibelenggu.

Diriwayatkan oleh Bukhari (no. 1899) dan Muslim (no. 1079), dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu,  bahwa sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ ، وَسُلْسِلَتْ الشَّيَاطِينُ

Apabila bulan Ramadan tiba, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, serta setan-setan dibelenggu.

Dalam Shahih Ibnu Khuzaimah rahimahullah terdapat riwayat,

ﻭﺻﻔﺪﺕ ﻣﺮﺩﺓ ﺍﻟﺸﻴﺎﻃﻴﻦ

“Dan dibelenggu dedengkot setan-setan”

Maksud “maradatusy syayathin” adalah pembesar/dedengkot setan-setan yang membangkang kepada Allah. Oleh karena itu, di antara setan lainnya masih bisa menggoda manusia. [1]

Keempat, bulan Ramadan adalah bulan ibadah kepada Allah semata, kaum muslimin secara serentak bersemangat melaksanakan berbagai macam ibadah, berpuasa bersama, salat lima waktu berjemaah bersama, salat tarawih bersama, sahur dan buka pada waktu yang bersamaan, mengeluarkan zakat fitrah bersama, iktikaf bersama, berlomba-lomba baca Al-Qur’an, berbagi makanan buka puasa, dan berbagai ketaatan lainnya. Pemandangan ketaatan ada di mana-mana, di masjid, di rumah, di jalan, di kantor, dan berbagai tempat lainnya.

Tentunya ini menjadi hal yang memudahkan kaum muslimin untuk bertakwa kepada Allah semata karena suasana kebersamaan dalam beribadah kepada Allah semata itu mempengaruhi suasana hati untuk semangat melaksanakan perintah-Nya dan menghindari larangan-Nya.

Kelima, di bulan Ramadan, Allah persiapkan berbagai sebab ampunan Allah. Ini tentunya dorongan kuat seorang hamba untuk bersih dari dosa dengan banyak tobat dan banyak melakukan amalan sebab didapatkannya ampunan Allah.

SEBAB AMPUNAN ALLAH DAN PENGHAPUSAN DOSA DI BULAN RAMADAN

Sebab-sebab ampunan Allah di bulan Ramadan adalah:

Puasa Ramadan

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadan karena beriman dan mengharap pahala dari Allah, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Antara salat lima waktu, dan antara salat Jumat, jika dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukunnya serta menghindari dosa besar

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ

Antara salat yang lima waktu, antara (salat) jumat yang satu dengan (salat) jumat berikutnya, antara (puasa) Ramadan yang satu dan (puasa) Ramadan berikutnya, di antara amalan-amalan tersebut akan diampuni dosa-dosa (pelakunya) selama seseorang menjauhi dosa-dosa besar.” (HR. Muslim)

Salat tarawih

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa melakukan salat tarawih [2] di bulan Ramadan karena beriman dan mencari pahala, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Salat malam dan ibadah lainnya di malam lailatul qadar

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa mengerjakan ibadah pada malam lailatul qadar karena beriman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari)

Maksud “mengerjakan ibadah” di sini adalah ibadah salat, membaca Al-Qur’an, sedekah, doa, dan seluruh ibadah lainnya. [3]

Tobat kepada Allah Ta’ala semata

Orang yang tidak bertobat dari dosa disebut dalam Al-Qur’an, surah Al-Hujurat ayat 11, sebagai orang yang zalim. Ini menunjukkan bahwa bertobat itu wajib. Dan bertobat kepada Allah itu penyebab ampunan Allah sebagaimana disebutkan dalam firman Allah dalam surah Al-Furqan ayat 70,

اِلَّا مَنْ تَابَ وَاٰمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَاُولٰۤىِٕكَ يُبَدِّلُ اللّٰهُ سَيِّاٰتِهِمْ حَسَنٰتٍۗ وَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا

“Kecuali orang-orang yang bertobat dan beriman dan mengerjakan kebajikan, maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebaikan. Allah Mahapengampun, Mahapenyayang.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

التائب من الذنب كمن لا ذنب له

“Seorang yang bertaubat seperti orang yang tidak memiliki dosa.” (HR. Ibnu Majah, hadits hasan)

Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu pernah menghitung seratus kali dalam satu majelis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan,

ربِّ اغفر لي، وتُب عليَّ، إنَّكَ أنتَ التَّوَّابُ الرَّحيمُ

“Ya Rabbku, ampunilah aku dan terimalah taubatku. Sesungguhnya Engkau adalah Yang Mahapenerima taubat lagi Yang Mahapenyayang. (HR. Abu Dawud, sahih)

Jika sudah sedemikian lengkapnya sebab-sebab takwa dan sebab ampunan Allah pada bulan Ramadan, maka sungguh sangat merugi orang keluar dari Ramadan tidak bertakwa kepada Allah Ta’ala dan tidak diampuni dosa-dosanya.

Barangsiapa yang masuk madrasah Ramadan, namun gagal meraih takwa kepada Allah, maka ibarat seorang murid yang masuk sekolah, namun tidak bisa baca dan tulis dan tidak menguasai ilmu yang diajarkan di sekolah tersebut. Maka, haruslah orang yang berpuasa itu berbeda dengan orang yang tidak berpuasa. Orang yang berpuasa lebih mudah melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya, mudah bertakwa kepada Allah semata.

Kebaikan-kebaikan menghapus dosa

Allah Ta’ala berfirman,

وَاَقِمِ الصَّلٰوةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِّنَ الَّيْلِ ۗاِنَّ الْحَسَنٰتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّاٰتِۗ ذٰلِكَ ذِكْرٰى لِلذّٰكِرِيْنَ

“Dan laksanakanlah salat pada kedua ujung siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam. Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan. Itulah peringatan bagi orang-orang yang selalu mengingat (Allah).” (QS. Hud: 114)

PUASA VVIP

Ibnu Qudamah rahimahullah dalam ringkasan kitab Ibnul Jauzi rahimahullah yang dinamakan Mukhtashar Minhajil Qashidin (hal. 44), beliau menjelaskan tentang tingkatan puasa,

وللصوم ثلاث مراتب : صوم العموم ، وصوم الخصوص ، وصوم خصوص الخصوص

“Dan puasa memiliki tiga tingkatan: 1) puasa umum; 2) puasa khusus; dan 3) puasa super khusus.”

Beliau pun menjelaskan satu persatu macam-macam puasa tersebut,

Pertama, puasa orang umum

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan,

فأما صوم العموم : فهو كف البطن والفرج عن قضاء الشهوة

“Adapun puasa umum adalah menahan perut dan kemaluan dari menuruti selera syahwat (baca: menahan diri dari melakukan berbagai pembatal puasa, seperti makan, minum, dan bersetubuh).”

Puasa jenis umum ini jelas sekali diambil dari dalil-dalil tentang adanya pembatal-pembatal puasa.

Kedua, puasa orang khusus (VIP)

Ibnu Qudamah rahimahullah melanjutkan penjelasannya,

وأما صوم الخصوص : فهو كف النظر ، واللسان ، والرجل ، والسمع ، والبصر ، وسائر الجوارح عن الآثام

“Dan puasa khusus adalah menahan pandangan, lisan, kaki, pendengaran, penglihatan, dan seluruh anggota tubuh dari dosa-dosa.”

Puasa jenis khusus ini diambil dari dalil-dalil yang menunjukkan bahwa hakikat disyariatkannya puasa itu untuk sebuah hikmah meraih derajat ketakwaan dan takut kepada Allah. Sehingga dengannya orang yang berpuasa bersih jiwanya dari seluruh kemaksiatan dan menjadi orang yang diridai oleh-Nya.

Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa (Ramadan) sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)

Lihatlah tafsirnya kembali dalam artikel seri sebelumnya.

Ketiga, puasa super khusus (VVIP)

Ibnu Qudamah rahimahullah melanjutkan penjelasannya,

وأما صوم خصوص الخصوص : فهو صوم القلب عن الهمم الدنية ، والأفكار المبعدة عن الله ـ سبحانه وتعالى ـ ، وكفه عما سوى الله ـ سبحانه وتعالى ـ بالكلية

“Dan adapun puasa super khusus adalah puasanya hati dari selera yang rendah dan pikiran yang menjauhkan hatinya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala serta menahan hati dari berpaling kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala secara totalitas.”

Dalil-dalil tentang jenis puasa khusus yang telah disebutkan di atas dan dalil tentang bahwa baiknya hati adalah asas bagi baiknya anggota tubuh yang lainnya. Sehingga ketakwaan yang asasi adalah ketakwaan hati. Jika hikmah disyariatkannya puasa itu adalah untuk meraih ketakwaan, maka hakikatnya, yang pertama kali tercakup adalah ketakwaan hati. Hal ini karena ketakwaan yang paling mendasar dan paling agung adalah ketakwaan hati.

Buah puasa yang hakiki

Demikianlah hakikat puasa yang sempurna itu, ketika seluruh anggota tubuh sama-sama berpuasa. Jika seseorang melakukan ibadah puasa dengan bentuk yang seperti itu, maka akan didapatkan buah-buah manis seperti yang dijelaskan Ibnul Qoyyim rahimahullah di bawah ini,

فإنْ تكلَّم لم يتكلَّم بما يجرح صومه، وإن فعل لم يفعل ما يفسد صومه، فيخرج كلامه كلُّه نافعًا صالحًا، وكذلك أعماله،

“Jika ia berbicara, tidaklah mengucapkan ucapan yang menodai puasanya. Dan jika ia berbuat, tidaklah melakukan perbuatan yang merusak puasanya. Hingga keluarlah seluruh ucapannya dalam bentuk ucapan yang bermanfaat lagi baik, demikian pula untuk perbuatannya.”

فهي بمنزلة الرَّائحة الَّتي يشمُّها من جالس حامل المسك، كذلك من جالس الصَّائم انتفع بمجالسته، وأَمِن فيها من الزُّور والكذب والفجور والظُّلم، هذا هو الصَّوم المشروع لا مجرَّد الإمساك عن الطَّعام والشَّراب

“Maka ucapan dan perbuatannya tersebut seperti bau harum yang dicium oleh orang yang duduk menemani pembawa minyak wangi misk.

Demikianlah orang yang menemani orang yang sedang berpuasa (dengan sebenar-benar puasa), niscaya akan mengambil manfaat dari pertemanannya tersebut. Ia akan merasa aman dari ucapan batil, dusta, kefajiran, dan kezaliman.

Inilah sesungguhnya puasa yang disyariatkan. Ia tidak sekedar menahan dari makan dan minum.” (Shahih Al-Wabilish Shayyib, hal. 54)

Mengapa bukan hanya makanan dan minuman yang dituntut untuk ditinggalkan saat berpuasa?

Simaklah penuturan Ibnul Qoyyim rahimahullah berikut ini,

فالصَّوم هو صوم الجوارح عن الآثام، وصوم البطن عن الشَّراب والطَّعام؛ فكما أنَّ الطَّعام والشَّراب يقطعه ويفسده، فهكذا الآثام تقطع ثوابَه، وتفسدُ ثمرتَه، فتُصَيِّره بمنزلة من لم يصُم

“Maka, puasa (yang hakiki) adalah puasanya seluruh anggota tubuh dari dosa-dosa dan puasanya perut dari minuman dan makanan. Sebagaimana makan dan minum itu menentukan sahnya puasa dan merusaknya, maka demikian pula dosa-dosa akan memutuskan pahala puasa dan merusak buahnya, hingga membuatnya menjadi seperti kedudukan orang yang tidak berpuasa.” (Shahih Al-Wabilish Shayyib, hal. 54-55)

Wallahu a’lam.

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ

[Selesai]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Sumber: https://muslim.or.id/74277-hikmah-puasa-bag-2.html

Hikmah Puasa (Bag. 1)

Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah. Amma ba’du,

ALLAH ADALAH AL-HAKIM (YANG MAHA MENENTUKAN HUKUM DAN BIJAKSANA) DAN PENGARUHNYA PADA SYARIAT-NYA

Di antara nama-nama Allah Ta’ala yang terindah (asma’ul husna) adalah Al-Hakim, Yang Maha Menentukan Hukum dan Bijaksana). Hanya Allahlah semata Sang Penentu hukum (baik hukum syariat Islam, hukum takdir, maupun hukum balasan di dunia maupun akherat), dan hukum-hukum-Nya pada puncak kebijaksanaan, kesempurnaan, dan keindahan.

Tidaklah Allah men-syariat-kan suatu hukum syariat, kecuali pasti ada hikmah yang sempurna di dalamnya. Terkadang kita tahu, namun banyak yang kita tidak tahu. Termasuk syariat puasa Ramadan yang sedang kita jalani.

DALIL HIKMAH PUASA

Setidaknya ada dua dalil hikmah puasa.

Dalil Pertama

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa (Ramadan) sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)

Dalam ayat yang agung ini, Allah Ta’ala telah kabarkan hikmah yang agung dari kewajiban berpuasa Ramadan, berupa diraihnya ketakwaan. Sedangkan takwa adalah melakukan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan. Puasa adalah sarana untuk merealisasikan takwa, sedangkan takwa adalah melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya.

Puasa termasuk sebab yang terbesar seseorang bisa melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Puasa Ramadan adalah madrasah imaniyyah agar seorang hamba mudah melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya, mudah bertakwa kepada Allah Ta’ala semata.

Dari ayat tersebut, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa,

Pertama, hikmah puasa adalah diraihnya ketakwaan.

Kedua, puasa itu adalah bagian dari keimanan. Oleh karena itu, yang diseru untuk melaksanakannya adalah orang-orang yang beriman.

Ketiga, puasa Ramadan itu diwajibkan bagi kita sebagaimana puasa juga diwajibkan bagi umat-umat sebelum umat Islam karena puasa termasuk syariat dan perintah yang bermanfaat bagi makhluk di setiap zaman. Jadi, janganlah seseorang merasa berat berpuasa, karena itu bermanfaat bagi kehidupan kita di dunia dengan bertakwa dan di akhirat dengan masuk surga, terhindar dari siksa.

Dalil Kedua

Hadis dari riwayat Al-Bukhari, bahwa sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan yang haram, maka Allah tidak menginginkan (baca: tidak memberi pahala) aktifitas meninggalkan makan dan minum yang dilakukannya (puasanya).” (HR. Al-Bukhari)

Syekh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

فأما قول الزور فهو: كُلُّ قولٍ محرّم من السب، والشتم، والكذب، والغِيبة، والنّميمة والفحش… وأما العمل بالزور فهو: العمل بكل فعل محرم من الغش والخيانة والخيانة في البيع والشراء وغيرهما والربا صريحًا كان أو تحيُّلاً

“Maka, adapun ucapan “az-zuur” adalah setiap ucapan yang haram, baik berupa mencela, mengumpat, dusta, menggunjing, mengadu domba … Dan adapun amal “az-zuur” adalah setiap perbuatan yang haram berupa penipuan, khianat, khianat dalam jual beli, dan selainnya, dan riba yang terang-terangan ataupun yang akal-akalan.” [1]

Beliau rahimahullah juga berkata,

فالذي لا يترك هذه الأشياء لم يَصُمْ حقيقةً، فهو قد صَامَ عمَّا أحلَّ اللهَ، وفعل ما حرَّم الله

“Maka orang yang tidak meninggalkan meninggalkan perkara-perkara ini (ucapan dan perbuatan haram dan tindakan bodoh), maka hakikatnya ia tidak puasa. Karena memang (zahirnya) ia puasa (menahan) dari perkara yang dihalalkan oleh Allah, namun ia melakukan perkara yang diharamkan oleh-Nya.” [2]

Syekh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

أي: أن الله تعالى لا يريد منَّا من الصيام أن ندع الطعام والشراب ولكن يريد منَّا أن ندع قول الزور والعمل به والجهل

“Yaitu, bahwa Allah Ta’ala tidaklah menghendaki dari ibadah puasa kita itu (sekadar) meninggalkan makan dan minum. Namun (hakikatnya) menghendaki dari kita agar kita meninggalkan ucapan dan perbuatan haram dan tindakan bodoh.” [3]

Dari hadits tersebut, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa,

Pertama, hikmah puasa itu untuk meraih takwa dengan menghindari ucapan dan perbuatan haram yang berarti menunaikan kewajiban.

Kedua, puasa yang sesungguhnya itu bukan sekadar meninggalkan makan dan minum, namun puasa yang hakiki adalah puasa yang berbuah takwa, yaitu menghindari ucapan dan perbuatan haram dan larangan Allah lainnya, serta menunaikan kewajiban dan perintah Allah lainnya.

Ketiga, setiap dosa dan maksiat itu berdampak buruk pada puasa seseorang. Semakin banyak seseorang menghindari maksiat, maka semakin bagus kualitas puasanya. Begitu pula sebaliknya, semakin seseorang banyak melakukan maksiat, semakin menurun pahala puasa seseorang.

BERBAGAI BENTUK KETAKWAAN YANG MERUPAKAN HIKMAH PUASA RAMADAN

Ulama rahimahumullah telah menyebutkan berbagai macam hikmah puasa Ramadan. Semuanya kembali kepada perkara ketakwaan kepada-Nya semata. Seseorang jika benar-benar berpuasa dengan ikhlas dan sesuai dengan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka akan menghasilkan berbagai bentuk ketakwaan:

Pertama, puasa melahirkan berbagai bentuk pelaksanaan perintah Allah.

Karena puasa membiasakan seseorang melakukan berbagai ketaatan yang disyariatkan. Ketaatan tersebut dilakukan saat sedang berpuasa. Hal ini menyebabkan seseorang terdorong untuk melakukan ketaatan lainnya, seperti: bertauhid, salat berjemaah lima waktu, menunaikan zakat, sedekah, baca Alquran, berbakti kepada orang tua, meninggalkan gibah, meninggalkan mencari nafkah dengan cara haram, dan lain-lain.

Kedua, puasa melahirkan berbagai bentuk menjauhi larangan-Nya.

Karena puasa itu membiasakan seseorang menahan diri dari perkara yang hukum asalnya halal yang dicintai syahwat (makan, minum, dan hubungan badan) dalam rangka taat kepada Allah serta mencari rida Allah semata. Hal ini menyebabkan seseorang terdorong untuk menahan diri dari seluruh perkara haram.

Ketiga, puasa itu menyempitkan jalan-jalan setan dalam tubuh manusia.

Karena sebagaimana dalam hadis riwayat Al-Bukhari dan Muslim rahimahumallah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إن الشيطان يجري من ابن آدم مجرى الدم

“Sesungguhnya setan mengalir [4] dalam diri keturunan Nabi Adam -‘alaihis salam- di tempat aliran darah.”

Syaikhul Islam rahimahullah  berkata dalam Majmu’ Fatawa (25: 246), “Tidak ada keraguan bahwa darah terbentuk dari makanan dan minuman. Dan jika seseorang makan atau minum, maka darah tempat mengalirnya setan-setan akan meluas. Sedangkan jika ia puasa, maka tempat mengalirnya setan-setan akan menjadi sempit, sehingga tergeraklah hati melakukan ketaatan dan meninggalkan kemungkaran.” [5]

Maka, dengan puasa melemahkan kekuatan setan dan menjadi sedikit kemaksiatan karenanya.

Keempat, puasa itu menundukkan syahwat dan mengendalikan hawa nafsu.

Oleh karena itu, solusi bagi pemuda yang belum mampu menikah adalah berpuasa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“Wahai para pemuda, siapa di antara kalian yang telah memperoleh kemampuan (menafkahi rumah tangga), maka menikahlah. Karena sesungguhnya, perhikahan itu lebih mampu menahan pandangan mata dan menjaga kemaluan. Dan barangsiapa belum mampu melaksanakannya, hendaklah ia berpuasa karena puasa itu akan meredakan gejolak hasrat seksual.” (HR. Muslim)

Kelima, puasa membuahkan sterilnya pelakunya dari akhlak yang buruk.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa puasa itu perisai bagi pelakunya dari hal-hal yang merusak puasa dan mengurangi kesempurnaannya. [6] Termasuk juga perisai dari akhlak buruk. Dan hendaknya orang yang berpuasa berhiaskan diri dengan akhlak yang baik. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلا يَرْفُثْ وَلا يَجْهَلْ وَإِنْ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ ـ مَرَّتَيْنِ

“Puasa itu adalah perisai, maka janganlah (seseorang yang sedang berpuasa) mengucapkan ucapan yang kotor, dan janganlah bertindak bodoh, dan jika ada orang yang sewenang-wenang merebut haknya atau mencelanya, maka katakan, ‘Saya sedang puasa.’ (dua kali).” (HR. Bukhari)

Keenam, puasa membuahkan rasa syukur kepada Allah.

Seseorang yang berpuasa menahan diri dari makan, minum, dan hubungan badan. Ini semua termasuk nikmat yang paling besar. Menahan diri dari nikmat-nikmat tersebut seharian dengan berpuasa akan menyadarkan seseorang kadar nikmat yang besar tersebut sehingga mendorong seseorang menyukurinya, terutama saat berbuka puasa.

Ketujuh, puasa membuahkan zuhud terhadap dunia.

Pada aktifitas berpuasa terdapat bentuk menahan diri dari menunaikan dua pokok syahwat perhiasan dunia yaitu perut dan kemaluan. Hal ini mendorong pelakunya untuk zuhud terhadap dunia dan perhiasannya dalam bentuk meninggalkan perkara dunia yang tidak bermanfaat untuk kehidupan akhirat.

Kedelapan, orang yang berpuasa melatih dirinya untuk senantiasa merasa diawasi oleh Allah Ta’ala meskipun sendirian.

Sehingga tidak berani makan minum dan hubungan suami istri di siang Ramadan padahal ia mampu melakukannya. Karena meyakini Allah melihatnya dan mengetahui perbuatannya.

Kesembilan, ibadah puasa hakikatnya merupakan bentuk tarbiyyah (pendidikan) sosial kemasyarakatan.

Mendidik pelakunya menjadi insan yang peka terhadap masyarakatnya dan bentuk tarbiyyah tersebut berupa:

Pertama, memperkuat kasih sayang dan semangat tolong menolong dalam kebaikan di antara kaum muslimin, antara si kaya dengan si miskin. Karena si kaya merasakan sebagian kesulitan si miskin berupa rasa lapar meski beberapa saat ketika berpuasa. Maka, bagaimana lagi fakir miskin yang lapar setiap harinya? Sehingga hal ini menyebabkan si kaya tergerak untuk bersedekah, memberi makan buka puasa, dan berzakat di bulan Ramadan.

Kedua, memupuk persatuan di antara kaum muslimin, karena mengawali puasa Ramadan dan mengakhirinya secara bersama-sama. Sahur dan buka pun pada waktu yang bersamaan.

Ketiga, mengajarkan kesamaan kedudukan antara si kaya dan si miskin, pejabat dan rakyat, bangsawan bernasab tinggi dan rakyat yang tak bernasab tinggi. Tidak ada yang membedakan di antara mereka, kecuali ketakwaannya.

Semoga Allah Ta’ala menyampaikan umur kita sehingga kita bisa berjumpa dengan bulan Ramadan dan menganugerahkan kepada kita kemampuan beribadah dengan ikhlas dan sesuai sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

[Bersambung]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Sumber: https://muslim.or.id/74275-hikmah-puasa-bag-1.html