Mengenal Tiga Orang Penyebar Hoaks di Zaman Rasul dan Berbagai Motif

Setelah perang Bani Musthaliq pada tahun ke lima Hijriah usai, seperti halnya peperangan-peperangan sebelumnya, Rasul selalu meminta salah satu sahabat untuk berinspeksi akhir memantau jikalau ada korban yang tidak sempat tertolong maupun ada barang yang tertinggal.

Shafwan ibn Mu’atthal lah yang saat itu mendapat jadwal inspeksi, sesuai intruksi yang didapatkan langsung dari Rasul, ia menyusuri setiap celah dan mendapati Aisyah tertinggal oleh rombongan. Dengan segala pertimbangan, sampailah ia pada keputusan mengantarkan Aisyah dengan untanya kembali ke Madinah. Kejadian ini menggegerkan kota Madinah, para munafik, terutama Abdullah ibn Ubay ibn Salul sang pionir, mengambil kesempatan untuk mengotori rumah tangga Nabi dengan berita yang dilebih-lebihkan.

Termasuk dari orang-orang yang gencar menyebarkan hoax ini adalah Hassan ibn Tsabit, Hamnah binti Jahsy dan Misthah ibn Utsatsah. Hassan ibn Tsabit, menurut Sulaiman an-Nadawi dalam kitabnya Sirah as-Sayyidah ‘Aisyah Umm al-Mukminin menuturkan “Tampaknya, Hassan memiliki permusuhan pribadi dengan Shafwan ibn al-Mu’aththal. Hassan cemburu sebab kaum Muhajirin mendapat kedudukan yang lebih mulia dibanding kaum Anshar di Madinah.

Sedang Hamnah, ia adalah saudari kandung Zainab binti Jahsy, salah seorang istri Nabi yang pernikahannya langsung disahkan oleh Allah swt dan para Malaikat. Ketika peristiwa itu terjadi, Hamnah tinggal di kota Madinah dan tidak ikut dalam peperangan Bani Musthaliq. Sesaat setelah kabar burung itu beredar, ia percaya begitu saja tanpa melakukan tabayyun/klarifikasi. Ia melakukannya karena hal itu akan membawa keberuntungan bagi keluarganya. Zainab kakaknya, jika memang kabar itu benar adanya, akan menjadi istri yang paling dicintai Rasul menggantikan kedudukan Aisyah ra.

Zainab sendiri terjaga dari fitnah itu, ketika Rasulullah meminta pendapatnya, ia menjawab “Adapun aku wahai Rasul, selalu ku upayakan untuk menjaga penglihatan dan pendengaranku. Demi Allah, tak ada yang kulihat pada diri Aisyah kecuali kebaikan.” Atas perangainya ini, Aisyah pernah berkata suatu hari “Sungguh yang paling bisa membuatku cemburu adalah Zainab. Aku cemburu oleh ibadahnya, sedekahnya, dan akhlaknya yang terpuji.”

Sedang Misthah ibn Utsatsah yang bahkan ibunya adalah pelayan Aisyah dan kehidupannya ditanggung Abu Bakar as-Shiddiq, tidak diketahui apa motif dia menyebarkan hoax ini. Tetapi hikmahnya, dari Ummu Misthah-lah ‘Aisyah tahu hoax yang sedang beredar di Madinah saat itu.

“Aku keluar Bersama Ummu Misthah menuju tempat menunaikan hajat,” kata Aisyah berkisah. “Kami hanya melaakukannya di malam hari. Ketika Ummu Misthah tergelincir dan nyaris jatuh, diapun mengumpat “Celakalah Misthah!”

“Sungguh buruk ucapanmu pada sahabat yang mengikuti perang Badar wahai Ummu Misthah!” Aisyah menegurnya. “Wahai Putri Abu Bakar,” Misthah menyela, “Belumkah engkau mendengar kabar bohong yang telah melebar itu sedang Misthah juga ikut menyebarkannya?”

“Kabar apa?” Aisyah terlonjak kaget. Ummu Misthah pun menceritakan kabar dusta itu. Aisyah berulangkali memastikan “Apakah mereka benar menuduhku begitu?” Tubuhnya lunglai, matanya berkaca-kaca, wajahnya pucat pasi.

Sejak saat itu, setelah kabar tentangnya mulai beredar luas di Madinah, Aisyah kembali ke rumah orang tuanya dan tinggal di sana. Rasulullah sedih dan gelisah. Keadaan Madinah kacau tak terkendali. Maka ketika Rasul melontarkan keluhannya di atas mimbar. Sa’d ibn Mu’adz, pemimpin Aus bangkit dari duduknya “Wahai Rasul, demi Allah kamilah yang akan membelamu dari lelaki itu. jika dia dari kabilah Aus, aku sendiri yang akan memenggal lehernya. Dan jika dia berasal dari kabilah Khazraj, lalu engkau perintahkan kami membunuhnya, niscaya kami juga yang akan membunuhnya.”

Begitulah, para sahabat dengan bijaksana mencoba menenangkan hati Rasul. Rasulullah turun dari mimbar. Kesedihan beliau makin dalam. Peristiwa ini tidak hanya mencederai rumah tangga Nabi, namun juga menghancurkan ikatan persaudaraan kaum muslimin.

BINCANG SYARIAH

Kemenag Bantah Narasi Menag Minta Dana Haji untuk IKN: Hoaks dan Fitnah

Beredar tangkapan layar berita yang berasal dari media daring dengan judul yang menarasikan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas minta masyarakat ikhlaskan dana haji dipakai pemerintah untuk IKN (Ibu Kota Negara) Nusantara. Kementerian Agama menyampaikan bantahannya terkait narasi tersebut.

“Itu fitnah dan menyesatkan. Narasi Menag minta dana haji untuk IKN itu hoaks,” tegas Kepala Biro Humas, Data, dan Informasi (HDI) Kemenag Ahmad Fauzin di Jakarta, Ahad (08/05/2022) melalui siaran pers Kemenag kepada hidayatullah.com dan wartawan lain.

Menurutnya, Menag tidak pernah mengeluarkan pernyataan terkait penggunaan dana haji di luar untuk keperluan penyelenggaraan Ibadah Haji. Sebab, hal itu bukan kewenangan Menag.

“Sejak 2018, Kementerian Agama tidak lagi menjadi pihak yang bertanggung jawab dalam tata kelola dana haji,” jelas Fauzin.

Undang-Undang No 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji yang terbit pada akhir masa pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono mengamanatkan dana haji dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Untuk itu, dibentuklah BPKH dan secara bertahap kewenangan pengelolaan dana haji diserahkan ke BPKH sesuai amanat UU 34/2014.

Pada 13 Februari 2018, lanjut Fauzin, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2018. Peraturan ini mengatur tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. Sejak saat itu, dana haji telah dialihkan sepenuhnya ke BPKH.

“Per-bulan Februari 2018, dana haji yang saat itu berjumlah Rp103 Triliun, semuanya sudah menjadi wewenang BPKH,” terang Fauzin.

Kemenag, sambung Fauzin, sekarang sudah tidak mempunyai Tupoksi untuk mengelola, apalagi mengembangkan dana haji dalam bentuk apapun. “Saya kira masyarakat sudah semakin cerdas, sudah bisa mengetahui info atau berita semacam ini tidak benar dan fitnah,” ujarnya.

“Bagi pihak-pihak yang menyebarkan berita hoaks dan fitnah ini kami akan pertimbangkan mengambil langkah hukum,” tandas Fauzin.*

HIDAYATULLAH

Hukum Menyebar Berita Hoax dalam Islam

Pada masa ini, ketika arus informasi demikian mudahnya, seringkali tanpa berfikir panjang kita langsung menyebarkan (men share) semua informasi dan informasi yang kita terima yang berhubungan dengan sikap fanatik yang dianjurkan oleh agama islam, tanpa terlebih dahulu meneliti kebenarannya.

Kita dengan sangat mudah men share informasi, entah dengan menggunakan media sosial semacam facebook, atau aplikasi whatsapp, atau media yang lainnya. Akibatnya, muncullah berbagai macam kerusakan, seperti kekacauan, fitnah dalam islam, provokasi, ketakutan, atau kebingungan di tengah tengah masyarakat akibat penyebaran informasi semacam ini.

Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas mengatakan tentang balasan bagi pendusta dalam islam, “Cukuplah seseorang dikatakan sebagai pendusta apabila dia mengatakan semua yang didengar.” (HR. Muslim no.7) Janganlah kita tergesa gesa menyebarkan informasi tersebut, karena sikap seperti ini hanyalah berasal dari setan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang mencari ketenangan dalam islam, “Ketenangan datangnya dari Allah, sedangkan tergesa gesa datangnya dari setan.” (HR. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra 10/104 dan Abu Ya’la dalam Musnad nya 3/1054)

Pengertian Hoax

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sehubungan dengan media sosial menurut islam, ‘hoaks’ adalah ‘informasi hoax.’ Dalam Oxford English dictionary, ‘hoax’ didefinisikan sebagai ‘malicious deception’ atau ‘kehoaxan yang dibuat dengan tujuan jahat’. Sayangnya, banyak yang sebenarnya mendefinisikan ‘hoax’ sebagai ‘informasi yang tidak saya sukai’.

Dalam kehidupan sehari hari, kita sering mendengar desas desus yang tidak jelas asal usulnya. Kadang dari suatu peristiwa kecil, tetapi dalam pemberitaannya, peristiwa itu begitu besar atau sebaliknya. Terkadang juga berita itu menyangkut kehormatan seorang muslim. Bahkan tidak jarang, sebuah rumah tangga menjadi retak, hanya karena sebuah berita yang belum tentu benar.

Bagaimanakah sikap kita terhadap berita yang bersumber dari orang yang belum kita ketahui kejujurannya? ‘Hoax’ atau ‘fake news’ bukan sesuatu yang baru, dan sudah banyak beredar sejak Johannes Gutenberg menciptakan mesin cetak pada tahun 1439. Sebelum zaman internet, ‘hoax’ bahkan lebih berbahaya dari sekarang karena sulit untuk diverifikasi. Apa itu hoax dan bagaimana Hukum Menyebar Berita Hoax dalam Islam? Simak uraiannya berikut.

Hoax dalam Kehidupan Sehari Hari

Salah satu penyebabperpecahan umat yang sudah sangat mengkhawatirkan hari ini adalah menerimaberita dari orang lain tanpa menyaringnya dengan kritis. Menurut SyeikhAbdurrahman as Sa’di, sebagai makhluk yang diberi akal, kita harus hati hatidalam menerima sebuah isi berita. Harus melakukan proses seleksi, menyaring,dan jangan sembrono dengan menerimanya begitu saja.

Dalam literatur literatur ushul fiqh disebutkan dengan begitujelas definisi sebuah berita; sesuatu yang mungkin benar sekaligus mungkinsalah. Bahkan dalam diskursushadis, ada sebuah ilmu khusus yang membahas tentang para informan hadis (jarh wa ta’dil). Sebuah upayamemverifikasi kesahihan periwayatan melalui jalur para informannya. Lalubagaimana dengan berita yang lalu lalang di media sosial?

Apakah semua yang beredar di Facebook, Twitter, atau Berita online, bisa kita pastikan kebenarannya dan kita bagikan tanpa proses verifikasi kebenaran isi beritanya?  Mari muhasabah atau introspeksi diri kita agar tidak terjebak dan terjerembab dalam kubangan para pembual dan pemfitnah. Salah satu jalan menghindari hoax dengan memverifikasi berita.

Periksalah Kebenaransebuah Informasi dengan Cermat

Allah Ta’ala punmemerintahkan kepada kita untuk memeriksa suatu informasi terlebih dahulukarena belum tentu semua informasi itu benar dan valid. Allah Ta’ala berfirman, “Wahai orang orang yang beriman, jikadatang kepadamu orang fasik membawa suatu informasi, maka periksalah denganteliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpamengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”(QS. Al Hujuraat [49]: 6)

Allah Ta’ala memerintahkankita untuk memeriksa suatu informasi dengan teliti, yaitu mencari bukti buktikebenaran informasi tersebut. Hal ini bisa dilakukan dengan menelusuri sumber informasi,atau bertanya kepada orang yang lebih mengetahui hal itu.

Oleh karena itu, sungguh saat ini kita sangat perlu memperhatikan ayat ini. Suatu zaman di mana kita mudah untuk men share suatu link informasi, entah informasi dari status facebook teman, entah informasi online, dan sejenisnya, lebih lebih jika informasi tersebut berkaitan dengan kehormatan saudara muslim atau informasi yang menyangkut kepentingan masyarakat secara luas. Betapa sering kita jumpai,

suatu informasi yangdengan cepat menjadi viral di media sosial, di share oleh ribuan netizen,namun belakangan diketahui bahwa informasi tersebut tidak benar.Sayangnya, klarifikasi atas informasi yang salah tersebut justru sepi dari peminformasian.

Hukuman bagi yangSembarangan Menyebar Informasi atau Berita Hoax

Bagi kita yang suka asaldan tergesa gesa dalam menyebarkan informasi, maka hukuman di akhirat kelaktelah menanti kita. Dari Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakanmimpi beliau,

Tadi malam aku bermimpi melihat ada dua orang yang mendatangiku, lalu mereka memegang tanganku, kemudian mengajakku keluar ke tanah lapang. Kemudian kami melewati dua orang, yang satu berdiri di dekat kepala temannya dengan membawa gancu dari besi. 

Gancu itu dimasukkan ke dalam mulutnya, kemudian ditarik hingga robek pipinya sampai ke tengkuk. Dia tarik kembali, lalu dia masukkan lagi ke dalam mulut dan dia tarik hingga robek pipi sisi satunya. Kemudian bekas pipi robek tadi kembali pulih dan dirobek lagi, dan begitu seterusnya.”

Di akhir hadis,Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendapat penjelasan dari malaikat, apa maksud kejadian yangbeliau lihat, “Orang pertama yangkamu lihat, dia adalah seorang pendusta. Dia membuat kedustaan dan dia sebarkan keseluruh penjuru dunia. Dia dihukum seperti itu sampai hari kiamat,kemudian Allah memperlakukan orang tersebut sesuai yang Dia kehendaki.” (HR. Ahmad no. 20165) [2]

Apabila kita sudahberusaha meneliti, namun kita belum bisa memastikan kebenarannya, maka diamtentu lebih selamat. Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapayang diam, dia selamat.” (HR.Tirmidzi no. 2501) [3]

Bertanyalah, AdakahManfaat Menyebarkan suatu Informasi Tertentu?

Lalu, apabila kita sudahmemastikan keberannya, apakah informasi tersebut akan kita sebarkan begitusaja? Jawabannya tentu saja tidak. Akan tetapi, kita lihat terlebih dahuluapakah ada manfaat dari menyebarkan informasi (yang terbukti benar) tersebut?

Jika tidak ada manfaatnyaatau bahkan justru berpotensi menimbulkan salah paham, keresahan atau kekacauandi tengah tengah masyarakat dan hal hal yang tidak diinginkan lainnya, makahendaknya tidak langsung disebarkan (diam) atau minimal menunggu waktu dankondisi dan tepat. Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapaberiman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata yang baik atau diam.”(HR. Bukhari no. 6018 dan Muslimno. 74)

Larangan MenyebarkanBerita Hoax dalam Islam

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernahmelarang Mu’adz bin Jabal radhiyallahu‘anhu untuk menyebarkan ilmu yang dia peroleh karena khawatir akanmenimbulkan salah paham di tengah tengah kaum muslimin. Diriwayatkan dariMu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, ‘Wahai Mu’adz, apakah kamu tahu apa hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para hamba dan apa hak hamba yang wajib dipenuhi oleh Allah?’ Aku menjawab, ‘Allah dan Rasul nya yang lebih mengetahui.’ Beliau pun bersabda,

‘Hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para hamba Nya ialah supaya mereka beribadah kepada Nya saja dan tidak berbuat syirik sedikit pun kepada Nya. Adapun hak hamba yang wajib dipenuhi oleh Allah adalah Allah tidak akan mengazab mereka yang tidak berbuat syirik kepada Nya.’

Lalu aku berkata, ’Wahai Rasulullah, bagaimana kalau aku mengabarkan informasi gembira ini kepada banyak orang?’ Rasulullah menjawab, ’Jangan, nanti mereka bisa bersandar.’” (HR. Bukhari no. 2856 dan Muslim no. 154)

Mari kita perhatikan baik baikhadits ini. Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam menyampaikan suatu informasi (ilmu) kepada Mu’adz binJabal, namun beliau melarang Mu’adz bin Jabal untuk menyampaikannya kepadasahabat lain, karena beliau shallallahu‘alaihi wa sallam khawatir kalau mereka salah paham terhadap kandunganhadits ini.

Artinya, ada suatu kondisisehingga kita hanya menyampaikan suatu informasi kepada orang tertentu saja.Dengan kata lain, terkadang ada suatu maslahat (kebaikan) ketika menyembunyikanatau tidak menyampaikan suatu ilmu pada waktu dan kondisi tertentu, atau tidakmenyampaikan suatu ilmu kepada orang tertentu.

Mu’adz bin Jabal akhirnyamenyampaikan hadits ini ketika beliau hendak wafat karena beliau khawatirketika beliau wafat, namun masih ada hadits yang belum beliau sampaikan kepadamanusia. Mu’adz bin Jabal juga menyampaikan kekhawatiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketikaitu, agar manusia tidak salah paham dengan hadits tersebut.

Semoga tulisan singkat inimenjadi panduan kita di zaman penuh fitnah dan kerusakan seperti sekarang ini,yang salah satunya disebabkan oleh penyebaran informasi yang tidak jelas asal usuldan kebenarannya. Sampai jumpa di artikel berikutnya, terima kasih.

DALAM ISLAM

Sebar Rumor dan Hoaks di Arab Saudi Dianggap Sebagai Kejahatan Serius

Jaksa Penuntut Umum Arab Saudi mengatakan pada Senin (17/1/2022) bahwa menyebarkan desas-desus (rumor) atau kebohongan tentang masalah apapun yang terkait dengan ketertiban umum dianggap sebagai kejahatan serius di Kerajaan. Sementara itu, siapapun yang tertangkap melakukannya akan menghadapi penangkapan dan hukuman berat.

Otoritas tersebut menambahkan, sesuai dengan Undang-Undang tentang Pemberantasan Kejahatan Informasi dan Hukum Acara Pidana, hal ini termasuk individu yang mempromosikan atau berpartisipasi dalam menyebarkan informasi palsu dalam bentuk apapun di media sosial, terutama fabrikasi (pemalsuan) yang berasal dari sumber yang berseteru di negara lain.

Kejaksaan mengatakan saat memantau akun-akun (pengguna) di situs jejaring sosial, mereka menemukan beberapa pengguna yang membuat atau menyebarkan rumor tak berdasar tentang acara musik Riyadh Season, yang telah ditangguhkan.

Informasi palsu tersebut dikoordinasikan dan didukung oleh pihak eksternal yang bermusuhan yang bertanggung jawab atas sebagian besar unggahan. Otoritas itu menambahkan, bahwa individu di Kerajaan yang telah berpartisipasi dalam menyebarkan rumor itu telah dipanggil dan tuntutan pidana telah diajukan terhadap mereka.

“Tindakan ini mengakibatkan hukuman berat hingga lima tahun penjara dan denda sebesar tiga juta riyal (800 ribu dolar AS),” kata Jaksa Penuntut Umum, dilansir di Arab News, Rabu (19/1/2022).

Selain itu, otoritas tersebut menambahkan perangkat dan alat yang digunakan untuk melakukan kejahatan demikian akan disita. Selanjutnya, keputusan akhir diumumkan kepada publik dan tindakan dapat diambil terhadap siapa saja yang menghasut, membantu atau setuju untuk melakukan kejahatan.

Otoritas ini lantas mengimbau seluruh warga dan penduduk Saudi mendapatkan informasi hanya dari sumber resmi dan tidak terlibat dengan rumor di media sosial. Disebutkan, bahwa mereka yang gagal mengindahkan risiko peringatan menghadapi hukuman maksimum yang ditentukan oleh hukum.

IHRAM

Melawan Fitnah, Hoax dan Penghinaan, Bolehkah?

Allah Swt berfirman dalam surah As-Syura’: 39,

(وَٱلَّذِینَ إِذَاۤ أَصَابَهُمُ ٱلۡبَغۡیُ هُمۡ یَنتَصِرُونَ)

dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zhalim, mereka membela diri.

Lafad yantashiruun terambil dari kata nashoro yang berarti membantu atau membela. Ar-Râghib al-Ashfahâni mengmahami kata al-intishor dan al-istinshor dalam arti meminta bantuan. Ini mangisyaratkan bahwa jika seorang muslim ditimpa kesulitan atau penganiayaan atau fitnah, kaum muslim lainnya akan tampil membantunya untuk meluruskan.

As-Syarawi dan mufasir lainnya memahami lafaz yantashiruun dalam arti membela diri. Sehingga mengisyartkan bahwa seorang muslim memiliki harga diri yang tinggi, ia tidak akan menerima penganiyaan, kezaliman, fitnah dan akan tampil sendiri melakukan pembelaan. Sehingga Asy-Sya’rawi mengatakan ayat ini melegalkan seseorang melawan bahkan membalas kezaliman terhadap dirinya dengan hal proposional.

Lalu siapakah orang zalim, pemitnah dan penganiaya yang disebutkan ayat tersebut ?

Imam at-Thabari menjelaskan bahwa pelaku zalim disini bisa mengandung dua makna. Pertama, orang yang melakukan kezaliman itu seorang kafir. Kedua, siapapun yang melakukan kezaliman baik itu kafir atau selainyya. Dan menurutnya, pendapat kedua ini lebih utama ketimbang yang pertama.

Lalu apakah melakukan perlawanan itu terpuji ? Imam At-Thabari menjawab,

إن في إقامة الظالم على سبيل الحق وعقوبته بما هو أهل له تقويما له، وفي ذلك أعظم المدح

Perlawanan terhadap orang zalim dengan cara cara yang benar itu sangat terpuji dan baik. Agar penganiayaan, kezaliman, hoax dan fitnah itu tidak berlanjut, pelakunya pun bisa jera.

Bukankah dengan memaafkan pelaku kezaliman, penyebar hoax dan pelaku fitnah itu lebih baik ketimbang harus melawannya ?

Imam al-Qurthubi menjawab anjuran untuk memaafkan itu berlaku bagi orang zalim yang menyadari kesalahannya lalu bertaubat dan meminta maaf , dan anjuran untuk membalas dan melawan adalah terhadap orang yang zalim, penyebar hoax, dan pemitnah yang tetap membangkang, efek kezalimannya besar, dan menyakitkan korban.

BINCANG SYARIAH

Nasihat Nabi untuk Penyebar Hoax dan Ujaran Kebencian

Dunia digital semakin tidak dapat dibendung lagi. Semua orang dapat mengakses berita dengan sangat cepat dari mana pun dan siapa pun. Dan semua orang pun dapat mengomentari dan menyebarkan berita itu dengan leluasanya. Padahal tidak jarang berita itu berisi tentang hoax dan ujaran kebencian. Maka, dalam hal ini sebaiknya kita renungkan Nasihat Nabi untuk penyebar hoax dan ujaran kebencian sebagai berikut.

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «لاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ تَنَاجَشُوا وَلاَ تَبَاغَضُوا وَلاَ تَدَابَرُوا وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا. الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ وَلاَ يَحْقِرُهُ. التَّقْوَى هَا هُنَا ». وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ « بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ.

Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kalian saling mendengki, saling menipu, saling membenci, saling membelakangi (tidak mau menyapa), dan janganlah sebagian dari kalian membeli barang yang telah dibeli orang lain. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.

Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, tidak boleh menzaliminya, tidak mau menolongnya, dan menghinanya. Taqwa itu di sini, (beliau sambil menunjuk ke dadanya hingga tiga kali). Cukuplah seseorang dikatakan jelek jika ia menghina saudaranya sesama muslim. Darah, harta, dan kehormatan setiap muslim adalah haram bagi muslim yang lain.” (HR. Muslim)

Berdasarkan hadis tersebut, Rasulullah saw. mengingatkan kita agar selalu berakhlak yang baik dengan orang lain. Khususnya kepada sesama muslim. Bahkan beliau menegaskan bahwa seorang muslim dengan muslim lainnya adalah saudara. Di mana sangatlah tidak pantas jika sesama saudara sendiri saling mendengki, menipu, membenci, tidak mau saling sapa, menzalimi, tidak mau saling tolong menolong, dan malah saling hina menghina.

Rasulullah saw. juga mengingatkan kita bahwa orang yang taqwa, yang takut kepada Allah swt. itu tidak akan melakukan hal-hal yang hal-hal buruk tersebut. Karena pastinya orang yang bertaqwa senantiasa diawasi oleh Allah swt. sehingga ia tidak akan berani melakukan tindakan yang dilarang oleh Allah swt. Khususnya menyebarkan berita bohong (hoax) dan ujaran kebencian. Wa Allahu A’lam bis Shawab.

BINCANG SYARIAH

Adab Al-Qur’an dalam Menghadapi Hoax yang Beredar

Gosip adalah sesuatu yang sangat berbahaya dan selalu membuat kegaduhan di tengah masyarakat. Dan urusan gosip menggosip ini bukanlah hal baru, sejak dulu hal ini telah menjadi sumber masalah apalagi setelah teknologi semakin maju yang mempermudah penyebarannya.

Bahkan Nabi Muhammad Saw telah menghadapi masalah ini dalam banyak kejadian.

Tapi tenang saja, Al-Qur’an telah memberi kita tuntunan dan cara yang jelas agar kita tidak terperangkap dalam gosip. Semua itu terangkum dalam “Adab Menghadapi Sebuah Kabar”.

1). Melakukan tabayun ketika mendengar sebuah berita.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن جَآءَكُمۡ فَاسِقُۢ بِنَبَإٖ فَتَبَيَّنُوٓاْ أَن تُصِيبُواْ قَوۡمَۢا بِجَهَٰلَةٖ فَتُصۡبِحُواْ عَلَىٰ مَا فَعَلۡتُمۡ نَٰدِمِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.” (QS.Al-Hujurat:6)

Rasulullah Saw bersabda :

كَفَى بِالمَرء كَذِبًا أَن يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

“Cukuplah kebohongan seseorang dengan mengatakan semua apa yang ia dengar.”

Dan poin yang tak kalah penting adalah kita harus menyadari bahwa semua yang kita sampaikan akan dimintai pertanggung jawaban. Karenanya, berhati-hatilah dalam menyampaikan sebuah berita.

2). Tidak tergesa-gesa dalam menyebarkan berita. Konsultasikan dulu kepada orang-orang yang lebih berilmu dan lebih bijaksana.

وَإِذَا جَآءَهُمۡ أَمۡرٞ مِّنَ ٱلۡأَمۡنِ أَوِ ٱلۡخَوۡفِ أَذَاعُواْ بِهِۦۖ وَلَوۡ رَدُّوهُ إِلَى ٱلرَّسُولِ وَإِلَىٰٓ أُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنۡهُمۡ لَعَلِمَهُ ٱلَّذِينَ يَسۡتَنۢبِطُونَهُۥ

“Dan apabila sampai kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka (langsung) menyiarkannya. (Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya.” (QS.An-Nisa’:83)

Ayat ini ingin mengajarkan agar kita jangan terburu-buru merespon sebuah kabar. Biasakan untuk konsultasi terlebih dahulu terhadap orang yang lebih mengerti, kira-kira bagaimana baiknya kita menghadapi kabar ini. Dalam ayat ini digambarkan rujukan kepada Rasul, ulil amr, ulama’ atau orang yang bijaksana.

3). Mendahulukan baik sangka (Husnudzon).

لَّوۡلَآ إِذۡ سَمِعۡتُمُوهُ ظَنَّ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ بِأَنفُسِهِمۡ خَيۡرٗا وَقَالُواْ هَٰذَآ إِفۡكٞ مُّبِينٞ

Mengapa orang-orang mukmin dan mukminat tidak berbaik sangka terhadap diri mereka sendiri, ketika kamu mendengar berita bohong itu dan berkata, “Ini adalah (suatu berita) bohong yang nyata.” (QS.An-Nur:12)

4). Menutupi aib orang lain.

Rasulullah Saw bersabda :

“Siapa yang menutupi aib saudara muslimnya, maka Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat. Dan siapa yang menyingkap aib saudara muslimnya, maka Allah akan menyingkap aibnya sampai tampak jelas di rumahnya.”

Maka jika kita simpulkan, adab dalam menghadapi sebuah kabar yang di ajarkan oleh Al-Qur’an adalah :

1. Tabayun atau cek kebenarannya.
2. Tidak keburu dan konsultasikan kepada orang yang lebih memahami.
3. Mendahulukan husnudzan.
4. Menutupi aib saudaranya.

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Awas Hoaks: Bersikap Hati-Hati dalam Menyebarkan (Share) Berita

Sebagian kaum muslimin mungkin akan bersikap sangat hati-hati terhadap makanan dan minuman, jangan sampai makan dan minum yang diharamkan oleh syariat. Atau sebagian kaum muslimin yang sangat hati-hati menjaga diri dari benda atau bahan najis, jangan sampai badan atau pakaiannya terkena najis. Ini adalah di antara sikap dan perbuatan yang baik. Namun sayangnya, untuk urusan menyebarkan (men-share) berita, banyak di antara kita yang tidak bersikap hati-hati, atau bertindak ceroboh, tidak (mau) memilah dan memilih, manakah berita yang valid dan manakah yang bukan sebelum menyebarkannya.

 

Baik yang membuat berita dusta atau “sekedar” menyebarkannya, sama-sama disebut sebagai pendusta

Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

“Cukuplah seseorang itu sebagai pendusta (pembohong), ketika dia menceritakan semua (berita) yang dia dengar.” (HR. Muslim dalam Muqaddimah Shahih Muslim no. 5, Abu Dawud no. 4992 dan An-Nasa’i dalam Sunan Al-Kubra no. 11845)

‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata,

بِحَسْبِ الْمَرْءِ مِنَ الْكَذِبِ أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

“Cukuplah seseorang itu termasuk dalam pendusta, ketika dia menceritakan semua (berita) yang dia dengar.” (HR. Muslim dalam Muqaddimah Shahih Muslim 1: 8)

Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga atsar dari sahabat ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu di atas menunjukkan bahwa hukum orang yang membuat berita dusta dan orang yang “sekedar” menyebarkan berita dusta tersebut adalah sama, yaitu sama-sama disebut sebagai pendusta.

Sehingga seseorang tidak boleh meremehkan masalah ini, dengan mengatakan bahwa dia hanya menyebarkan (men-share) berita, bukan orang yang pertama kali membuatnya. Sehingga kaidah Islam dalam masalah ini adalah “Menyebarkan berita bohong adalah pembohong.”

Mengapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebut orang tersebut pembagai pembohong? Karena tentu saja tidak semua berita yang sampai kepadanya adalah berita yang benar, sebagiannya adalah berita palsu. Sehingga ketika dia menyebarkan semua berita yang dia dengar, bisa dipatikan dia adalah pembohong.

 

Seseorang itu tidak layak menjadi contoh teladan (panutan), sampai dia mampu memilah dan memilih berita mana yang akan disebarkan

Ibnu Wahab berkata,

قَالَ لِي مَالِكٌ: اعْلَمْ أَنَّهُ لَيْسَ يَسْلَمُ رَجُلٌ حَدَّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ، وَلَا يَكُونُ إِمَامًا أَبَدًا وَهُوَ يُحَدِّثُ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

“Imam Malik berkata kepadaku, “Ketahuilah, tidak akan selamat (dari dusta) seseorang yang menceritakan semua yang dia dengar. Dan tidaklah layak menjadi panutan (menjadi tokoh) ketika dia menceritakan semua berita yang dia dengar.” (HR. Muslim dalam Muqaddimah Shahih Muslim 1: 8)

‘Abdurrahman bin Mahdi rahimahullahu Ta’ala berkata,

لَا يَكُونُ الرَّجُلُ إِمَامًا يُقْتَدَى بِهِ حَتَّى يُمْسِكَ عَنْ بَعْضِ مَا سَمِعَ

“Seorang itu tidaklah menjadi imam (teladan atau panutan) yang diteladani sampai dia menahan diri dari menceritakan sebagian berita yang dia dengar.” (HR. Muslim dalam Muqaddimah Shahih Muslim 1: 8)

Perkataan Imam Malik di atas menunjukkan bahwa jika seseorang bermudah-mudah menyebarkan semua berita yang dia dengar atau dia baca, dia tidak akan selamat dari dusta. Selain itu, dua atsar di atas menunjukkan bahwa di antara sikap orang yang layak dijadikan sebagai tokoh, teladan, atau pemimpin adalah ketika dia tidak menyebarkan semua berita yang dia dengar. Namun dia mampu memilah dan memilih, manakah berita yang valid dan layak untuk disebarluaskan, dan manakah berita bohong yang tidak boleh disebarluaskan.

 

Tidak semua berita yang benar itu harus disebarluaskan

Ketika suatu berita itu terbukti valid, tidak selalu berarti bahwa berita tersebut layak untuk disebarluaskan. Karena bisa jadi berita valid tersebut akan menimbulkan kesalahpahaman di tengah-tengah masyarakat, lalu timbullah keresahan, kekacauan, dan keributan di tengah-tengah mereka. Hal ini sebagaimana perkataan sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

مَا أَنْتَ بِمُحَدِّثٍ قَوْمًا حَدِيثًا لَا تَبْلُغُهُ عُقُولُهُمْ، إِلَّا كَانَ لِبَعْضِهِمْ فِتْنَةً

“Tidaklah Engkau menceritakan (suatu berita) kepada sekelompok orang, berupa berita yang tidak bisa mereka pahami, kecuali akan menjadi sumber kerusakan (keributan atau kekacauan) bagi mereka.” (HR. Muslim dalam Muqaddimah Shahih Muslim 1: 9)

Untuk berita-berita semacam itu, kita serahkan kepada mereka yang memiliki wewenang. Bisa jadi informasi itu bermanfaat, namun untuk kalangan terbatas, bukan kepada semua orang dengan tingkat pemahaman mencerna berita yang berbeda-beda.

Berita kekejaman syiah, bisa jadi menimbulkan keresahan dan ketakutan di sebagian kalangan, misalnya di kalangan muslimah ibu-ibu. Apalagi jika disertai gambar ilustrasi yang menakutkan. Padahal, peristiwa itu sendiri terjadi di negara lain, misalnya. Sehingga hendaknya kita senantiasa memikirkan dampak luas penyebaran berita valid yang kita sampaikan. Sehingga dakwah tentang agama Syi’ah, bisa disampaikan dengan cara-cara lain yang lebih tepat dan lebih bijak.

Sebagaimana dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu untuk menyampaikan suatu hadits, karena kekhawatiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kalau hadits tersebut bisa disalahpahami oleh para sahabatnya.

 

Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu berkata,

فَقَالَ: يَا مُعَاذُ، تَدْرِي مَا حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ؟ وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ؟ قَالَ: قُلْتُ: اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: فَإِنَّ حَقَّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوا اللهَ، وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا، وَحَقَّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا ، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَفَلَا أُبَشِّرُ النَّاسَ، قَالَ: لَا تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, “Wahai Mu’adz, apakah kamu tahu apa hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para hamba dan apa hak hamba yang wajib dipenuhi oleh Allah?”

Aku menjawab, “Allah dan Rasul-nya yang lebih mengetahui.”

Beliau pun bersabda, “Hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para hamba-Nya ialah supaya mereka beribadah kepada-Nya saja dan tidak berbuat syirik sedikit pun kepada-Nya. Adapun hak hamba yang wajib dipenuhi oleh Allah adalah Allah tidak akan mengazab mereka yang tidak berbuat syirik kepada-Nya.”

Lalu aku berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau aku mengabarkan berita gembira ini kepada banyak orang?”

Rasulullah menjawab, “Jangan, nanti mereka bisa bersandar.” (HR. Bukhari no. 2856 dan Muslim no. 154)

 

Sikap seorang muslim yang benar

Seorang muslim yang menjadikan hadits dan atsar-atsar di atas sebagai pegangan dan dia letakkan di depan kedua matanya, tentu akan bersikap sangat hati-hati dalam memilah dan memilih berita yang berasal dari berita online, surat kabar cetak, atau dari grup whatsapp, atau dari sumber-sumber berita yang lainnya.

Namun perlu kita pahami bahwa bisa jadi cara (metode) untuk memastikan dan menyaring berita itu berbeda-beda tergantung pada topik berita masing-masing. Berita-berita terkait masalah kesehatan, tentu memiliki indikator untuk menilai apakah berita tersebut valid ataukah tidak. Betapa banyak keresahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat sebagai akibat penyebaran berita kesehatan yang tidak benar, alias informasi dusta, atau dengan bahasa kekinian: informasi hoaks. Demikian pula, berita terkait dengan masalah ekonomi dan politik, tentu memiliki indikator tertentu untuk menilai apakah suatu berita itu valid ataukah tidak.

Kemampuan untuk “menyaring” berita semacam ini, tentu tidak dimiliki oleh semua orang, termasuk ustadz sekalipun. Sehingga sikap yang terbaik adalah tawaqquf, atau kita serahkan kepada orang yang ahli dalam bidang tersebut untuk menilai.

Oleh karena itu, hendaknya kita mawas diri dan berkaca terhadap diri sendiri, apakah kita sudah cukup memiliki kelayakan dan kapasitas untuk menyaring sebuah berita? Atau kita akan termasuk dalam golongan orang-orang pembohong dan pendusta sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas?

Semoga tulisan ini menjadi bahan renungan bagi kaum muslimin.

[Selesai]

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/46935-awas-hoaks-bersikap-hati-hati-dalam-menyebarkan-share-berita.html

Saudaraku, Jaga Lisan dan Tanganmu

DARI Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, Seorang muslim adalah seseorang yang orang muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya,. (HR Bukhari dan Muslim)

Seorang muslim hendaknya menegakkan hak Allah dengan benar, dan menunaikan hak sesama dengan benar pula. Dan menjadi kewajibannya adalah bergaul dengan orang lain tanpa menyakiti mereka, baik dengan lisannya maupun tangannya.

Seorang muslim adalah orang yang selamat dan menyelamatkan (aslam). Yakni selamat dari berbuat dzalim dan menyelamatkan orang lain dari perbuatan dzalimnya.

Perbuatan dzalim dapat melingkupi perbuatan, persangkaan, dan perkataan. Jangankan perbuatan, perkataan seseorang pun dapat mendatangkan mudharat atau melukai hati orang lain. Dan seorang muslim adalah orang yang orang lain dapat selamat dari lisan dan tangannya.

Di antara keburukan lisan manusia adalah tajassus (mencari-cari kesalahan oranglain), ghibah (menggunjing keburukan orang lain), berdusta dan menyebarkan kedustaan (termasuk hoax), mencela dan mengumpat orang lain.

Mencela dan mengumpat termasuk dengan menyebut orang lain dengan sebutan atau gelar buruk. Juga apa yang dilakukan sebagian orang di dunia maya dengan menuliskan atau menyebut orang lain dengan (akronim) umpatan anjg, bgsd, dan yang semisalnya.

Di antara kedzaliman yang dilakukan oleh tangan dan dapat menyebabkan tetangga atau orang lain terdzalimi adalah membuang sampah sembarangan. Membuang sampah sembarangan mengakibatkan pemandangan yang tidak rapi dan aroma yang tidak sedap. Tentu itu menyakitkan tetangga kita.

Pilar akhlak yang baik adalah menempatkan dan menggunakan lisan dan perbuatannya dengan benar. Sedangkan akhlak yang baik akan mengantarkan pelakunya kepada surga. Karena berakhlak baik adalah perintah Allah dan Rasul-Nya.

Allahu A’lam. [*]

 

INILAH MOZAIK