Hukum Ayah Tidak Mau Menikahkan Putrinya

Dalam urutan wali nikah, ayah merupakan orang pertama yang berhak untuk menikahkan putrinya. Selama masih ada ayah, yang lain tidak boleh menjadi wali. Namun, bagaimana jika ternyata sang ayah tidak mau menikahkan putrinya padahal sudah ada pria sekufu’ yang datang melamarnya. 

Berdosakah sang ayah? Lalu siapakah yang menjadi walinya? Dalam literatur fikih, tindakan ayah semacam ini disebut ‘adhal, Syekh Wahbah al-Zuhaili menjelaskan;

العضل هو منع الولي المرأة العاقلة البالغة من الزواج بكفئها إذا طلبت ذلك، ورغب كل واحد منهما في صاحبه

“‘adhal adalah menghalanginya wali kepada wanita yang berakal dan baligh dari menikahi pria yang sekufu’ dengannya, sementara wanita itu menginginkannya. Dan mereka berdua saling mencintai.”

Selain itu, ‘adhal merupakan satu dari sekian banyak dosa kecil bahkan Imam Nawawi dalam fatwanya mengkategorikan ‘adhal sebagai dosa besar. Oleh-karenanya sang ayah dihukumi berdosa ketika tidak mau menikahkan putrinya. Hal ini berdasarkan firman Allah Swt pada QS. al-Baqarah ayat 232; 

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ

Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan suaminya, apabila telah terdapat kerelaan antara mereka dengan cara yang ma’ruf.

Ayat ini turun berkaitan dengan kasus salah seorang sahabat bernama Ma’qil bin Yasar yang menikahkan saudarinya dengan seorang lelaki. Nahas seiring berjalannya waktu,  lelaki tersebut menceraikannya. Begitu masa iddah berakhir, si lelaki menyesal dan berniat untuk menikahi saudarinya Ma’qil kembali.

Ma’qil pun marah lantas berkata; “Dulu aku nikahkan engkau dengan saudariku dan aku memuliakan dirimu tapi engkau malah menceraikannya. Lalu sekarang engkau ingin menikahi saudariku lagi. Tidak! Demi Allah aku tidak akan mengembalikannya padamu” sedangkan saudarinya sendiri menginginkan kembali kepada mantan suaminya itu. Maka turunlah ayat di atas.

Kemudian Rasulullah Saw memanggil Ma’qil dan membacakan ayat tersebut, Ma’qil pun khilaf dan bersedia menikahkan saudarinya kembali dengan laki-laki tersebut. (HR. Bukhari 5331)

Meski demikian, ‘adhal tidaknya seorang ayah tergantung kepada keputusan hakim sebagaimana yang tercantum dalam kitab Fathul Wahhab Juz II halaman 37;

ولا بد من ثبوت العضل عند الحاكم ليزوج كما في سائر الحقوق

“Vonis ‘adhal harus berdasarkan ketetapan hakim agar hakim bisa menikahkan (si putri) sebagaimana seluruh hak-hak”. Jadi hakimlah yang berhak menentukan apakah seorang ayah ‘adhal atau tidak dan untuk konteks saat ini yang dimaksud hakim adalah pihak KUA.

Oleh-karena itu, apabila sang ayah telah divonis sebagai wali yang ‘adhal maka yang berhak menikahkan adalah hakim (pihak KUA) bukan wali yang lain seperti kakek, paman, dan seterusnya.

Kenapa begitu? Dalam Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu jilid IX, halaman 6723, diebutkan bahwa sang ayah dianggap telah melakukan kedzaliman dengan tidak mau menikahkan putrinya dan yang berhak menumpas kedzaliman adalah Hakim. 

Namum, jika sang ayah tidak mau menikahkan putrinya sampai tiga kali, maka dia dianggap fasiq sehingga hak perwaliannya berpindah kepada wali yang lain sesuai dengan urutan wali.  Demikian penjelasan dalam kitab Fathul Wahhab jilid II, halaman 37.

Demikianlah hukum ayah yang tidak mau menikahkan putrinya. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi al-shawab.

BINCANG SYARIAH