Matan Taqrib: Hukum Gadai dalam Islam

Kali ini kita pelajari hukum gadai dalam Islam dari Matan Taqrib.

Dalam Matan Taqrib disebutkan:

أَحْكَامُ الرَّهْنِ:

وَكُلُّ مَا جَازَ بَيْعُهُ جَازَ رَهْنُهُ فِي الدُّيُوْنِ إِذَا اسْتَقَرَّ ثُبُوْتُهَا فِي الذِّمَّةِ وَلِلرَّاهِنِ الرُّجُوْعُ فِيْهِ مَا لَمْ يُقْبِضْهُ وَلاَ يَضْمَنْهُ المُرْتَهِنُ إِلاَّ بِالتَّعَدِّي وَإِذَا قَبَضَ بَعْضَ الحَقِّ لَمْ يَخْرُجْ شَيْءٌ مِنَ الرَّهْنِ حَتَّى يَقْضِيَ جَمِيْعَهُ.

Hukum Rahn (Menggadaikan Barang)

Semua barang yang boleh dijual, boleh pula digadaikan sebagai jaminan utang, apabila utang itu tetap (tidak berubah) selama masa perjanjian (penjaminan). Si penggadai (rahin) boleh membatalkan gadaiannya selama barang tersebut belum diserahkan. Si penerima gadaian (murtahin) tidak menanggung barang gadaian kecuali karena adanya pelanggaran (ta’addi). Apabila si penerima gadaian baru menerima sebagian cicilan utang dari si penggadai, maka masa penggadaian belum dianggap rampung hingga si penggadai telah melunasi seluruh utangnya.

Pengertian Gadai

Secara bahasa, ar-rahnu (gadai) berarti ats-tsubuut, tetap.

Secara istilah syari, ar-rahnu (gadai) berarti:

جَعْلُ عَيْنٍ مَالِيَّةٍ وَثِيْقَةً بِدَيْنٍ يُسْتَوْفَى مِنْهَا عِنْدَ تَعَذُّرِ الوَفَاءِ

Menjadikan suatu harta (‘ain maaliyah) sebagai jaminan (kepercayaan, watsiiqah) terhadap utang (dayn) di mana sebagian utang bisa terbayarkan dari harta tersebut ketika ada uzur untuk melunasi.

Dalil Tentang Gadai

Dalil mengenai disyariatkannya gadai adalah firman Allah Ta’ala,

وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ ۖ

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (QS. Al-Baqarah: 283)

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِىٍّ إِلَى أَجَلٍ ، وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membeli makanan dari orang Yahudi secara tidak tunai (berutang), lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan gadaian berupa baju besi.” (HR. Bukhari, no. 2068 dan Muslim, no. 1603).

Para ulama sepakat bahwa rahn dibolehkan dan hal ini telah dilakukan sejak zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga saat ini, dan tidak ada yang mengingkarinya.

Beberapa Catatan tentang Gadai

– Gadai ini nantinya digunakan untuk melunasi kewajiban pada orang yang memberikan pinjaman (ad-daain) ketika yang berutang (al-madiin) itu bangkrut (aflasa). Barang yang jadi gadaian itu dijual agar yang memberikan pinjaman bisa mendapatkan haknya ketika penunaian utang.

– Jaminan pada hak ini ada tiga yaitu: (1) syahadah (saksi) adanya utang, (2) rahn (gadaian), (3) dhaman (jaminan). Saksi ini untuk mencegah kekhawatiran adanya penentangan adanya utang. Sedangkan rahn (gadaian) dan dhaman (jaminan) untuk jaga-jaga apabila terjadi iflaas (kebangkrutan).

– Rahn itu boleh ketika safar maupun hadir (tidak bersafar), walaupun ayat menyebutkan tentang keadaan safar.

– Rahn adalah sebagai gantian dari kitabah (penulisan utang) yang mengambil hukum sunnah.

Rukun Akad Rahn (Gadai)

  1. Marhuun (yang digadaikan)
  2. Marhuun bihi (dayn, yaitu utang)
  3. Raahin (al-madiin, yang berutang, yang menyerahkan gadai)
  4. Murtahin (ad-daain, yang memberikan utang, penerima gadai)
  5. Shighah (ada ijab dan qabul)

Yang boleh dijadikan marhuun (barang gadai) adalah segala sesuatu yang dibolehkan untuk diperjualbelikan sebagai jaminan dari penunaian utang. Khamar dan benda najis lainnya tidaklah sah dijadikan sebagai marhuun (barang gadai).

Syarat Raahin dan Murtahin

  1. Atas pilihan sendiri, tidak dipaksa
  2. Ahliyah tabarru’ (dibolehkan melakukan akad, yaitu orang yang atas pilihan sendiri, baligh, bukan yang sedang dihajr, diboikot untuk tidak boleh membelanjakan hartanya).

Syarat Marhuun (Barang Gadai)

  1. ‘Ain, sesuatu yang berbentuk. Jika barang gadaian berupa utang, maka tidaklah sah karena tidak bisa diserahterimakan.
  2. Sah untuk diperjualbelikan, yaitu segala sesuatu yang boleh diperjualbelikan, maka boleh dijadikan barang gadai. Anjing, babi, atau khamar tidaklah bisa dijadikan barang gadai.

Syarat Marhuun Bihi (Utang)

  1. Utangnya itu ada. Jika gadai dengan sesuatu yang dipinjamkan, dirampas (magh-shuubah), atau dicuri diam-diam (masruuqah), tidaklah sah karena tidak ada yang jadi watsiqah (jaminan, kepercayaan) sehingga bisa melunasi ketika ada uzur pelunasan.
  2. Marhuun bihi (utang) diketahui oleh kedua pihak yang berakad. Utang tersebut diketahui dalam bentuk jumlah dan sifat, sehingga tidaklah sah jika masih majhuul (tidak diketahui).
  3. Syarat shighah (ijab dan qabul) seperti dalam perihal jual beli.

Beberapa Pembahasan Terkait Gadai

  • Orang yang menyerahkan gadai (raahin) boleh meminta barang gadaian (marhuun) selama penerima gadai (murtahin) belum qabdh (memegang, serah terima). Jika murtahin telah qabdh (memegang barang gadai), maka tidaklah boleh barang gadai itu dikembalikan hingga utang lunas atau barang gadai (marhuun) dijual untuk melunasi utang.
  • Penerima gadai (murtahin) ketika memegang barang gadai (marhuun) adalah barang amanah. Murtahin barulah mengganti jika ada kerusakan pada barang gadai hanya ketika terjadi ta’addi atau melampaui batas.
  • Jika pemberi gadai (yang berutang) melunasi sebagian dari utangnya, ia tetap belum boleh meminta barang gadaiannya atau sebagiannya. Barang gadai barulah diserahkan ketika utang lunas.
  • Barang gadai itu masih jadi milik orang yang berutang (pemberi gadai) dan dialah yang punya kewajiban untuk mengeluarkan biaya untuk perawatan barang gadainya. Misalnya, barang gadai berupa sapi, maka susunya masih miliki raahin (pemberi gadai), ia tetap yang memberi makan, memeras susunya, dan membersihkan kandangnya.
  • Barang gadai tidak boleh disewakan, dihibahkan, dipinjamkan, atau dimanfaatkan yang sifatnya bisa menghabiskan.
  • Jika penerima gadai (murtahin) memanfaatkan barang gadai seperti hewan tunggangan yang jadi gadai ditunggangi, maka dianggap sebagai ta’addi (melampaui batas), maka harus ada ganti rugi ketika ada kerusakan atau musnah.
  • Jika barang gadai berupa sapi betina melahirkan dan memiliki anak atau barang gadai berupa pohon itu berbuah, maka hasil tadi adalah milik raahin (pemberi gadai) yang keluar dari barang gadainya. Raahin (pemberi gadai) punya kewajiban untuk merawatnya (menanggung biayanya).
  • Jika murtahin (penerima gadai) meminta barang gadai dijual atau meminta untuk dilunasi utangnya jika memang sudah jatuh tempo, jika raahin (pemberi gadai) mengalami kendala, maka qadhi (hakim) boleh memaksanya untuk menjual barang gadai.
  • Murtahin (penerima gadai) boleh menjual marhuun (barang gadaian) dengan izin raahin (pemberi gadai) sebelum penulasan utang jatuh tempo dan gadai jadi bebas.

Gadai dianggap selesai dengan:

  1. Melunasi utang.
  2. Raahin (pemberi gadai) dianggap utangnya selesai, artinya murtahin (penerima gadai) memaafkan atau memutihkan utang.
  3. Barang gadai lenyap atau rusak.
  4. Barang gadai tidak layak lagi diperjualbelikan, seperti hasil ekstraksi yang berubah menjadi khamar. Namun, khamar jika berubah lagi sendirinya menjadi cuka, maka gadai dianggap balik kembali.

Referensi:

Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Daar Al-Manaar.

Sabtu siang, 11 Dzulqa’dah 1443 H, 11 Juni 2022

Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber https://rumaysho.com/33986-matan-taqrib-hukum-gadai-dalam-islam.html