Hukum Melihat Aurat Mayat

Ketika mengurus mayyit, tak jarang auratnya tersingkap. Yang demikian sudah lumrah, di mana-mana kadang terjadi. Lalu bagaimanakah pandangan fikih Syafi’i atas hukum melihat aurat mayat?

Terkait hukum melihat aurat mayat, Imam al-Nawawi mengatakan;

قَالَ الْمُصَنِّفُ وَالْأَصْحَابُ لَا يَجُوزُ للغاسل أو لغيره مس شئ من ستر عَوْرَةِ الْمَغْسُولِ وَلَا النَّظَرُ إلَيْهَا بَلْ يَلُفُّ عَلَى يَدِهِ خِرْقَةً وَيَغْسِلُ فَرْجَهُ وَسَائِرَ بَدَنِهِ وَيُسْتَحَبُّ أَنْ لَا يَنْظُرَ إلَى غَيْرِ الْعَوْرَةِ الا الي مالا بدله مِنْهُ فِي تَمَكُّنِهِ مِنْ غُسْلِهِ وَكَذَا يُسْتَحَبُّ أَنْ لَا يَمَسَّهُ بِيَدِهِ فَإِنْ نَظَرَ إلَيْهِ أَوْ مَسَّهُ بِلَا شَهْوَةٍ لَمْ يَحْرُمْ بَلْ هُوَ تَارِكٌ لِلْأَوْلَى وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا يُكْرَهُ لَهُ ذَلِكَ وَأَمَّا غَيْرُ الْغَاسِلِ مِنْ الْمُعِينِ وَغَيْرِهِ فَيُكْرَهُ لَهُمْ النَّظَرُ إلَى مَا سِوَى الْعَوْرَةِ إلَّا لِضَرُورَةٍ لِأَنَّهُ لَا يُؤْمَنُ أَنْ يَنْكَشِفَ مِنْ الْعَوْرَةِ فِي حَالِ نَظَرِهِ أَوْ يَرَى فِي بَدَنِهِ شَيْئًا كَانَ يَكْرَهُهُ أَوْ يَرَى سَوَادًا أَوْ دَمًا مُجْتَمِعًا وَنَحْوَ ذَلِكَ فَيَظُنَّهُ عُقُوبَةً قَالَ الشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ لِأَنَّهُ يُسْتَحَبُّ أَنْ لَا يَنْظُرَ إلَى بَدَنِ الْحَيِّ فَالْمَيِّتُ أَوْلَى.

“Menurut para ashab, orang yang memandikan mayyit atau pihak lainnya itu tidak boleh memegang auratnya mayyit. Juga tidak boleh melihat terhadap auratnya, bahkan yang memandikan harus membungkus tangannya dengan kain di saat membersihkan seluruh tubuhnya mayyit. 

Dan disunnahkan untuk tidak melihat pada anggota tubuh yang bukan aurat, kecuali jika memang mengharuskan untuk melihatnya agar supaya sempurna prosesi memandikannya. 

Demikian pula disunnahkan untuk tidak memegang anggota yang bukan aurat tadi dengan tangan secara langsung, namun jika ia memegangnya dan melihatnya disertai dengan syahwat, maka tidak haram baginya, hanya saja ia Tarik li al-aula (istilah hukum untuk taraf di bawah makruh), sedang menurut ashab syafi’i yang demikian ini makruh.

Adapun bagi selain yang memandikan namun ia juga berperan dalam prosesi memandikan mayit maka makruh baginya untuk melihat terhadap anggota yang bukan aurat kecuali adanya darurat, yang demikian juga berlaku bagi orang lain. 

Hal ini ditengarai bahwa dalam keadaan tersebut tidaklah aman auratnya mayit ketika dipandang atau seseorang melihat di badannya sesuatu yang tidak elok untuk dipandang semisal karena hitam atau karena ada darah yang menggumpal dan lain-lain, yang mana seseorang itu bisa beranggapan bahwasanya yang demikian ini adalah siksa baginya. 

Menurut Syekh Abu Hamid Sunnah untuk tidak melihat badannya orang yang masih hidup, maka tentunya hukum ini lebih utama untuk diterapkan pada orang yang sudah meninggal.” (Majmu’ syarh al-Muhadzdzab Juz 5 Halaman 165) 

Namun, pada kondisi tertentu mengharuskan kita untuk melihat auratnya mayyit. Dalam kitab yang sama, Imam al-Nawawi telah menyitirnya dengan mengatakan; 

يَجِبُ غُسْلُهُ مِنْ فَوْقِ ثَوْبٍ وَيَلُفُّ الْغَاسِلُ عَلَى يَدِهِ خِرْقَةً وَيَغُضُّ طَرْفَهُ مَا امكنه فان اضطر إلى النظر نظر قَدْرَ الضَّرُورَةِ صَرَّحَ بِهِ الْبَغَوِيّ وَالرَّافِعِيُّ وَغَيْرُهُمَ

“Wajib memandikan mayyit dengan mengenakannya kain penutup (aurat), dan yang memandikan harus membungkus tangannya dengan kain, serta ia menundukkan pandangannya sebisa mungkin. 

Hanya saja ketika ia terpaksa untuk melihat (auratnya) mayyit, maka ia boleh melihatnya, namun pada taraf daruratnya saja. Demikian penjelasannya Imam al-Baghawi dan Imam Al-rafi’i, serta ulama lainnya. (Majmu Syarh al-Muhadzzab, Juz 5 Halaman 141) 

Dengan demikian maka hindari untuk melihat auratnya mayyit, Lalu bagaimanakah batasan auratnya mayyit, apakah tetap disamakan dengan saat ia hidup? Menurut Imam al-Mawardi iya, auratnya disamakan. Beliau mengatakannya dalam redaksi berikut;

فَإِنْ لم يكن غُسْلُهُ فِي الْقَمِيِصِ لِصَفَاقَتِهِ سُتِرَ مِنْهُ قَدْرُ عَوْرَتِهِ، وَذَلِكَ مَا بَيْنَ سُرَّتِهِ وَرُكْبَتِهِ، لِأَنَّ حُكْمَ عَوْرَتِهِ بَعْدَ وَفَاتِهِ كَحُكْمِ عَوْرَتِهِ فِي حَيَاتِهِ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِعَلِيٍّ: ” لَا تَنْظُرْ لِفَخِذِ حي وَلَا مَيِّتٍ “.

” Jika mayyit tidak dimandikan dengan mengenakan kain penutup aurat berupa gamis, maka ia ditutup sekadar auratnya saja. Yaitu (dalam konteks laki-laki yang bermadzhab Syafii) antara pusar dan kedua lutut. 

Karena auratnya mayyit ini diikutkan dengan auratnya ketika masa hidup, makanya Rasulullah saw bersabda ke Sayyidina Ali “janganlah kamu melihat pahanya orang, baik ia masih hidup atau meninggal”. (Al-Hawi al-Kabir Juz 7 Halaman 3)

Adapun terkait suami istri ada pengecualian tersendiri, dalam konteks ini, dijelaskan;

 قَالَ شَيْخُنَا الْمَدَابِغِيُّ: وَمَذْهَبُنَا أَنَّ الْمَوْتَ مُحَرِّمٌ لِلنَّظَرِ بِشَهْوَةٍ فِي حَقِّ الزَّوْجَيْنِ دُونَ النَّظَرِ بِغَيْرِ شَهْوَةٍ وَلَوْ لِجَمِيعِ الْبَدَنِ فَيَجُوزُ، وَمِثْلُهُ الْمَسُّ وَلَوْ لِجَمِيعِ الْبَدَنِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ اهـ أج.

“Guru kami, Al-Madabighi mengatakan bahwasanya dalam pendapat madzhab Syafii dirumuskan jikalau kematian itu menjadi sebab keharaman untuk memandang dengan adanya syahwat bagi pasutri. Lain halnya apabila pandangan tersebut tidak disertai syahwat, hatta sekujur tubuh pun bolh dilihat jika demikian. 

Dianalogikan dengan konsep ini, yaitu dalam konteks memegangnya. Bahkan dijelaskan bahwasanya boleh menyentuh sekujur tubuhnya, pendapat inilah yang menjadi pendapat muktamad.” (Tuhfat al-habib ala Syarah al-Khatib Juz 2 Halaman 269)

Maka dari itu, dari beberapa keterangan di atas bisa diketahui bahwa melihat aurat mayyit itu diharamkan, kecuali adanya darurat yang mendesak. Dengan demikian, seyogyanya yang memandikan mayyit untuk menghindari melihat auratnya mayyit, sebab ditakutkan ada sesuatu yang tabu untuk dilihat.

Demikian hukum melihat aurat mayat dalam Islam. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH