Bolehkah Kita Memakai Kartu Kredit?

 

Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Di zaman serba canggih ini, memiliki kartu kredit agak sulit dihindari. Rasanya lucu dan tidak masuk akal kalau di zaman seperti ini kita hidup tanpa kartu kredit. Apalagi bila kita tinggal di negara maju, dimana semua kebutuhan belanja kita sehari-hari lebih dimudahkan bila membayar dengan kartu kredit.

Tetapi sebagai muslim tentu kita diharamkan bermuamalah dengan cara riba. Dan setahu saya, kartu kredit itu tidak bisa dilepaskan dari riba. Sebab biar bagaimana pun namanya perusahaan yang mengeluarkan kartu kredit itu pasti ingin dapat keuntungan. Dan keuntungannya tidak lain dari hasil riba.

Jadi bagaimana kita menyatukan dua kepentingan ini, apakah kita harus melepaskan kartu kredit 100% karena haram? Ataukah kita boleh menggunakannya dengan alasan darurat? Atau ada alternatif lain lagi?

Mohon arahan dan bimbingannya ya ustadz. Syukran terima kasih.

Wassalam

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Apa yang Anda sebutkan memang ada benarnya, bahwa di zaman yang sudah canggih dan modern ini, buat sebagian kita khuhusnya yang tinggal di perkotaan atau di negara-negara maju, memang agak kesulitan untuk hidup tanpa kartu kredit.

Hal itu karena sistem pembayaran dengan menggunakan uang tunai sebagaimana dalam belanja konvensional sudah mulai ditinggalkan. Pembayaran di berbagai tempat, seperti di pusat perbelanjaan, lebih sering menggunakan sistem kartu kredit. Termasuk salah satunya untuk menginap di hotel dan memesan tiket penerbangan.

A. Prinsip Berbelanja Dengan Kartu Kredit

Yang pertama sekali sebelum kita bicara tenang hukum berbelanja dengan kartu kredit, kita harus tahu dulu duduk masalah dan prinsip dasarnya. Ada beberapa hal penting yang harus kita ketahui, antara lain :

1. Belanja Dengan Berhutang

Kalau kita telaah secara mendalam, pada dasarnya ketika kita berbelanja dengan menggunakan kartu kredit, kita melakukan jual-beli secara hutang. Maksudnya, kita tidak membayar belanjaan kita, tetapi kita suruh pihak ketiga untuk membayarkan belanjaan kita. Pihak ketiga disini tidak lain adalah perusahaan yang menerbitkan kartu kredit kita.

Tentu cara belanja seperti ini berbeda dengan yang umumnya kita lakukan sehari-hari di pasar-pasar tradisional, dimana kita biasanya membayar belanjaan secara tunai.  Pembayaran ini lebih sering menggunakan uang kertas, tetapi bisa juga menggunakan kartu debit (ATM), dimana kita membayar dengan uang tabungan kita yang tersimpan di bank.

Dengan kartu kredit, sebenarnya kita berhutang. Dan istilah kredit pada hakikatnya bermakna hutang. Mungkin seharusnya istilah diganti menjadi kartu hutang.

Dalam syariat Islam, khususnya fiqih muamalah, hukum berbelanja atau jual-beli dengan cara hutang memang diperkenankan dan tidak terlarang.

2. Berhutang Kepada Pihak Ketiga

Namun hutang kita ini bukan kepada penjual atau pemilik barang, tetapi kita berhutang sejumlah uang kepada pihak ketiga, yaitu perusahaan yang menerbitkan kartu kredit.

Ketika kita menggesekkan kartu kredit saat berbelanja, yang terjadi sesungguhnya adalah kita pinjam uangnya pihak ketiga ini untuk membayarkan belanjaan kita. Pihak penjual barang sendiri sebenarnya tidak pernah memberikan piutang kepada kita, sebab secara langsung pihak ketiga akan langsung membayarkan belanjaan kita secara tunai.

Dalam pandangan syariat Islam, hukum pinjam meminjam uang pada dasarnya dibenarkan dan diperbolehkan. Tentu saja selama tidak melanggar ketentuan syariah.

3. Bunga Kompensasi Pinjam Uang

Yang jadi masalah dari pembayaran menggunakan jasa pihak ketiga ini adalah dalam masalah kompensasi bunga atas hutang uang.

Meski ada ragam ketentuan yang saling berbeda antara satu perusahaan dengan perusahan lain, namun secara prinsip bahwa setiap hutang itu harus ada kompensasinya, berupa bunga pinjaman.

Asal tahu saja, bahwa bunga kartu kredit adalah bunga yang tertinggi di dunia, yaitu sekitar 2% hingga 3% persen per bulan. Jadi kalau dikonversikan dengan tahun, maka bunga kartu kredit itu setara dengan 30% hingga 40% per tahun. Besar sekali bukan?

Dan dari sudut pandang hukum syariah, justru disinilah letak titik masalahnya. Bunga uang pinjaman itu haram, baik sedikit atau besar. Kalau bunga sedikit saja sudah haram, apalagi bila bunganya besar, tentu jauh lebih haram lagi.

Yang menjadikan belanja menggunakan kartu kredit ini halal atau haram adalah ‘illat adanya bunga atas pinjamannya. Bila hutang kepada pihak ketiga itu mengharuskan adanya bunga, jelas hukumnya haram. Sedangkan bila tidak pakai bunga, maka sesungguhnya ‘illat keharamannya pun tidak ada, alias halal hukumnya.

Yang jadi pertanyaan adalah, mana ada perusahaan yang menerbitkan kartu kredit dan memberikan pinjaman berjuta-juta, tetapi tidak mau menarik bunga dari kliennya? Justru inti dari bisnis kartu kredit adalah bagaimana bisa menarik bunga. Kalau perlu, bunganya bisa berbunga lagi dan lagi.

4. Jebakan Untuk Terus Berhutang

Logika dasarnya, ketika kita berhutang dan sudah membayar lunas hutang itu, maka selesailah urusan kita dengan pihak yang memberi hutang.

Tetapi yang menjadi prinsip dasar dari bisnis ini adalah bagaimana agar tiap klien ini ketagihan untuk terus berhutang dan berhutang, tanpa berhenti dan tanpa berhitung banyak.

a. Banyak Tawaran Diskon Yang Menggiurkan

Banyak sekali tawaran untuk berbelanja dengan menggunakan kartu kredit, salah satunya adalah tawaran diskon yang amat menggiurkan.

Sebutlah misalnya aslinya harga barang 5 juta, tetapi kalau bayarnya pakai kartu kredit tertentu bisa dapat potongan hingga 40%. Jadi discountnya sampai dua juta. Menggiurkan, bukan?

Contoh lain yang benar-benar terjadi dan saya alami sendiri. Ketika membeli tiket pesawat ke Cairo, saya mendapatkan di situs salah satu maskapai harga yang murah, yaitu hanya 800 USD. Cuma saya harus bayar pakai kartu kredit. Berhubung saya tidak punya kartu kredit, maka saya datangi langsung kantor perwakilan maskapai itu. Maksudnya saya mau bayar tunai pakai uang dolar.

Ternyata harga tiket di kantor perwakilan itu berbeda dengan di situsnya, mereka minta untuk nomor penerbangan yang sama 1.200 USD. Lebih mahal 400 USD atau lebih dari 4 juta rupiah. Saya berargumentasi bahwa saya sudah pesan di situs mereka lengkap dengan kode pemesanannya. Namun petugas di kantor itu bilang, memang para penumpang lebih dianjurkan untuk bayar pakai kartu kredit saja ketimbang bayar pakai uang tunai. Selisihnya sampai empat juta lebih.

Bagaimana orang tidak hijrah ke kartu kredit kalau begini caranya?

b. Hutang Sebelumnya Boleh Tidak Dilunasi

Oleh karena itulah strategi yang dimainkan adalah membolehkan klien untuk berhutang lagi, meski hutang yang sebelumnya belum terbayar lunas. Sebagaimana kita ketahui bahwa tiap jenis kartu kredit ada limitnya, misalnya 5 juta per bulan. Berarti dalam sebulan, pemegang kartu kredit hanya bisa belanja maksimal 5 juta saja. Lebih dari itu disebut dengan over limit.

Adanya over limit ini seharusnya bermanfaat, yaitu untuk membatasi klien agar tidak berlebihan dalam berbelanja melebihi kemampuannya dalam membayar. Sayangnya, dalam tagihan bulanan disebutkan bahwa klien tidak harus melunasi semua hutangnya yang 5 juta itu. Cukup dibayarkan 5% saja, maka untuk berikutnya sudah boleh berhutang lagi sebesar 5 juta.

Maka hutangnya jadi semakin besar, karena hutang yang sebelumnya tidak harus dilunasi seluruhnya. Kalau pada bulan-bulan berikutnya, klien itu hanya membayar cicilan minimal saja, lalu dia terus menerus berbelanja sampai mentok ke limit teratas, maka dalam waktu singkat hutangnya akan semakin bertambah, dan bunganya pun akan menjadi berkali-kali lipat jumlahnya.

Disinilah terjadi apa yang orang sebut dengan bunga berbunga.

B. Hukum Berbelanja Dengan Kartu Kredit

Berbelanja menggunakan kartu kredit bisa saja hukum haram, kalau sampai harus bayar bunga, tetapi kalau bisa terhindar dari bunga, maka ‘illat keharamanya tidak ada dan hukumnya kembali ke hukum asalnya, yaitu halal.

1. Hukumnya Haram

Namun karena yang terjadi umumnya dalam prakten sehari-hari ketika masyarakat menggunakan kartu kredit selalu terkena bunga yang ribawi, maka kita sebut saja bahwa hukum penggunaan kartu kredit ini asalnya adalah haram.

Alasannya, karena dari hampir semua kasus yang selalu terjadi, ternyata hampir setiap pengguna kartu kredit pasti akan terkena bunga. Sebab umumnya mereka tergiur untuk berhutang dan tidak berusaha untuk melunasinya segera, sehingga lewat dari tanggal jatuh tempo.

2. Hukumnya Halal

Namun kalau klien menggunakan kartu kredit dengan hati-hati, begitu jatuh tanggal penagihan dia segera melunasi 100% semua hutangnya, maka umumnya perusahaan yang mengeluarkan kartu kredit tidak mengenakan bunga apapun alias tanpa bunga.

Syaratnya, pembayaran dilunasi 100% segera setelah tanggal penagihan dan sebelum tanggal jatuh tempo.

Sebagimana kita ketahui bahwa ada istilah tanggal tagihan dan tanggal jatuh tempo. Tanggal tagihan adalah tanggal dimana tagihan selama 1 bulan terakhir dicetak dan dikirimkan kepada klien. Sedangkan tanggal jatuh tempo adalah batas waktu pembayaran tagihan kartu kredit. Tanggal tagihan dan tanggal jatuh tempo biasanya memiliki selisih waktu antara 10 hingga 20 hari.

Maka agar kita tidak terbawa dengan traksaksi ribawi yang merupakan dosa besar, kalau tetap harus pakai kartu kredit dalam berbelanja, maka bayarkan semua hutang tanpa kecuali setiap datang tagihan. Usahakan jangan sampai ada hutang yang mengendap melewati tanggal jatuh tempo.

Sebab kelalaian ini otomatis melahirkan hutang berbunga. Dan sekaligus juga membuka pintu dosa besar, yaitu riba nasi’ah, yang dosa sama dengan berzina bersama ibu kandung sendiri. Hal itu diingatkan oleh Rasulullah SAW dalam salah satu sabdanya :

اَلرِّبَا ثَلاثَةٌ وَسَبْعُونَ بَابًا أَيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ اَلرَّجُلُ أُمَّهُ

Dari Abdullah bin Masud RA dari Nabi SAW bersabda,”Riba itu terdiri dari 73 pintu. Pintu yang paling ringan seperti seorang laki-laki menikahi ibunya sendiri. (HR. Ibnu Majah dan Al-hakim)

Semoga kita selalu dilindungi Allah SWT dari dosa-dosa yang tidak kita ketahui dan dosa-dosa yang kita ketahui. Dan semoga Allah SWT selalu menambah ilmu kita, khususnya ilmu tentang halal haram dalam bermuamalat. Amien.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA

 

 

sumber: Rumah Fiqih