Hukum Tidak Berpuasa bagi Pekerja Berat

Datangnya bulan Ramadan bagi sebagian pekerja berat mendatangkan dilema; antara ibadah puasa dan mencari nafkah untuk keluarga. Terlebih, keduanya sama-sama wajib. Kuli bangunan, pekerja tambang, atlet olahraga dan pekerja berat lainnya mungkin merasakan puasa yang lebih berat dibanding orang dengan profesi “biasa-biasa saja”. Bagaimana hukum tidak berpuasa bagi pekerja berat?

Mengingat puasa termasuk rukun Islam jadi bagaimana pun kondisinya seorang muslim tetap harus berpuasa. Atau justru sebaliknya mereka boleh-boleh saja membatalkan puasa dengan beberapa catatan.

Terkait hukum tidak berpuasa bagi pekerja berat, Syekh Wahbah Zuhayli dalam karyanya al-Fiqhu al-Islamy wa Adillatuhu mengutip pendapat Abu Bakar Al-Ajiry :

قَالَ أَبُو بَكْرٍ الآجِرِي: مَنْ صَنَعَتْهُ شَـاقَـةٌ : فَـإِنْ خَافَ بِالصَّوْمِ تَلَفاً ، أَفطَرَ وَقَضَى إِنْ ضَرَّهُ تَرْكُ الصَنْعَةِ ، فَإِنْ لَمْ يَضُرُّهُ تَرْكُهَـا ، أَثِمَ بِالفِطْرِ ، وَإِنْ لَمْ يَنْتَفِ التَّضَرُّرُ بِتَرْكِهَا ، فَلاَإِثْمَ عَلَيْهِ بِـالفِطْرِ لِلْعُـذْرِ . وَقَرَّرَ جُمْهُورُ الفُقَهَاءِ أَنَّهُ يَجِبُ عَلَى صَاحِبِ العَمَلِ الشَّاقِّ كَالحَصَّادِ والخَبَّازِ وَالحَدَّادِ وعُمَّالِ المنَاجِمِ أَنْ يَتَسَحَّرَ وَيَنْوِيَ الصَّوْمَ ، فَإِنْ حَصَلَ لَهُ عَطَشٌ شَدِيْدٌ أَوْ جُوْعٌ شَدِيْدٌ يَخَافُ مِنْـهُ الضَّرَرُ ، جَازَ لَهُ الفِطْرُ ، وَعَلَيْهِ القَضَـاءُ ، فَـإِنْ تَحَقَّقَ الضَّرَرُ وَجَبَ الفِطْرُ

Abu Bakar al-Ajiri berpendapat pekerja berat boleh membatalkan puasa kemudian nanti mengqadlanya dengan catatan pekerjaan tersebut memang tidak bisa ditinggalkan. Jika ditinggalkan akan berdampak buruk baginya. Apabila pekerjaan tersebut bisa saja ditinggalkan dan tidak berdampak buruk setelahnya, maka dia berdosa jika membatalkan puasa. Apabila setelah meninggalkan pekerjaan tersebut akan tetapi dampaknya masih terasa maka ia boleh membatalkan puasanya karena uzur. Kebanyakan ahli fikih menetapkan kewajiban sahur dan berniat puasa di malam hari bagi para petani, pandai besi, pembuat roti, pekerja tambang, dan para pekerja berat lainnya. Jika memang di tengah pekerjaan dia merasakan sangat haus dan lapar, kemudian dia khawatir hal ini berdampak buruk bagi dirinya boleh baginya membatalkan puasa kemudian nanti mengganti puasanya di kemudian hari. Bahkan, jika dampak buruk ini benar-benar sangat terasa dan memprihatinkan wajib baginya membatalkan puasa. (Al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu, Darul Fikr, Damaskus hlm. 648 juz 2)

Dari pendapat Abu Bakar al-Ajiry yang dikutip Syekh Wahbah ini kita dapat memetakan beberapa hal. Pertama, jika pekerjaan berat memang tidak bisa ditinggalkan dan membuat khawatir jika tetap berpuasa akan berdampak buruk, maka boleh membatalkan puasa. Kemudian nanti menggantinya di hari lain. Kedua, jika pekerjaan berat ini masih bisa ditinggalkan, maka membatalkan puasa itu dosa.

Ketiga, seberat apa pun pekerjaan kita, tetap tidak boleh niat tidak puasa sejak awal. Para ahli fikih menetapkan bagi para pekerja berat tetap harus sahur dan berniat puasa di malam hari. Nah, jika memang setelah berpuasa kita merasakan kesusahan karena sangat lapar atau sangat haus, barulah kita boleh membatalkan puasa. Keempat alias terakhir, jika dampak buruk tadi berdampak sangat memprihatinkan, para pekerja berat wajib membatalkan puasa.

Hal ini senada dengan firman Allah :

وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا

Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu. (An-Nisa [4] : 29). Wallahu A’lam.

BINCANG SYARIAH