Fikih Wakaf (Bag. 1): Pengertian, Hukum, dan Dalil Pensyariatannya

Agama Islam adalah agama yang sempurna. Agama yang tidak hanya memperhatikan gerak-gerik pemeluknya saja, akan tetapi juga memperhatikan harta mereka. Islam mengajarkan bahwa di dalam harta yang dimiliki oleh seorang muslim, terdapat hak-hak orang lain yang harus ditunaikan. Islam juga mengajarkan bahwa harta yang dimiliki oleh seseorang sejatinya hanyalah titipan dan karunia dari Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

آَمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ فَالَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَأَنْفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ

“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka, orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” (QS. Al-Hadid: 7)

Pada ayat di atas, Allah Ta’ala mengingatkan kita bahwa harta yang kita miliki sejatinya hanyalah titipan dari Allah Ta’ala. Oleh karena itu, di dalam mengumpulkan serta mengelola harta yang kita miliki, maka harus tunduk dan patuh kepada syariat yang telah diajarkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Allah perintahkan kita untuk bersedekah dan Allah janjikan juga pahala yang besar bagi siapa saja yang rela mengeluarkan hartanya di jalan Allah Ta’ala.

Di antara beragam jenis ibadah harta yang telah Islam ajarkan kepada kita terdapat satu jenis amal ibadah yang menjadi kekhususan umat ini. Di mana menurut sebagian ulama, ibadah harta tersebut belum dikenal oleh masyarakat jahiliah dahulu kala, dan baru ada ketika Islam ini datang melalui Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Amal tersebut wahai saudaraku adalah wakaf.

Pada artikel ini dan beberapa artikel berikutnya, insyaAllah akan kita pelajari lebih lanjut dasar-dasar fikih dalam masalah wakaf, baik itu pengertiannya, hukumnya, dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan wakaf dan mungkin sebagian dari kita belum memahami dengan baik duduk perkaranya. Wabillahittaufik.

Definisi wakaf

Secara bahasa, wakaf merupakan istilah bahasa Arab yang berasal dari kata (وقف) “waqafa” yang memiliki makna “berhentinya sesuatu atau tertahan atau berdiri di tempat.” Sehingga ‘wakaf’ secara bahasa dapat dimaknai juga dengan “menahan hak milik harta dengan cara diwakafkan untuk tujuan tertentu.”

Adapun secara istilah syariat, maka para ulama memiliki beberapa pandangan berbeda tentangnya. Di dalam kitab Fikih Muyassar, secara ringkas wakaf dimaknai dengan,

“Menahan asalnya dan mengalirkan manfaatnya.”

atau dengan lebih mendetailnya bisa kita artikan dengan,

“Menahan hak milik atas materi/fisik harta benda dari pewakaf, dengan tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya untuk kebaikan umat Islam, kepentingan agama, dan/atau kepada penerima wakaf yang telah ditentukan oleh pewakaf.”

Contohnya:

Si A memiliki sebidang tanah dengan luas 500 meter, lalu ia serahkan hak kepemilikannya kepada Allah Ta’ala melalui sebuah yayasan atau instansi untuk kemudian dimanfaatkan oleh kaum muslimin. Baik itu untuk masjid, sekolah, pusat kesehatan, atau lain sebagainya.

Hukum wakaf dan dalil pensyariatannya

Wakaf hukumnya adalah sunah dan sangat dianjurkan untuk diamalkan oleh kaum muslimin. Dalil pensyariatannya terdapat di dalam Al-Qur’an maupun hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Yang pertama, dalil-dalil yang menganjurkan untuk melakukan kebaikan secara umum. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala,

وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Dan berbuatlah kebaikan, agar kamu beruntung.” (QS. Al-Hajj: 77)

Allah Ta’ala juga berfirman,

لَنْ تَنَا لُوا الْبِرَّ حَتّٰى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّوْنَ ۗ وَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ شَيْءٍ فَاِنَّ اللّٰهَ بِه عَلِيْمٌ

“Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu infakkan, tentang hal itu, sungguh Allah Maha mengetahui.” (QS. Ali ‘Imran: 92)

Seorang muslim tidak akan meraih kebaikan yang sempurna serta derajat kemuliaan yang tinggi, kecuali apabila telah menginfakkan dan menyedekahkan sebagian dari harta kekayaan yang paling dicintainya. Dan wakaf merupakan salah satu contoh infak harta yang paling baik, karena fisik harta yang diinfakkannya tersebut tak akan habis dan lekang oleh waktu, namun manfaatnya dan pahalanya terus mengalir, bahkan ketika pelakunya telah meninggal dunia. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda mengenai keutamaan sedekah ini,

إِذَا مَاتَ الإنْسَانُ انْقَطَعَ عنْه عَمَلُهُ إِلَّا مِن ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِن صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو له

Jika manusia itu mati, maka akan putus amalannya, kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah (sedekah yang pahalanya terus mengalir),  ilmu yang bermanfaat, anak saleh yang mendoakan orang tuanya.” (HR. Muslim no. 1631)

Menurut para ulama, pahala mengalir yang disebutkan dalam hadis ini cenderung mengarah pada masalah wakaf, karena benda yang diwakafkan akan langgeng dan utuh. Karena yang disedekahkan hanyalah manfaatnya saja, adapun fisik hartanya, maka tidak bisa dimiliki dan dipindahtangankan. Berbeda dengan selain wakaf, di mana barang yang sudah disedekahkan kepada orang lain, maka akan menjadi hak penuh bagi penerimanya, baik fisik barangnya maupun manfaatnya. Penerimanya tersebut bebas menjualnya, atau bahkan memakainya sampai habis tanpa sisa.

Dalil dari hadis yang menunjukkan syariat wakaf ini juga terdapat dalam riwayat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

أَن عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَصَابَ أَرْضًا بِخَيْبَرَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ أَنْفَسَ عِنْدِي مِنْهُ فَمَا تَأْمُرُ بِهِ قَالَ إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ أَنَّهُ لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ وَتَصَدَّقَ بِهَا فِي الْفُقَرَاءِ وَفِي الْقُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَالضَّيْفِ لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ وَيُطْعِمَ غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ قَالَ فَحَدَّثْتُ بِهِ ابْنَ سِيرِينَ فَقَالَ غَيْرَ مُتَأَثِّلٍ مَالًا

Umar bin Al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu mendapat bagian lahan di Khaibar, lalu dia menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk meminta pendapat beliau tentang tanah (lahan) tersebut dengan berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku mendapatkan lahan di Khaibar di mana aku tidak pernah mendapatkan harta yang lebih bernilai selain itu. Maka, apa yang engkau perintahkan tentang tanah tersebut?’ Maka, beliau berkata, ‘Jika kamu mau, kamu tahan (pelihara) pepohonannya, lalu kamu dapat bersedekah dengan (hasil buah)nya.’ Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Maka ‘Umar mensedekahkannya di mana tidak dijualnya, tidak dihibahkan, dan juga tidak diwariskan. Namun, dia mensedekahkannya untuk para fakir, kerabat, untuk membebaskan budak, fisabilillah, ibnu sabil, dan untuk menjamu tamu. Dan tidak ada dosa bagi orang yang mengurusnya untuk memakan darinya dengan cara yang ma’ruf (benar) dan untuk memberi makan orang lain, bukan bermaksud menimbunnya.’ Perawi berkata, ‘Kemudian aku ceritakan hadis ini kepada Ibnu Sirin, maka dia berkata, ‘Ghoiru muta’atstsal malan (artinya: tidak mengambil harta anak yatim untuk menggabungkannya dengan hartanya).” (HR. Bukhari no. 2737 dan Muslim no. 1632)

Setelah menyebutkan hadis di atas, Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah menukil ijma’ ulama tentang bolehnya wakaf ini,

وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَغَيْرِهِمْ لَا نَعْلَمُ بَيْنَ الْمُتَقَدِّمِينَ مِنْهُمْ فِي ذَلِكَ اخْتِلَافًا فِي إِجَازَةِ وَقْفِ الْأَرَضِينَ وَغَيْرِ ذَلِكَ

“Dan (hadis ini) menjadi landasan amal menurut ahli ilmu dari kalangan sahabat Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam dan juga selain mereka. Dan kami tidak menemukan adanya perselisihan di antara ulama terdahulu tentang dibolehkannya wakaf tanah dan juga yang lainnya.” (Disebutkan dalam Kitab Shahih At-Tirmidzi no. 1375)

Wallahu A’lam bisshawab.

[Bersambung]

Sumber: https://muslim.or.id/91136-fikih-wakaf-bag-1-pengertian-hukum-dan-dalil-pensyariatannya.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Fikih Silaturahmi (Bag. 1): Pengertian, Hukum, dan Macam-Macam Kerabat

Hari raya Idulfitri dan libur lebaran sarat dengan istilah ‘silaturahmi’ saling mengunjungi satu dengan yang lain, mudik, halal bi halal, dan segala macam pernak-pernik lainnya yang berkaitan dengan menyambung silaturahmi. Lalu, apa yang dimaksud dengan silaturahmi di dalam syariat Islam? Apa saja yang diajarkan syariat ini terkait silaturahmi serta bagaimana hukumnya?

Makna dan pengertian silaturahmi

Silaturahmi merupakan kata serapan yang berasal dari bahasa Arab. Kata ini di dalam bahasa Arab sebenarnya tersusun dari 2 kata, As-Shilah (Arab: الصلة) dan Ar-Rahim (Arab: الرحم). Sehingga, agar mengetahui hakikat serta maknanya, haruslah mengetahui terlebih dahulu makna dari dua kata tersebut.

As-Shilah secara bahasa merupakan lawan dari Al-Qat’u (القطع) yang artinya terputus. Maka, makna As-Shilah adalah kata yang menunjukkan perihal menyambungkan dan menggabungkan satu objek dengan objek lainnya sehingga menempel dan tersambung.

Secara istilah makna As-Shilah adalah “berbuat baik tanpa mengharapkan balasan”. An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Para ulama’ mengatakan, ‘Hakikat ‘menyambung’ (Arab: الصلة) adalah lemah lembut dan kasih sayang.’”

Adapun makna Ar-Rahim secara bahasa adalah rumah tumbuhnya sebuah janin dan tempat wadahnya di perut (tempat terbentuk dan terciptanya janin), kemudian dikaitkan kepada kerabat dekat dan sebab kedekatannya.”

Secara istilah Ar-Rahim memiliki arti istilah yang mencakup semua orang yang memiliki ikatan rahim dari kalangan karib kerabat serta disatukan oleh nasab, tanpa memandang apakah itu mahram bagi orang tersebut ataupun tidak.”

Dari penjabaran di atas, maka pengertian silaturahmi yang sesuai dengan kaidah bahasa dan ajaran Islam adalah seperti yang disampaikan oleh An-Nawawi rahimahullah,

هي الإحسان إلى الأقارب على حسب حال الواصل والموصول، فتارة تكون بالمال، وتارة بالخدمة، وتارة بالزيارة والسلام وغير ذلك

“Ia adalah berbuat baik kepada karib-kerabat sesuai dengan keadaan orang yang hendak menghubungkan dan keadaan orang yang hendak dihubungkan. Terkadang berupa kebaikan dalam hal harta, terkadang dengan memberi bantuan tenaga, terkadang dengan mengunjunginya, dengan memberi salam, dan cara lainnya”. (Syarh Shahih Muslim, 2: 201).

Seringkali orang-orang berdebat, mana yang benar antara ‘silaturahmi’ atau ‘silaturrahim’?

Untuk konteks penulisan bahasa Arab, kata silaturahim memiliki makna literal yang paling tepat. Karena, bila merujuk sejumlah hadis dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau lebih banyak menggunakan kata “rahim” atau “silaturahim” dibandingkan dengan kata “rahmi” dari “silaturahmi”.

Namun, di dalam bahasa Indonesia, kata yang terdaftar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah ‘silaturahmi’ yang bermakna tali persahabatan (persaudaraan). Untuk itu, orang Indonesia lebih disarankan menggunakan kata silaturahmi yang makna katanya sudah dikembalikan ke dalam bahasa Indonesia.

Hanya saja harus kita pahami, kedua kata ini sejatinya berasal dari akar kata yang sama. tidak ada yang perlu dipermasalahkan antara silaturrahmi ataukah silaturahim. Selama makna yang dimaksud sama, yaitu menyambung hubungan persaudaraan dengan kerabat. Para ulama juga telah menetapkan sebuah kaedah,

لا مشاحة فى الاصطلاح

“Tidak ada perdebatan dalam istilah.”

Artinya, selama maknanya sama, maka tidak jadi masalah. Wallahu A’lam.

Mengenal dua macam kerabat

Kerabat terbagi menjadi dua macam: kerabat mahram dan kerabat nonmahram.

Kerabat mahram, yaitu ketika ada dua orang yang antara keduanya memiliki ikatan, jika dipermisalkan salah satunya laki-laki dan yang lainnya perempuan, maka keduanya tidak diperbolehkan untuk saling menikahi. Contohnya antara anak dengan bapak dan ibunya, ataupun dengan saudara laki-laki maupun perempuannya, ataupun kakek dan neneknya sampai ke tingkatan selanjutnya. Antara seseorang dengan anaknya atau anak suaminya (dari istri yang lain) hingga ke tingkatan bawahnya. Antara seseorang dengan saudara bapaknya (paman dan bibi pihak bapak) atau dengan saudara ibunya (paman dan bibi dari pihak ibu).

Kerabat non-mahram, yaitu mereka adalah kerabat yang bukan mahram kita, seperti anak perempuan paman dan bibi, baik dari pihak bapak ataupun dari pihak ibu.

Hukum silaturahmi

Dari peninjauan terhadap dalil yang ada, hukum dasar silaturahmi adalah wajib, di antaranya firman Allah Ta’ala,

وَاِذْ اَخَذْنَا مِيْثَاقَ بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ لَا تَعْبُدُوْنَ اِلَّا اللّٰهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًا وَّذِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَقُوْلُوْا لِلنَّاسِ حُسْنًا

“Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil, .janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat-baiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin. Dan bertuturkatalah yang baik kepada manusia.’” (QS. Al-Baqarah: 83)

Di ayat yang lain Allah Ta’ala berfirman,

وَاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْ تَسَاۤءَلُوْنَ بِهٖ وَالْاَرْحَامَ

“Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim (kekerabatan).” (QS. An-Nisa’: 1)

Al-Qurtubi rahimahullah di dalam kitab tafsirnya menambahkan, “Semua Millah (ajaran terdahulu) sepakat bahwa hukum menyambung tali silaturahmi adalah wajib dan memutuskannya merupakan sebuah keharaman.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  juga pernah bersabda,

خَلَقَ اللَّهُ الخَلْقَ، فَلَمَّا فَرَغَ منه قامَتِ الرَّحِمُ، فأخَذَتْ بحَقْوِ الرَّحْمَنِ، فقالَ له: مَهْ، قالَتْ: هذا مَقامُ العائِذِ بكَ مِنَ القَطِيعَةِ، قالَ: ألا تَرْضَيْنَ أنْ أصِلَ مَن وصَلَكِ، وأَقْطَعَ مَن قَطَعَكِ، قالَتْ: بَلَى يا رَبِّ، قالَ: فَذاكِ. قالَ أبو هُرَيْرَةَ: اقْرَؤُوا إنْ شِئْتُمْ: {فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ} [محمد: 22]

“Allah Ta’ala menciptakan makhluk. Dan setelah selesai dari menciptakannya, bangkitlah rahim, lalu berpegangan kepada kedua telapak kaki Tuhan Yang Mahapemurah. Maka Dia berfirman, ‘Apakah keinginanmu?’ Rahim menjawab, ‘Ini adalah tempat memohon perlindungan kepada-Mu dari orang-orang yang memutuskan (aku).’ Maka Allah Ta’ala berfirman, ‘Tidakkah kamu puas bila Aku berhubungan dengan orang yang menghubungkanmu dan memutuskan hubungan dengan orang yang memutuskanmu?’ Rahim menjawab, ‘Benar, kami puas.’ Allah berfirman, ‘Itu adalah untukmu.’ Lalu Abu Hurairah berkata, ‘Bacalah oleh kalian bila kalian menghendaki firman Allah Ta’ala berikut, yaitu ‘Maka apakah kiranya jika kamu berpaling (dari jihad) kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?’ (QS. Muhammad: 22).” (HR. Bukhari no. 4830 dan Muslim no. 2554)

Hukum silaturahmi akan berbeda-beda tergantung jenis kekerabatannya. Para ulama berbeda pendapat terkait siapa saja yang wajib hukumnya untuk kita sambung silaturahmi dengannya (sehingga akan berdosa bila memutus silaturahmi dengan mereka) dan siapa saja kerabat yang hukumnya sunah untuk disambung silaturahminya.

Pendapat yang terkuat dari segi pendalilannya adalah pendapat yang masyhur di dalam mazhab Hanafi, serta merupakan pendapat sebagian ulama Maliki dan ini juga pendapatnya Abu Al-Khattab salah seorang ulama Hambali, yaitu “Kerabat yang wajib disambung silaturahminya adalah kerabat mahram kita.”

Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

لا تُنكحُ المرأةُ علَى عمَّتِها ولا العمَّةُ علَى بنتِ أخيها ولا المرأةُ علَى خالتِها ولا الخالةُ علَى بنتِ أختِها ولا تُنكحُ الكبرى علَى الصُّغرى ولا الصُّغرى علَى الكبرى

“Tidak boleh seorang wanita dinikahi sebagai madu bibinya (saudari ayah), dan seorang bibi dinikahi sebagai madu anak wanita saudara laki-lakinya, dan tidak boleh seorang wanita dinikahi sebagai madu bibinya (saudari ibu) dan seorang bibi sebagai madu bagi anak wanita saudara wanitanya. Dan tidak boleh seorang kakak wanita dinikahi sebagai madu adik wanitanya, dan adik wanita dinikahi sebagai madu kakak wanitanya.” (HR. Abu Dawud no. 2065)

Di hadis yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

نهى رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم أنْ تُزوَّجَ المرأةُ على العمَّةِ والخالةِ قال: ( إنَّكنَّ إذا فعَلْتُنَّ ذلك قطَعْتُنَّ أرحامَكنَّ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang seorang wanita dinikahkan sebagai madu bibinya (dari pihak ayah) dan bibi (dari pihak ibu), kemudian beliau melanjutkan, ‘Sesungguhnya jika kalian (perempuan) melakukan hal seperti itu, maka kalian telah memutus hubungan kekerabatan kalian.’” (HR. Ibnu Hibban no. 4116)

Kemudian dalil mereka yang lain adalah mereka yang bukan mahram, maka dilarang untuk untuk berkhalwat (berduaan) dengan mereka dan dilarang juga bercampur baur dengan mereka, tentu hal ini bertolak belakang dengan realisasi silaturahmi. Baik itu pergi ke rumah mereka ataupun berkumpul dan duduk bersama mereka. Oleh karena adanya hal yang bertentangan ini, maka silaturahmi menjadi wajib hanya dengan kerabat mahram saja.

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan, bahwa hukum menyambung silaturahmi terbagi menjadi dua:

Pertama: Wajib. Jika itu kepada kerabat dekat yang menjadi mahram bagi seseorang. Seperti saudara dan saudari bapak (paman dan bibi) ataupun saudara dan saudari ibu (paman dan bibi dari pihak ibu)

Kedua: Sunnah. Maka makruh untuk memutus hubungan dengan mereka, yaitu kerabat nonmahram bagi seseorang. Seperti anak paman dan bibi (sepupu).

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc

Sumber: https://muslim.or.id/75252-fikih-silaturahmi-bag-1-pengertian-hukum-dan-macam-macam-kerabat.html

Hukuman Bagi Yang Berpaling dari Allah Swt

Sebab utama yang akan mengantarkan seseorang menuju kebahagiaan dunia dan akhirat adalah kepasrahan kepada Allah dan komitmen dalam memegang syariat-Nya.

Adapun sebab utama bagi kesengsaraan seseorang di dunia dan adzab di akhirat adalah berpalingnya dia dari Allah dan keengganannya dalam menyembah-Nya dan penolakannya untuk tunduk kepada-Nya.

Al-Qur’an banyak sekali menyebutkan contoh-contoh tentang mereka yang berpaling dari Allah dan menampakkan kesombongan dihadapan-Nya. Dan Al-Qur’an pun juga menyebutkan hukuman-hukuman dahsyat yang menimpa mereka, di dunia dan di akhirat kelak.

Nah, kali ini kita akan menyebutkan sebab-sebab turunnya bencana di dunia dan tercabutnya keselamatan serta berubahnya kenikmatan menjadi bencana.

Seperti yang Allah ceritakan tentang Kaum Saba’ yang sebelumnya bergelimang kenikmatan dunia, lalu seketika kondisi mereka berubah dari kenikmatan menjadi bencana, karena mereka berpaling dari Allah Swt.

Allah Swt Berfirman :

فَأَعۡرَضُواْ فَأَرۡسَلۡنَا عَلَيۡهِمۡ سَيۡلَ ٱلۡعَرِمِ وَبَدَّلۡنَٰهُم بِجَنَّتَيۡهِمۡ جَنَّتَيۡنِ ذَوَاتَيۡ أُكُلٍ خَمۡطٖ وَأَثۡلٖ وَشَيۡءٖ مِّن سِدۡرٖ قَلِيلٖ

“Tetapi mereka berpaling, maka Kami kirim kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Asl dan sedikit pohon Sidr. (QS.Saba’:16)

Itu adalah satu contoh hukuman yang diberikan kepada Allah kepada suatu kaum yang berpaling dari-Nya. Namun, hukuman terbesar yang menimpa orang-orang yang berpaling adalah sebagai berikut :

1). Hatinya tertutup sehingga dzikir tak mampu menyadarkannya dan matanya tak mampu memandang kebenaran. Seperti Firman Allah Swt :

وَمَنۡ أَظۡلَمُ مِمَّن ذُكِّرَ بِـَٔايَٰتِ رَبِّهِۦ فَأَعۡرَضَ عَنۡهَا وَنَسِيَ مَا قَدَّمَتۡ يَدَاهُۚ إِنَّا جَعَلۡنَا عَلَىٰ قُلُوبِهِمۡ أَكِنَّةً أَن يَفۡقَهُوهُ وَفِيٓ ءَاذَانِهِمۡ وَقۡرٗاۖ وَإِن تَدۡعُهُمۡ إِلَى ٱلۡهُدَىٰ فَلَن يَهۡتَدُوٓاْ إِذًا أَبَدٗا

“Dan siapakah yang lebih zhalim dari pada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, lalu dia berpaling darinya dan melupakan apa yang telah dikerjakan oleh kedua tangannya? Sungguh, Kami telah menjadikan hati mereka tertutup, (sehingga mereka tidak) memahaminya, dan (Kami letakkan pula) sumbatan di telinga mereka. Kendatipun engkau (Muhammad) menyeru mereka kepada petunjuk, niscaya mereka tidak akan mendapat petunjuk untuk selama-lamanya.” (QS.Al-Kahfi:57)

2). Salah satu hukuman yang amat dahsyat bagi seorang yang berpaling dari Allah adalah bahwa Allah Swt juga memalingkan perhatian-Nya dari mereka. Allah menyerahkan urusan hidup mereka kepada diri mereka sendiri sehingga dikuasi oleh nafsu dan merasa perilaku bejat mereka adalah kebaikan. Sehingga mereka semakin terjerumus dalam kesesatan.

وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلۡهُدَىٰ وَيَتَّبِعۡ غَيۡرَ سَبِيلِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصۡلِهِۦ جَهَنَّمَۖ وَسَآءَتۡ مَصِيرًا

“Dan barangsiapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahanam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS.An-Nisa’:115)

3). Ada ancaman balasan yang menanti bagi mereka yang berpaling dari Allah. Dan siapakah yang lebih dzalim, celaka dan lebih hina dari orang yang mendapat ancaman balasan dari Allah ?

Allah Swt Berfirman:

وَمَنۡ أَظۡلَمُ مِمَّن ذُكِّرَ بِـَٔايَٰتِ رَبِّهِۦ ثُمَّ أَعۡرَضَ عَنۡهَآۚ إِنَّا مِنَ ٱلۡمُجۡرِمِينَ مُنتَقِمُونَ

“Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, kemudian dia berpaling darinya? Sungguh, Kami akan memberikan balasan kepada orang-orang yang berdosa.” (QS.As-Sajdah:22)

4). Dan salah satu hukuman terbesar yang menimpa orang-orang yang berpaling dari Allah adalah sempitnya kehidupan. Mereka merasakan kegelisahan yang dahsyat walau berada ditengah berbagai kenikmatan. Tidak ada ketenangan dalam hati mereka sehingga semua kenikmatan itu tiada artinya.

وَمَنۡ أَعۡرَضَ عَن ذِكۡرِي فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةٗ ضَنكٗا وَنَحۡشُرُهُۥ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ أَعۡمَىٰ

“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.” (QS.Tha-Ha:124)

Adapun adzab akhirat bagi mereka yang berpaling dari Allah Swt sangatlah pedih. Di dalam Al-Qur’an disebutkan :

وَقَدۡ ءَاتَيۡنَٰكَ مِن لَّدُنَّا ذِكۡرٗا – مَّنۡ أَعۡرَضَ عَنۡهُ فَإِنَّهُۥ يَحۡمِلُ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ وِزۡرًا – خَٰلِدِينَ فِيهِۖ وَسَآءَ لَهُمۡ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ حِمۡلٗا

“Dan sungguh, telah Kami berikan kepadamu suatu peringatan (Al-Qur’an) dari sisi Kami. Barangsiapa berpaling darinya (Al-Qur’an), maka sesungguhnya dia akan memikul beban yang berat (dosa) pada hari Kiamat, mereka kekal di dalam keadaan itu. Dan sungguh buruk beban dosa itu bagi mereka pada hari Kiamat.” (QS.Tha-Ha:99-101)

Itulah beberapa hukuman bagi mereka yang berpaling dari Allah Swt. Semoga kita selalu terjaga di jalan Allah hingga akhir hayat.

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Penegakkan Hukum di Masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Dewasa ini, kita bisa menyaksikan bersama ketika hukum ditegakkan di negeri ini. Ketika orang-orang yang memiliki harta, kekuasaan, dan jabatan melakukan suatu pelanggaran hukum, mereka pun diproses seperti warga negara biasa lainnya. Hal ini tentu patut kita syukuri. Memang demikianlah kewajiban penguasa (pemerintah), yaitu menegakkan hukum tanpa pandang bulu, tidak membedakan antara pejabat atau rakyat biasa. Kalau kita melihat sejarah, maka penegakkan hukum seperti ini telah dicontohkan oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau menjadi pemimpin negara.

Riba yang Pertama Kali Dihapus adalah Riba ‘Abbas bin Abdul Muthollib

Praktik-praktik riba banyak dilakukan oleh masyarakat musyrik jahiliyyah sampai datanglah firman Allah Ta’ala yang mengharamkan praktek riba,

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al Baqarah [2]: 275).

Orang-orang yang terlanjur bertransaksi dengan sistem riba (misalnya dia memberikan pinjaman dengan bunga tertentu), maka wajib bagi orang tersebut untuk menggugurkan transaksi ribanya, tidak boleh lagi mengambil riba. Hal ini ditegaskan oleh lanjutan ayat di atas yaitu,

فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, kemudian berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan). Dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya” (QS. Al Baqarah [2]: 275).

Maksudnya, riba yang terlanjur diambil sebelum turunnya larangan, maka itu untuknya (tidak perlu dikembalikan) karena Allah Ta’ala mengampuni apa yang telah lewat, namun setelah turunnya larangan ini dan seseorang masih memiliki perjanjian riba, maka dia tidak boleh lagi mengambil harta riba tersebut. Artinya, dia wajib menggugurkannya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengumumkan ketika haji wada’ (haji terakhir nabi shalallahu ‘alaihi wasallam) bahwa riba jahiliyyah telah dihapus (dilarang) sampai hari kiamat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلاَ إِنَّ كُلَّ رِبًا مِنْ رِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ لَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ

“Sesungguhnya seluruh riba jahiliyyah telah dihapus. Bagi kalian pokok harta kalian. Kalian tidak boleh mendzalimi dan tidak pula didzalimi” (HR. Abu Dawud no. 3336. Dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani).

Mendengar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, maka muncul pertanyaan pada masyarakat Arab jahiliyyah waktu itu,Apakah kerabat nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang melakukan praktik riba juga wajib menggugurkan riba?” Hal ini karena di antara kerabat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga ada yang melakukan praktik (transaksi) riba. Pertanyaan masyarakat Arab jahiliyyah itu dijawab dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَرِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُهُ رِبَانَا رِبَا عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَإِنَّهُ مَوْضُوعٌ كُلُّهُ

”Riba jahiliyyah telah dihapus. Dan riba yang pertama kali aku hapus adalah riba ‘Abbas bin Abdul Muthallib (paman Nabi sendiri, pen.)Maka riba jahiliyyah dihapus seluruhnya”  (HR. Abu Dawud no. 1907. Dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah berkata, ”Demikianlah hukum. Demikianlah penguasa. Mereka pertama kali menerapkan aturan pada kerabatnya sendiri. Berbeda dengan penguasa pada hari ini, ketika kerabat para penguasa tersebut memiliki kekebalan hukum sehingga dapat berbuat semaunya sendiri.  Akan tetapi, pada masa rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam riba yang dihapuskan pertama kali adalah riba ‘Abbas bin Abdul Muthallib (paman beliau sendiri). Maka riba ‘Abbas dihapus seluruhnya” (Syarh Riyadhus Shalihin, 1/1907, Maktabah Asy-Syamilah).

Lihatlah bagaimana rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai menegakkan aturan haramnya riba dimulai dari paman beliau sendiri, yaitu ‘Abbas bin Abdul Muthallib.

Jika Fatimah binti Muhammad Mencuri, Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam Sendiri yang Akan Memotong Tangannya

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau menceritakan,

أَنَّ قُرَيْشًا أَهَمَّهُمْ شَأْنُ الْمَرْأَةِ الْمَخْزُومِيَّةِ الَّتِي سَرَقَتْ، فَقَالُوا: مَنْ يُكَلِّمُ فِيهَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَقَالُوا: وَمَنْ يَجْتَرِئُ عَلَيْهِ إِلَّا أُسَامَةُ، حِبُّ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَكَلَّمَهُ أُسَامَةُ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَتَشْفَعُ فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللهِ؟» ثُمَّ قَامَ فَاخْتَطَبَ، فَقَالَ: «أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمِ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمِ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ، وَايْمُ اللهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا»

“Sesungguhnya orang-orang Quraisy mengkhawatirkan keadaan (nasib) wanita dari bani Makhzumiyyah yang (kedapatan) mencuri. Mereka berkata, ‘Siapa yang bisa melobi rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ Mereka pun menjawab, ‘Tidak ada yang berani kecuali Usamah bin Zaid yang dicintai oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Maka Usamah pun berkata (melobi) rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk meringankan atau membebaskan si wanita tersebut dari hukuman potong tangan). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bersabda, ‘Apakah Engkau memberi syafa’at (pertolongan) berkaitan dengan hukum Allah?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berdiri dan berkhutbah, ‘Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) di antara mereka yang mencuri, maka mereka biarkan (tidak dihukum), namun jika yang mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya’ (HR. Bukhari no. 6788 dan Muslim no. 1688).

Ketika menjelaskan hadits ini, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah berkata, ”Inilah keadilan”.  Inilah penegakkan hukum Allah, yaitu bukan atas dasar mengikuti hawa nafsu. Rasulullah bersumpah, jika Fatimah binti Muhammad mencuri –dan Fatimah tentu lebih mulia secara nasab dibandingkan dengan wanita bani Makhzum tersebut karena Fatimah adalah pemimpin para wanita di surga- maka rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang akan memotong tangannya.”

Kemudian Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah melanjutkan, ”Demikianlah, wajib atas pemimpin (pemerintah) untuk tidak pandang bulu dalam menegakkan hukum. Mereka tidak boleh memihak seorang pun karena hubungan dekat, kekayaannya, kemuliaannya di masyarakat (kabilah/sukunya), atau sebab lainnya” (Syarh Riyadhus Shalihin, 1/2119, Maktabah Asy-Syamilah).

Yang selalu mengharap ampunan Rabb-nya,

Penulis: dr. M. Saifudin Hakim, MSc.

Artikel Muslim.Or.Id

Hukum yang Adil

Khalifah Ali bin Abi Thalib kehilangan baju besinya ketika memimpin Perang Shiffin. Padahal sebagai panglima, baju itu sangat dibutuhkannya. Maka alangkah gembiranya Ali,  beberapa hari kemudian tatkala ada yang memberi tahu baju itu berada di tangan pedagang beragama Yahudi.

Kepada pedagang itu Ali menegur, “Baju besi yang kau tawarkan itu kepunyaanku. Dan seingatku, tidak pernah kuberikan atau kujual kepada siapa pun.” Yahudi itu menjawab, “Tidak, baju besi ini milikku sendiri. Aku tak pernah diberi atau membelinya dari siapa pun.”

Saling klaim kepemilikan terjadi berlarut-larut hingga mereka sepakat membawa perkara itu ke meja hijau. Orang yang menjabat qadhi atau hakim saat itu adalah sahabat setia Ali bernama Syuraikh. Ali pun mengadu kepadanya di persidangan.

“Tuan hakim, aku menuntut orang Yahudi ini karena telah menguasai baju besi milikku tanpa sepengetahuanku,” kata Ali kepada Syuraikh yang bertindak sebagai hakim. Syuraikh menoleh ke arah si pedagang Yahudi dan bertanya, “Betulkah tuduhan Ali tadi bahwa baju besi yang berada di tanganmu itu miliknya?”

“Bukan. Baju besi ini kepunyaanku,” sanggah Yahudi berkeras. “Bohong dia,” kata Ali agak marah. “Baju besi itu milikku. Masak aku seorang panglima tidak mengenali baju besiku sendiri?” Syuraikh pun menengahi agar Ali tidak berpanjang-panjang.

“Begini, Saudara Ali bin Abi Thalib. Yang terlihat, baju besi itu kini berada dalam penguasaan Yahudi ini. jadi, kalau engkau mengklaim baju besi itu milikmu, engkau harus mengajukan dua saksi atau bukti-bukti lainnya,” ujar Syuraikh. Ali menjawab ia memiliki saksi.

Lalu, Syuraikh bertanya siapa saksi yang akan diajukan itu kepada sahabatnya, Ali. “Anakku, Hasan dan Husain,” jawab Ali.

Syuraikh memotong, “Maaf. Kesaksian anak kandung berapa pun jumlah mereka tidak sah menurut hukum yang berlaku. Jadi, kalau tidak ada bukti-bukti lain, tuduhanmu itu batal dan baju besi tersebut mutlak kepunyaan Yahudi ini.”

Vonis pun akhirnya dijatuhkan. Tuduhan sang panglima yang juga kepala negara dibatalkan pengadilan. Sedangkan, Yahudi yang tak seagama dengan hakim tersebut memenangkan perkara terkait kepemilikan baju besi.

Syuraikh ditanya oleh orang Yahudi itu mengapa ia tidak memberi keputusan yang menguntungkan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang juga orang dekatnya tersebut.Ia langsung menjawab, “Maaf. Kita ini penggembala. Dan setiap penggembala akan ditanya tentang tanggung jawab penggembalaannya.”

Setelah Yahudi itu dimenangkan oleh Hakim Syuraikh atas dakwaan Khalifah Ali, ia semakin sadar bahwa keadilan hukum dalam Islam tidak pandang bulu.

Ia melihat seorang khalifah yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam suatu negara, ternyata tuntutannya dikalahkan oleh dirinya yang beragama Yahudi. Hal ini kemudian membuatnya tertarik masuk agama Islam. Tak lama berselang, ia menyerahkan baju besi itu kepada Ali. Yahudi ini sadar pemilik sah baju besi yang ada di tangannya sebenarnya Khalifah Ali.

Namun, Ali kalah di pengadilan karena tak bisa menghadirkan saksi yang menguatkan klaim atas kepemilikan baju besi.

Oleh: Edy Marjan

KHAZANAH REPUBLIKA

Belajar Adil dari Syuraih Al-Qadhi

Cerita tentang sikap adil dan bijaksana dari Syuraih al-Qadhi merupakan keteladanan yang mengabadi. Apalagi, di tengah-tengah krisis penegakan hukum di Indonesia.

Integritas seorang hakim adalah kunci utama demi terwujudnya keadilan. Syuraih, sosok sederhana itu, seperti dikisahkan oleh Dr Abdurrahman Rafa’at Basya dalam kitab  Shuwar min Hayati Tabi’in, telah memukau dan membuat takjub hati Amirul Mukminin, Umar bin Khathab RA.

Suatu ketika, Umar kecewa dengan kuda yang dibelinya dari seorang Arab Baduwi. Dan, sahabat Rasulullah SAW itu hendak mengembalikan kudanya kepada sang penjual. Proses jual beli antara Umar bin Khathab dan Arab Baduwi itu memang semula berjalan lancar. Masing-masing pihak telah sepakat. Pembeli menerima barang dan penjual menerima uang atas barang yang dijualnya.

Setelah Umar pergi dari lokasi transaksi kira-kira jaraknya belasan kilometer, ia merasakan ketidaknyamanan pada tunggangannya. Setelah dicek, ternyata terdapat luka memar pada bagian tubuh kuda sehingga membuat kuda itu berlari tidak maksimal.

Mengetahui hal itu, Umar balik kanan berniat untuk mengembalikan kuda yang telah dibelinya itu. Karena perjalanan sudah jauh, Umar memperlambat laju kudanya agar bisa sampai di tempat tujuan dengan selamat.

Setelah sampai di lokasi tempat transaksi, ?Umar mendapati penjual sedang merawat kuda-kuda lainnya yang hendak dijual juga. Umar menghampirinya dan berkata:

“Wahai putra Arab Baduwi, ambil kembali kudamu. Hewan ini cacat,” kata Umar.

Mendengar perkataan Umar, orang Arab Baduwi itu tersentak kaget melihat  Umar mendatangi dengan muka penuh kekecewaan. Namun demikian, tidak lantas membuat orang Arab Baduwi itu langsung menuruti kemauan Umar.

“Tidak, wahai Amirul Mukminin. Aku telah menjualnya padamu tanpa cacat dan semua syarat sudah sah,” jawabnya.

Hakim penengah

Mendengar penolakan itu, Umar tidak marah, ia menyarankan agar permasalahan ini meminta pendapat orang lain. Sehingga, keadilan dapat diterima semua pihak.  “Kita serahkan urusan ini pada hakim,” pinta Umar.

Orang Arab Baduwi itu pun mengiyakannnya. Dia mengajak Umar untuk menemui Syuraih bersama-sama. “Baik. Yang menghakimi kita adalah Syuraih bin Harits al-Qadhi,” katanya.

“Aku setuju dengan keputusanmu,” kata Umar meski dia belum mengetahui siapa itu Syuraih.

Setelah sampai di tempat Syuraih, penjual kuda menceritakan permasalahannya. Mulai dari awal transaksi sampai kembalinya Umar untuk mengembalikan kuda.

Tatkala Syuraih mendengar dakwaan si penjual kuda, ia menoleh pada Umar dan bertanya, “Apakah Anda membeli kuda darinya dalam keadaan sehat tanpa cacat, wahai Amirul Mukminin?”

“Ya!” jawab Umar dengan singkat.

“Jagalah apa yang Anda beli atau Anda kembalikan kudamu ke pemiliknya sebagaimana Anda membelinya,” kata Syuraih.

Mendengar perkataan Syuraih yang tegas dan lugas, Umar kaget dan kagum seorang manusia biasa yang jauh dari pusat kota memiliki bahasa yang tegas dan cerdas.

Umar memandang Syuraih dengan kagum sambil berkata, “Sebuah bahasa jelas dan keputusan adil. Pergilah ke Kufah. Aku mengangkatmu menjadi hakim di sana,” perintah Umar.

Sebelumnya, kebanyakan orang tak mengenal Syuraih sebagai orang terpandang. Orang juga tidak tahu tentang kecerdikannya. Ia tidak dikenal sebagai pemilik ide di kalangan sahabat dan pemuka tabiin.

Kasus Terselesaikan

Banyak kasus yang ia tangani berakhir dengan sangat menakjubkan tanpa ada perpecahan di antara banyak pihak. Pengalaman perselisihan juga dialami Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib.

Alkisah, Ali kehilangan baju besi miliknya. Baju besi mahal dan berharga itu ditemukan oleh seorang non-Muslim (dzimmi) dan hendak dijual di pasar. “Ini baju besiku yang jatuh dari untaku pada malam ‘ini’, di tempat ‘begini’,” kata Ali.

“Tidak, ini baju besiku karena ia ada di tanganku, wahai Amirul Mukminin,” jawab dzimmi itu.

“Tak salah lagi, baju besi itu milikku. Aku tidak merasa menjual dan memberikannya pada orang lain. Dan sekarang tiba-tiba baju itu ada di tanganmu.”

“Di antara kita ada seorang hakim Muslim.”

“Engkau telah meminta keadilan. Mari kita ke sana.”

Keduanya lantas pergi ke Syuraih al-Qadhi. “Apa yang ingin Anda katakan, wahai Amirul Mukminin?”

“Aku menemukan baju besiku di tangan orang ini karena benda itu benar-benar jatuh dari untaku pada malam ‘ini’, di tempat ‘ini’. Lalu, baju besiku sampai ke tangannya, padahal aku tidak menjual atau memberikan padanya.”

Sang hakim bertanya kepada si dzimmi, “Apa yang hendak kau katakan, wahai si fulan?”

“Baju besi ini milikku dan buktinya ia ada di tanganku. Aku juga tidak menuduh khalifah.”

Sang hakim menoleh ke arah Amirul Mukminin sembari berkata, “Aku tidak ragu dengan apa yang Anda katakan bahwa baju besi ini milik Anda. Tapi, Anda harus punya bukti untuk meyakinkan kebenaran yang Anda katakan, minimal dua orang saksi.”

“Ya, saya sanggup. Budakku, Qanbar, dan anakku, Hasan, bisa menjadi saksi.”

“Namun, persaksian anak untuk bapaknya tidak diperbolehkan, wahai Amirul Mukminin.”

“Mahasuci Allah! Seorang ahli surga tidak boleh menjadi saksi. Tidakkah kau mendengar sabda Rasulullah SAW bahwa Hasan dan Husain adalah tuan para pemuda penduduk surga?”

“Ya. saya mendengarnya, Amirul Mukminin. Hanya saja Islam membuatku melarang persaksian anak untuk bapaknya.”

Khalifah lalu berkata pada si dzimmi, “Ambillah baju besiku karena aku tidak punya saksi lagi selain keduanya.”

Mendengar kerelaan Ali bin Abi Thalib, si dzimmi berujar, “Aku mengaku baju besi ini memang milik Anda, Amirul Mukminin,”

Ia lalu mengikuti sang Khalifah sambil berkata, “Amirul Mukminin membawa keputusan ke depan hakim. Dan, hakim memenangkan perkara ini untukku. Sungguh aku bersaksi bahwa agama yang mengatur perkara demikian ini adalah benar. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Nabi Muhammmad hamba dan utusan Allah! Ketahuilah wahai hakim, baju besi ini miliknya. Aku mengikuti tentaranya ketika mereka berangkat menuju Shiffin. Baju besi ini jatuh dari unta, lalu aku ambil.”

Ali bin Abi Thalib berkata, “Karena engkau telah masuk Islam, aku berikan baju ini padamu, berikut kudaku ini.” Beberapa waktu kemudian, laki-laki itu gugur sebagai syahid ketika ia ikut berperang melawan kaum Khawarij di Nahrawan.

Tepat

Keputusan Umar untuk mengangkat Syuraih sebagai hakim di Kufah amat tepat. Tinta emas sejarah mencatatnya sebagai hakim adil dan bertakwa. Syuraih adalah seorang lelaki Yaman dari suku al-Kindi.

Saat Jazirah Arab disinari cahaya Islam dan menyebar hingga ke negeri Yaman, Syuraih termasuk orang yang pertama beriman kepada Allah dan Rasulnya. Bahkan, ia termasuk orang yang memenuhi panggilan dakwah Islam.

Syuraih menjalankan amanah dan menegakkan keadilan itu selama 60 tahun lamanya. Di depan peradilan, ia tak pernah mengistimewakan pejabat atau kerabatnya sendiri.

Pengangkatan Syuraih al-Qadhi sebagai hakim di Makkah tidaklah rumit, hanya merujuk pada kredibilitas, reputasi, dan integritas seseorang. Karena begitulah sistem pengangkatan seorang pejabat negara pada masa kekhalifahan Islam. Berbeda pengangkatan seorang pejabat negara seperti sekarang, perlu persyaratan administrasi yang melelahkan.

Penegakan Hukum Bisa Melebur Dosa Pelaku Kejahatan

BAGI seorang muslim, hukum yang paling adil adalah hukum Allah yang Maha Penyayang dan Bijaksana. Tidak ada hukum yang lebih baik dan lebih adil daripada hukum Allah. “Dan (hukum) siapakah yang lebih daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Maidah: 50)

Seorang muslim juga yakin bahwa penerapan hukum Allah akan membawa kepada kebaikan bagi individu, masyarakat dan negara. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Suatu hukum yang ditegakkan di bumi lebih baik baginya daripada diberi hujan selama empat puluh hari.” (HR. Nasai 4904, Ibnu Majah 2538 dan dishahihkan al-Albani)

Tatkala Allah memerintahkan kita untuk menegakkan hukum bagi orang yang melakukan kriminal, pasti di sana ada manfaat dan tujuan di dalamnya, di antaranya:

(1) Menjaga kemaslahatan manusia

Islam menjaga kebutuhan pokok manusia berupa agama, jiwa, akal, nasab dan harta manusia. Adanya hukum tersebut adalah untuk menjaga kebutuhan pokok manusia. Hukum bagi murtad untuk menjaga agama, hukum qishosh untuk menjaga nyawa, hukum rajam untuk menjaga nasab, hukum potong tangan untuk menjaga harta dan hukum cambuk bagi peminum khomr untuk menjaga akal.

(2) Menegakkan keadilan di antara manusia

Keadilan adalah pokok syariat yang harus ditegakkan. Dan termasuk keadilan apabila orang yang bersalah dan melakukan kriminal harus dihukum, sebab bila pelaku dibiarkan saja maka akan menyebabkan suburnya kejahatan.

(3) Mewujudkan kasih sayang kepada pelaku dan masyarakat

Adanya hukuman dapat mengerem pelakunya dari tindak kejahatan dan menyadarkannya dari kekeliruannya selama ini yang semua ini merupakan kasih sayang Islam baginya, sebagaimana penegakan hukum ini dapat menyebabkan keamanan semakin tersebar di masyarakat. Syaikhul Islam mengatakan, “Hukuman itu adalah obat yang mujarab untuk mengobati orang-orang yang sakit hatinya. Dan ini termasuk kasih sayang Allah kepada hambaNya”. (Majmu Fatawa 15/290)

(4) Peringatan bagi masyarakat

Hikmah lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah sebagai peringatan bagi masyarakat agar tidak meniru perbuatan tersebut sehingga setiap kali mereka akan melakukan kriminal tersebut maka harus berfikir seribu kali. Oleh karenanya Islam mensyariatkan agar penegakan hukum itu disaksikan oleh masyarakat luas.

(5) Pelebur dosa bagi pelaku kriminal

Sesungguhnya penegakan hukum itu bisa melebur dosa pelaku kejahatan. Adapun bagi orang yang tidak mensucikan dirinya dari dosa dengan tobat atau penegakan hukum maka dia akan mendapatkan hukuman yang lebih berat dan lebih pedih besok pada hari kiamat. (Al-Maqoshidul Syariyyah lil Uqubat fil Islam, Dr. Rowiyah Ahmad Abdul Karim, hlm. 65-73). [*]

 

INILAH MOZAIK

Ketegasan Khalifah Umar Menghukum Keluarganya

LIHATLAH ketajaman Khalifah Umar bin Khoththob, beliau apabila melarang manusia dari sesuatu maka beliau mengumpulkan keluarganya seraya mengatakan kepada mereka:

“Saya telah melarang manusia dari begini dan begitu, dan manusia sekarang akan melihat kepada tingkah kalian layaknya burung melihat kepada daging. Maka siapapun seorang di antara kalian yang melanggarnya maka saya akan lipatkan hukumannya.” (Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushonnaf, 6/199).

Kenapa Umar melipatkan hukuman bagi mereka? Bukankah seharusnya sama saja hukumannya? Ya, memang asal hukumnya sama tetapi Umar melipatkan agar mereka tidak meremehkan hukum hanya karena kedekatan mereka dengan Umar.

Barang siapa di kalangan pemerintah melakukan seperti ini yaitu tidak menegakkan hukum kecuali kepada rakyat biasa maka ini adalah faktor kehancuran negara dan bangsanya, sebagaimana Bani Israil hancur karena hal tersebut. Kitapun tidak ada bedanya dengan Bani Israil kalau kita melakukan hal yang sama. Apa yang menimpa bani Israil dikarenakan tidak menerapkan hukum Allah akan menimpa kita juga apabila kita tidak menerapkan hukum Allah.

Lihatlah fakta sekarang, adakah kehinaan yang lebih daripada apa yang dirasakan oleh umat Islam sekarang. Walaupun jumlah mereka milyaran, memiliki kekuatan militer dan persenjataan, namun karena mereka melalaikan agama Allah maka Allah melalaikan mereka.

Nabi memiliki hikmah dan kata-kata yang mendalam dalam ucapan dan perbuatannya, beliau bersumpah padahal tidak diminta bersumpah, bersumpah dengan Fathimah yang juga dari kabilah Quraisy dan wanita yang paling dekat dan paling dicintai oleh Nabi. Sekalipun demikian, Nabi mengatakan: Seandainya Fathimah putri Muhammad mencuri niscaya saya sendiri yang akan memotong tangannya”.

Allahu Akbar, demikianlah hendaknya hukum Allah ditegakkan, tanpa pilih kasih kepada siapapun orangnya yang melakukan kriminal dan pelanggaran. Semoga Allah memberikan taufik kepada para pemerintah kita agar meniru apa yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad.

Demikianlah beberapa mutiara ilmu yang dapat kita petik dari hadis ini. Semoga bermanfaat. [Ustad Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar ]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2327240/ketegasan-khalifah-umar-menghukum-keluarganya#sthash.g5OBRitX.dpuf