Izzah Islam; Antara Umar bin Khattab dan Hurmuzan (2)

Alkisah, akhirnya Hurmuzan menghadap amirul mukminin, Umar Bin Khattab.

‘Umar memerhatikan Hurmuzan dan pakaian yang dikenakannya lalu berkata, “Aku berlindung kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari api neraka dan aku memohon pertolongan-Nya.”

“Segala puji hanya milik Allah subhanahu wa ta’ala yang telah menghinakan orang-orang seperti ini dan para pengikutnya dengan Islam. Wahai kaum muslimin, berpegangteguhlah kamu dengan agama ini, ikutilah petunjuk Nabi kalian dan janganlah dunia ini membuat kalian jadi sombong dan congkak, karena sesungguhnya dunia ini pasti lenyap,” lanjut Khalifah Umar.

Salah satu utusan berkata, “Ini adalah Raja Ahwaz, berbicaralah dengannya!”

“Tidak, sampai semua perhiasan yang dipakainya itu disingkirkan darinya,” kata ‘Umar.

Setelah  Hurmuzan berganti dengan pakaian biasa,  ‘Umar kemudian berkata, “Hai Hurmuzan, kamu lihat bagaimana hasil pengkhianatanmu dan ketetapan Allah?”

“Hai ‘Umar, kami dan kamu sebelum ini hidup dalam kejahiliahan. Waktu itu, Allah membiarkan antara kami dan kamu lalu kami mengalahkan kamu, karena ketika itu Dia tidak bersama kami dan tidak pula bersama kamu. Namun, ketika Allah bersama kamu, kamu pun berhasil mengalahkan kami,” ujar Hurmuzan.

“Kamu dapat mengalahkan kami di masa jahiliah, tidak lain adalah karena kalian bersatu, sementara kami berpecah belah.”

Beliau melanjutkan, “Apa alasanmu melanggar perjanjian berkali-kali?”

Kata Hurmuzan, “Aku takut kau membunuhku sebelum aku menerangkannya.”

“Tidak usah takut.”

Hurmuzan meminta air, lalu segera diberikan padanya dengan sebuah cangkir yang buruk, tetapi dia berkata, “Andaikata aku mati kehausan pasti aku tidak akan mungkin dapat minum dengan cangkir seperti ini.”

Kemudian, dibawakan kepadanya air dalam cangkir lain yang disukainya. Ketika dia memegangnya, tangannya bergetar hebat dan dia berkata, “Aku takut dibunuh ketika sedang minum.”

“Tidak apa-apa, minumlah.”

Hurmuzan mulai minum.

‘Umar berkata, “Berikan lagi, dan janganlah kamu jatuhkan hukuman mati padanya, padahal dia masih haus.”

Tiba-tiba Hurmuzan membuang air tersebut. Melihat hal itu Umar menyuruh seseorang agar mengambilkan air dan memberikannya kepada Hurmuzan. “Jangan sampai kalian membunuhnya dalam keadaan haus,” kata Umar.

Tapi ternyata Hurmuzan menolak pemberian ‘Umar.

“Aku tidak butuh air,” jawabnya. “Aku sengaja melakukan hal itu untuk mendapatkan jaminan keselamatan darimu,” tandasnya dengan tenang.

“Kalau begitu, aku akan membunuhmu sekarang juga,” kata ‘Umar.

“Tapi engkau telah memberikan jaminan keselamatan padaku.”

“Engkau bohong,” sahut ‘Umar.

Tiba-tiba Anas bin Malik yang berada di tempat itu berkata, “Dia benar wahai Amirul Mukminin,” Anas membenarkan ucapan Hurmuzan. “Engkau telah memberinya jaminan keselamatan,” lanjutnya.

“Celaka engkau wahai Anas,” kata ‘Umar kepada Anas. “Mungkinkah aku memberikan jaminan keselamatan kepada orang yang telah membunuh al-Barra’ bin Malik?, (yang tak lain saudara kandung Anas bin Malik sendiri, red).  Sebaiknya engkau menjelaskannya. Kalau tidak, aku akan menghukummu,” tegas Umar kepada Anas bin Malik.

“Pertama engkau mengatakan, “tidak ada yang akan menyentuhmu hingga engkau meminumnya” kepada Hurmuzan,” kata Anas menjelaskan. Engkau juga mengatakan, “tidak ada yang akan menyentuhmu hingga engkau menceritakannya kepadaku.” Lanjut Anas mengingatkan Umar.

Bahkan orang-orang yang berada di situ juga membenarkan perkatan Anas.

Umar lalu menghadap kepada Hurmuzan dan mengatakan, “Engkau telah menipuku,” katanya. “Demi Allah aku tidak akan tertipu kecuali engkau masuk agama Islam,” tambah ‘Umar.

Ternyata setelah itu Hurmuzan menyatakan diri masuk Islam. Maka Umar pun memperlakukan Hurmuzan dengan baik dan menyuruhnya menetap di Kota Madinah.

Sebagai penutup, kata-kata bersejarah Umar yang dicatat oleh Sayyid bin Husain Al-‘Affani ini patut untuk dijadikan renungan terkait betapa pentingnya nilai Izzah bagi umat Islam:

“Kami adalah suatu kaum yang telah dimuliakan (diberikan Izzah) oleh Allah dengan Islam. Jika kita mencari Izzah pada selainnya, maka Allah akan menjadikan kita hina.”  (dalam buku Anwâr al-Fajr fî Fadhâ`ili Ahli Badr”, 2006:504).*/Mahmud Budi Setiawan

 

HIDAYATULLH

Izzah Islam; Antara Umar bin Khattab dan Hurmuzan

ISLAM sebagai agama penutup yang sempurna dan paripurna, mengajarkan kepada pemeluknya untuk memiliki karakter “Izzah”. Dalam al-Qur`an misalnya –Surah Al-Munafiqun [63]: 8- termaktub bahwa Izzah itu milik Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman. Maka sudah seharusnya, setiap mukmin menjadikan Izzah sebagai karakter pribadinya. Bahkan, dalam Surah Al-Ma’idah [5] ayat 54, disebutkan bahwa ciri orang beriman adalah bersikap Izzah (tegas) kepada orang-orang kafir dan bersikap lemah lembut dan kasih sayang kepada sesamanya.

Dalam bahasa Arab, kata “Izzah” mengandung beberapa makna, yaitu: kuat, keras, menang, tinggi, menahan diri dan unik atau langka (Murtadha, Tâj al-‘Arûs, XV/219) Di dalam bahasa Indonesia pun, rupanya kata ini sudah masuk idiom kamus bahasa Indonesia. Dalam kamus tersebut, ‘Izzah’ ditulis ‘izah’ yang bermakna: kehormatan, harga diri dan kekuasaan. Arti ini tentu tidak menyimpang dari bahasa asalnya.

Salah satu sosok legendaris yang patut diteladani dalam masalah Izzah adalah Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu. Al-Hafidz Ibnu Katsir Rahimahullah dalam kitab “al-Bidâyah wa al-Nihâyah” (1998: VII/70) mencatat dengan baik kata-kata bersejarah khalifah kedua ini yang menggambarkan kapasitas Izzahnya yang diilhami oleh Islam, “Kami adalah kaum yang dimuliakan (diberikan Izzah) oleh Allah dengan Islam. Maka, kami tidak akan mencari alternatif (Izzah) selain (yang dianugerahkan) Allah.”

Semua orang mengenal ‘Umar bin Khattab, salah satu Khulafa’ ar-Rasyidin. Keadilan dan ketegasannya dalam menjalankan pemerintahan sangat masyhur.

Umar bin Khattab terkenal dengan keadilannya ketika menjabat Khalifah ar-Rasyidin kedua. Semasa kekuasaanya wilayah Islam sudah meliputi seluruh wilalah Jazirah Arabiyah, sebagian Asia kecil, Afrika Utara, bahkan sampai ke Eropa.

Namun siapa sangka, bahwa suatu kali Umar pernah tertipu saat berbicara dengan Raja Persia yang bernama Hurmuzan.

Tiga orang kepercayaan Khalifah Umar –Anas Bin Malik, Mughirah bin Syu’bah dan Ahnaf bin Qais– mendatangi negeri Hurmuzan dan berhasil menangkapnya atas permintaan Khalifah Umar.

Dikisahkan bahwa dalam salah peperangan pasukan Islam berhasil menaklukkan Persia dan menangkap Hurmuzan. Dia kemudian dibawa ke kota Madinah untuk dihadapkan kepada Umar bin Khattab.

Menjelang tiba di Kota Madinah, mereka memakaikan Hurmuzan baju kebesarannya yang terbuat dari sutra yang telah dipenuhi dengan perhiasan emas, permata, dan mutiara. Setelah itu barulah mereka masuk ke kota Madinah bersama Hurmuzan dengan pakaian lengkapnya dan langsung mencari rumah Amirul Mukminin.

Sepanjang perjalanan, sang tawanan membayangkan alangkah megah dan hebatnya istana Umar mengingat daerah kekuasaannya yang begitu luas meliputi dua pertiga dunia. Fikirannya  sang Kisra merasa rendah diri (inferor) ketika hendak menemui sang Khalifah.

Kisah pertemuan antara Hurmuzan dan Umar bin Khattab berikut adalah di antara contoh nyata bagaimana karakter Izzah ini benar-benar tercermin dalam diri sahabat yang oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dijuluki Al-Faruq ini.

Dalam buku “Nizhâm al-Hukûmiyah al-Nabawiyyah” (II/250) Muhammad Abdul Hayyi Al-Kattani menulis sepenggal kisah antara Umar bin Khattab dan Hurmuzan. Kisah ini ditulis dalam bab “Fîman Kâna Yudhrabu bihi al-Matsal fi al-Haibah min al-Shahâbah” (Bab tentang orang yang dijadikan percontohan dari kalangan sahabat terkait masalah kemuliaan).

Menukil cerita Sya’bi, dikisahkan bahwa tongkat kecil Umar bin Khattab –karena begitu hebat Izzah beliau- lebih ditakuti daripada pedang Hajjaj. Suatu hari saat Hurmuzan (Raja Khurasan) menjadi tawanan yang dibawa beberapa sahabat –di antaranya Anas- untuk menemui langsung orang nomer satu umat Islam kala itu (‘Umar).

Kebetulan, saat sampai di Madinah, Umar tidak ada di rumah. Kemudian beliau dicari hingga ditemukan di salah satu masjid Madinah. Saat itu posisinya sedang tidur bersandar tongkatnya. Melihat fenomena demikian, Hurmuzan berseloroh, “Ini -demi Allah- adalah raja yang baik. Anda telah berbuat adil, sehingga bisa tidur (dengan nyenyak). Demi Allah, sesungguhnya aku telah melayani empat Raja Kisra (Persia) yang memiliki mahkotah, tidak ada satu pun di antara mereka yang aku rasakan kehebatan –Izzah nya- melebihi orang yang sedang tidur beralas tongkat ini.”

Izzah yang dimiliki Umar benar-benar membuat Hurmuzan terkagum-kagum. Sosok nomer satu yang memimpin pasukan hebat yang bisa mengalahkan Imperium Persia ini ternyata jauh dari yang dibayangkannya. Dalam benaknya, ‘Umar ini pasti raja hebat yang memiliki istana mega, harta melimpah, penjagaan yang super ketat dan lain sebagainya.

Hurmuzan tidak yakin berhadapan dengan seorang pria sederhana, khalifah besar, pemimpin pasukan Islam yang menguasai Timur dan Barat, yang mampu menjatuhkan dua raksasa super power dunia kala itu, kekuasaan Persia dan Byzantium (Rum/Romawi Timur).

Terkejutnya Hurmuzan,  pemimpin besar umat Islam ini gaya hidupnya begitu bersahaja dan tanpa penjagaan. Sebuah fenomena aneh yang belum pernah Hurmuzan dapati sebelumnya. Namun, Hurmuzan menyadari bahwa salah satu kunci yang bisa membuka rasa penasaran terkait kehebatan dan izzah Umar adalah keadilan yang ditegakkan oleh Umar bin Khattab.

‘Umar baru bisa tidur nyenyak ketika keadilan ditegakkan dan didistribusikan secara merata kepada rakyatnya. Sebuah tipikal pemimpin yang lebih mementingkan kehidupan rakyat daripada diri dan kerabat; lebih memilih hidup melarat demi terciptanya keadilan untuk rakyat.

Senada dengan kisah Hurmuzan, Syeikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi dalam buku “Minhâj al-Muslim” (1964: 126) menceritakan bagaimana utusan Kaisar Romawi yang kagum kepada Umar bin Khattab. Saat sampai Madinah, dia bertanya kepada para penduduk, “Dimana raja kalian?” Oleh penduduk dijawab, “Kami tidak memiliki raja, tapi Amir (Pemimpin). Ternyata setelah dicari-cari, Umar ditemukan sedang tidur di atas pasir berbantalkan tongkat kecilnya.

“Orang yang seluruh raja goncang kerajaannya karena kehebatannya ternyata keadaannya seperti ini. Tapi, wahai Umar engkau telah berbuat adil, sehingga bisa tidur (nyenyak). Sedangkan raja kami berbuat zalim. Tidak mengherankan jika (raja kami) selalu merasa takut dan tidak bisa tidur malam.” Demikianlah contoh dari izzah Umar bin Khattab. Bagi para pemimpin yang ingin memiliki izzah seperti Umar, maka jadikanlah keadilan sebagai pusat perhatian.

 

HIDAYATULLAH