Hutang Puasa Karena Hamil dan Nifas?

Assalamualaikumwarahmatullahiwabarakatuh

Mohon penjelasan dan pencerahannya ustadz. Ane masih rada bingung mau ambil pendapat ulama yang mana. Kasus istri ane:
1. Romadhon tahun lalu istri ane hutang puasa 10 hari, dan sudah membayar 5 hari. Belum tuntas bayar hutang puasa, istri ane hamil dan tidak memungkinkan untuk mengqadha-nya sampai pada akhirnya melahirkan kurang lebih 3 pekan sebelum romadhon tahun ini
2. Romadhon tahun ini berarti kan istri ane masih dalam masa nifas sampai kurang lebih hari ke 16 romadhon

Pertanyaan ane:
1. Bagaimana status hutang puasa istri ane yg tahun lalu? Diqadha+fidyah atau fidyah saja atau qadha saja?
2. Bagaimana juga dengan yg tahun ini? 16 hari pertama dibayar qadha saja, selanjutnya qadha+fidyah (karena sepertinya istri ane sanggup tapi khawatir berefek ke anak ane). Atau kesemuanya dibayar qadha saja atau kesemuanya qadha+fidyah?

Mohon jawabannya ya ustadz. Karena ane belum menemukan jawaban yang memuaskan hati. Jazakalloh khair

Hamba Allah

Jawab:

Wa’alaikumsalamwarahmatullahiwabarakatuh

Semoga Allah swt senantiasa mencurahkan keberkahan-Nya kepada saudara dan keluarga.

Dalam berpuasa, ada beberapa ketentuan yang berhubungan dengan wanita.

Para ulama sepakat bahwa wanita haidh dan nifas tidak boleh berpuasa dan harus mengqadha. Tidak ada perbedaan di antara ulama bahwa wanita yang haidh dan nifas harus mengqadha.
Untuk wanita hamil dan menyusui, para ulama sepakat bahwa mereka boleh tidak berpuasa apabila kondisi mereka tidak memungkinkan berpuasa atau ada kekhawatiran yang cukup kuat ada madharat kepada janin atau bayi. Hanya saja, para ulama berbeda pendapat tentang kewajiban mereka bila tidak berpuasa.

Apabila seorang wanita hamil atau menyusui tidak berpuasa pada bulan ramadhan, maka ada tiga kemungkina.

Pertama: Ia tidak mampu berpuasa karena kondisi fisiknya yang lemah. Tidak sedikit wanita yang hamil atau menyusui mengalami kondisi semacam ini. Untuk kondisi pertama ini, sebagian besar ulama berpendapat bahwa ia boleh tidak berpuasa dan mengqadha’nya ketika mampu di luar bulan ramadhan.

Kedua: Ia tidak mampu berpuasa karena fisiknya lemah dan khawatir terhadap janin atau nakanya. Untuk kondisi semacam ini, seorang wanita yang hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa pada bulan ramadhan dan mengqadha di lain hari tatkala ia telah mampu untuk mengqadha’.

Ketiga: ia mampu berpuasa, akan tetapi khawatir terhadap kondisi janin atau bayinya. Untuk kondisi semacam ini, para ulama berpendapat bahwa wanita tersebut boleh tidak berpuasa dan mengqadha di hari yang lain. Hanya saja, para ulama berbeda pendapat; apakah ia harus membayar fidyah juga (bersamaan dengan mengqadha) ataukah tidak?

Ulama hanafiah berpendapat tidak perlu membayar fidyah, cukup dengan mengqadha saja. Ulama malikiah berpendapat membayar fidyah dan qadha bagi wanita menyusui sedangkan wanita hamil cukup mengqadha. Sementara ulama syafi’iah dan hanabilah berpendapat : hendaknya ia membayar fidyah dan mengqadha juga.

Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah memberikan keringanan (tidak) berpuasa dan setengah dari shalat bagi orang yang bepergian (safar). Dan Allah memberikan keringan (tidak) berpuasa bagi wanita yang hamil dan menyusui.” (HR Tirmidzi, Ibnu Majah)

3. Adapun fidyah sendiri, nilainya adalah: 1 mud (7 ons) makanan pokok. Sebagian ulama berpendapat 2 mud (sekitar 14 ons). Bisa juga memberikan makanan jadi plus dengan lauk pauknya. Untuk nilai rupiah, bisa mengikuti nilai makanan siap konsumsi atau senilai dengan 14 ons.

Wallahu a’lam

 

sumber: Zakat.Or.Id