Hukum Melunasi Utang dengan Lebih Akibat Inflasi

Hukum melunasi utang dengan lebih akibat inflasi dalam Islam merupakan isu yang kompleks dan memiliki berbagai pendapat di kalangan ulama. Berikut ini akan dijelaskan beberapa pandangan utama terkait persoalan tersebut.

Utang piutang merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia. Dalam Islam, terdapat aturan dan hukum yang mengatur tentang utang piutang, termasuk bagaimana cara pembayarannya. Salah satu isu yang muncul terkait dengan pembayaran hutang adalah pengaruh inflasi.

Inflasi menyebabkan nilai mata uang menurun, sehingga nilai hutang pada saat pengembalian menjadi lebih kecil dibandingkan saat dipinjam. Hal ini menimbulkan dilematis antara debitur diwajibkan untuk membayar hutang lebih banyak untuk mengimbangi inflasi, namun hal ini termasuk riba atau cukup dengan nominal yang dipinjam akan tetapi bisa jadi manusia enggan memberi hutangan karena terjadi penurunan nilai mata uang.

Lantas bagaimana Islam merespon hal ini? Apakah boleh melunasi utang dengan lebih akibat dampak inflasi?

Hukum Melunasi Utang dengan Lebih Akibat Inflasi

Dalam literatur Islam dijumpai keterangan bahwa hukum akad utang piutang pada dasarnya adalah diperbolehkan. Karena di dalamnya terdapat maslahat yang dapat meringankan beban orang lain. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Saw dalam sebuah hadis berikut;

مَنْ نَفَّسَ عَنْ أَخِيهِ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ

Artinya: “Barangsiapa melapangkan satu macam kesempitan dari aneka macam kesempitan yang dialami saudaranya, Allah akan melapangkan kesempitan penolong itu dari kesempitan-kesempitan hari kiamat. Dan barangsiapa menutupi (aib) orang Muslim, Allah akan menutupi aibnya baik di dunia maupun di akhirat. Barangsiapa memudahkan urusan orang yang sedang kesusahan, Allah akan memudahkan urusannya di dunia maupun di akhirat. Allah selalu dalam pertolongan seorang hamba selama ia mau menolong saudaranya.” (Sunan at-Tirmidzi: 2869)

Namun hukum boleh diatas dapat berubah menjadi tidak boleh ketika didalam nya terdapat praktek riba (tambahan saat pelunasan), Seperti contoh pelunasan hutang dengan tambahan akibat inflasi. Yakni seseorang berhutang 150 ribu (bisa membeli 15 kg beras), lalu saat pelunasan terjadi inflasi harga, sehingga nilai mata uang menurun, dimana beras 15 kg bisa dibeli dengan uang 150 ribu, sekarang harus mengeluarkan uang 200 ribu. 

Masalah pelunasan utang dengan tambahan akibat inflasi  di kalangan ulama masih menuai perbedaan pendapat. setidaknya ada 3 pendapat dalam permasalahan ini. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Muamalah Maliyah Mu’ashirah halaman 167-168 sebagai berikut: 

لقد بحث الفقهاء مسألة الفلوس إذا أقرضت ثم نقصت قيمتها، فهل يكون سداد القرض
;بمثلها أو بقيمتها ؟ اختلف الفقهاء في ذلك على ثلاثة أقوال
القول الأول: ذهب أبو حنيفة والمالكية في المشهور عندهم والشافعية والحنابلة إلى أنه يجب على المدين أداء النقد نفسه المحدد في العقد ومثله دون زيادة أو نقصان؛ لأن الزيادة على المثل أو النقصان عنه ربا لا يجوز شرعاً

القول الثاني: ذهب أبو يوسف إلى أنه يجب رد قيمة النقود التي طرأ عليها التغيير من غلاء أو رخص يوم ثبوت الدين في الذمة، ففي البيع تجب القيمة يوم انعقاده، وفي القرض تجب القيمة يوم قبضه وذلك لتحقيق مصالح الناس، فإن القول برد المثل يؤدي إلى امتناع الناس من إقراض الفلوس خشية نقصان قيمتها قبل الوفاء
القول الثالث: ذهب المالكية في قول إلى أنه يفرق بين ما إذا كان تغير يسيراً رد المقتر المثل، وإن كان فاحشاً رد الفلوس يسيراً أو فاحشاً. فإن كان القيمة لتضرر المقرض بالتغير الفاحش دون اليسير والراجح ما ذهب إليه المالكية من أنه يفرق بين التغيير اليسير والفاحش لأنه يحقق مصالح

Artinya:”Para ulama telah membahas perihal masalah uang yang dihutangkan kemudian nilai mata uangnya turun. Apakah harus membayar sesuai jumlah hutang di awal atau menyesuaikan mata uangnya?. Dalam hal ini ada 3 pendapat:

Pendapat pertama: Menurut mayoritas ulama yakni Abu Hanafiah, Malikiyah, Syafi’iyah Dan Hanabilah. Pelunasan sesuai jumlah awal ketika berhutang karena kalau membayar lebih adalah riba.

Pendapat kedua: Menurut Abu Yusuf membayar sesuai nilai inflasi atau mata uang saat pelunasan. Dengan alasan jika membayar saat awal berhutang bisa jadi manusia enggan memberi hutangan karena khawatir terjadinya penurunan mata uang (inflasi).

Pendapat ketiga: Menurut sebagian Ulama Malikiyah berpendapat dirinci, jikan nilai mata uang mengalami penurunan yang sedikit, maka membayar sesuai jumlah awal. Tapi jika mengalami penurunan yang banyak, maka membayar sesuai nilai inflasi harga. Karena jika tidak dapat merugikan pihak pemberi hutang.”

Dengan demikian melunasi hutang dengan adanya tambahan akibat dampak inflasi dikalangan ulama masih terjadi perbedaan pendapat seperti yang telah dijelaskan diatas. Namun sebagai pihak yang berhutang. sebaiknya mengambil sikap yang bijak yakni dengan memberikan lebih ketika membayar hutang jika terjadi inflasi yang terlalu banyak. Karena jika tidak akan dapat merugikan pihak pemberi hutang. Bukankah rasulullah pernah bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan imam muslim “Sesungguhnya sebaik-baik manusia adalah yang paling baik dalam membayar hutangnya”. [HR Muslim no.4192].

Demikian penjelasan perihal hukum melunasi utang dengan lebih akibat dampak inflasi semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bishawab.

BINCANG SYARIAH

Doa dan Dzikir Agar Bebas dari Lilitan Utang Sesuai Tuntunan Nabi Muhammad SAW

Nabi Muhammad mengajarkan doa agar bebas dari utang.

Suatu ketika Abu Umamah, salah seorang sahabat dari Anshar, duduk termenung di masjid di luar waktu sholat dengan tatapan mata yang kosong jauh menerawang. Kemudian, tidak beberapa lama, Nabi Muhammad SAW masuk ke dalam masjid dan menghampiri Abu Umamah.  

Rasulullah bertanya, “Wahai Abu Umamah, aku melihatmu duduk di masjid di luar waktu shalat, apa yang terjadi denganmu?” Abu Umamah menjawab, “Ya Rasulullah, saat ini aku dalam kesulitan membayar utang.” 

Nabi Muhammad berkata, “Aku akan mengajarkanmu beberapa perkataan positif, jika engkau mengucapkannya, mudah-mudahan Allah SWT akan menghilangkan segala kesulitanmu dan melunasi utang-utangmu. Bacalah doa ini pada pagi dan sore hari.” 

Doa bebas dari utang

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ 

Kemudian, Rasulullah SAW melafazkan doa, “Allahumma inni a’udzu bika minal hammi wal hazani wa a’udzu bika minal ‘ajzi wal kasali wa a’udzu bika minal jubni wal bukhli wa a’udzu bika min ghalabatid daini waqahrir rijal.” 

Artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kebingungan dan kesedihan. Aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan. Aku berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut dan kikir. Aku berlindung kepada-Mu dari lilitan utang dan kesewenang-wenangan manusia.  

Menurut pengakuan Abu Umamah RA, setelah ia mengamalkan dan membaca doa yang diajarkan Nabi tersebut, Allah menghilangkan kebingungan, kesedihan, kelemahan, kemalasan, ketakutan, dan utang-utangnya dapat dilunasi. (HR Abu Daud).

Di samping mengamalkan dan membaca doa yang diajarkan Rasulullah SAW ini, ketika seseorang diterpa banyak masalah, dirundung kegundahan, dan impitan hidup, Rasulullah SAW juga mengajarkan dzikir, sebagai berikut.

Dzikir agar bebas dari utang dan saat diterpa masalah

حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ نِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيرُ

“Hasbunallah wani’mal-wakil, ni’mal-mawla, wani’man-nashir.”

Artinya: Cukuplah Allah tempat berserah diri bagi kami, sebaik-baik pelindung kami, dan sebaik-baik penolong kami.

Sebagaimana terdapat dalam hadits bahwa ketika seseorang datang menghampiri Nabi lalu berkata, “Rasulullah, sesungguhnya orang-orang non-Muslim telah mengumpulkan pasukan untuk menyerangmu, maka takutlah kepada mereka. Kemudian, Nabi SAW mengucapkan, ‘Hasbunallah wani’mal-wakil.‘”

Setelah kejadian ini, Allah menurunkan surah Ali Imran (3) ayat 173: 

اَلَّذِيْنَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ اِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوْا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ اِيْمَانًا ۖ وَّقَالُوْا حَسْبُنَا اللّٰهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ

“Ketika seseorang berkata kepada Rasulullah, orang-orang Quraisy telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka, ternyata ucapan itu justru menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, ‘Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung.'” (HR Bukhari).

Oleh karenanya, seorang Muslim dianjurkan selalu melibatkan Allah dalam mengatasi kegundahan hidup yang dihadapi. Bukankah Allah menjanjikan: 

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا 

إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا 

“Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (QS asy-Syarh [94]: 5-6)

KHAZANAH REPUBLIKA

Ketika Dituduh Memiliki Hutang, Haruskah Membayar?

Pada  zaman sekarang ini, seringkali kita melihat seseorang menuduh orang lain memiliki utang padanya, tapi si tertuduh mengingkarinya. Dalam keadaan demikian, bagaimanakah syariat menyelesaikan sengketa antara dua orang tersebut? Ketika dituduh memiliki hutang, haruskah untuk membayarnya? Untuk menjawabnya mari simak ulasan berikut ini!

Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa, tidak semua pengakuan dan klaim boleh diterima. Karena andai semua tuduhan manusia itu diterima, maka akan ada banyak orang yang mengklaim untuk menguasai harta orang lain. Sebagaimana dalam sabda nabi Muhammad SAW berikut,

لَوْ يُعْطَى النَّاسُ بِدَعْواهُم ، لادَّعى رِجالٌ أموالَ قَومٍ ودِماءهُم ولكن البَيِّنَةُ على المُدَّعي واليَمينُ على مَنْ أَنْكر  

Artinya : “Andai semua tuduhan manusia itu diterima, maka akan ada banyak orang yang mengklaim untuk menguasai harta orang lain, atau menuntut darah orang lain. Namun, mendatangkan bukti itu tanggung jawab orang yang mengklaim dan sumpah untuk mengingkari menjadi hak yang diklaim. (HR Baihaqi).

Berdasarkan hadis diatas Imam Nawawi memberikan penafsiran bahwa tuduhan seseorang tidak dapat diterima begitu saja, melainkan harus berdasarkan sebuah bukti yang menguatkan tuduhan tersebut. Hal ini sebagaimana dalam keterangan beliau dalam kitab Syarh Shahih Muslim li An-Nawawi, juz 4, halalaman 3 berikut,

  وهذا الحديث قاعدة كبيرة من قواعد أحكام الشرع ففيه أنه لا يقبل قول الإنسان فيما يدعيه بمجرد دعواه بل يحتاج إلى بينة أو تصديق المدعى عليه فإن طلب يمين المدعى عليه فله ذلك   

Artinya : “Hadits ini merupakan kaidah pokok dari beberapa kaidah hukum syara’. Dalam hadits ini dijelaskan bahwa tuduhan seseorang tidak dapat diterima begitu saja, tapi membutuhkan bukti (atas tuduhannya) atau pembenaran dari orang yang dituduh. Jika orang yang menuduh menuntut sumpah pada orang yang didakwa, maka lakukanlah sumpah itu,”

Syarh al-Muhadzab, juz 3, halalaman 411;

وإن ادعى على رجل دينا في ذمته فأنكره ولم تكن بينة فالقول قوله مع يمينه 

Artinya : “Jika seseorang mendakwa orang lain memiliki tanggungan (utang) padanya, namun orang tersebut mengingkarinya, dan ia tidak memiliki bukti, maka ucapan yang dibenarkan adalah ucapan orang yang didakwa beserta sumpahnya.”

Berdasarkan keterangan diatas dapat diketahui bahwa klaim dapat diterima apabila disertai dengan adanya bukti. Sehingga apabila seseorang menuduh orang lain memiliki tanggungan utang padanya, namun orang tersebut mengingkarinya, dan pihak penuduh tidak memiliki bukti, maka ucapan yang dibenarkan adalah ucapan orang yang dituduh, dan dia tidak dikenai kewajiban untuk membayar utang.

Demikian penjelasan ketika dituduh memiliki hutang, haruskah membayar? Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Hukum Menagih Hutang Secara Kasar Kepada Orang yang Susah Bayar

Di dalam Islam, menagih hutang secara kasar itu akhlak tercela. Di antara adab dan etika ketika menagih hutang kepada orang yang berhutang adalah menagih hutang tersebut dengan baik dan lembut, terutama kepada orang yang sedang kesusahan dan tidak mampu membayar. Meski orang yang memberi hutang hendak menagih uangnya sendiri, namun dia tetap tidak boleh kasar dan menyakiti orang yang berhutang. Jika kita memang tidak terdesak, anggap saja sedekah pada orang yang susah bayar hutang, apalagi memang dia membutuhkan.

Larangan menagih hutang secara kasar ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Umar dan Aisyah,  Nabi Saw bersabda;

مَنْ طَلَبَ حَقًّا فَلْيَطْلُبْهُ فِي عَفَافٍ وَافٍ، أَوْ غَيْرِ وَافٍ

Barangsiapa menuntut haknya, maka hendaknya dia menuntutnya dengan baik, baik pada orang yang ingin menunaikannya atau pada orang yang tidak ingin menunaikannya.

Di dalam Al-Quran, Allah telah memberikan panduan saat menagih hutang kepada orang yang tidak mampu membayar, yaitu dengan cara menunggunya hingga dia mampu membayar atau membebaskannya. Dalam surah Al-Baqarah ayat 280, Allah berfirman;

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang) itu, lebih baik bagi kalian, jika kalian mengetahui.

Dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir, Imam Ibnu Katsir berkata bahwa ayat tersebut merupakan anjuran untuk bersabar saat menagih hutang kepada orang yang tidak mampu membayar. Dalam menagih hutang tidak boleh meniru prilaku orang-orang jahiliyah, yaitu dengan mengancam dan memberatkan orang yang berhutang. Imam Ibnu Katsir berkata sebagai berikut;

يأمر تعالى بالصبر على المعسر الذي لا يجد وفاء، فقال: وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَة أي: لا كما كان أهل الجاهلية يقول أحدهم لمدينه إذا حل عليه الدين: إما أن تقضي وإما أن تربي ثم يندب إلى الوضع عنه، ويعد على ذلك الخير والثواب الجزيل، فقال: وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ أي: وأن تتركوا رأس المال بالكلية وتضعوه عن المدين

Allah memerintahkan untuk bersabar dalam menghadapi orang yang kesulitan membayar hutang. Allah berfirman; Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Artinya; Janganlah seperti orang-orang jahiliyah yang berkata kepada orang yang berhutang tatkala sampai waktu jatuh tempo pembayaran; Apakah kamu mau melunasi atau kamu tangguhkan disertai tambahan?.

Kemudian Allah menganjurkan untuk membebaskan hutang, dan menjanjikan untuk itu kebaikan dan pahala yang besar. Allah berfirman; Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang) itu, lebih baik bagi kalian, jika kalian mengetahui. Artinya; Kamu biarkan pokok hutang secara menyeluruh dan kamu gugurkan hutang itu dari orang yang berhutang.

BINCANG SYARIAH

Enam Hal Agar Hutang Menjadi Berkah

Hutang-piutang sudah menjadi muamalah yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan sehari-hari. Hutang-piutang diperbolehkan di dalam Islam karena ia termasuk akad ta’awun (tolong menolong) untuk menolong orang yang membutuhkan bantuan dan juga merupakan akad tabarru’ (sosial) sebagai kepedulian untuk membantu orang-orang yang sedang dalam kesulitan. Bahkan memberikan hutangan kepada orang yang membutuhkan nilai pahalanya lebih besar daripada bersedekah kepada para peminta-minta.

Nabi  ﷺ bersabda dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah;

رَأَيْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي عَلَى بَابِ الْجَنَّةِ مَكْتُوبًا الصَّدَقَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا وَالْقَرْضُ بِثَمَانِيَةَ عَشَرَ فَقُلْتُ يَا جِبْرِيلُ مَا بَالُ الْقَرْضِ أَفْضَلُ مِنَ الصَّدَقَةِ قَالَ لأنَّ السَّائِلَ يَسْأَلُ وَعِنْدَهُ وَالْمُسْتَقْرِضُ لا يَسْتَقْرِضُ إِلا مِنْ حَاجَةٍ ))

“Pada waktu peristiwa isra’, aku melihat pada pintu sorga tertulis ‘Sedekah dibalas dengan sepuluh kali lipat, dan memberi hutangan dibalas dengan delapan belas kali lipat’. Maka aku (Rasulullah ﷺ) bertanya ‘Wahai Jibril, mengapa memberi hutangan lebih afdhol ketimbang sedekah? Jibril menjawab ‘Karena seorang peminta-minta dia meminta sedekah padahal dia sudah mempunyai sesuatu, sedangkan orang yang berhutang tidaklah ia berhutang kecuali karena ia memang sangat membutuhkan.”

Agar hutang-piutang sesuai syari’ah, mendatangkan pahala dan tidak jatuh kepada riba maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan;

Pertama, pemberi hutang atau pinjaman tidak diperkenankan mengambil manfaat atau keuntungan duniawi dari orang yang berhutang. Sebab keuntungan yang didapat dari pemberian pinjaman termasuk riba. Nabi ﷺ bersabda;

أإِذَا أَقْرَضَ أَحَدُكُمْ قَرْضًا ، فَأُهْدِيَ إِلَيْهِ طَبَقًا فَلا يَقْبَلْهُ ، أَوْ حَمَلَهُ عَلَى دَابَّةٍ فَلا يَرْكَبْهَا إِلا أَنْ يَكُونَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ قَبْلَ ذَلِكَ

“Apabila salah seorang kalian memberi hutang (pada seseorang) kemudian dia memberi hadiah kepadanya, atau membantunya naik ke atas kendaraan maka janganlah ia menaikinya dan jangan menerimanya, kecuali jika hal itu telah terjadi antara keduanya sebelum itu.” (HR. Ibnu Majah)

Terkecuali kalau keuntungan tersebut tidak disyaratkan diawal akad, maka diperbolehkan bagi pemberi pinjaman untuk menerimanya. Seperti ketika orang yang berhutang pada saat melunasi hutangnya memberi hadiah kepada pemberi hutang sebagai tanda terima kasih atas bantuan hutang atau pinjaman yang diberikan. Jabir bin Abdillah meriwayatkan dari Nabi ﷺ

أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ فَقَضَانِي وَزَادَنِي

“Aku menemui Nabi  saat Beliau berada di masjid, lalu Beliau membayar hutangnya kepadaku dan memberi lebih kepadaku.” (HR. Bukhari)

Dalam Islam ada dua macam akad, yaitu akad tabarru’ (akad sosial) dan akad mu’awadlah (akad komersial).  Hutang piutang masuk dalam ranah akad tabarru’ atau akad sosial yang oleh karena itu tidak diperkenankan seseorang untuk mengambil keuntungan darinya. Sedangkan untuk mengambil keuntungan materi Allah menjadikan akad jual beli, murabahah, mudharabah dan sebagainya. Bila akad sosial dan tolong-menolong seperti memberi hutangan disalahgunakan untuk mencari keuntungan materi maka itulah riba yang pelakunya diperangi Allah dan Rasul-Nya dan diancam dengan adzab neraka jahanam dalam waktu yang lama (QS. Al Baqarah: 275-277)

Kedua, hutang-piutang seyogyanya dipersaksikan dan tertulis, sebagaimana yang diperintah oleh Allah dalam QS: Albaqarah ayat 282. Hal ini begitu penting untuk menghindari potensi kedzaliman yang mungkin di lakukan oleh salah satu pihak, baik penghutang atau si pemberi hutang di kemudian hari. Banyak kasus terjadi dimana orang-orang yang berhutang mengingkari hutangnya ketika ditagih oleh si pemberi hutang. Maka disinilah perlunya saksi dan pencatatan dalam akad hutang piutang.

Ketiga, ketika berhutang hendaknya seseorang berniat untuk segera melunasinya bila sudah mempunyai kemampuan membayar. Niat yang benar untuk membayar hutang akan membantu seseorang dalam melunasi hutangnya. Rasulullah  ﷺ bersabda;

مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ

“Siapa yang mengambil harta manusia (berhutang) disertai maksud akan membayarnya maka Allah akan membayarkannya untuknya, sebaliknya siapa yang mengambilnya dengan maksud merusaknya (merugikannya) maka Allah akan merusak orang itu.” (HR. Bukhari)

Rasulullah ﷺ menerangkan seseorang yang berhutang dan mempunyai niat buruk untuk tidak melunasinya maka kelak ia akan menghadap Allah dengan menyandang predikat sebagai seorang pencuri.

فأَيُّمَا رَجُلٍ يَدِينُ دَيْنًا وَهُوَ مُجْمِعٌ أَنْ لَا يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِيَ اللَّهَ سَارِقًا

“Orang mana saja yang berhutang dan berniat tidak membayarnya, maka ia akan datang menghadap Allah sebagai seorang pencuri.” (HR. Ibnu Majah)

Keempat, ketika melunasi hutang hendaknya si penghutang melunasi dengan cara yang baik. Termasuk  cara yang baik dalam melunasi hutang adalah melunasinya tepat pada waktu pelunasan yang telah disepakati bersama. Memberi hadiah atau kelebihan ketika melunasi hutang termasuk salah satu kebaikan yang dianjurkan oleh Rasulullah ﷺ, hal ini tidak masalah asalkan hadiah atau kelebihan tersebut tidak disyaratkan di awal akad baik oleh yang memberi hutang atau yang berhutang.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, Abu Hurairah menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah berhutang seekor onta dari seorang laki-laki. Hingga beberapa hari kemudian datanglah orang tersebut kepada Rasulullah ﷺ untuk menagih ontanya. Lalu Rasulullah meminta para sahabat untuk mencari onta semisal untuk dibayarkan kepada laki-laki tersebut. Setelah dicari kesana kemari onta yang dimaksud oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaii Wassallam ternyata tidak ada melainkan onta yang lebih berumur dari yang dihutang oleh Rasulullah. Rasulullah pun bersabda kepada sahabat;

فَاشْتَرُوْهُ فَأَعْطُوْهُ إِيَّاهُ فَإِنَّ خَيْرَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً

“Belilah dan berikan kepadanya, karena sebaik-baik kalian adalah yang paling baik ketika membayar hutangnya.”

Kelima, apabila orang yang berhutang mengalami kesulitan sehingga ia belum berkemampuan untuk membayar hutang yang telah tiba jatuh temponya, maka bagi si pemberi hutang hendaklah memberi penangguhan pembayaran. Memberi penangguhan kepada orang yang kesulitan membayar hutang adalah akhlak terpuji yang memiliki banyak keutamaan, diantaranya;

Ia akan mendapat naungan dan perlindungan dari Allah pada hari kiamat. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُظِلَّهُ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ , فَلْيُنْظِرْ مُعْسِرًا , أَوْ لِيَضَعْ عَنْهُ

“Barangsiapa yang ingin diberi naungan oleh Allah dalam naungannya, maka hendaklah ia memberi penangguhan kepada orang yang kesulitan membayar hutang atau ia bebaskan darinya.” (HR. Muslim)

Setiap harinya ia mendapat pahala sedekah sebesar nilai hutang yang ia berikan ketika ia memberi penangguhan kepada orang yang kesulitan membayar hutang hingga hutangnya dilunasi. Rasulullah ﷺ bersabda;

مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلُهُ صَدَقَةً قَبْلَ أَنْ يَحِلَّ الدَّينُ فَإِذَا حَلَّ الدَّينُ فأنظره فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلُهُ صَدَقَةً

“Barangsiapa yang memberi penangguhan kepada orang yang kesulitan membayar hutang, maka baginya setiap hari ada pahala sedekah senilai hutang yang ia berikan, sebelum hutang itu lunas. Jika hutang itu belum lunas, lalu dia memberi penangguhan lagi maka baginya setiap hari ada pahala sedekah senilai itu.” (HR. Ahmad)

Allah akan memberinya ampunan dan memasukkannya ke dalam Surga.

إِنَّ رَجُلًا كَانَ فِيْمَنْ قَبْلَكُمْ أَتَاهُ الْمَلَكُ لِيَقْبِضَ رُوْحَهُ ، فَقِيْلَ لَهُ : هَلْ عَمِلْتَ مِنْ خَيْرٍ ؟ قَالَ : ماَ أَعْلَمْ . قِيْلَ لَهُ : اُنْظُرْ . قَالَ : مَا أَعْلَمْ شَيْئًا ، غَيْرَ أَنِّي كُنْتُ أُبَايِعُ النَّاسَ فِي الدُّنْيَا وَأُجَازِيْهِمْ فَأُنْظِرَ الْمُوْسِرَ ، وَأَتَجَاوَزُ عَنِ الْمُعْسِرِ ، فَأَدْخَلَهُ اللهُ الْجَنَّةَ

“Sesunguhnya ada seorang laki-laki yang hidup di zaman sebelum kalian yang didatangi malaikat untuk mencabut ruhnya. Lalu dikatakan kepadanya ‘apakah engkau pernah mengerjakan kebaikan?’ ia menjawab ‘aku tidak tahu’. Lalu dikatakan kepadanya ‘lihatlah!’ ia berkata ‘Aku tidak tahu, hanya saja dahulu sewaktu di dunia aku melakukan jual beli dengan orang dan aku memberi kemudahan kepada mereka, aku memberi penangguhan kepada orang yang kesulitan membayar, bahkan aku membebaskan orang yang kesulitan membayar’. Maka Allah pun memasukkannya ke dalam Surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Keenam, bila ada keterlambatan pembayaran dari orang yang berhutang ketika sudah jatuh tempo, jangan sampai dikenakan denda. Karena denda yang muncul karena keterlambatan dalam membayar hutang adalah riba jahiliyah yang diharamkan di dalam Islam.*/Imron Mahmud

HIDAYATULLAH

Hukum Menganggap Lunas Hutang dengan Niat Zakat

Fatwa Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah

Pertanyaan:

Saya punya piutang yang wajib ditunaikan oleh seseorang. Sudah berlalu waktu yang lama, ia belum bisa membayarkannya kepada saya sama sekali. Ia tidak mampu untuk membayar hutangnya. Lalu saya ingin menganggap lunas hutangnya dengan niat sebagai zakat mal dari saya. Karena orang tersebut termasuk fakir, sehingga ia tidak mampu untuk membayar hutangnya. Dan saya tahu betul bahwa ia tidak punya penghasilan kecuali sebatas untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Apakah yang saya lakukan ini dibolehkan? Mohon beri kami faidah, semoga Allah Ta’ala membalas Anda dengan pahala.

Jawaban:

Orang yang sulit membayar hutang maka wajib untuk diberi kelonggaran dan ditunggu sampai Allah mudahkan ia untuk membayarnya. Berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ

“Jika ia kesulitan untuk membayar hutang, maka tunggulah hingga ia dimudahkan” (QS. Al-Baqarah: 280).

Dan dalam hadits yang shahih, Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda,

مَن أنظر مُعْسِرًا أظلَّه الله في ظلِّه يوم لا ظلَّ إلا ظله

“Siapa yang memberi tangguh pembayaran hutang bagi orang yang kesulitan membayar, Allah akan memberikannya naungan di hari dimana tidak ada naungan kecuali dari Allah” (HR. Ahmad no. 532).

Adapun menganggap lunas zakat dengan niat hutang, maka ini tidak diperbolehkan. Para ulama tidak membolehkannya. Karena zakat itu harus ada unsur i’tha (memberi harta) dan iitaa’ (mengeluarkan harta). Adapun perbuatan di atas, dilakukan untuk melindungi hartanya (agar tidak berkurang). Dan alasan lainnya, harta berupa piutang tersebut terkadang akan didapatkan dan terkadang tidak didapatkan. Dan tidak ada unsur iitaa’ (mengeluarkan harta), yang ada adalah ibraa’ (menganggap lunas). Maka tidak sah sebagai zakat.

Sehingga wajib bagi Anda untuk membayar zakat dari harta yang ada pada perbendaharaan anda sekarang.

Sumber: https://binbaz.org.sa/fatwas/6110

Penerjemah: Yulian Purnama, S.Kom

Artikel: Muslim.or.id

Sumber: https://muslim.or.id/66480-hukum-menganggap-lunas-hutang-dengan-niat-zakat.html

Jangan Mudah Berhutang!

Sebagian kita ada yang senang dengan perilaku hutang, walaupun terkadang dia mampu. Adapula yang memang menjadikan hutang itu sebagai gaya hidupnya.

Padahal yang demikian itu tidak baik, karena hutang termasuk pwrilaku buruk, yang akan membuat orang berakhlak tidak baik. Maksudnya dapat menimbulkan perilaku yang buruk bagi orang yang suka (hobi) berhutang, seperti suka berdusta dan ingkar janji.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya seseorang apabila berhutang, maka dia sering berkata lantas berdusta, dan berjanji lantas mengingkari” (HR. Al-Bukhari).

Lebih dari itu, hutang akan menyebabkan kesedihan di malam hari, dan kehinaan di siang hari.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menolak untuk menshalatkan jenazah seseorang yang diketahui masih meninggalkan hutang dan tidak meninggalkan harta untuk membayarnya.

Dan dosa orang yang memiliki hutang tidak terhapuskan walaupun dia mati syahid, dijelaskan dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiallah ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

يغفر للشهيد كل ذنب إلا الدَّين

Akan diampuni seluruh dosa orang Чαπƍ mati syahid kecuali hutang” (HR. Muslim).

Oleh karena itu, hindari hutang kalo tidak kepepet!

***

Penulis: Ust. Fuad Hamzah Baraba, Lc.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/29545-jangan-mudah-berhutang.html

Apakah Anak Wajib Membayar Hutang Orang Tua?

Masalah hutang orang yang telah meninggal kerap kali menjadi polemik di tengah masyarakat. Tidak jarang, ada orang tua yang bermudah-mudahan berhutang dengan anggapan bahwa nanti anak-anaknya yang akan melunasi hutangnya. Benarkah demikian?

Hutang mayit wajib dibayar dari harta waris

Orang yang meninggal dalam keadaan memiliki hutang, wajib segera dibayarkan hutang tersebut dari harta si mayit. Allah ta’ala setelah menjelaskan beberapa bagian waris, Allah ta’ala berfirman:

مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ

“(itu dilakukan) setelah ditunaikan wasiat dari harta atau setelah ditunaikan hutang” (QS. An Nisa: 11).

Maka uang peninggalan si mayit wajib digunakan untuk membayar hutang-hutangnya terlebih dahulu sebelum dibagikan kepada ahli waris. Al Bahuti mengatakan:

ويجب أن يسارع في قضاء دينه، وما فيه إبراء ذمته؛ من إخراج كفارة، وحج نذر، وغير ذلك

“Wajib menyegerakan pelunasan hutang mayit, dan semua yang terkait pembebasan tanggungan si mayit, seperti membayar kafarah, haji, nadzar dan yang lainnya” (Kasyful Qana, 2/84).

Jika uangnya sudah habis dan hutangnya masih ada, maka wajib menjual aset-aset milik mayit untuk membayar hutang. Syaikh Muhammad Mukhtar Asy Syinqithi mengatakan:

فإذا مات الوالد أو القريب وقد ترك مالاً أو ترك بيتاً ، وعليه دين : فيجب على الورثة أن يبيعوا البيت لسداد دينه ، وهم يستأجرون

“Jika seorang anak meninggal atau seorang kerabat meninggal, dan ia meninggalkan harta atau rumah, sedangkan ia punya hutang. Maka wajib bagi ahli waris untuk menjual rumahnya untuk melunasi hutangnya, walaupun mereka sedang menyewakannya” (Syarah Zadul Mustaqni).

Anak tidak wajib menanggung hutang orang tua

Jika uang peninggalan mayit sudah habis dan aset pun sudah habis, maka tidak ada kewajiban bagi ahli waris untuk melunasi. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan:

فَإِنْ لَمْ يَخْلُفْ تَرِكَةً، لَمْ يُلْزَمْ الْوَارِثُ بِشَيْءٍ؛ لِأَنَّهُ لَا يَلْزَمُهُ أَدَاءُ دَيْنِهِ إذَا كَانَ حَيًّا مُفْلِسًا، فَكَذَلِكَ إذَا كَانَ مَيِّتًا

“Jika mayit tidak meninggalkan harta waris sedikitpun, maka ahli waris tidak memiliki kewajiban apa-apa. Karena mereka tidak wajib melunasi hutang si mayit andai ia bangkrut ketika masih hidup, maka demikian juga, mereka tidak wajib melunasinya ketika ia sudah meninggal” (Al Mughni, 5/155).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menjelaskan: “andaikan mayit punya hutang 1000 dan warisannya 500, maka ahli waris tidak boleh dituntut untuk membayar lebih dari 500 itu. Karena tidak ada harta si mayit yang ada di tangan mereka kecuali sejumlah itu saja. Dan mereka tidak boleh diwajibkan untuk membayarkan hutang orang tuanya. Maksudnya, jika yang meninggal dalam keadaan punya hutang adalah ayahnya dan hutangnya lebih besar dari warisannya maka anak tidak wajibkan untuk membayar hutang ayahnya” (Al Qawa’idul Ushul Al Jami’ah, 195).

Sehingga tidak layak seseorang mengatakan “biar saya berhutang sebanyak-banyaknya, toh kalau saya mati nanti yang melunasi adalah keluarga saya”. Ini tidak dibenarkan, karena keluarganya atau ahli warisnya tidak berkewajiban untuk melunasinya.

Hukumnya mustahab (dianjurkan) untuk melunasi hutang orang tua

Walaupun tidak wajib, hukumnya mustahab (dianjurkan) bagi ahli waris, terutama bagi anak-anak dari mayit untuk membayarkan hutang orang tuanya yang sudah meninggal. Al Bahuti mengatakan:

فإن تعذر إيفاء دينه في الحال، لغيبة المال ونحوها استُحب لوارثه ، أو غيره : أن يتكفل به عنه

“Jika hutang mayit tidak bisa dilunasi ketika ia meninggal, karena tidak adanya harta padanya, atau karena sebab lain, maka dianjurkab bagi ahli waris untuk melunasinya. Juga dianjurkan bagi orang lain untuk melunasinya” (Kasyful Qana, 2/84).

Sehingga mayit terbebaskan dari keburukan yang disebabkan karena hutang. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

نَفْسُ الْـمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّىٰ يُقْضَى عَنْهُ

“Ruh seorang mukmin tergantung karena hutangnya hingga dilunasi” (HR. Tirmidzi no. 1078, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

Apa yang dimaksud dengan ruhnya tergantung? Al Mula Ali Al Qari menjelaskan:

فَقِيلَ: أَيْ مَحْبُوسَةٌ عَنْ مَقَامِهَا الْكَرِيمِ، وَقَالَ الْعِرَاقِيُّ: أَيْ: أَمْرُهَا مَوْقُوفٌ لَا يُحْكَمُ لَهَا بِنَجَاةٍ وَلَا هَلَاكٍ حَتَّى يُنْظَرَ، أَهَلْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ مِنَ الدَّيْنِ أَمْ لَا؟

“Sebagian ulama mengatakan: ruhnya tertahan untuk menempati tempat yang mulia. Al Iraqi mengatakan: maksudnya, ia (di alam barzakh) dalam kondisi terkatung-katung, tidak dianggap sebagai orang yang selamat dan tidak dianggap sebagai orang yang binasa sampai dilihat apakah masih ada hutang yang belum lunas atau belum?” (Mirqatul Mafatih, 5/1948).

Ash Shan’ani mengatakan:

وَهَذَا الْحَدِيثُ مِنْ الدَّلَائِلِ عَلَى أَنَّهُ لَا يَزَالُ الْمَيِّتُ مَشْغُولًا بِدَيْنِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ

“Hadits ini adalah diantara dalil yang menunjukkan bahwa mayit terus berada dalam kerepotan karena hutangnya, setelah kematiannya” (Subulus Salam, 1/469).

Namun sekali lagi, membayar hutang itu bukan kewajiban anak-anak atau ahli waris, hukumnya mustahab (dianjurkan) saja. Oleh karena itu boleh juga dilakukan oleh orang lain yang selain ahli waris. Sebagaimana Abu Qatadah pernah melunasi mayit salah seorang sahabat yang meninggal.

Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu ia mengatakan:

تُوُفِّيَ رَجُلٌ مِنَّا, فَغَسَّلْنَاهُ, وَحَنَّطْنَاهُ, وَكَفَّنَّاهُ, ثُمَّ أَتَيْنَا بِهِ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقُلْنَا: تُصَلِّي عَلَيْهِ? فَخَطَا خُطًى, ثُمَّ قَالَ: أَعَلَيْهِ دَيْنٌ? قُلْنَا: دِينَارَانِ، فَانْصَرَفَ, فَتَحَمَّلَهُمَا أَبُو قَتَادَةَ، فَأَتَيْنَاهُ, فَقَالَ أَبُو قَتَادَةَ: اَلدِّينَارَانِ عَلَيَّ، فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أُحِقَّ اَلْغَرِيمُ وَبَرِئَ مِنْهُمَا اَلْمَيِّتُ? قَالَ: نَعَمْ, فَصَلَّى عَلَيْهِ

“Ada seorang laki-laki di antara kami meninggal dunia, lalu kami memandikannya, menutupinya dengan kapas, dan mengkafaninya. Kemudian kami mendatangi Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan kami tanyakan: Apakah baginda akan menyalatkannya? Beliau melangkah beberapa langkah kemudian bertanya: “Apakah ia mempunyai hutang?”. Kami menjawab: Dua dinar. Lalu beliau kembali. Maka Abu Qatadah menanggung hutang tersebut. Ketika kami mendatanginya; Abu Qotadah berkata: Dua dinar itu menjadi tanggunganku. Lalu Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Betul-betul engkau tanggung dan mayit itu terbebas darinya” (HR. Abu Daud no.3343, dihasankan Al Albani dalam Ahkamul Jana’iz hal. 27).

Bahaya berhutang

Jika kita telah memahami penjelasan di atas, kita akan mendapatkan pelajaran tenrang bahaya berhutang. Karena ketika anda meninggal dalam keadaan memiliki hutang, tidak ada orang lain yang berkewajiban membayarkan hutang anda. Selain itu, banyak lagi keburukan yang disebabkan karena hutang. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

أيما رجلٍ تديَّنَ دَيْنًا ، و هو مجمِعٌ أن لا يُوفِّيَه إياه لقي اللهَ سارقًا

“Siapa saja yang berhutang dan ia tidak bersungguh-sungguh untuk melunasinya, maka ia akan bertemu Allah sebagai seorang pencuri” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 5561, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ no. 2720).

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

من مات وعليه دَينٌ ، فليس ثم دينارٌ ولا درهمٌ ، ولكنها الحسناتُ والسيئاتُ

“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih punya hutang, maka kelak (di hari kiamat) tidak ada dinar dan dirham untuk melunasinya namun yang ada hanyalah kebaikan atau keburukan (untuk melunasinya)” (HR. Ibnu Majah no. 2414, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 437).

Maka jangan bermudah-mudahan untuk berhutang dan jika masih memiliki hutang maka hendaknya bersegera untuk melunasinya. Karena ketika anda meninggal dalam keadaan memiliki hutang, tidak ada orang lain yang berkewajiban membayarkan hutang anda. Rezeki dari Allah, jika ternyata ada yang mau melunasi hutang anda setelah anda meninggal. Namun jika tidak ada bagaimana? Wal’iyyadzu billah.

Semoga Allah memberi taufik.

Penulis: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/57223-apakah-anak-wajib-membayar-hutang-orang-tua.html

Mendahulukan Melunasi Hutang daripada Menunaikan Haji

Pertanyaan:
Apa pendapatmu mengenai orang yang belum berhaji dan punya keinginan untuk berhaji, padahal dia memiliki banyak jalan untuk melaksanakannya. Akan tetapi orang ini memiliki hutang. Apakah seharusnya orang ini membulatkan tekadnya untuk haji ataukah dia membatalkannya?

Jawaban:

Perlu diketahui bahwa melunasi hutang tentu saja lebih penting daripada menunaikan haji. Uang yang seseorang gunakan untuk melunasi hutangnya tentu saja lebih baik dari 10 riyal yang dia gunakan untuk naik haji.
Akan tetapi apabila orang yang memiliki hutang tadi dihajikan oleh orang lain secara cuma-cuma, misalnya dia naik haji karena diberi tugas untuk melayani jama’ah haji lainnya, atau mungkin ada sahabatnya yang ingin memberi dia sedekah untuk naik haji; maka seperti ini tidaklah mengapa, karena haji pada saat itu tidak membawa dampak yang membahayakan dirinya.

SumberLiqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset pertama, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin

Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/2613-mendahulukan-melunasi-hutang-daripada-menunaikan-haji-2.html

Wabah Menyadarkan Bahwa Hutang Itu Darurat, Bukan Untuk Gaya Hidup

[Rubrik: Sekedar Sharing]

Tidak sedikit orang yang sulit membayar cicilan utang karena dampak wabah korona, hal ini menyadarkan kita bahwa berhutang itu apabila keadaannya DARURAT. Jangan sampai kita berhutang karena gaya hidup. Jika ada uang, silahkan beli, apabila tidak ada, maka jangan beli dengan cicilan hutang, apalagi hutang riba, hidup qana’ah apa adanya

Jauhkan gengsi dan jangan terlalu banyak bergaul dengan orang-orang yang mendahulukan gengsi dan gaya hidup. Inilah penyebab terbesar orang berhutang yaitu teman-temannya yang semisal dan saling adu gengsi

Umar bin Abdul Aziz berkata,

“Aku wasiatkan kepada kalian agar tidak berhutang, meskipun kalian merasakan kesulitan,

ﻓﺈﻥ ﺍﻟﺪّﻳﻦ ﺫُﻝُّ ﺑﺎﻟﻨﻬﺎﺭ ﻭﻫﻢ ﺑﺎﻟﻠﻴﻞ

karena sesungguhnya hutang adalah kehinaan di siang hari kesengsaraan di malam hari,”

[Umar bin Abdul Aziz Ma’alim Al Ishlah wa At Tajdid, 2/71]

Saudaraku, semoga  anda dimudahkan melunasi cicilan, giat bekerja & menabung serta diberikan rasa qana’ah

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel www.muslimafiyah.com