Ibnu Khaldun: Kondisi Iklim Pengaruhi Peradaban

Ibnu Khaldun meyakini, kondisi iklim memengaruhi kebudayaan. Argumentasinya adalah bagian bumi yang melahirkan peradaban pasti didukung adanya sumber daya alam setempat. Dalam Muqaddimah, ia memaparkan bahwa bumi dapat dibagi ke dalam tujuh wilayah.Dari jumlah tersebut, hanya tiga wilayah yang kondusif untuk tumbuhnya peradaban.

Ketiga wilayah itu terletak di antara dua area, yakni utara dan selatan, yang merepresentasikan masing-masing iklim dingin dan panas ekstrem. Di ketiga wilayah tersebut terbentang wilayah- wilayah yang kondusif, tetapi masih dibeda- bedakan pula berdasarkan hawa udaranya. Yang jelas, peradaban akan tumbuh lebih pesat di kawasan yang beriklim tidak ekstrem panas dan tidak pula ekstrem dingin. Tanah yang subur juga turut mendukung kemajuan masyarakat setempat.

Daerah-daerah dengan iklim moderat, menurut Ibnu Khaldun, dihuni oleh orang-orang yang dapat menghasilkan peradaban tinggi. Sebab, mereka memiliki budaya menetap. Prioritasnya bukanlah sekadar untuk bertahan hidup– seperti yang dialami masyarakat penghuni bagian-bumi beriklim ekstrem dingin maupun panas.

Dengan logika yang sama, masyarakat yang tinggal di gurun, umpamanya, akan memiliki ciri-ciri fisik yang lebih unggul daripada mereka yang tinggal di dataran yang beriklim sejuk dan subur. Sebab, kaum yang akrab dengan suasana padang pasir itu jauh dari pola kehidupan yang nyaman. Iklim yang sedang akan memberikan suasana hangat kepada fisik dan karakteristik orang-orang yang tinggal di sana. Keadaan itu pun mendukung kapasitas mereka dalam belajar.

Teori Ibnu Khaldun itu pada era kini menjadi perhatian para peneliti modern, terutama kaum saintis yang menyoroti krisis perubahan iklim (climate change). Akibat fenomena global iklim, sebagai contoh, banyak kawasan pesisir di seluruh dunia yang terancam tenggelam. Potensi gagal panen pun dikhawatirkan terjadi sehingga menimbulkan kelaparan atau paceklik pangan.Dalam perspektif sang sarjana Muslim, iklim yang baik diperlukan agar peradaban yang unggul dapat terwujud. Maka dari itu, masa depan dunia tidak akan aman sebelum climate change ini diatasi bersama-sama.

IHRAM

Usia 18 Tahun, Ibnu Khaldun Telah Kuasai Berbagai Ilmu, Bagaimana Dengan Anak Kita?

Hebat sekali, pada umur 18 tahun Ibnu Khaldun sudah menguasai ilmu keislaman dan umum. Pada umur itu ia juga sudah mandiri dalam belajar dan tidak bergantung kepada seorang guru. Tentunya apa yang dialami Ibnu Khaldun berbeda dengan anak-anak kita saat ini, dimana pada umur sekian masih disibukkan dengan les sana- les sini. Anak-anak kita pun belum mandiri dalam belajar dan masih harus terikat pada seorang guru.

Temuan itu diungkap oleh Dinar Kania Dewi, Kandidat Doktor Pendidikan Islam, dalam Diskusi Sabtuan INSISTS, berjudul Konsep Pendidikan Ibn Khaldun dalam Kitab Muqaddimah (2011).

Ibnu Khaldun (1332 M/732 H) merupakan salah satu ilmuwan besar yang lahir ketika peradaban Islam mengalami ujian berat di Timur maupun di Barat. Bisa dikata Ibnu Khaldun adalah ulama langka. Namanya harum hingga Eropa dan Amerika sebagai asset ilmuwan dunia yang menguasai berbagai jenis keilmuan.

Selain menguasai ilmu hadis dan fiqh, Ibn Khaldun juga menguasai ilmu-ilmu rasional (filosofis), yaitu teologi, logika, ilmu alam, matematika dan astronomi. Selain itu, Ibnu Khaldun juga seorang pendidik.

Berbeda dengan konsep Pendidikan Sekular, Ibn Khaldun berpandangan bahwa kebenaran yang hakiki bersumber dari Allah SWT. “Ibnu Khaldun selalu meletakkan wahyu sebagai premis mayor, bukan premis minor,” kata Dinar.

Dalam kitabnya Muqaddimah, Ibnu Khaldun juga menyoroti problematika pendidikan pada zamannya yang masih relevan hingga saat ini. Menurut Ulama yang pernah menjadi Qadi di Universitas Al Azhar itu, ringkasan yang biasa diperintahkan seorang guru kepada murid adalah salah satu bentuk masalah dalam pengajaran.

“Ini bisa jadi intropeksi juga bagi kita, yang kadang suka baca buku ringkasan, ketimbang buku rujukannya langsung,” sambung Ibu dua anak ini.

Selain itu, beragamnya metode dalam pendidikan menyebabkan pelajar menghabiskan banyak waktu dan energi untuk menguasai berbagai metode yang sebenarnya maknanya satu dan sama. Dinar pun akhirnya mengkritik kebijakan pemerintah yang kerap berganti-ganti kebijakan.

“Saat ini pemerintah kita ganti menteri, ganti kebijakan. Metode pun berbeda-beda dalam pendidikan kita saat ini dari mulai quantum learning, accelerated learning, hipnoparenting dan lain sebagainya.” Kritik Direktur Operasional Andalusia Islamic Education Management Service itu.

Salah satu ciri khas konsep pendidikan yang dilahirkan oleh Ulama kelahiran Tunisia tersebut adalah apa yang disebut dengan malakah. Malakah bisa dikatakan kebiasaan yang sudah mengakar dalam diri seseorang hingga bentuk perbuatan itu dengan kokoh tertanam (dalam pikiran). Mencapai malakah hanya dimungkinkan melalui pembelajaran yang bertahap (tadrij) disertai pengulangan dan pembiasaan.

“Malakah akan menciptakan pengetahuan reflek pada seseorang. Ilmu yang sudah dipelajarinya akan menjadi kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari.” jelas Dinar

Metode paling mudah untuk memperoleh malakah, kata Ibnu Khaldun, adalah dengan melalui latihan diskusi atau debat ilmiah guna mengungkapkan pikiran-pikiran dengan jelas dan perdebatan masalah-masalah ilmiah. Inilah cara yang mampu menjernihkan persoalan dan menumbuhkan pengertian dan bukan melalui hapalan tanpa memahami makna yang terkandung di dalamnya

“Makanya, Ibnu Khaldun itu dianggap ahli dalam ilmu retorika,” ungkap Dinar.

Ada tiga hal metode pengajaran yang diperkenalkan oleh Ibnu Khaldun. Pertama adalah Penyajian Global (sabil al-ijmal). Pada tahap awal pengajaran sebuah disiplin ilmu/ aspek keterampilan, guru hendaknya menyajikan hal-hal pokok, problem-problem yang prinsip dari setiap materi pembahasan dalam bab-bab yang dijelaskan. Keterangan atau penjelasan dari guru harus bersifat global (ijmal) serta memperhatikan potensi intelek (aql) dan kesiapan (isti’dad) dari masing-masing peserta didiknya untuk menangkap apa yang diajarkan kepadanya.

Kedua, Pengembangan (al-syarh wa al-bayan). Pengetahuan atau keterampilan yang disajikan harus diangkat ketingkat yang lebih tinggi. Guru harus menyertakan ulasan tetang berbagai aspek yang menjadi kontradiksi di dalamnya dan ragam pandangan (teori) yang terdapat pada materi tersebut. Keahlian pelajar pada tahap ini harus lebih disempurnakan.

Terakhir adalah penyimpulan (takhallus).Pokok pembahasan harus disampaikan dengan lebih mendalam dan lebih rinci dalam konteks yang menyeluruh. Segala aspek yang ada berserta pemahamannya harus dipertajam lagi dan semua masalah penting, sulit dan kabur harus dituntaskan. Pada tahap terakhir ini diharapkan malakah dari pelajar mencapai kesempurnaan.

 

ERA MUSLIM

Ibnu Khaldun : Setiap Peradaban itu Bangkit dan Musnah

Abdurrahman bin Muhammad atau yang lebih dikenal dengan Ibnu Khaldun. Lahir di Maghrib 1332 M / 723 H (Maghrib adalah Maroko-Aljazair-Tunisia sekarang). Barat mengenalnya sebagai Muslim Sosiolog dan History Scholar. Belia adalah salah satu dari sekian ulama yang konsen pada ilmu sosial dan sejarah. Selain al-Muqaddimah, kitabnya yang lain dan menjadi rujukan para sejarawan adalah Tarikh Ibnu Khaldun.

Ibnu Khaldun terkenal dengan Hukumnya “Setiap peradaban itu bangkit dan musnah” kebangkitan peradaban selalu diawali dengan fanatisme dan semangat menuntut ilmu. Setiap peradaban akan sampai pada puncak kejayaannya. Dan yang menjatuhkan suatu peradaban adalah degradasi moral dan hilangnya semangat keilmuan. Sekalipun peradaban itu memiliki kekayaan berlimpah dan tentara yang kuat, ia akan jatuh juga. Sebenarnya banyak faktor sekunder lainnya namun kedua faktor inilah yang paling kentara.

“Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran)” [QS. Ali Imran : 140] [1]

          Dimulai dari peradaban Yunani. Geliat kejayaan peradaban tertua ini dimulai dengan semangat keilmuan. Para pemudanya kemudian mengembangkan dasar-dasar Ilmu Logika Filsafat.[2] Filsafat memiliki tiga pokok perangkat dasar yakni,  etika, logika dan estetika.[3] Dari filsafat inilah budaya keilmuwan Yunani berkembang ilmu geometri-matematika, kedokteran dan arsitektur. Peradaban Yunani mulai jatuh ketika terjadi kerusakan / degradasi moral penduduknya. Kemudian di ikuti oleh para pemimpinnya. Demonsthenes, seorang ahli filsafat pada masa degradasi moral itu,  mengungkapkan fenomena penduduk Yunani yang berilmu sekaligus tidak berakhlak berkata;

“Kami mempunyai institusi pelacuran kelas elit (courtesans) untuk pelampiasan hasrat. Para tuna susila untuk kesehatan badan. Dan Istri hanyalah untuk melahirkan keturunan halal (resmi) dan juga untuk mengurusi urusan rumah yang dipercayai” [4]

Kebiadaban akhirnya menjadi akhlak orang-orang Yunani. Penduduknya sudah terjangkit penyakit wahn yang sangat akut. Kalangan terpelajarnya memuja hasrat wanita dan kalangan pemimpinya mencintai pesta dalam gelimangan harta. Seakan-akan surga itu ada di istana. Seakan-akan hidup mereka akan selamanya. Serasa kejayaan kerajaan tidak akan pernah runtuh. Namun pekiraan mereka salah sama sekali. Peradaban yang sekarat itu jatuh diserang oleh pasukan Roma. Luluh lantaknya Yunani itu dikenang dalam sejarah sebagai Pertempuran Beneventum (275 SM).[5]

Pola naik dan jatuhnya peradaban ini kentara sekali terlihat pada setiap peradaban. Peradaban Islam, Peradaban Eropa, Peradaban Jepang, Peradaban Cina, pun terlihat jelas sekarang ini pada Peradaban Amerika yang sedang sekarat. Dan saat ini merupakan masa kejatuhan peradaban Kristen, keemasan peradaban Yahudi yang kedua dan kebangkitan perdaban Islam yang kedua.

Sesuai dengan janji Allah di dalam al-Qur’an bahwa Bani Israil (Yahudi) akan mengalami kejayaan 2 kali. “Dan telah Kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam Kitab itu: “Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar “[QS. al-Isra’ : 4]. Masa kejayaan Yahudi yang pertama telah lewat, yakni Masa Kerajaan Nabiullah Sulaiman alaihi salam.Sepeninggal beliau kemudian kerajaan terpecah menjadi Kerajaan Israel di utara dan Kerajaan Yehuda di Selatan.

Perpecahan berarti kehancuran. Kehancuran ini diiringi dengan degradasi moral mereka. Seperti yang dikatakan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bahwa fitnah Bani Isra’il adalah wanita dan fitnah ummatku adalah harta[6]. Gelar “almarhum pertama” bangsa Israil benar-benar ternobatkan setelah Nebukanezar (Raja Babilonia) menyerang kedua kerajaan itu. Kehinaan Yahudi pertama itu tercatat  dalam sejarah terjadi pada 586 SM.[7]

Seperti yang dikatakan oleh Mahattir Muhammad, mantan perdana menteri Malaysia, bahwa Yahudi sedang mengalami kejayaannya sekarang dan mereka mengendalikan dunia dari balik layar (by the Proxy). Dan kejayaan kedua Yahudi ini cepat atau lambat akan kita rebut. Tulisan ini saya akhiri dengan kembali mengutip Hukum Ibnu Khaldun, “Setiap peradaban itu bangkit dan musnah” kebangkitan peradaban selalu diawali dengan fanatisme dan semangat menuntut ilmu. Setiap peradaban akan sampai pada puncak kejayaannya. Dan yang menjatuhkan suatu peradaban adalah degradasi moral dan hilangnya semangat keilmuan. Sekalipun peradaban itu memiliki kekayaan berlimpah dan tentara yang kuat, ia akan jatuh juga.

Wallahu al’am bishawab

Akbar Novriansyah,Yogyakarta

ERA MUSLIM

 

Tiga Mercusuar Ilmu

Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya mengungkapkan, ilmu adalah substansi terpenting dalam sebuah peradaban. Kejayaan suatu peradaban ditentukan oleh maju-mundurnya tradisi keilmuan. Ketika budaya ilmu tidak lagi berkembang, alamat peradaban tersebut sudah berada di ambang kehancuran.

Perguruan tinggi sebagai penopang tradisi keilmuan tersebut turut andil untuk membawa peradaban Islam ke puncak kejayaannya. Bahkan, menurut Ednan Aslan dalam Islamic Education in Europe, ketika Barat masih berada di zaman Dark Age, kegemilangan ilmu pengetahuan telah menyelimuti dunia Islam.

Model universitas, yang di Barat baru bermula pada abad ke-12, telah tersebar luas di berbagai wilayah Islam. Universitas pertama di dunia didirikan oleh kaum Muslim sekitar abad ke-9, diikuti oleh az-Zaytuna di Tunisia, dan Al-Azhar di Kairo. Berikut ini di antara perguruan tinggi Islam yang masih bertahan hingga kini:

Al-Qarawiyyin

Universitas Qairuwan atau University of KaIraouine ini merupakan universitas tertua di dunia dan masih beroperasi hingga kini. Melahirkan tokoh penting, seperti Moses Maimonides, Leo Africanus, Ibnu Khaldun dan al-Idrisi, pernah mengenyam pendidikan di Universitas al-Qarawiyyin.

Kampus yang bermula dari Masjid yang didirikan oleh didirikan oleh Fatimah binti Muhammad al-Fihr pada 859 M di Fez, Maroko menjadi tonggak penyebaran Islam di Afrika Utara dan sekitarnya. Era kejayaan Universitas al-Qarawiyyin berlangsung pada abad 12-15.

Al-Azhar 

Universitas Al-Azhar merupakan pusat intelektualitas di dunia Islam yang lahir dari Masjid Al-Azhar Syiah Ismailiyah dari Bani Fatimiyyah sekitar 970-972 M. Format pendidikan di Al-Azhar relatif informal pada masa-masa awal. Program studi dasar meliputi hukum Islam, teologi, dan bahasa Arab.

Universitas Al-Azhar merupakan universitas pemberi gelar tertua kedua di dunia. Al-Azhar berada ke tangan Suni setelah Shalahuddin al-Ayyubi menaklukkan Mesir pada paruh kedua abad ke-12.

Az-Zaytuna

Perguruan tinggi yang berada di Tunisia ini didirikan oleh Imam Ubaidillah ibn Habhab pada 737 M/120 H. Kampus yang berembrio dari masjid ini didirikan atas perintah salah seorang penyebar Islam di kawasan Tunisia yaitu, Imam Hassan ibn Nu’uman.

Universitas ini menjadi perguruan tinggi berpengaruh pada awal abad ke-13 M. Begitu banyak kitab dan manuskrip yang dihasilkan para ilmuwan di Universitas Az-Zaituna. Sayangnya, beragam kitab dan manuskrip bernilai tinggi itu dijarah dan dipindahkan oleh orang-orang Spanyol saat menguasai Kota Tunis pada 1534 M hingga 1574 M.

 

REPUBLIKA