Idul Fitri: Antara Pesimis dan Optimis

Berikut penjelasan terkait Idul Fitri, antara pesimis dan optimis. Inilah poin penting dalam memperingati Idul Fitri.

Khauf (pesimis) dan raja’ (optimis) adalah dua kualitas penempuh laku spiritual yang tak bisa dipisahkan satu sama lain. Imam al-Qusyairi menukil perumpamaan yang indah nan menjelaskan perlunya menyelaraskan antara pesimis dan optimis dari Abu Ali al-Rudzbari.

الخوف والرجاء هما كجناحي الطائر إِذَا استويا استوى الطير وتم طيرانه وإذا نقص أحدهما وقع فِيهِ النقص وإذا ذهبا صار الطائر فِي حد الْمَوْت.

“Optimis dan pesimis ibarat sepasang sayap burung. apabila keduanya selaras, maka burung pun akan bertengger dan dapat terbang dengan sempurna. Tapi apabila terdapat cacat pada salah satunya, terbangnya burung pun akan menjadi cacat.

Sedangkan apabila kedua sayapnya lenyap, itu artinya burung itu telah di ambang batas kematiannya.” (al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyah, 1/260)

Secara pengamalan, dalam Ihya ‘Ulum al-Din, al-Ghazali menyebut kombinasi khauf dan raja sebagai salah satu syarat batin dari puasa. Al-Ghazali mengatakan,

 السادس أن يكون قلبه بعد الإفطار معلقاً مُضْطَرِبًا بَيْنَ الْخَوْفِ وَالرَّجَاءِ إِذْ لَيْسَ يَدْرِي أَيُقْبَلُ صَوْمُهُ فَهُوَ مِنَ الْمُقَرَّبِينَ أَوْ يُرَدُّ عَلَيْهِ فَهُوَ مِنَ الْمَمْقُوتِينَ وَلْيَكُنْ كَذَلِكَ فِي آخر كل عبادة يفرغ منها

“Syarat batin dari puasa yang keenam yaitu setelah berbuka hati orang yang berpuasa terpaut dengan rasa pesimis dan optimis. Sebab belum tentu puasanya diterima sehingga ia termasuk golongan orang-orang yang didekatkan dengan Allah.

Atau justru puasanya tak diterima lantas ia termasuk kalangan yang dibenci. Hendaklah bersikap demikian setiap kali selesai melakukan.” (al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, 1/235)

Dalam menghadapi momentum Idul Fitri pun rasa pesimis dan optimis mestinya juga tidak boleh dikesampingkan. Memang tidak salah menunjukkan rasa bahagia atas hadirnya hari yang mulia ini. Bahkan memang seharusnya. Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari mengungkapkan,

أَنَّ إِظْهَارَ السُّرُورِ فِي الْأَعْيَادِ مِنْ شِعَارِ الدِّينِ

“Sesungguhnya menampakkan rasa bahagia pada hari-hari Id merupakan syiar agama,” (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, 2/433).

Akan tetapi tanpa dibarengi dengan khauf, bahwa belum tentu amal kita selama Ramadan diterima, bukan mustahil Idul Fitri justru menjadi momentum berfoya-foya atau bahkan melampiaskan hawa nafsu yang diredam selama sebulan penuh.

Oleh sebab itu, tak heran bilamana sebagian generasi salaf justru merasa sedih ketika memasuki Idul Fitri. Alih-alih bergembira ria, sebagian mereka justru tampak murung karena akan berpisah dengan bulan Ramadan yang penuh keberkahan. Di samping itu mereka khawatir amal ibadah yang mereka lakukan tidak diterima dan dosa-dosa mereka tidak diampuni.

Ibn Rajab al-Hanbali dalam Lathaif al-Ma’arif misalnya, menukil riwayat yang mengisahkan Umar bin Abdul Aziz. Dikisahkan bahwa sang Khalifah keluar dari istana pada hari Idul Fitri. Sang Khalifah pun berkhutbah di hadapan masyarakatnya.

“Wahai manusia! Kalian telah berpuasa karena Allah sebulan penuh. Kalian juga telah menghidupkan malam Ramadan selama tiga puluh malam. Hari ini kalian keluar seraya berharap agar Allah menerima amal ibadah kalian semua.

Ketahuilah bahwa sebagian generasi salaf justru tampak bersedih ketika hari Idul Fitri. Lantas sebagian mereka itu ditanya, ‘Bukan ini hari berbahagia dan suka cita?’ Sebagian mereka pun menjawab, ‘Kalian benar ini adalah  hari berbahagia.

Namun aku hanya seorang hamba yang oleh Tuhanku diperintahkan untuk beramal untuk-Nya. Sementara aku tak tahu apakah amal diterima’ ” (Ibnu Rajab, Lathaif al-Ma’arif, 209).

Hampir serupa dengan kisah dalam riwayat di atas, Ibnu al-Jauzi dalam al-Tabshirah menukil kisah Shalih bin Abdul Jalil. Disebutkan bahwa ketika Idul Fitri tiba, Shalih bin Abdul Jalil mengumpulkan keluarganya. Ia pun duduk di tengah mereka sembari menangis. Saudara-saudaranya pun mengeherankan mengapa ia bersedih padalah ini adalah hari bergembira.

Shalih bin Abdul Jalil menjawab, “Kalian benar ini adalah  hari bergembira. Tetapi aku hanyaseorang hamba yang oleh Tuhanku diperintahkan beramal untuk-Nya. Aku pun beramal namun aku tak tahu apakah Tuhanku menerima atau menolak amalku. Maka bersedih lebih utama bagiku,” (Ibnu al-Jauzi, al-Tabshirah, 2/110).

Demikian renungan sufistik yang berhubungan dengan hari raya Idul Fitri. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Khotbah Jumat: 6 Kekeliruan dalam Merayakan Idul Fitri

Khotbah pertama

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ.

إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ.

أَشْهَدُ أَنْ لَاۧ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلٰى مَحَمَّدِ نِالْمُجْتَبٰى، وَعَلٰى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَهْلِ التُّقٰى وَالْوَفٰى. أَمَّا بَعْدُ فَيَاأَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ! أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ فَقَدْ فَازَ مَنِ اتَّقَى.

فَقَالَ اللهُ تَعَالٰى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Ma’asyiral muslimin, jemaah masjid yang dimuliakan Allah Ta’ala.

Mengawali khotbah kali ini, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan jemaah sekalian agar senantiasa meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Terlebih lagi kita telah berada di penghujung bulan Ramadan yang sangat mulia ini. Kita tingkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan itu baik dengan menjalankan seluruh kewajiban yang telah diwajibkan Allah Ta’ala, maupun memperbanyak amalan sunah yang akan menyempurnakan amal ibadah wajib kita. Selain itu, tidak kalah penting juga untuk meninggalkan seluruh larangan Allah Ta’ala.

Sesungguhnya suksesnya seorang muslim di dalam melewati bulan Ramadan diukur dengan tingkat keimanan dan ketakwaan mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barang siapa yang puasa Ramadan karena iman dan mengharapkan pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Bukhari no. 2014).

Terampuni dosa-dosa kita merupakan indikasi baik dan sukses kita di dalam bulan suci ini. Pada hadis yang telah kita sebutkan, ampunan Allah Ta’ala hanya akan didapatkan oleh mereka yang menjalani puasa ini dengan penuh keimanan dan pengharapan pahala.

Selanjutnya, tak lupa puji dan syukur senantiasa kita haturkan kepada Allah Ta’ala, Rabb semesta alam, atas semua limpahan nikmat dan rezeki yang telah Allah Ta’ala berikan kepada kita. Baik rezeki itu berupa nikmat iman, nikmat kesehatan, dan yang tak kalah penting nikmat taufik serta hidayah. Sehingga kita masih diberikan kesempatan untuk beribadah bersama, melaksanakan salat Jumat terakhir di bulan Ramadan ini.

Sebentar lagi, kaum muslimin akan merayakan hari raya Idul Fitri. Hari suka cita, hari yang penuh kegembiraan, dan kebahagiaan. Kegembiraan berupa kesempatan untuk menyelesaikan bulan Ramadan ini dengan beramal. Kebahagiaan berupa kemampuan untuk menjalankan puasa yang telah Allah Ta’ala wajibkan.

Ma’asyiral muslimin, jemaah Salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala.

Di dalam merayakan hari raya Idul Fitri yang penuh berkah ini, syariat telah memberikan begitu banyak tuntunan dan petunjuk yang disunahkan untuk kita lakukan. Bahkan ada beberapa amalan yang sangat ditekankan untuk dilakukan di hari raya ini. Sayangnya, masih banyak sekali kekeliruan-kekeliruan yang terjadi di masyarakat kita saat merayakan Idul Fitri.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah, pada kesempatan kali ini kita akan membahas bersama 6 kekeliruan yang sering terjadi pada masyarakat kita saat merayakan hari raya Idul Fitri.

Kesalahan pertama: salah dalam memaknai Idul Fitri

Banyak masyarakat kita menganggap makna Idul Fitri adalah ‘kembali suci’. Selain itu, mereka juga berkeyakinan bahwa ketika Idul Fitri, semua muslim dosanya diampuni. Kedua anggapan ini tidak tepat.

Pertama, Idul Fitri berasal dari dua kata; ‘ied (Arab: عيد) dan al-fitr (Arab: الفطر ).

Kata ‘ied secara bahasa berasal dari kata ‘aadaya’uudu (Arab: عاد – يعود), yang artinya kembali. Hari raya disebut ‘ied karena hari raya terjadi secara berulang-ulang, dimeriahkan setiap tahun, dan pada waktu yang sama.

Sedangkan kata al-fitr berasal dari kata aftharayufthiru (Arab: أفطر – يفطر ), yang artinya berbuka atau tidak lagi berpuasa. Berbeda dengan anggapan kebanyakan orang Indonesia. Seringkali memaknainya dengan ‘fitrah’ dan ini jelas salah. Kedua kata tersebut memiliki makna berbeda dan penggunaannya pun berbeda. Oleh karena itu, perayaan ini disebut Idul Fitri karena hari raya ini dimeriahkan bersamaan dengan keadaan kaum muslimin yang tidak lagi berpuasa Ramadan.

Kedua, konsekuensi dari kesalahan mengartikan Idul Fitri ini berakibat pada anggapan bahwa seluruh kaum muslimin di hari raya ini ‘kembali suci’ atau ‘suci seperti bayi’. Maksudnya, diampuni dosanya sebagaimana bayi yang baru lahir.

Keyakinan semacam ini termasuk kekeliruan yang sangat fatal. Berkeyakinan bahwa semua orang yang menjalankan puasa Ramadan dosanya diampuni dan menjadi suci, sama dengan memastikan bahwa seluruh amal puasa kaum muslimin telah diterima oleh Allah Ta’ala. Menganggap bahwa puasanya menjadi kaffarah (penghapus) terhadap semua dosa yang meraka lakukan, baik dosa besar maupun dosa kecil. Padahal tidak ada orang yang bisa memastikan hal ini karena tidak ada satu pun makhluk yang tahu apakah amalnya diterima oleh Allah Ta’ala ataukah tidak. Bahkan para sahabat sekali pun tidak pernah merasa yakin bahwa amal mereka di bulan Ramadan ini diterima oleh Allah Ta’ala. Mu’alla bin Fadl mengatakan,

كانوا يدعون الله تعالى ستة أشهر أن يبلغهم رمضان يدعونه ستة أشهر أن يتقبل منهم

“Dulu para sahabat, selama enam bulan sebelum datang bulan Ramadan, mereka berdoa agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadan. Kemudian, selama enam bulan sesudah Ramadan, mereka berdoa agar Allah menerima amal mereka ketika di bulan Ramadan” (Lathaiful Ma›arif, Ibnu Rajab, hal. 264).

Kesalahan kedua: berkeyakinan adanya syariat mengisi malam ‘Ied dengan ibadah khusus

Anggapan ini termasuk bidah dan tidak ada dalil dari Rasulullah Shalllallahu ‘alaihi wasallam. Adapun riwayat yang menjelaskan tentang amalan di malam ‘Ied,

من أحيا ليلة العيد لم يمت قلبه يوم تموت القلوب

“Siapa yang menghidupkan malam ‘Ied, hatinya tidak akan mati saat banyak hati yang mati”

Hadis ini lemah dan tidak sahih. Sumbernya berasal dari dua riwayat, salah satunya maudhu’ (palsu) dan yang satu lagi sangat lemah sekali. (Lihat Silsilah Al-Ahadits Ad-Dhaifah wal Maudhu’ah, karya Syekh Al-Albany, 520-521).

Oleh karena itu, tidak disyariatkan mengkhususkan malam ‘Ied dengan mendirikan salat malam dibandingkan dengan malam-malam lainnya. Kecuali kalau orang tersebut memang terbiasa melakukan salat malam pada selain malam ‘Ied.

Kesalahan ketiga: mengkhususkan ziarah kubur pada hari raya

Hal ini bertentangan dengan tujuan dan syiar di hari raya, yaitu mengisinya dengan kegembiraan dan kesenangan. Di sisi lain, hal ini juga bertentangan dengan petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang umatnya dari menjadikan kubur sebagai ‘Ied (perayaan) karena mengkhususkan ziarah kubur di momen hari raya ini termasuk dalam makna menjadikannya sebagai ‘Ied. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya,

“Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai pemakaman, dan janganlah kalian jadikan makamku sebagai ‘Ied (tempat perayaan). Serta ucapkanlah selawat untukku, karena sesungguhnya ucapan selawat kalian akan sampai kepadaku di mana saja kalian berada” (HR. Abu Daud dengan sanad hasan, dan para perawinya ṡiqāt).

Di dalam hadis tersebut, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan tegas melarang umatnya menjadikan makamnya sebagai ‘Ied. Lalu bagaimana dengan kuburan yang lain? Tentu saja hukumnya lebih ditekankan lagi dan larangannya lebih tegas.

Kesalahan keempat: melalaikan salat berjamaah dan meninggalkan salat subuh karena begadang di malam harinya

Sangat disayangkan, perkara ini seringkali diremehkan oleh sebagian kaum muslimin. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ أَثْقَلَ صَلاةٍ عَلَى الْمُنَافِقِينَ صَلاةُ الْعِشَاءِ وَصَلاةُ الْفَجْرِ وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا وَلَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِالصَّلاةِ فَتُقَامَ ثُمَّ آمُرَ رَجُلا فَيُصَلِّيَ بِالنَّاسِ ثُمَّ أَنْطَلِقَ مَعِي بِرِجَالٍ مَعَهُمْ حُزَمٌ مِنْ حَطَبٍ إِلَى قَوْمٍ لا يَشْهَدُونَ الصَّلاةَ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ بِالنَّار

“Salat yang paling berat bagi orang-orang munafik adalah salat Isya dan salat Fajar. Seandainya mereka tahu keutamaan yang terdapat di dalamnya, niscaya mereka akan mendatanginya walaupun dengan merangkak. Sungguh aku ingin memerintahkan salat dimulai dan aku minta seseorang menjadi imam salat. Sedangkan aku pergi bersama beberapa orang yang membawa kayu bakar menuju suatu kaum yang tidak hadir salat, lalu aku bakar rumah-rumah mereka dengan api” (HR. Muslim no. 651).

Di hadis yang lain, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة فمن تركها فقد كفر

“Janji antara kami dan mereka adalah salat. Siapa yang meninggalkannya, maka sungguh dia telah kafir” (HR. Tirmizi no. 2621, An-Nasa’i no. 463. Dinyatakan sahih oleh Al-Albany dalam Shahih Tirmizi).

Kesalahan kelima: bercampur baur dan berdesak-desakan antara laki-laki dan wanita di tempat salat, jalan-jalan, atau selainnya

Allah Ta’ala berfirman,

ولا تقربوا الزنى إنه كان فاحشة وساء سبيلا

“Dan janganlah kamu mendekati zina, itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk” (QS. Al-Isra’: 32).

Saat menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,

“Allah Ta’ala melarang hamba-hamba-Nya dari perbuatan zina dan perbuatan yang mendekatkan kepada zina, yaitu ber-ikhtilath (bercampur-baur) dengan sebab-sebabnya dan segala hal yang mendorong kepada zina tersebut” (Umdatut Tafsir, 2: 428).

Oleh karena itu, yang bisa dilakukan seorang laki-laki hendaknya ia tidak langsung pulang dari tempat salat atau masjid sebelum kaum wanita telah pulang terlebih dahulu.

Kesalahan keenam: keluarnya sebagian wanita dalam keadaan memakai wewangian, berhias, dan terbuka auratnya

Sungguh ini termasuk pelanggaran yang sering terjadi, dan termasuk perkara yang sering diremehkan orang-orang. Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لِيَجِدُوا مِنْ رِيحِهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ

“Siapa saja wanita yang memakai wewangian, lalu melewati sebuah kaum agar mereka mencium wanginya, maka dia telah berzina”. (HR. Nasa’i no. 5126; Tirmizi no. 2786. Dinyatakan hasan oleh Al-Albany dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib, no. 2019).

Para orang tua dan para suami hendaknya tegas di dalam perkara ini, wajib hukumnya untuk mengarahkan anak-anak perempuan serta istrinya agar tidak berbuat hal tersebut, serta mengambil tindakan apabila diperlukan.

Jamaah salat Jumat yang berbahagia.

Akhir kata, hari raya Idul Fitri yang akan kita rayakan ini termasuk salah satu nikmat Allah Ta’ala yang patut kita syukuri. Bermaksiat kepada-Nya dan menyalahi syariat-Nya bukanlah termasuk bentuk rasa syukur kepada Allah Ta’ala yang telah memberikan nikmat.

Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita salah satu hambanya yang bisa menikmati perayaan Idul Fitri ini dengan hati yang bersih, jauh dari keteledoran, kekeliruan, dan bisa memberikan kebahagiaan ini untuk orang lain.

Wallahu a’lam bisshowaab.

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Khotbah Kedua

اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ،

فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا،

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ،

اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.

اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى

اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ

رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.

وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/74868-khotbah-jumat-6-kekeliruan-dalam-merayakan-idul-fitri.html