Pengorbanan Butuh Nyali: (Keutamaan 10 Hari Awal Dzulhijjah)

AGAMA selalu memberikan pelajaran yang luar biasa. Agar tanaman berbunga dan berbuah indah. Disiram dengan teratur dan dijaga dari rerumputan liar, butuh keringat yang dicucurkan.

Perahu agar sampai ke dermaga butuh gelombang, terkadang gelombang itu menghempas, maka butuh hati yang tenang dan kesabaran untuk tetap kokoh dalam hempasannya. Untuk medapatkan mutiara, ia harus tenggelam ke dasar laut, berjuang dengan segala makhluk laut dengan kitaran karang-karang yang tajam.

Demikian pula, untuk mendapatkan Lailatur Qadar, ia harus bertirakat untuk tidak makan dan minum (puasa), beriktikaf, berzakat (mensucikan diri), bahkan untuk memasuki bulan yang di dalamnya ada malam seribu bulan ia dianjurkan mempersiapkan dua bulan sebelumnya (Rajab dan Sya’ban).

Setiap kali akan bertemu dengan hari-hari istimewa, umat Islam selalu diajurkan untuk tirakat (berpuasa, dan melakukan berbagai amalan lainnya). Mensucikan tubuh dan batin sebelum tawajjuh.

Bagaimana dengan beberapa hari ini, al-‘Asyra al-Awail (10 hari pertama) Dzu al-Hijjah? Sembilan hari sebelum menuju tanggal 10 bulan Dzulhijjah dianjurkan untuk mempersiapkan diri dengan mengurai pikir, menguatkan hati, berlatih bersabar, beradaptasi dengan segala kebaikan, berpositif dengan segala cobaan, men-tadabburi tanda-tanda alam, berishlah dengan keterpurukan, tersenyum dalam kegetiran.

Persiapan ini tidak hanya untuk tanggal 10, tapi bulan ini adalah bulan yang sangat istimewa, karena segala ibadah terhimpun di sini; Salat, Sedekah, Puasa, dan haji.

Di bulan ini; Islam disempurnakan, haji dikibarkan, darah-darah korban ditumpahkan (udhhiyyah), muktamar umat Islam terbesar (Arafah) dilaksanakan, simbol syaitan diperangi (ramyu Jamarat), kasih sayang diperjuangkan (Sa’i), menuju Tuhan diistiqamahkan (Thawaf). Peristiwa lainnya di bulan ini, taubat Nabi Adam diterima (1 Dzulhijjah), Nabi Yunus keluar dari ikan (2 Dzulhijjah), Munajat Nabi Zakaria terkabul (3 Dzulhijjah), Nabi Isa dilahirkan (4 Dzulhijjah), Nabi Musa dilahirkan (5 Dzulhijjah), 6 Dzulhijjah kemenangan Nabi Muhammad dalam ajaran tauhid (fatahallah Abwab khairat), pintu neraka ditutup (7 Dzulhijjah), Nabi Ibrahim diminta membangun Ka’bah (8 Dzulhijjah), Keyakinan Nabi Ibrahim akan perintah mengorbankan putranya (9 Dzulhijjah), dan masih banyak peristiwa luar biasa di bulan ini.

“Wal Fajri” istimewa…! Untuk menegaskan betapa hari-hari ini (sepuluh hari di Dzulhijjah) sesuatu yang istimewa “Demi fajar, dan malam yang sepuluh” (Qs. Al Fajr: 1-2). (Ikhtilaf mufassir dalam ayat ini). “Tidak ada hari yang amal saleh lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari yang sepuluh ini.” Para sahabat bertanya: “Apakah lebih baik daripada jihad fii sabiilillaah ?” Beliau bersabda, “Iya. Lebih baik daripada jihad fii sabiilillaah, kecuali seseorang yang keluar berjihad dengan harta dan jiwa raganya kemudian dia tidak pernah kembali lagi (mati).” (HR. Al Bukhari)

Persiapan menuju hari-hari indah itu adalah dengan melakukan beberapa kesunnahan yang dianjurkan; berpuasa, terutama tanggal 9 Dzulhijjah, memperbanyak salat sunnah (nawafil), bertakbir dan berzikir, bertaubat pada Allah, memperbanyak amal saleh; silaturahmi, birrul waalidain (berbuat baik kepada orang tua), sedekah, menghibur orang yang tertimpa musibah, membaca Alquran, memenuhi kebutuhan kaum Muslimin dan amal-amal baik lainnya. Pada tanggal 10 Dzulhijjah salat Idul Adha dilanjutkan dengan berkorban (Udhhiyyah).

Mudah-mudahan kita mampu menjalani hari-hari ini dengan bunga-bunga kebaikan untuk mendapatkan buah-buah keindahan. Billahi al-Taufiq./*Dr Hamili Zuhdy

HIDAYATULLAH

Hukum Menggabungkan Niat Akikah dan Kurban

Bagaimana hukum menggabungkan niat akikah dan kurban? Apakah boleh menggabungkan dua niat itu? Atau tidak boleh bergabung antara akikah dan kurban?

Jawaban persoalan ini ada dua hukum. Seperti dikutip dari Mubadalah.id,  jika merujuk pada ilmu fiqh tentang hukum menggabungkan niat akikah dan kurban, maka hukumnya terbagi menjadi dua, tidak boleh dan boleh.

Hukum Menggabungkan Niat Akikah dan Kurban

Ketidak bolehan menggabungkan niat akikah dan kurban itu merujuk pada ulama fiqh, Imam Ibnu Hajar Alhaitami dalam kitab Tuhfatul Muhtaj yang mengatakan bahwa niat kurban dan akikah tidak boleh bergabung dalam satu amalan saja.

Hal ini, menurut dia, karena meski jenis dan praktik keduanya sama, yaitu sama-sama menyembelih hewan, namun tujuan keduanya berbeda.

Kurban bertujuan untuk mensyukuri nikmat hidup, sementara akikah untuk mensyukuri kelahiran anak. Jika keduanya bergabung, maka hanya mendapat pahala salah satunya saja.

وظاهر كلام الاصحاب انه لو نوى بشاة الاضحية والعقيقة لم تحصل واحدة منهما وهو ظاهر لان كلا منهما سنة مقصودة

Artinya : Perkataan yang jelas dari Ashab (ulama Syafiiyah), bahwa jika seseorang menyembelih satu ekor kambing dengan niat kurban dan akikah, maka pahala salah satunya tidak berpahala. Hal ini sudah jelas karena keduanya sama-sama ada tuntutan untuk melakukannya.

Pendapat Boleh Menggabungkan Niat Akikah dan Kurban

Sedangkan ulama fiqh yang menyebutkan kebolehan menyatukan niat akikah dan kurban itu seperti terungkapkan oleh Imam Hasan Al Basri.

Dia menyebutkan bahwa kurban dan akikah boleh gabung  dengan hanya menyembelih satu ekor hewan saja.

Dengan demikian, orang yang belum akikah kemudian dia berkurban, maka kurbannya tersebut sudah cukup.  Artinya, tanpa perlu melakukan akikah di kemudian hari.

Imam Hasan Al Basri juga menjelaskan kebolehan itu berdasarkan karena kurban dan akikah memiliki kesamaan jenis dan tujuan, yaitu menyembelih hewan dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah.

Sehingga niat keduanya bisa bergabung dan bersatu dalam satu amalan ibadah saja.

Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dalam kitab Almushannaf sebagai berikut;

عن الحسن قال: اذا ضحوا عن الغلام فقد اجزأت عنه عن العقيقة

Artinya : Dari Imam Hasan Albasri, dia berkata; Jika mereka berkurban untuk anaknya, maka kurbannya tersebut sudah cukup tanpa perlu mengakikahi lagi.

Dari uraian di atas, maka dapat tersimpulakn, jika mengikuti pendapat Imam Hasan Albasri, maka kurban dan akikah boleh bergabung dengan hanya menyembelih satu ekor hewan, serta mendapatkan dua pahala sekaligus.

Sementara itu, menurut Imam Ibnu Hajar Alhaitami, jika keduanya bersatu (gabung)  maka hanya mendapat pahala salah satunya. 

Tulisan ini telah diterbitkan di Mudalah.id

BINCANG SYARIAH

11 Ketentuan yang Perlu Diketahui Saat Ibadah Qurban Idul Adha

Qurban Rasulullah untuk seluruh umatnya, siapa tidak mampu berkurban, ia akan meraih pahala dari orang yang berkurban. Inilah ketentuan ibadah qurban yang perlu diketahui umat Islam

QURBAN adalah menyembelih kambing (domba) sebagai pengorbanan pada hari Idul Adha, dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Hukumnya adalah sunnah yang diwajibkan bagi setiap keluarga muslim yang mampu untuk melakukannya, sebagaimana firman Allah:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu; dan berkurbanlah.” (QS: Al-Kautsar [108]: 2).

Sabda Nabi:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Barang siapa yang menyembelihnya sebelum shalat (Id), maka hendaklah ia mengulangi.” (HR. Al-Bukhâri, Muslim, dan An-Nasa’i).

كَيْفَ كَانَتْ الضَّحَايَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ فَقَالَ : كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ

“Bagaimanakah Qurban yg dilaksanakan di masa Rasulullah ﷺ? Ia menjawab: Seseorang berkurban dengan seekor kambing atas dirinya dan ahlu baitnya (keluarganya). “ (HR: Tirmidzi)

Keutamaan Qurban

Dalam As-Sunnah dijelaskan bahwa berkurban memiliki keutamaan yang agung. Rasulullah ﷺ bersabda;

مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ، إِنَّهُ لَيَأْتِي يَوْمَ القِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلاَفِهَا، وَأَنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنَ اللهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ مِنَ الأَرْضِ، فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا

“Tidak ada amalan yang dilakukan oleh manusia pada hari penyembelihan (Idul Adha) yang lebih dicintai oleh Allah selain daripada mengucurkan darah (hewan qurban) karena sesungguhnya, ia (hewan qurban) akan datang pada hari kiamat dengan tanduk, bulu, dan kukunya. Dan sungguh, darah tersebut akan sampai kepada Allah sebelum tetesan darah tersebut jatuh ke bumi. Maka, bersihkanlah jiwa kalian dengan berkurban!” (HR: At-Tirmidzi).

Ketentuan – ketentuan seputar Ibadah Qurban

Usia

Islam telah memberikan ketentuan tentang usia hewan untuk qurban. Kambing untuk qurban tidak boleh kurang dari Al-Jidz’u (tidak genap satu tahun, atau mendekati satu tahun). Selain kambing, seperti biri-biri, unta atau sapi tidak kurang dari dua tahun.

Khusus untuk biri-biri, hendaknya berusia satu tahun dan masuk pada tahun kedua. Adapun unta dipilih yang berumur empat tahun dan memasuki tahun ke lima, dan sapi berumur dua tahun dan memasuki tahun ketiga, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits:

لاَ تَذْبَحُوا إِلاَّ مُسِنَّةً إِلاَّ أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوا الْجَذَعَةَ مِنَ الضَّأْنِ

“Janganlah kalian menyembelih (qurban) kecuali musinnah. Kecuali apabila itu menyulitkan bagi kalian maka kalian boleh menyembelih domba jadza’ah.” (HR: Muslim, 1963). Musinnah adalah hewan yang berumur dua tahun.

Terbebas dari kurus dan cacat

Ketentuan lain terkait hewan qurban yaitu, tidak diperbolehkan berkurban kecuali dengan binatang yang terbebas dari kecacatan dalam penciptaannya. Tidak boleh yang buta sebelah matanya, yang pincang, tidak al-‘udhbâ’ (yang pecah tanduknya, atau yang di potong telinganya dari aslinya) tidak yang sakit, tidak yang al-‘ajafâ’ (yang kurus atau tidak bersumsum), sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits:

مرضها، ((أربع لا تجوز في الأضاحي: العوراء البيـن عورها، والمريضة البين والعرجاء البين ضلعها، والكسيرة التي لا تن

“Ada empat macam yang tidak boleh ada pada hewan qurban; buta sebelah yang jelas butanya, yang sakit jelas sakitnya, yang pincang jelas pincangnya, dan hewan yang tidak mempunyai sumsum.” (HR. Abu Dâud: 2802, dan Imâm Ahmad: 4/300). Adapun yang dimaksud tidak memiliki sumsum adalah hewan yang tidak ada sumsum pada tulangnya, hewan yang sangat kurus.

Hewan yang paling utama

Hewan qurban yang paling diutamakan ialah kambing yang bertanduk, yang berwarna putih campur hitam (belang) di antara kedua mata dan kakinya. Sifat hewan seperti inilah yang disukai Rasulullah ﷺ. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits bahwa ‘Aisyah pernah menuturkan, “Sesungguhnya Nabi berkurban dengan domba yang bertanduk dan bulu kaki-kakinya warnanya merata hitam dan disekitar matanya berwarna putih.” (HR. At-Tirmidzi dan dia menshahihkannya)

Waktu penyembelihan

Waktu menyembelih hewan qurban adalah pagi hari di hari Idul Adha, yakni setelah selesai melaksanakan shalat Id. Tidak diperbolehkan menyembelih sebelum melaksanakan shalat Id, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits:

((من ذبح قبل الصلاة فإنما يذبح لنفسـه ومن ذبح بعد الصلاة فقد تم نسكه

وأصاب سنة المسلمين))

“Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat (Id) maka sesungguhnya ia menyembelih untuk dirinya, dan barangsiapa yang menyembelih setelah shalat (Id), maka sempurnalah amalannya dan mengikuti sunnah umat muslimin.” (HR: Al-Bukhâri: 7/128, 131).

“Penyembelihan hewan qurban tidak boleh diakhirki tiga hari dari hari ld.”

Adapun setelah hari Id, maka itu diperbolehkan untuk mengakhirkannya pada hari kedua dan ketiga setelah shalat Id sebagaimana dijelaskan dalam sebuah riwayat, “Semua hari tasyriq adalah waktu untuk menyembelih.”  (Diriwayatkan oleh Imâm Ahmad: 4/82, di dalam sanadnya ada catatan, namun ada sebuah atsar dari Ali bin Abi Thâlib, Ibnu Abbâs, dan shahabat lainnya yang menguatkan. Dan Imam Mâlik dan Abu Hanifah berkata: bahwa hadits ini diriwayatkan dari Umar dan anaknya (Abdullah bin Umar):

Hal-hal yang dianjurkan ketika menyembelih

Ketika menyembelih dianjurkan untuk menghadapkan hewan ke arah kiblat sambil mengucapkan:

إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنْ الْمُشْرِكِينَ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ

“Sesungguhnya aku telah menghadapkan wajahku kepada Dzat yang telah menciptakan langit dan bumi di atas agama Ibrahim dengan lurus, dan aku bukan termasuk orang-orang yang berbuat syirik. Sesungguhnya salatku, ibadahku, serta hidup dan matiku adalah untuk Allah Tuhan semesta alam, tidak ada sekutu bagiNya, dengan itu aku diperintahkan, dan aku termasuk orang yang pertama-tama menyerahkan diri.”

Diharuskan membaca doa ketika hendak menyembelih:

((بسم الله والله أكبر)

“Dengan menyembut nama Allah, dan Allah Mahabesar”

Mewakilkan Qurban

Dalam ketentuan qurban, seorang muslim dianjurkan menyembelih oleh dirinya sendiri, dan boleh diwakilkan dalam penyembelihan karena tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama.

Pembagian daging Qurban

Pembagian daging hewan qurban juga memiliki ketentuannya sendiri. Daging qurban dianjurkan dibagi menjadi tiga bagian; sepertiga untuk diberikan (dimakan) keluarganya, sepertiga untuk sedekah, dan sepertiga untuk diberikan kepada shahabat. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ,

كلوا وادخروا وتصدقوا

“Makanlah oleh kalian, simpanlah, dan sedekahkanlah.” (HR: Abu Dâud: 10, dan An-Nasa`i: 37).

Diperbolehkan mensedekahkan seluruhnya, dan juga diperbolehkan untuk tidak menghadiahkannya sedikitpun.

Upah bagi penyembelih

Kita tidak diperbolehkan memberikan upah kepada yang menyembelih hewan qurban dari bagian hewan Qurban itu. Sebagaimana perkataan Ali, “Rasulullah ﷺ memerintahkan kepadaku untuk mengurusi untanya, dan aku diperintahkan untuk mensedekahkan dagingnya, kulitnya, dan untuk tidak memberikan kepada penyembelihnya (menanganinya) upah sedikitpun. Lalu ia mengatakan, kami memberinya upah dari apa yang kami miliki.” (HR. Muslim: 954, Abu Dâud: 1769, Imâm Ahmad: 1/123, dan Ibnu Majah: 3099).

Sahkah satu sekeluarga berkurban dengan satu ekor kambing?

Sah Qurban satu keluarga berupa seekor kambing meskipun ada. beberapa orang dalam keluarga tersebut. Sebagaimana penuturan Abu Ayyub Al-Anshari berkata.

أَنَّ أَبَا أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيَّ قَالَ كُنَّا نُضَحِّي بِالشَّاةِ الْوَاحِدَةِ يَذْبَحُهَا الرَّجُلُ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ. ثُمَّ تَبَاهَى النَّاسُ بَعْدُ فَصَارَتْ مُبَاهَاة

Artinya: “Sesungguhnya Abu Ayyub al-Anshari berkata, Kami dahulu berkurban dengan satu kambing, disembelih seseorang untuk dirinya dan keluarganya, kemudian manusia setelahnya saling membanggakan diri maka menjadi ajang saling membanggakan (bukan ibadah).” (HR Imam Malik bin Anas).

“Adalah seorang laki-laki di zaman Rasulullah berkurban dengan seekor kambing atas nama dirinya dan keluarganya.” (HR. At-Tirmidzi telah ditkhrij sebelumnya).

Hal-hal yang harus dihindari ketika berazam untuk berkurban

Orang yang hendak berkurban sangat dimakruhkan untuk memotong rambut atau kukunya walau sedikit. Demikian ini, apabila telah nampak hilal bulan Dzulhijjah sampai datang waktu penyembelihan hewan Qurban, sebagaimana sabda nabi:

0 ((إذا رأيتم هلال ذي الحجة وأراد أحدكم أن يضحي فليمسـك عن شعره

وأظفاره حتى يضحى))

“Apabila kalian telah melihat hilal bulan Dzulhijjah dan salah seorang diantara kalian hendak berkurban maka hendaklah ia menahan (tidak memotong) rambutnya dan kukunya hingga ia berkurban.” (HR. Muslim: 41)

Qurban Rasulullah untuk seluruh umatnya. Barangsiapa tidak mampu berkurban, maka ia akan meraih pahala dari orang-orang yang berkurban. Sebagaimana sabda Rasulullah:

((اللهم هذا عني وعمن لم يضح من أمتي)) O

“Ya Allah, ini (hewan Qurban) dariku dan dari yang tidak (mampu) berkurban dari umatku.” (HR. Al-Hâkim: 4/228).*/Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri, Minhajul Muslim (Pedoman Hidup Ideal Seorang Muslim)

HIDAYATULLAH

Dalil Qurban dalam Al-Qur’an dan Sunnah

Terdapat pelbagai dalil qurban dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Berdasarkan dalil qurban yang ada dalam Al-Qur’an dan sunnah atau hadis-hadis Nabi Saw, para ulama telah sepakat bahwa berkurban dengan menyembelih hewan ternak di hari Idul Adha dan hari-hari tasyriq merupakan perkara yang disyariatkan dalam Islam.

Dalil Qurban dalam Al-Qur’an

Di dalam kitab Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Syaikh Wahbah Al-Zuhaili menyebutkan dalil-dalil Al-Quran dan hadis-hadis Nabi Saw yang menjadi dasar pensyariatan kurban. Adapun yang berdasarkan Al-Quran, beliau menyebutkan dua ayat sebagai dalil. Yaitu surah Al-Kautsar ayat 2 berikut;

Maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah).

Kemudian surah Al-Hajj ayat 36 berikut;

وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ

Dan telah kami jadikan untuk kalian unta-unta itu sebagian dari syiar Allah.

Dalil Qurban dalam Sunnah

Adapun mengenai dalil yang bersumber dari hadis-hadis Nabi Saw, beliau menyebutkan dua hadis Nabi Saw. Hadis pertama bersumber dari Sayidah Aisyah, Nabi Saw bersabda;

مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ، إِنَّهُ لَيَأْتِي يَوْمَ القِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلاَفِهَا، وَأَنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنَ اللهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ مِنَ الأَرْضِ، فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا

Tidak ada amalan yang dilakukan oleh manusia pada hari Nahr yang lebih dicintai oleh Allah selain daripada mengucurkan darah (hewan kurban). Sesungguhnya, ia (hewan kurban) akan datang pada hari kiamat dengan tanduk, bulu, dan kukunya.

Dan sungguh, darah tersebut akan sampai kepada Allah sebelum tetesan darah tersebut jatuh ke bumi. Maka, bersihkanlah jiwa kalian dengan berkurban.

Juga hadis riwayat Imam Al-Bukhari dari Anas bin Malik, dia berkata;

ضَحَّى النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ بكَبْشينِ أمْلَحَيْنِ أقْرَنَيْنِ، ذَبَحَهُما بيَدِهِ، وسَمَّى وكَبَّرَ، ووَضَعَ رِجْلَهُ علَى صِفَاحِهِمَا

Nabi Saw berkurban dengan dua kambing gemuk dan bertanduk. Beliau menyembelih sendiri kedua kambing itu. Beliau membaca basmalah, bertakbir, dan meletakkan kakinya di atas pundak kedua kambing itu.

Selain kedua hadis di atas, terdapat pula hadis-hadis lain yang menjadi dasar pensyariatan kurban. Di antaranya adalah hadis riwayat Imam Muslim dari Ummu Salamah, Nabi Saw bersabda;

إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِى الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ

Jika kalian telah menyaksikan hilal Dzul Hijjah (maksudnya telah memasuki satu Dzul Hijjah) dan salah satu dari kalian ingin berkurban, maka hendaklah  membiarkan rambut dan kukunya.

Juga hadis riwayat Imam Ahmad dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah, Nabi Saw. bersabda;

مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ يُضَحِّ فَلا يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا

Barangsiapa mendapatkan kelapangan tetapi tidak berkurban, maka janganlah dia mendekati tempat salat kami.

Berdasarkan dalil Al-Qur’an dan hadis-hadis di atas, para ulama telah sepakat bahwa berkurban di hari Idul Adha atau hari-hari tasyriq merupakan syariat Islam. Telah terjadi ijma’ di antara para ulama mengenai pensyariatan kurban ini sehingga tidak ada seorang pun yang boleh mengingkarinya.

Demikian penjelasan dalil qurban dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Semoga dalil yang dikemukan tentang qurban dalam Al-Qur’an dan Sunnah. 

BINCANG SYARIAH

Hukum Qurban Bergilir Antar Anggota Keluarga

Kebiasaan qurban bergilir ini marak di masyarakat kita. Yaitu misalnya satu keluarga terdiri dari suami, istri dan dua anak. Maka tahun ini yang berqurban suami, tahun depan istri, tahun setelahnya anak pertama, tahun setelahnya lagi anak kedua, dan seterusnya. Ini menjadi hal yang unik, karena kami belum mendapatkan hal seperti ini di kitab-kitab fikih.

Dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam selalu berqurban setiap tahun. Namun tidak dinukil riwayat bahwasanya beliau mempergilirkan qurban, kepada istri-istrinya dan anak-anaknya. Bahkan beliau menganggap qurban beliau sudah mencukupi seluruh keluarganya. Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, beliau berkata:

ضحَّى رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ بكبشَيْنِ أقرنيْنِ أملحيْنِ أحدِهما عنهُ وعن أهلِ بيتِه والآخرِ عنهُ وعمَّن لم يُضَحِّ من أمَّتِه

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berqurban dengan dua domba gemuk yang bertanduk salah satunya untuk diri beliau dan keluarganya dan yang lain untuk orang-orang yang tidak berqurban dari umatnya” (HR. Ibnu Majah no.3122, dihasankan oleh Al Albani dalam Irwaul Ghalil [4/353]).

Demikian juga para sahabat Nabi, yang berkurban di antara mereka adalah para kepala keluarga, dan mereka juga tidak mempergilirkan qurban pada anak dan istri mereka. Dari Abu Ayyub Al Anshari radhiallahu’anhu, ia berkata:

كانَ الرَّجلُ في عَهدِ النَّبيِّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ يُضحِّي بالشَّاةِ عنهُ وعن أَهلِ بيتِهِ فيأْكلونَ ويَطعَمونَ ثمَّ تباهى النَّاسُ فصارَ كما ترى

“Dahulu di masa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, SEORANG LELAKI berqurban dengan satu kambing yang disembelih untuk dirinya dan keluarganya. Mereka makan dan sembelihan tersebut dan memberi makan orang lain.

Kemudian setelah itu orang-orang mulai berbangga-bangga (dengan banyaknya hewan qurban) sebagaimana engkau lihat” (HR. Tirmidzi no.1505, Ibnu Majah no. 3147, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah).

Syaikh Ibnu Al Utsaimin ditanya: “apakah setiap anggota keluarga dituntut untuk berqurban atas diri mereka masing-masing?”. Beliau menjawab: لا.السنة أن يضحي رب البيت

عمن في البيت، لا أن كل واحد من أهل البيت يضحي، ودليل ذلك أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ضحى بشاة واحدة عنه وعن أهل بيته، وقال أبو أيوب الأنصاري رضي الله عنه: ( كان الرجل على عهد النبي صلى الله عليه وسلم يضحي بالشاة عنه وعن أهل بيته ) ولو كان مشروعاً لكل واحد من أهل البيت أن يضحي لكان ذلك ثابتاً في السنة، ومعلوم أن زوجات الرسول عليه الصلاة والسلام لم تقم واحدة منهن تضحي اكتفاء بأضحية النبي صلى الله عليه وسلم

“Tidak. Yang sesuai sunnah, kepala rumah tangga lah yang berkurban. Bukan setiap anggota keluarga. Dalilnya, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berqurban dengan satu kambing untuk dirinya dan keluarganya.

Dan Abu Ayyub Al Anshari berkata: “Dahulu di masa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, SEORANG LELAKI berqurban dengan satu kambing yang disembelih untuk dirinya dan keluarganya”.

Andaikan disyariatkan setiap anggota keluarga untuk berkurban atas dirinya masing-masing tentu sudah ada dalilnya dari sunnah Nabi. Dan kita ketahui bersama, bahwa para istri Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak ada yang berqurban, karena sudah mecukupkan diri dengan qurban Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam“. Beliau juga mengatakan:

فإن قال قائل: لعل ذلك لفقرهم؟ فالجواب: إن هذا احتمال وارد لكنه غير

متعين، بل إنه جاءت الآثار بأن من أزواج الرسول عليه الصلاة والسلام من كانت غنية

“Jika ada orang yang berkata: mungkin itu karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sangat miskin? Maka kita jawab: memang kemungkinan tersebut ada, namun tidak bisa kita pastikan. Bahkan terdapat banyak atsar yang menunjukkan bahwa para istri-istri Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam adalah orang-orang kaya“ (Durus Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, 8/5) [Versi online simak di islamport.com].

Dan perlu diperhatikan bahwa ibadah qurban ini wajib ikhlas hanya untuk meraih wajah Allah Ta’ala. Hendaknya jauhkan perasaan ingin dilihat, ingin dikenal pernah berqurban, ingin nampak namanya atau semisalnya yang merupakan riya dan bisa menghanguskan pahala amalan.

Karena terkadang alasan orang berqurban atas nama istrinya atau anaknya karena anak dan istrinya belum pernah nampak namanya dalam list shahibul qurban. Allahul musta’an. Oleh karena itulah dalam hadits Abu Ayyub di atas disebutkan:

ثمَّ تباهى النَّاسُ فصارَ كما ترى

“Kemudian setelah itu orang-orang mulai berbangga-bangga sebagaimana engkau lihat” Yaitu menjadikan ibadah qurban sebagai ajang berbangga di hadapan orang banyak. Di sisi lain, ulama Malikiyah dan sebagian ulama Syafi’iyyah mensyaratkan yang berqurban haruslah yang memberikan nafkah, barulah mencukupi untuk satu keluarga. Dalam kitab Al Muntaqa karya Al Baji disebutkan: والأصل في ذلك حديث أبي أيوب كنا

نضحي بالشاة الواحدة يذبحها الرجل عنه وعن أهل بيته زاد ابن المواز عن مالك وولديه الفقيرين قال ابن حبيب: وله أن يدخل في أضحيته من بلغ من ولده وإن كان غنيا إذا كان في نفقته وبيته

“Landasan dari hal ini adalah hadits Abu Ayyub: ‘dahulu kami biasa berqurban dengan satu kambing yang disembelih SEORANG LELAKI untuk dirinya dan keluarganya’. Dalam riwayat Ibnu Mawaz dari Malik adal tambahan: ‘dan orang tuanya dan orang fakir yang ia santuni’. Ibnu Habib mengatakan:

‘Maka boleh meniatkan qurban untuk orang lain yang bukan keluarganya, dan ia orang yang kaya, jika memang orang lain tersebut biasa ia nafkahi dan tinggal di rumahnya’” Sehingga dengan pendapat ini, jika yang berqurban adalah istri atau anak, maka qurban tidak mencukupi seluruh keluarga. Walhasil, kami bertanya kepada beberapa ulama dalam masalah ini, dengan teks pertanyaan,

“wahai Syaikh, terkait qurban. Diantara kebiasaan di negeri kami, seorang lelaki misalnya tahun ini berqurban, namun tahun depan dia tidak berqurban melainkan istrinya yang berqurban. Tahun depannya lagi anak pertamanya, dan terus demikian secara bergiliran. Apakah ini baik?”.

Syaikh Walid Saifun Nashr menjawab:

لا أعلم له أصلا “Saya tidak mengetahui ada landasan dari perbuatan ini” [Kami tanyakan melalui Whatsapp Messenger] Syaikh Dr. Aziz Farhan Al Anazi menjawab: الأصل أن على ان أهل كل بيت أضحية والذي يتولى ذلك الوالد لانه هو

المكلف بالإنفاق على زوجته واولاده

“Asalnya tuntutan untuk berqurban itu pada setiap keluarga, dan yang bertanggung-jawab untuk menunaikannya adalah suami karena dia yang wajib memberikan nafkah kepada istri-istri dan anak-anaknya” [Simak di status twitter].

Adapun mengenai keabsahan qurban jika yang berqurban bukan kepala keluarga namun salah seorang dari anggota keluarga, maka tetap sah jika syarat dan rukun qurban terpenuhi. Semisal jika istrinya yang berqurban atau anaknya, maka boleh dan tetap sah. Namun kurang utama, karena menyelisihi sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabatnya.

Wallahu a’lam. ***

Penulis: Yulian Purnama


Sumber: https://muslim.or.id/50577-hukum-qurban-bergilir-antara-anggota-keluarga.html

Bolehkah Menyerahkan atau Transfer Uang Pada Panitia Kurban?

Era sekarang, orang yang ingin berkurban menempuh jalan singkat. Mereka menyerahkan atau tranfers uang kurban untuk pantitia kurban. Panitialah yang mencari dan membeli kurban untuk mereka. Nah dalam fikih Islam bolehkah menyerahkan atau tranfers uang pada panitia kurban?

Syahdan, saban tahun umat Islam selalu merayakan Idul Adha. Populer dengan nama hari raya kurban. Dalam ajaran fikih, kurban itu menggunakan binatang ternak. Kambing untuk satu orang. Sedangkan unta dan sapi, untuk 7 orang.

Kemudian muncul persoalan, bolehkah seseorang yang ingin melakukan kurban, menyerahkan uang pada panitia kurban untuk membeli binatang kurban? Atau bolehkah ibadah kurban dilakukan menitipkan uang seharga hewan ternak kepada lembaga, institusi, panitia kurban, atau DKM masjid— melayani penitipan dan penyaluran kurban?.

Sebelum melangkah ke sana—menyalurkan uang kurban pada panitia kurban—, penting dicatat bahwa para ulama mengatakan berkurban dengan uang tidak boleh hukumnya. Kurban dalam pengertian uang, dipahami sebagai ibadah kurban dengan bersedekah uang seharga hewan ternak. Misalnya, Si Ahmad mengganti kurban sapi dengan uang 15 juta.

Kurban dalam pengertian ini tak dibenarkan. Pasalnya, kurban itu harus dengan binatang ternak. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Nawawi dalam kitab Majmu Syarah al Muhadzab, bahwa kurban hanya boleh dengan binatang ternak seperti sapi, unta, dan kambing. Imam Nawawi berkata;

أما الأحكام فشرط المجزئ في الأضحية أن يكون من الأنعام وهي الإبل والبقر والغنم سواء في ذلك جميع أنواع الإبل من البخاتي والعراب وجميع أنواع البقر من الجواميس والعراب والدربانية وجميع أنواع الغنم من الضأن والمعز وأنواعهما ولا يجزئ غير الأنعام من بقر الوحش وحميره والضبا وغيرها بلا خلاف.

Artinya: Adapun hukum berkurban, maka syarat sah dalam kurban hendaklah berupa hewan ternak, yaitu unta, sapi, kambing, sama saja untuk setiap jenis unta tersebut tidak hidup di negeri arab, maupun itu unta Arab. Dan dan juga setiap jenis sapi dari spesies sapi arab, dan sapi Durban (daerah Afrika), serta setiap jenis kambing berupa domba, kambing kacang, dan spesies kambing dari jenis keduanya. Dan tidak memadai hewan kurban selain dari binatang ternak berupa banteng, keledai, dan  selain keduanya, tanpa perselisihan pendapat.

Pada sisi lain, terkait masalah menyerahkan uang pada panitia kurban—untuk membelikan kurban—, hukumnya boleh. Hal itu sebagaimana dijelaskan dalam kitab fikih, Ia’nah al-Talibin karya ulama terkemuka Mekah yang hidup pada abad 14 Hijriyyah (atau abad 19 Masehi), bernama Sayyid Abu Bakar Utsman bin Muhammad Syatho ad-Dimyathi as-Syafi’i. Sayyid Syatho berkata;

الصواب: في فتاوى  العلامة الشيخ محمد بن سليمان الكردي محشي شرح ابن حجر على المختصر ما نصه:(سئل) رحمه الله تعالى: جرت عادة أهل بلد جاوى على توكيل من يشتري لهم النعم في مكة للعقيقة أو الأضحية ويذبحه في مكة، والحال أن من يعق أو يضحي عنه في بلد جاوى فهل يصح ذلك أو لا؟ أفتونا.

الجواب) نعم، يصح ذلك، ويجوز التوكيل في شراء الأضحية والعقيقة وفي ذبحها، ولو ببلد غير بلد المضحي والعاق كما أطلقوه فقد صرح أئمتنا بجواز توكيل من تحل ذبيحته في ذبح الأضحية، وصرحوا بجواز التوكيل أو الوصية في شراء النعم وذبحها، وأنه يستحب حضور المضحي أضحيته. ولا يجب.

Artinya: Dalam kitab Fatawa Syeikh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi Muhsyyi Syarah Ibn Hajar ‘ala al-Mukhtashar terdapat suatu pertanyaan: Beliau telah ditanya:

“Telah berlaku kebiasaan penduduk Jawa mewakilkan kepada seseorang agar membelikan binatang gternak  untuk mereka di Mekkah sebagai aqiqah atau kurban dan agar menyembelihnya di Makkah, sementara orang-orang tersebut yang melakukan ibadat tersebut berada di Jawa. Apakah hal demikian itu sah atau tidak? Mohon diberikan fatwa.

Jawabannya “Ya, demikian itu sah. Diperbolehkan mewakilkan dalam pembelian hewan kurban dan juga aqiqah dan juga penyembelihnya, sekalipun tidak dilaksanakan di negara orang yang berkurban atau beraqiqah itu.

Dan beberapa guru kami telah menjelaskan tentang diperbolehkannya mewakilkan orang yang penyembelihannya sah menurut syariat Islam dalam penyembelihan hewan kurban, dan mereka juga menjelaskan tentang diperbolehkannya mewakilkan atau berwasiat untuk membeli hewan ternak sekaligus penyembelihannya, meskipun sesungguhnya hadirnya orang yang berkurban itu hukumnya Sunnah, dan tidak wajib.

Prkatik menyerahkan uang kepada panitia kurban untuk mencari atau membelikan hewan kurban disebut dengan wakalah. Praktik wakalah diperbolehkan dalam Islam. Pasalnya praktik wakalah ini membantu manusia yang ingin berkurban. Terlebih bagi mereka yang sibuk dan tak mengerti seluk-beluk hewan. Pendapat ini sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Qudamah dalam kitab al Mughni, ia berakata;

وَأَجْمَعَتْ الْأُمَّةُ عَلَى جَوَازِ الْوَكَالَةِ فِي الْجُمْلَةِ وَلِأَنَّ الْحَاجَةَ دَاعِيَةٌ إلَى ذَلِكَ ؛ فَإِنَّهُ لَا يُمْكِنُ كُلَّ وَاحِدٍ فِعْلُ مَا يَحْتَاجُ إلَيْهِ، فَدَعَتْ الْحَاجَةُ إلَيْهَا

Artinya; Para Ulama  telah sepakat atas “boleh” wakalah secara umum, pasalnya karena adanya hajat yang menuntut adanya praktik wakalah.  Karena sesungguhnya setiap orang tidak mungkin menangani segala keperluannya sendiri, untuk itu maka ia sejatinya memerlukan perwakilan untuk memudahkan hajatnya.

Demikian penjelasan terkait bolehkah menyerahkan atau transfer uang pada panitia kurban? Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Hadits Tentang Qurban Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam

Lafaz Hadits

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الأَضْحَى بِالْمُصَلَّى فَلَمَّا قَضَى خُطْبَتَهُ نَزَلَ مِنْ مِنْبَرِهِ وَأُتِىَ بِكَبْشٍ فَذَبَحَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِيَدِهِ وَقَالَ: (( بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّى وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِى )).

“Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah radhiallahu ‘anhu bahwasanya dia berkata, “Saya menghadiri shalat idul-Adha bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di mushalla (tanah lapang). Setelah beliau berkhutbah, beliau turun dari mimbarnya dan didatangkan kepadanya seekor kambing. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelihnya dengan tangannya, sambil mengatakan: Dengan nama Allah. Allah Maha Besar. Kambing ini dariku dan dari orang-orang yang belum menyembelih di kalangan umatku

Takhrij Hadits

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya no. 11051, Imam Abu Dawud dalam Sunan-nya no. 2812, Imam At-Tirimidzi dalam Sunan-nya no. 1521 dan yang lainnya. Imam At-Tirmidzi mengatakan, “Hadits ini gharib”. Syaikh Al-Albani menshahihkan Hadits ini dalam Shahih Sunan Abi Dawud dan lainnya.

Faidah-faidah Hadits

Di antara faidah hadits ini adalah sebagai berikut:

  1. Disunnahkannya shalat idul-adha di mushalla, yaitu tanah lapang. Begitu pula dengan shalat idul-fithri.
  2. Khutbah ‘id dilakukan setelah mengerjakan shalat ‘id.
  3. Disunnahkannya mendatangkan mimbar ke mushalla (tanah lapang) dan imam berkhutbah di atasnya ketika shalat ‘id.
  4. Disunnahkan menyegerakan penyembelihan setelah shalat id selesai dan tidak ada yang menyembelih sebelum imam menyembelih.
  5. Disunnahkan menyembelih sendiri untuk orang yang berqurban dengan kambing,
  6. Satu kambing untuk penyembelihan satu orang.
  7. Disyariatkan membaca: (بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ) sebelum menyembelih.
  8. Dibolehkannya menyertakan orang lain dalam penyembelihan agar mendapatkan pahala juga, seperti keluarga dan orang-orang yang telah meninggal. Karena lafaz hadits ini umum.
  9. Sebagian ulama menjadikan hadits ini sebagai dalil bahwa berqurban tidak wajib, karena ada di antara umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak berqurban.

Syariat berqurban/Udhhiyah (الأضحية)

Allah subhanahu wa ta’ala mensyariatkan qurban. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

{ قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (162) لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ (163) }

“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)” (QS Al-An’am: 162-163)

Hukum berqurban, wajibkah?

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum berqurban. Jumhur ulama, yaitu: madzhab Imam Malik, Imam Asy-Syafii, Imam Ahmad dan yang lainnya menyatakan sunnahnya. Madzhab Imam Asy-Syafii mengatakan sunnah muakkadah (sangat ditekankan dan diusahakan tidak ditinggalkan kecuali ada ‘udzur). Sedangkan madzhab Imam Abu Hanifah mengatakan wajibnya.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

(( مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ يُضَحِّ فَلا يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا. ))

Barang siapa mendapatkan kelapangan tetapi tidak berqurban, maka janganlah dia mendekati tempat shalat kami.1

Para ulama hadits berbeda pendapat dalam menghukumi hadits ini. Dan mereka juga berbeda pendapat dalam menghukumi hadits yang diriwayatkan dari Mikhnaf bin Sulaim Al-Ghamidi radhiallahu ‘anhu:

( كُنَّا وُقُوفًا مَعَ النَّبِىِّ  صلى الله عليه وسلم بِعَرَفَاتٍ، فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ: ((يَا أَيُّهَا النَّاسُ! عَلَى كُلِّ أَهْلِ بَيْتٍ فِى كُلِّ عَامٍ أُضْحِيَّةٌ وَعَتِيرَةٌ. هَلْ تَدْرِى مَا الْعَتِيرَةُ؟ هِىَ الَّتِى تُسَمَّى الرَّجَبِيَّةُ.))

“Kami berwuquf di ‘Arafah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saya mendengar beliau berkata, ‘Wahai manusia! Setiap satu keluarga di setiap tahun harus menyembelih dan juga Al-‘Atiirah. Apakah kamu tahu apa itu Al-‘Atiirah? Dia adalah yang dinamakan Ar-Rajabiyah2.”3

Syaikh Al-Albani menshahihkan hadits ini. Syaikh ‘Abdul-Muhsin Al-Abbad mendha’ifkannya dalam penjelasan beliau terhadap Sunan Abi Dawud.

Jika ternyata kedua hadits ini shahih atau hasan, maka ini menjadi dalil yang sangat kuat untuk mengatakan bahwa hukum berqurban adalah wajib setiap tahun untuk orang yang memiliki kelapangan.

Akan tetapi terdapat atsar dari Abu Bakr, Umar bin Al-Khaththab dan Abu Mas’ud Al-Anshari radhiallahu ‘anhuma yang menunjukkan bahwa mereka berdua sengaja meninggalkan berqurban agar ibadah tersebut tidak dianggap wajib oleh kaum muslimin4.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

(( إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا.))

Jika telah masuk sepuluh hari (pertama di bulan Dzul-hijjah) dan seorang di antara kalian ingin menyembelih, maka janganlah dia mengambil sedikit pun dari rambut dan tubuhnya.”5

Wallahu a’lam bishshawab.

Sikap yang sebaiknya kita ambil dalam permasalahan seperti ini adalah bersikap hati-hati (wara’). Seandainya pendapat yang mewajibkannya benar, maka kita selamat dari dosa meninggalkannya. Kalaupun ternyata salah, maka kita telah mengerjakan amalan sunnah dan syiar Islam.

{ ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ }

Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati” (QS Al-Hajj : 32)

Apa batas kelapangan sehingga seseorang sangat dianjurkan untuk menyembelih?

Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Di dalam madzhab Imam Syafii, seseorang dikatakan memiliki kelapangan apabila dia memiliki nafkah untuk diri dan keluarga yang ditanggungnya pada hari idul-adhha dan ketiga hari tasyriq (tanggal 11, 12 dan 13 Dzul-hijjah). Allahu a’lam bishshawab. Jika semua orang yang memiliki kelapangan mau berqurban insya Allah daging qurban akan melimpah di masyarakat kaum muslimin, sehingga seluruh kaum muslimin bergembira dengan hari raya qurban ini.

Bolehkah orang yang berqurban mengikutkan pahalanya untuk keluarganya?

Boleh, sebagaimana dilakukan oleh para sahabat di zaman dahulu. Diriwayatkan dari Abu Ayyub Al-Anshari radhiallahu ‘anhu bahwasanya dia berkata:

(كَانَ الرَّجُل فِي عَهْد النَّبِيّ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْل بَيْته فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ حَتَّى تَبَاهَى النَّاس فَصَارَ كَمَا تَرَى.)

Dulu pernah ada seorang laki-laki di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih kambing untuk dirinya dan keluarga, kemudian mereka pun makan dan memberi makan (orang lain), kemudian orang-orang berlomba-lomba untuk melakukannya, hingga menjadi seperti yang engkau lihat6

Lafaz-lafaz nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hendak menyembelih hewan qurban

Diwajibkan mengucapkan (بسم الله)/bismillah ketika menyembelih dan disunnahkan menambahkannya dengan (والله أكبر)/wallahu akbar.

Ada beberapa riwayat yang menunjukkan lafaz penyembelihan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya:

  1. Hadits yang sedang kita bahas ini.
  2. (بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ)
    /Dengan nama Allah. Ya Allah terimalah dari Muhammad, keluarga Muhammad dan Umat Muhammad.7
  3. (بِسْمِ اللهِ وَاللهُ أَكْبَرُ، عَنْ مُحَمَّدٍ وَأُمَّتِهِ مَنْ شَهِدَ لَكَ بِالتَّوْحِيدِ وَشَهِدَ لِي بِالْبَلاَغِ)
    /Dengan nama Allah. Ini dari Muhammad dan umatnya yang bertauhid kepada-Mu dan bersaksi bahwa aku telah menyampaikan (risalah).8
  4. Dan ada beberapa lafaz lagi yang mirip dengan di atas, sebagian riwayatnya lemah (dha’if).

Hukum mengucapkan nama orang yang berqurban

Disunnahkan mengucapkan nama-nama orang yang berqurban jika dia mewakilkannya kepada orang lain. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib9, Ibnu ‘Abbas10, Al-Hasan Al-Bashri11 bahwa mereka menyembelih dengan mengucapkan tambahan lafaz “(اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ فُلاَنٍ)/Ya Allah terimalah dari si Fulan.” Hadits yang sedang kita bahas ini terdapat keumuman bahwa Rasulullah mengucapkan qurbannya tersebut untuk dirinya dan orang lain.

Baca juga: Kumpulan Artikel Idul Adha Dan Qurban Di Muslimah.Or.Id

Hukum berqurban untuk orang yang telah meninggal dunia

Berqurban untuk orang yang sudah meninggal dunia terbagi menjadi tiga macam:

  1. Orang yang hidup mengikutkan pahala berqurban untuk orang-orang yang telah meninggal dunia.
  2. Orang yang sebelum meninggal dunia, berwasiat untuk berqurban.
  3. Mengkhususkan hewan qurban untuk orang yang sudah meninggal dunia.

Untuk macam pertama dan kedua para ulama membolehkannya. Akan tetapi untuk macam yang ketiga terjadi perselisihan di kalangan ulama. Jumhur ulama memandang tidak bolehnya, sedangkan madzhab Imam Ahmad memandang hal tersebut diperbolehkan.

Allahu a’lam, pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang mengatakan hal tersebut diperbolehkan. Pendapat inilah yang dipegang oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah, kemudian ulama-ulama abad ini seperti: Syaikh Bin Baz dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.

Dalil yang menunjukkan hal tersebut di antaranya hadits yang sedang kita bahas ini dan hadits-hadits yang lainnya yang menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengikutkan orang-orang yang telah meninggal dunia di dalam penyembelihannya. Dalil ini bersifat umum akan kebolehan berqurban untuk orang yang telah meninggal dunia.

Berqurban untuk orang yang telah meninggal dunia termasuk jenis sedekah untuk orang yang telah meninggal dunia. Dan bersedekah untuk orang yang telah meninggal dunia diperbolehkan oleh para ulama.

Akan tetapi, orang yang berqurban untuk orang yang telah meninggal dunia, tidak boleh mengambil sedikit pun dari hewan qurban tersebut, karena dia telah meniatkannya sebagai sedekah.

Imam At-Tirmidzi berkata:

وَقَدْ رَخَّصَ بَعْضُ أَهْلِ اْلعِلْمِ أَنْ يُضَحِّىَ عَنِ الْمَيِّتِ وَلَمْ يَرَ بَعْضُهُمْ أَنْ يُضَحِّىَ عَنْه, وَقَالَ عَبْدُ اللهِ بْنِ الْمُبَارَكِ: أَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ يَتَصَدَقَ وَلَا يُضَحِّى عَنْه وَإِنْ ضَحَّى فَلَا يَأْكُلْ مِنْهَا شَيْئًا وَيَتَصَدَّقْ بِهَا كُلَّهَا

“Sebagian ahli ilmu memberikan rukhshah (keringanan) untuk berqurban untuk orang yang sudah meninggal, sebagian lagi mengatakan tidak boleh. ‘Abdullah bin Al-Mubarak berkata, ‘Yang lebih aku sukai adalah dia cukup bersedekah dan tidak berqurban. Apabila dia berqurban (untuk orang yang telah meninggal) maka dia tidak boleh makan sedikit pun darinya, dia harus mensedekahkan seluruhnya.”12

Kalau kita perhatikan perkataan Abdullah bin Al-Mubarak di atas, kita bisa memahami bahwa menyembelih untuk orang yang sudah meninggal diperbolehkan tetapi hukumnya tidak sunnah. Dan beliau lebih menyukai bersedekah untuk orang yang sudah meninggal daripada menggantikan sedekah tersebut dengan qurban. Allahu a’lam, pendapat inilah yang rajih (lebih kuat).

Demikian. Mudahan tulisan ini bermanfaat.

Catatan Kaki

1 HR Ahmad dalam Musnad-nya no. 8273, Ad-Daruquthni dalam Sunannya no. 4762 dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak 7565. Di dalam sanad Ahmad dan Al-Hakim terdapat Abdullah bin ‘Ayyasy, dia shaduq yaghlath sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam At-Taqrib, di dalam sanad Ad-Daruquthni terdapat ‘Amr bin Al-Hushain dan Ibnu ‘Ulatsah keduanya matruk. Kedua jalur yang seperti ini tidak bisa saling menguatkan sehingga dzhahir sanad hadits ini lemah. Syaikh Al-Albani mengatakan hadits ini hasan dalam Takhrij Musykilail-Faqr no. 102. Sedangkan para imam seperti At-Tirmidzi, Ibnu ‘Abdl-Barr, Al-Baihaqi dan Ibnu Hajar merajihkan hadits tersebut mauquf. (As-Sunan Al-Kubra lil-Baihaqi no. 19485, Bulughul maram).

2 Maksudnya sembelihan di awal bulan Rajab. Allahu a’lam Jumhur ulama memandang tidak disunnahkan menyembelih di bulan Rajab karena ada hadits yang menghapuskan (me-naasikh) hukumnya. Untuk penjelasan lebih lanjut silakan melihat buku-buku penjelasan (syarh) hadits ini.

3 HR Abu Dawud no. 2790, At-Tirmidzi no. 1518 dan Ibnu Majah no. 3125. Abu Dawud berkata, “Al-‘Atiirah dihapuskan hukumnya (mansukh). Khabar (hadits) ini mansukh.”

4 Lihat Ma’rifatus-Sunan wal-Atsar lil-baihaqi no. 5832 dan 5833.

5 HR Muslim no. 1977.

6 HR At-Tirmidzi no. 1505 dan Ibnu Majah no. 3147. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi.

7 HR Muslim 1967.

8 HR Musnad Abi Ya’la no. 1792.

9 Lihat Syu’abul-Iman. Imam Al-Baihaqi. Hadits no. 6958.

10 Lihat As-Sunan Al-Kubra. Imam Al-Baihaqi. Hadits no. 19642.

11 Lihat Al-Mathalib Al-‘Aliyah. Ibnu Hajar Al-‘Asqalani. Hadits no. 2367.

12 Lihat di dalam Sunan At-Tirmidzi di bawah hadits no. 1495.

Daftar Pustaka

  1. Ahkamul-Udhhiyah wadz-Dzakah. Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.
  2. Al-Mufashshal fi Ahkamil-Udhhiyah. Hisamuddin ‘Afanah.
  3. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah. Wizarah Al-Auqaf Wasy-Syu-un Al-Islamiyah.
  4. Ahadits fi Masyru’iyatil-‘Udhhiyah wal-Amru biha. www.assunnah.org.sa . tanpa disebutkan nama penulisnya.
  5. Buku-buku hadits dalam catatan kaki dan lain-lain sebagian besar sudah dicantumkan di footnotes.

Penulis: Ustadz Sa’id Ya’i Ardiansyah, Lc., M.A.

Artikel Muslimah.Or.Id

MUI Fatwakan Sholat Idul Adha dan Penyembelihan Hewan Qurban

Majelis Ulama Indonesia (MUI) fatwakan terkait teknis sholat Idul Adha dan penyembelihan hewan qurban saat wabah corona. Fatwa MUI Nomor: 36 Tahun 2020 Tentang Sholat Idul Adha dan Penyembelihan Hewan Qurban Saat Wabah Covid-19 ini telah disepakati semua pimpinan fatwa pada 15 Dzul Qa’dah1441 H/6 Juli 2020 M di Jakarta.

Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam Shaleh mengatakan, fatwa ini dibahas dan ditetapkan untuk memastikan pelaksanaan sholat idul adha dan ibadah qurban sesuai ajaran agama.

“Namun tetap menjaga keselamatan, menjaga protokol kesehatan agar tidak berpotensi menyebabkan penularan covid,” kata Asororun Niam melalui keterangan tertulisnya, Jumat (10/7).

Berikut isi lengkap fatwa MUI Nomor: 36 Tahun 2020 Tentang Sholat Idul Adha dan Penyembelihan Hewan Kurban Saat Wabah Covid-19 yang telah ditanda tangani: 

Ketentuan Hukum 

1. Sholat Idul Adha hukumnya _sunnah muakkadah_  yang menjadi salah satu syi’ar keagamaan ( _syi’ar min sya’air al-Islam_).

2. Pelaksanaan sholat Idul Adha saat wabah Covid-19 mengikuti ketentuan Fatwa MUI: 

a. Nomor 14 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah di Saat Wabah Pandemi Covid-19; 

b. Nomor 28 Tahun 2020 tentang Panduan Kaifiat Takbir dan Sholat Idul Fitri Saat Pandemi Covid-19; 

c. Nomor 31 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Sholat Jum’at dan Jamaah Untuk Mencegah Penularan Wabah Covid-19. 

3. Ibadah qurban hukumnya adalah sunnah muakkadah, dilaksanakan dengan penyembelihan hewan ternak. 

4. Ibadah qurban tidak dapat diganti dengan uang atau barang lain yang senilai, meski ada hajat dan kemaslahatan yang dituju. Apabila hal itu dilakukan, maka dihukumi sebagai shadaqah. 

5. Ibadah qurban dapat dilakukan dengan cara _taukil_, yaitu pekurban menyerahkan sejumlah dana seharga hewan ternak kepada pihak lain, baik individu maupun lembaga sebagai wakil untuk membeli hewan qurban, merawat, meniatkan, menyembelih, dan membagikan daging kurban.

6. Pelaksanaan penyembelihan hewan qurban harus tetap menjaga protokol kesehatan untuk mencegah dan meminimalisir potensi penularan, yaitu: 

a. Pihak yang terlibat dalam proses penyembelihan saling menjaga jarak fisik ( _physical distancing_) dan meminimalisir terjadinya kerumunan.

b. Selama kegiatan penyembelihan berlangsung, pihak pelaksana harus menjaga jarak fisik ( _physical distancing_), memakai masker, dan mencuci tangan dengan sabun selama di area penyembelihan, setiap akan mengantarkan daging kepada penerima, dan sebelum pulang ke rumah.

c. Penyembelihan qurban dapat dilaksanakan bekerja sama dengan rumah potong hewan dengan menjalankan ketentuan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 12 Tahun 2009 tentang Standar Sertifikasi Penyembelihan Halal. 

d. Dalam hal ketentuan pada huruf c tidak dapat dilakukan, maka penyembelihan dilakukan di area khusus dengan memastikan pelaksanaan protokol kesehatan, aspek kebersihan, dan sanitasi serta kebersihan lingkungan. 

e. Pelaksanaan penyembelihan qurban bisa mengoptimalkan keluasan waktu selama 4 (empat) hari, mulai setelah pelaksanaan shalat Idul Adha tanggal 10 Dzulhijjah hingga sebelum maghrib tanggal 13 Dzulhijjah. 

f. Pendistribusian daging qurban dilakukan dengan tetap melaksanakan protokol kesehatan. 

7. Pemerintah memfasilitasi pelaksanaan protokol kesehatan dalam menjalankan ibadah qurban agar dapat terlaksana sesuai dengan ketentuan syari’at Islam dan terhindar dari potensi penularan Covid-19.

Rekomendasi

1. Pengurus masjid perlu menyiapkan penyelenggaraan sholat idul Adha dan penyembelihan hewan qurban dengan berpedoman pada fatwa ini.

2. Umat Islam yang mempunyai kemampuan dihimbau untuk melaksanakan qurban, baik dilaksanakan sendiri maupun dengan cara diwakilkan ( _taukil_).

3. Panitia kurban agar memfasilitasi jamaah yang hendak melaksanakan ibadah qurban dengan berpedoman pada fatwa ini.

4. Panitia qurban agar menghimbau kepada umat Islam yang tidak terkait langsung dengan proses pelaksanaan ibadah qurban agar tidak berkerumun menyaksikan proses pemotongan. 

5. Panitia qurban dan lembaga sosial yang bergerak di bidang pelayanan ibadah qurban perlu menjadikan fatwa ini sebagai pedoman.

6. Pemerintah perlu menjamin keamanan dan kesehatan hewan qurban, serta menyediakan sarana prasarana untuk pelaksanaan penyembelihan hewan qurban melalui rumah potong hewan (RPH) sesuai dengan fatwa MUI tentang standar penyembelihan halal.

IHRAM

Mudahnya Berqurban Digital

Umat akan diedukasi untuk membeli qurban, bukan membeli hewan.

Kurban digital menjadi solusi alternatif  bagi masyarakat yang ingin berkurban dengan mudah pada masa pandemi Covid-19. Warga hanya cukup mengakses sejumlah startup maupun agen kurban lembaga filantropi yang menyediakan penjualan dan pemotong hewan kurban hingga pendistribusian daging kurban.

Seperti Global Qurban yang merupakan program kurban dari lembaga filantropi Aksi Cepat Tanggap (ACT) yang bersiap membantu warga yang akan berkurban tahun ini. Vice President Global Qurban, Hafidz T Mas’ud mengatakan dengan memanfaatkan teknologi, bersedekah termasuk berkurban tetap bisa dilakukan meski di tengah pandemi.

“Pandemi merupakan momentum saat ini yang semakin menghadirkan peningkatan spiritual, peran digital, dan empati masyarakat. Lebih lanjut, kini empati menjadi penggerak utama kegiatan bersedekah. Di era keterbatasan fisik, sedekah tetap bisa dilakukan jarak jauh dengan bantuan teknologi,” kata Hafidz kepada Republika.co.id, Rabu (8/7). 

Hafidz menjelaskan esensi kurban sebagai pembuktian ketakwaan sekaligus menjadi jembatan silaturahmi semakin mudah dengan kehadiran digital.

Menurutnya, kini kurban   tidak hanya bisa dinikmati oleh tetangga atau masyarakat dekat masjid, namun juga bisa menjangkau masyarakat di sejumlah pelosok daerah yang hanya jarang menikmati daging kurban.

Bahkan tak hanya di Indonesia, Global Qurban juga mendistribusikan daging kurban ke warga di sejumlah negara lainnya yang dilanda krisis baik karena bencana alam maupun konflik kemanusiaan. 

“Program kurban digital sebenarnya bukan tahun pertama bagi Global Qurban. Tahun-tahun sebelumnya, kami pun telah menerapkan konsep kurban online bersama e-commerce. Hal ini menjadi hal baru dalam beribadah dan memanfaatkan teknologi. Umat akan diedukasi untuk membeli qurban, bukan membeli hewan,” katanya.

Hafidz menjelaskan Global Qurban menyiapkan platform yang memudahkan para pequrban. Platform itu bisa diakses melalui smartphone maupun perangkat lainnya. Menurutnya, banyak keuntungan yang diperoleh sekaligus menjadi daya tarik qurban secara digital. Selain lebih mudah, pequrban juga turut serta membantu ekonomi bangsa di tengah pandemi.

Ada agen qurban yang bisa menempatkan benefit dari setiap kurban yang berhasil dijual, peternakan yang menjadi mitra penyedia kurban, hingga penerima manfaat di berbagai belahan dunia,” katanya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Kurban di Masa Pandemi

Ibadah kurban merupakan napak tilas perjalanan seorang ayah dan anak yang saling mencintai.

Tak lama lagi, Hari Raya Kurban atau Idul Adha 1441 H akan tiba. Umat Islam menyambutnya penuh sukacita dengan berkurban. Ibadah kurban merupakan napak tilas perjalanan seorang ayah dan anak yang saling mencintai, yakni Nabi Ibrahim AS dan Ismail AS.

Karena itu, penyembelihan hewan kurban, selain mengajarkan kerelaan berkorban harta dan sifat kebinatangan, juga mengandung nilai historis, pendidikan keluarga dan spiritualitas seorang hamba di hadapan Tuhannya.

Perayaan Idul Kurban tahun ini sangat berbeda. Tidak ada perjalanan ibadah haji ke Baitullah karena pandemi Covid-19 yang masih mengancam keselamatan jiwa. Pupus sudah harapan calon dhuyufur rahman (tamu Allah) yang telah menyiapkan diri sejak lama, bahkan menabung puluhan tahun.

Betapa pun sedihnya, kita mesti melihat kejadian ini dengan kacamata tauhid. Segala musibah terjadi karena izin atau takdir Allah SWT (QS 64: 11). Juga, mesti direnung ke lubuk hati bahwa boleh jadi sesuatu yang tak disukai terselip kebaikan di dalamnya (QS 2: 216).

Ketika calon jamaah haji batal berangkat ke Tanah Suci, mereka dapat melakukan ibadah lain yang sangat dianjurkan agama.

Syekh Sayid Sabiq dalam kitab Fiqh Sunnah mengutip Hadis Nabi SAW, “Tidak ada satu amalan manusia pada Hari Raya Kurban yang lebih dicintai Allah SWT. selain menyembelih hewan kurban. Sesungguhnya hewan kurban itu kelak di Hari Kiamat akan datang beserta tanduk-tanduknya, bulu-bulunya, dan kuku-kukunya. Sebelum darahnya menyentuh tanah, pahalanya telah diterima di sisi Allah. Beruntunglah kalian dengan kurban itu.” (HR Turmudzi).

Bagi yang mampu, tetapi enggan menunaikannya dikecam oleh Nabi SAW. Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dalam Bulughul Maram mengutip sebuah riwayat, “Barang siapa mempunyai kelapangan untuk berkurban, tetapi ia tidak berkurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami.” (HR Ahmad).

Berkurban merupakan wujud kesyukuran atas limpahan nikmat yang tak terkira jumlahnya. “Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak. Maka laksanakanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah” (QS 108: 1-2).

Suatu ketika seorang sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, sedekah apakah yang paling besar pahalanya?” Beliau menjawab, “Kamu bersedekah ketika dalam keadaan sehat dan kikir, takut menjadi fakir dan berangan-angan menjadi orang kaya. Maka, janganlah menundanya hingga nyawamu berada di tenggorokan. Lalu kamu berkata, si fulan mendapatkan ini, dan si fulan kebagian ini. Padahal, harta itu memang milik si fulan.” (HR Bukhari).

Sementara, bagi orang yang kekurangan, tetapi berupaya menunaikannya, akan diganjar pahala yang berlipat ganda. Beliau SAW pernah ditanya, “Apakah sedekah yang paling utama?” Baginda SAW menjawab, “Sedekah orang yang dalam kekurangan.” (HR an-Nasa`i).

Walhasil, berkurban selalu memberi kesan mendalam bagi pekurban dan penerimanya. Apalagi dalam masa pandemi, kita masih mampu meringankan beban sesama. Tiada lain, kecuali untuk mendekat (taqarrub) kepada Allah SWT sesuai dengan hakikat kurban (QS 22: 37). Wallahu a’lam bish-shawab.

OLEH HASAN BASRI TANJUNG

KHAZANAH REPUBLIKA