Idul Fitri: Momentum Mengerdilkan yang Selain Allah

Idul Fitri identik dengan takbir. Takbir dikumandangkan sejak matahari terakhir di bulan Ramadan tenggelam hingga menjelang shalat Id dilaksanakan. Dalam shalat Id pun, takbir dibaca baca berulang. Tujuh kali untuk rakaat pertama dan lima kali pada rakaat kedua. 

Dalam al-Sunan al-Kubra lil Baihaqi disebutkan,

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي الْعِيدَيْنِ، يَوْمَ الْفِطْرِ، وَيَوْمَ الْأَضْحَى، سَبْعًا وَخَمْسًا، فِي الْأُولَى سَبْعًا، وَفِي الْآخِرَةِ خَمْسًا، سِوَى تَكْبِيرَةِ الصَّلَاةِ  

Sesungguhnya Rasulullah Saw, bertakbir pada dua (sholat Id) yakni Idul Fitri dan Idul Adha tujuh kali dan lima kali. Pada rakaat pertama tujuh kali, rakaat terakhir lima kali selain takbir sholat .” (al-Sunan al-Kubra lil Baihaqi, 3/404)

Demikian pula dalam khutbah yang dilangsungkan seusai shalat Id. Dalam khutbah Idul Fitri takbir dibaca berulang-ulang. Pada khutbah pertama disunnahkan untuk memulainya dengan takbir sebanyak sembilan kali. Sementara dalam khutbah kedua, sunnah hukumnya memulai dengan takbir sebanyak tujuh kali (Fathul Qarib al-Mujib, 102).

Lantas apa sebetulnya makna takbir? Apa pula pelajaran yang bisa dipetik dari identiknya Lebaran dengan takbir ini?

Secara sederhana, takbir adalah mengagungkan Allah serta meyakini bahwa tiada sesuatupun yang lebih besar dan lebih agung daripada Allah. Dengan demikian, di bawah  keagungan Allah, menjadi kecil setiap sesuatu yang besar (Fiqh al-Ad’iyah wa al-Azdkar, 1/285).  

Hal ini selaras dengan firman Allah dalam Hadis Qudsi, 

الْكِبْرِيَاءُ رِدَائِي، وَالْعَظَمَةُ إِزَارِي، فَمَنْ نَازَعَنِي وَاحِدًا مِنْهُمَا، قَذَفْتُهُ فِي النَّارِ

Kebesaran adalah selendangku, sedang keagungan adalah sarungku. Barangsiapa merampas salah satunya dari-Ku maka pasti Ku-campakkan dia ke dalam neraka” (Sunan Abi Daud, 4/59).

Menjelaskan Hadis Qudsi ini, al-Khattabi dalam Ma’alim al-Sunan mengatakan,

أن الكبرياء والعظمة صفتان لله سبحانه اختص بهما لا يشركه أحد فيهما ولا ينبغي لمخلوق أن يتعاطاهما، لأن صفة المخلوق التواضع والتذلل

“Bahwa kebesaran dan keagungan adalah adalah dua sifat eksklusif milik Allah yang tidak dimiliki oleh selain Allah. juga tidak layak bagi makhluk merampas dua sifat ini lantaran sifat makhluk adalah tawadlu dan merendah.” (Ma’alim al-Sunan, 4/196)

Sampai di sini, dapat ditarik benang merah bahwa sejatinya Idul Fitri yang identik dengan takbir mengajarkan hal penting. Yaitu bahwa semuanya, bahkan sesuatu yang dianggap besar sekali pun tidak mungkin menandingi Kebesaran Allah.

Jika dalam keseharian cenderung mengagungkan pangkat dan jabatan, mendewakan popularitas, karir, dan keterkenalan, membangga-bangkan nasab, diri sendiri berikut capaian dan prestasi, atau merasa depresi dengan aneka problematika kehidupan yang menimpa, dengan adanya Idul Fitri kita kembali diingatkan bahwa semua itu tak ada apa-apanya. Sebab yang Maha Besar dan Maha Agung hanyalah Allah semata.

Walhasil, Idul Fitri menjadi momentum untuk membesarkan dan mengangungkan Allah serta mengerdilkan selain-Nya, termasuk diri kita sendiri. Secara bersamaan, Idul Fitri menjadi ajang untuk membersihkan diri dari pengagungan yang berlebihan kepada selain Allah.

Juga dari sifat sombong dan ujub yang dalam kajian tasawuf menjadikan kita terhijab dari Allah. Wallahu a’lam

BINCANG SYARIAH

Tahukah Kamu Asal Usul Kata “Lebaran”?

LEBARAN merupakan istilah yang sering dipakai masyarakat dalam menyambut hari Raya Idul Fitri. Lebaran sendiri berasal dari akar kata bahasa Jawa “Lebar” yang berarti selesai, sudah berlalu.

Maksud kata “lebar” disini adalah sudah berlalunya bulan Ramadan, selesainya pelaksanaan ibadah puasa wajib pada bulan Ramadan hingga tibalah waktunya masuk bulan Syawal.

Pada awal bulan Syawal inilah dilaksanakan Hari Raya Idul Fitri, orang Jawa biasa menyebutnya dengan istilah “Riyaya” atau “Badha”. Riyaya merupakan istilah untuk lebih mempersingkat kata hari raya sedangkan istilah badha berasal dari Bahasa Arab dari akar kata bada yang berarti setelah, selesai.

Kata badha maupun lebaran mempunyai persamaan arti, yaitu selesainya pelaksanaan ibadah puasa, maka tibalah waktunya berhari raya Idul Fitri. Istilah lebaran sudah menjadi istilah nasional, yang diartikan oleh masyarakat Indonesia sebagai Hari Raya Idul Fitri.

Ketupat atau kupat adalah hidangan khas Asia Tenggara berbahan dasar beras yang dibungkus dengan selongsong terbuat dari anyaman daun kelapa (janur). Ketupat paling banyak ditemui pada saat perayaan Lebaran, ketika umat Islam merayakan berakhirnya bulan puasa. Makanan ini sudah menjadi makanan khas masyarakat Indonesia dalam menyambut hari Raya Idul Fitri.

Ada dua bentuk ketupat yaitu kepal (lebih umum) dan jajaran genjang. Masing-masing bentuk memiliki alur anyaman yang berbeda. Untuk membuat ketupat perlu dipilih janur yang berkualitas yaitu yang panjang, tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua. Selain di Indonesia, ketupat juga dijumpai di Malaysia, Singapura dan Brunei.

Biasanya ketupat disuguhkan dengan opor ayam, rendang dan masakan-masakan khas masing-masing daerah yang mengandung santan. Ketupat sendiri telah berkembang akibat kreatifitas kuliner di beberapa daerah. [MG]

 

INILAH MOZAIK