Sabar dalam Ikhtiar

ALHAMDULILLAH. Segala puji hanya milik Allah dan hanya kembali kepada-Nya. Semoga Allah Yang Maha Menatap, senantiasa memberikan taufik dan hidayah kepada kita sehingga kita senantiasa berjalan pada jalan yang lurus. Sholawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada sang kekasih Allah, baginda nabi Muhammad Saw.

Allah Swt berfirman,“Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rosul-Nya serta orang-orang mumin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghoib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”(QS. At Taubah [9] : 105)

Saudaraku, Allah Swt memerintahkan kepada kita untuk berikhtiar secara maksimal dan sempurna. Namun, sayangnya kita seringkali tergesa-gesa. Kita selalu ingin segera keinginan kita terwujud. Padahal keinginan manusia itu seringkali didorong hawa nafsu, dan belum tentu baik menurut Allah untuk kita.

Kalau kita ingin menikmati hasil, ketahuilah bahwa hasil itu hanya sebentar, dan belum tentu ada setelah kita berusaha. Adapun yang semestinya lebih kita nikmati adalah proses ikhtiarnya ketika kita berusaha mendapatkan hasil yang kita tuju. Sebagai contoh, seorang ibu yang tengah hamil. Jikalau ia tidak sabar, ingin segera bayinya lahir padahal usia kandungannya baru tiga bulan, maka tentu itu keinginannya itu bukanlah sesuatu yang baik dan benar.

Sedangkan jika sang ibu menjalani dengan penuh sabar usia kandungan hingga waktu kelahiran tiba, maka ikhtiar sang ibu akan menjadi ladang amal sholeh baginya. Dan pada waktu yang Allah kehendaki, bayinya akan lahir dan menjadi pelipur lara baginya yang telah sekian lama menunggu.Maa syaa Allah.

Bersabarlah dalam menjalani proses ikhtiar. Bersabarlah dalam setiap langkah, tetesan keringat, dan rasa lelah. Bersabarlah pula ketika hasil yang kita temui ternyata tidak sesuai dengan pengharapan kita ketika menjalani ikhtiar, karena sesungguhnya amal sholeh kita ada dalam kesungguhan ikhtiar kita, terlepas dari apapun hasilnya nanti.

Lantas bagaimana ikhtiar yang sungguh-sungguh itu? Kesungguhan berikhtiar ditandai dengan kerelaan untuk berkorban. Seorang pelajar yang ingin meraih prestasi tinggi di sekolahnya, harus rela mengorbankan keinginannya lebih banyak main atau nongkrong. Ia pun harus rela mengorbankan sebagian dari waktu tidur malamnya untuk bangun dan menunaikan sholat Tahajud sebagai kesungguhan doa kepada Allah Swt.

Allah Swt. berfirman,“(Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rosul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”(QS. Ash Shoff [61] : 11)

Semoga kita tergolong orang-orang yang bersabar dalam memaksimalkan ikhtiar. Yakinilah bahwa hasil hanyalah bonus dari Allah setelah kesungguhan menjalani ikhtiar sebagai bentuk ibadah kepada-Nya. Dan, Allah pasti mengetahui setiap niat dan kesungguhan kita dalam berikhtiar, tidak ada yang sia-sia di hadapan-Nya.WAllahualam bishowab. [smstauhiid]

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar 

 

INILAH MOZAIK

Orang-Orang Ikhlas Takut akan Riya

Imam al-Ghazali dalam bukunya  Ihya Ulumuddin menuliskan, ketika ada ibadah belum terasa seperti tidak adanya ibadah dalam segala hal yang berkaitan dengan makhluk, ia belum kosong dari benih riya. Benih ini pun disebut lebih samar dari langkah semut.

Semua itu hampir saja melenyapkan ibadah dan tidaklah selamat darinya kecuali orang-orang yang sidiq. Kotoran-kotoran riya yang samar-samar itu tidak terhitung. Ketika ia mendapati perbedaan di dalam jiwanya saat ibadahnya dilihat manusia dengan binatang, dia masih menyimpan riya di dalam hatinya.

Menurut imam bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazali itu, orang- orang ikhlas selalu takut kepada riya yang samar. Mereka selalu berusaha lebih keras dalam menyembunyikan ibadahnya. Upaya mereka bahkan lebih tinggi ketimbang orang yang hendak menyembunyikan kejahatannya.

Semua ikhtiar itu adalah harapan supaya amal-amal saleh mereka menjadi ikhlas. Allah Azza wa Jalla pun mem beri mereka ganjaran pada Hari Kiamat dengan sebab keikhlasan mereka. Mereka mengetahui, Allah SWT tidak menerima amal pada Hari Kiamat kecuali yang ikhlas.

Bukankah Allah Taala telah berfirman: Dan katakanlah, `Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu Dia memberitakan apa yang telah kamu kerjakan’.(QS at-Taubah [9]: 105). Wallahu a`lam.

Ikhlas Menerima Takdir Buruk

DIHIKAYATKAN bahwa seseorang dari kalangan orang-orang saleh melewati seorang laki-laki yang terkena penyakit lumpuh separuh badan, ulat bertebaran dari dua sisi perutnya, lebih dari itu ia juga buta dan tuli.

Lelaki lumpuh itu mengatakan, “segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkanmu dari cobaan yang telah dialami oleh banyak orang.” Lantas lelaki saleh yang lewat itu heran, kemudian bertanya kepadanya, “Wahai saudaraku! Apa yang diselamatkan oleh Allah Subhanahu wa Taala dari dirimu padahal saya melihat semua musibah, menimpa dirimu?” Ia menjawab, “Menyingkirlah kamu dariku hai pengangguran! Sungguh, Allah Subhanahu wa Taalatelah menyelamatkanku karena Dia menganugerahkan kepadaku lisan yang selalu mentauhidkan-Nya, hati yang dapat mengenal-Nya, dan waktu yang selalu kugunakan untuk berzikir kepada-Nya.”

Dihikayatkan pula bahwa ada seorang yang saleh yang apabila ditimpa sebuah musibah atau mendapat cobaan, selalu berkata, “Ini adalah sesuatu yang baik.” Pada suatu malam serigala datang memangsa ayam jagonya, kejadian ini disampaikan kepadanya, maka ia pun berkata, “Ini adalah sesuatu yang baik.” Kemudian pada malam itu pula anjing penjaga ternaknya dipukul orang hingga mati, lalu kejadian ini disampaikan kepadanya. Ia pun berkata, “Ini adalah sesuatu yang baik.”

Tak berapa lama keledainya meringkik, lalu mati. Ia pun berkata, “Ini adalah sesuatu yang baik, insya Allah.” Anggota keluarganya merasa sempit dan tidak mampu memahami mengapa ia mengucapkan perkataan itu.

Pada malam itu orang-orang Arab datang menyerang mereka. Mereka membunuh semua orang yang ada di wilayah tersebut. Tidak ada yang selamat selain dia dan keluarganya. Orang-orang Arab yang menyerang tersebut menjadikan suara ayam jago, gonggongan anjing, dan teriakan keledai sebagai indikasi bahwa sebuah tempat itu dihuni manusia, sedangkan semua binatang miliknya telah mati.

Jadi, kematian semua binatang ini merupakan kebaikan dan menjadi penyebab dirinya selamat dari pembunuhan. Maha Suci Allah Yang Maha Mengatur dan Maha Bijaksana.

Al-Madaini menceritakan, “Di daerah pedalaman saya pernah melihat seorang perempuan yang saya belum pernah melihat seorang pun yang lebih bersih kulitnya dan lebih cantik wajahnya daripada dirinya. Lalu saya berkata, “Demi Allah, kesempurnaan dan kebahagiaan berpihak kepadamu.”

Lantas perempuan tersebut berkata, “Tidak. Demi Allah, sesungguhnya saya banyak dikelilingi oleh duka cita dan kesedihan. Saya akan bercerita kepadamu. Dulu saya mempunyai seorang suami. Dari suami saya tersebut saya mempunyai dua orang anak. Suatu ketika ayah kedua anak saya ini sedang menyembelih kambing pada hari raya Idul Adha. Sedangkan anak-anak sedang bermain.” Lantas anak yang lebih besar berkata kepada adiknya, “Apakah kamu ingin saya beritahu bagaimana cara ayah menyembelih kambing?” Adiknya menjawab, “Ya.” Lalu si kakak menyembelih adiknya.

Ketika si kakak ini melihat darah, maka ia menjadi cemas, lalu ia melarikan diri ke arah gunung. Tiba-tiba ia dimangsa serigala. Kemudian ayahnya keluar untuk mencari anaknya, ternyata ia tersesat di jalan sehingga ia mati kehausan. Akhirnya saya pun hidup sebatang kara.”

Lantas saya bertanya kepadanya, “Bagaimana engkau bisa sabar?” Ia menjawab, “Apabila peristiwa tersebut terus-menerus menimpa saya, pasti saya masih merasakannya. Namun, hal itu saya anggap hanya sebuah luka, hingga akhirnya ia pun sembuh.”

Pada saat putranya meninggal dunia, Imam asy-Syafii rahimahullah. Berkata, “Ya Allah! Jika Engkau memberi cobaan, maka sungguh Engkau masih menyelamatkanku. Jika Engkau mengambil, sungguh Engkau masih menyisakan yang lain. Jika Engkau mengambil sebuah organ, sungguh Engkau masih menyisakan banyak organ yang lain. Jika Engkau mengambil seorang anak, sungguh Engkau masih menyisakan beberapa anak yang lain.”

Al-Ahnaf bin Qais mengatakan, “Saya mengadukan sakit perut yang saya alami kepada pamanku, namun ia malah membentakku seraya berkata, “Jika sesuatu menimpamu, janganlah engkau mengeluhkannya kepada seorang pun. Sesungguhnya manusia itu ada dua macam. Teman yang kamu susahkan dan musuh yang kamu senangkan. Janganlah engkau mengeluhkan sesuatu yang menimpa dirimu kepada makhluk sepertimu yang tidak mampu mencegah bila hal serupa menimpa dirinya. Akan tetapi, adukanlah pada Dzat yang memberi cobaan kepadamu. Dialah yang mampu memberikan kelonggaran kepadamu. Hai putra saudaraku! Sungguh, salah satu dari kedua mataku ini tidak dapat melihat semenjak empat puluh tahun lalu. Saya tidak memberitahukan hal ini kepada istri saya dan kepada seorang pun dari keluarga saya.”

Ada seorang yang saleh mendapat cobaan terkait putra-putranya. Ketika ia dianugerahi dua orang anak dan baru saja mulai beranjak besar sehingga membuatnya bahagia, tiba-tiba anaknya dijemput kematian. Ia ditinggalkan anaknya dengan penuh kesedihan dan patah hati.

Akan tetapi, lantaran kuatnya iman, ia hanya dapat mengikhlaskan karena Allah Subhanahu wa Taala dan bersabar seraya berkata, “Milik Allah Subhanahu wa Taala segala sesuatu yang telah Dia berikan. Milik AllahSubhanahu wa Taala pula segala sesuatu yang telah Dia ambil. Ya Allah! Berilah keselamatan kepadaku dalam musibah ini dan berikanlah ganti yang lebih baik lagi.”

Allah pun menganugerahkannya anak yang ketiga. Setelah beberapa tahun, si anak jatuh sakit. Dan ternyata sakitnya sangat parah sampai hampir mati. Sang ayah berada di sisinya dengan air mata yang berlinangan. Kemudian ia merasakan kantuk dan tertidur.

Di dalam tidurnya ia bermimpi bahwa kiamat telah datang. Ketakutan-ketakutan pada hari Kiamat telah muncul. Lantas ia melihatshirath (jembatan) yang telah dipasang di atas permukaan Neraka Jahannam. Orang-orang sudah siap menyeberanginya. Laki-laki tersebut melihat dirinya sendiri di atas shirath. Ia hendak berjalan, tetapi ia takut terjatuh. Tiba-tiba anaknya yang pertama yang telah mati datang berlari-lari menghampirinya seraya berkata, “Saya akan menjadi sandaranmu wahai ayahku!” Sang ayah pun mulai berjalan.

Akan tetapi, ia masih khawatir terjatuh dari sisi lain. Tiba-tiba ia melihat anaknya yang kedua mendatanginya dan memegangi tangannya pada sisi lainnya. Lantas lelaki tersebut sungguh-sungguh bergembira. Setelah ia berjalan sebentara, ia merasakan sangat haus, lalu ia meminta kepada salah satu dari dua anaknya tersebut agar memberinya minuman. Keduanya berkata, “Tidak bisa. Jika salah satu dari kita meninggalkanmu, niscaya engkau terjatuh ke neraka, lalu apa yang sebaiknya kita lakukan?” Salah satu dari kedua anaknya berkata, “Wahai ayahku! Seandainya ada saudara kami yang ketiga bersama kami, pastilah ia dapat mengambilkan minum untukmu sekarang.”

Lantas lelaki tersebut terjaga dari tidurnya seraya ketakutan. Ia memuji AllahSubhanahu wa Taala bahwa ia masih hidup dan Hari Kiamat belum tiba.

Seketika ia melirik ke arah anaknya yang sedang sakit di sampingnya. Ternyata anaknya telah meninggal dunia. Kontan ia menjerit, “Segala puji bagi Allah.” Sungguh, saya telah mempunyai simpanan dan pahala. Kamu adalah pendahulu bagiku di atas shirath pada hari Kiamat kelak.” [ ]

Sumber: Hiburan Orang-orang Shalih, 101 Kisah Segar, Nyata dan Penuh Hikmah, Pustaka Arafah Cetakan 1

INILAH MOZAIK

Ikhlaskan Niat di Tanah Suci

Beribadah haji merupakan impian setiap Muslim di seluruh dunia. Tak sedikit orang yang diberikan kelebihan dalam materi ataupun kesehatan sehingga mampu menunaikan ibadah haji.

Tak sedikit pula yang harus menabung puluhan tahun untuk mewujudkan impian pergi ke Tanah Suci. Namun, tak jarang pula mereka yang mampu, tapi tidak mendapatkan peningkatan keimanan meski telah menunaikan haji lebih dari sekali.

Ahli Hadis dan Tafsir KH Ahsin Sakho menjelaskan, haji mabrur hanya dapat diraih oleh mereka yang mampu melaksanakan kewajiban- kewajiban haji dan menjauhkan segala larangan. Dia menjelaskan, sejatinya mabrur berasal dari kata al-birr yang artinya baik atau bagus.

Haji mabrur adalah haji yang dilaksanakan dengan baik dan bagus dan mampu menjalankan kewajiban- kewajiban ibadah haji dan menjauhkan dari se gala larang annya, jelas Kiai Ahsin Sakho saat dihubungi Republika.co.id, belum lama ini.

Kiai Ahsin Sakho menjelaskan, haji dibagi menjadi tiga bagian, yaitu sebelum haji, saat proses haji berlangsung, dan setelah haji. Sebelum haji, calon jamaah haji sebaiknya mengisi kegiatan dengan persiapan dari sisi spiritual, yaitu niat yang ikhlas dan lurus karena Allah SWT.

Kiai Ahsin menegaskan, agar niat calon jamaah dapat terhindar dari rasa riya karena riya mampu merusak pahala ibadah. Yang paling penting itu niatnya ikhlas untuk memenuhi panggilan Allah SWT, kata dia.

Tanda-tanda haji mabrur, lanjut Kiai Ahsin, dapat dilihat dari persiapan yang baik dan khusyuk. Begitu pula saat menjalankan ibadah haji. Menurut dia, jika seorang mampu menghindar dari perbuatan buruk, seperti bertengkar, berkata kasar, atau perbuatan buruk yang berujung dosa, serta mampu menghayati setiap ibadah yang dilaksanakannya, hal itu dapat dikatakan sebagai tanda ha ji nya mabrur.

Menurut dia, seorang yang telah mendapat gelar mabrur akan menganggap ibadah bukan sebagai beban, melainkan justru menjadi sebuah kebutuhan.

“Tanda-tanda lain, setelah ibadah haji maka ibadahnya semakin bagus hubungan bermasyarakat juga semakin bagus, orientasi hidupnya juga lebih meng arah pada akhirat,” lanjut Kiai Ahsin.

Sedangkan, haji mardud atau haji yang ditolak adalah seorang yang berangkat haji menggunakan rezeki yang haram. Orang tersebut, kata Kiai Ahsin, dipastikan tidak akan diterima segala dosanya.

Selain itu, orang tersebut juga tidak menunjukkan perubahan positif dalam kehidupannya setelah pergi haji. Ibadah hajinya tidak memberikan dampak apapun dalam hidupnya bah kan ada yang justru ibadahnya jadi menurun, tambah dia.

REPUBLIKA

Menguatkan Keikhlasan

ALHAMDULILLAH. Segala puji hanya milik Allah Swt. Semoga Allah Yang Maha Besar, Maha Kuat, lagi Maha Pengasih dan Maha Penyayang, menggolongkan kita sebagai orang-orang yang husnul khotimah. Sholawat dan salam semoga selalu tercurah kepada baginda nabi Muhammad Saw.

Saudaraku, kadang ketika kita sudah berupaya menjaga niat dalam beramal agar senantiasa ikhlas, datanglah ujian berupa penghargaan atau sanjungan dari makhluk. Pada titik ini hati kita diuji apakah akan berbelok ataukah akan tetap konsisten, istiqomah dalam keikhlasan.

Kita memang tidak bisa menahan orang lain untuk berkomentar apapun tentang kita, baik itu komentar yang enak didengar maupun yang tidak enak. Kita pun tidak bisa sepenuhnya mengontrol agar amal yang kita lakukan benar-benar luput dari penglihatan atau pengetahuan orang lain. Adakalanya amal kita Allah takdirkan untuk terlihat, terdengar oleh orang lain.

Disinilah letak ladang ibadah bagi kita. Saat pujian, sanjungan, penghargaan orang lain menghampiri kita dan kita menerimanya dengan penuh rasa hormat sementara hati kita terus-menerus istighfar, membersihkan hati dari bibit-bibit riya, membungkus pujian-pujian makhluk dan menyerahkannya hanya kepada Allah, inilah ikhtiar kita menguatkan niat ikhlas lillaahitaala.

Begitu juga jika yang datang kepada kita adalah cibiran, hinaan hanya karena kita beramal sholeh, maka inipun sama merupakan rezeki tambahan dari Allah Swt. Mengapa disebut rezeki tambahan? Karena Allah Swt. memberikan kesempatan kepada kita untuk latihan mujahadah dalam menjaga keikhlasan. Tidak ada yang sia-sia di hadapan Allah. Maasyaa Allah.

Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa kalian, juga tidak kepada harta kalian, akantetapi Allah melihat kepada hati dan amal kalian.” (HR. Muslim, Ibnu Majah, Ahmad, Baihaqi)

Semoga Allah Swt. memberi kita hidayah sehingga kita semakin istiqomah dalam keikhlasan beribadah, hanya mengejar ridho Allah Swt. Aamiin yaa Robbalaalamiin.[smstauhiid]

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

INILAHMOZAIK

Sudah Ikhlaskah Kita Selama Ini?

Barangkali memang kita benar-benar harus selalu berusaha dan mengingatkan hati kita, bahwa kita melakukan perbuatan apapun harus karena Allah. Sebab jika tidak, yang paling ditakutkan adalah amal kita tidak Allah terima karena telah membuat-Nya cemburu. Betapa ruginya, melakukan segala bentuk ibadah, namun bukan karena Allah. Padahal Allah berfirman: “…dan tidaklah kalian diperintah kecuali beribadah kepada Allah dengan ikhlas..”(QS. 98: 5).

Saudaraku, ketahuilah bahwa nilai dan semerbaknya sebuah amal dilatarbelakangi oleh keikhlasan. Bahkan tersebarluasnya dakwah ke seluruh penjuru dunia adalah contoh nyata hasil kerja pribadi-pribadi ikhlas. Mereka tidak mengharapkan apapun, kecuali ridha Tuhannya. Mereka tidak menginginkan apapun, kecuali cinta Rabbnya. Cinta pasti membutuhkan pembuktian.

Dan Allah, sungguh akan mengujinya, yaitu dari bagaimana cara hamba-Nya menempatkan diri sebagai seorang hamba; beribadah pada-Nya. Apakah semua itu dilakukan semata karena-Nya, atau karena selain-Nya. Allah Subhana Wa Ta’ala berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. 51:56).

Berbicara tentang ibadah, tentu amat luas. Namun hakikatnya segala bentuk amalan yang dilakukan ikhlas semata karena-Nya, dan sesuai dengan apa yang Rasulullah contohkan, adalah ibadah. Sebab darinya Allah mendatangkan pahala, entah dari kenikmatan maupun dari ujian.

Sahabat, sesungguhnya perkara yang diwajibkan dalam amal perbuatan kita bukanlah banyaknya amal, namun keikhlasan. Amal yang dinilai kecil di mata manusia, apabila dilakukan dengan ikhlas semata karena Allah, maka Allah akan menerima dan melipat gandakan pahala dari amal perbuatan tersebut. Berkata Abdullah bin Mubarak, “Betapa banyak amalan yang kecil menjadi besar karena niat (ikhlas), dan betapa banyak pula amal yang besar menjadi kecil hanya karena niat (tidak ikhlas)”.

Sebagian dari kita mungkin masih ada yang belum paham sepenuhnya tentang ikhlas. Sebab memang kebanyakan di antara manusia menyangka bahwa yang namanya keikhlasan itu hanya pada perkara-perkara ibadah; shalat, puasa, zakat, membaca al qur’an , haji dan amal-amal ibadah lainnya. Namun ketahuilah bahwa sebenarnya keikhlasan harus ada pula dalam amalan-amalan yang berhubungan dengan muamalah. Perkara kecil sebatas tersenyum pada saudara kita pun, harus ikhlas.

Bukan agar dianggap baik, bukan agar dinggap murah senyum, atau apapun yang tidak akan dibawa mati. Sebab semua itu tidak ada apa-apanya. Yang ada apa-apanya hanyalah ketika Allah meridhainya atas apapun yang hamba-Nya lakukan karena-Nya.

Selama ini mungkin kita juga masih ada yang merasa bingung, mengapa dari sekian banyak amal yang dilakukan, tidak banyak yang bertahan; berguguran satu persatu. Tidak istiqomah. Ketahuilah sesungguhnya hal tersebut diakibatkan minimnya atau bahkan tidak adanya keikhlasan dalam diri kita.

Belajar ikhlas, berarti belajar menyayangi hati dan diri kita. Sebab ikhlas adalah jalan terbaik untuk menyelamatkan kita dari jeratan noda-noda kesyirikan sehalus apapun, setelah kita melakukan suatu amalan. Bila kita merasa sakit hati ketika sebuah kebaikan yang dilakukan tidak mendapat balasan yang kita pikir layak kita terima, maka ikhlaskan saja.

Bebaskan amal kebaikan kita dan biarkan amalan itu menemukan jalannya kepada Allah semata, seraya kita terus berdoa agar amal yang kita lakukan itu Allah terima. Insya Allah hati kita akan tetap lembut, pikiran tidak akan kalut, dan kita akan tetap terjaga untuk terus istiqomah di jalan Allah.

Maka, teruslah introspeksi diri dan perbaikilah niat kita selama ini. Semoga Allah menjaga kita dari segala kemaksiatan, kesyirikan, dan menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang ikhlas. Aamiin.

sumber: daaruttauhiid.org/ikhlaskah-kita-selama-ini/

MUSLIMDAILY

Ikhlas di Tiga Waktu

ALHAMDULILLAH. Segala puji hanya milik Allah Swt. Dialah Dzat yang telah menciptakan langit, bumi dan segala yang ada. Seluruh makhluk ada dalam kekuasaan-Nya dan tiada berdaya tanpa pertolongan-Nya. Sholawat dan salam semoga selalu tercurah kepada baginda nabi Muhammad Saw.

Allah Swt. berfirman, “..Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang sholeh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”. (QS. Al Kahfi [18] : 110)

Ikhlas itu mesti kita jaga pada tiga waktu. Pertama, adalah ketika kita hendak beramal. Kondisikan dulu hati untuk lurus hanya mengharapkan penilaian Allah Swt. Mantapkan hati agar benar-benar bersih dari unsur ujub, riya, sumah. Ini penting karena betapa licinnya dan halusnya syaitan menggoda kita agar hati kita tergelincir. Padahal baik buruknya, benar salahnya setiap urusan kita adalah diawali dari baik buruknya, benar salahnya hati.

Kedua, adalah ketika beramal. Boleh jadi ketika kita melakukan amal kebaikan, tiba-tiba datanglah pujian, sanjungan dari orang lain. Tentu siapapun akan senang jika mendapat pujian dan sanjungan. Tapi, di sinilah terdapat celah yang rentan membuat kita terlena dan terbuai sehinga merasa diri hebat dan lupa kepada Dzat yang telah memberi kita kekuatan, Allah Swt.

Maka, perlu kita untuk bermujahadah menjaga niat yang sudah kita tekadkan sejak awal. Sehingga kita bisa istiqomah dalam keikhlasan.

Ketiga, setelah beramal. Mungkin ada penghargaan dari orang lain atas prestasi kita. Atau bahkan boleh jadi tidak ada yang memuji, menyanjung kita, malah yang ada justru orang yang tidak menghargai amal kita. Nah, di sinilah hati kita diuji. Hati bisa terbuai oleh penghargaan dari manusia, dan hati juga bisa goyah saat ada yang merendahkan kita.

Bagi orang yang hatinya lurus lillaahitaala, segala bentuk penilaian manusia itu tidaklah ada apa-apanya dibandingkan penilaian Allah Swt. Jika dipuji, maka ia akan memuji Allah dan menyerahkan pujian tersebut kepada Allah. Sedangkan jika dia dihina, direndahkan, maka ia akan beristighfar, memohon ampunan Allah karena boleh jadi itu adalah ujian agar dirinya bisa memperbaiki diri dan bersandar hanya kepada Allah semata.

Saudaraku, semoga Allah Swt senantiasa melimpahkan hidayah kepada kita sehingga kita menjadi orang-orang yang istiqomah menjaga niat dalam setiap ucapan dan perbuatan kita. Aamiin yaa Robbal aalamiin. [smstauhiid]

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar 

INILAH MOZAIK

Sanggupkah Kita Memalingkan Dunia dari Hati?

SESEORANG bertanya kepada Syaqiq ibn Ibrahim, “Manusia menyebutku orang saleh. Tetapi, bagaimana caranya saya tahu bahwa saya ini orang yang saleh atau bukan?”

Syaqiq menjawab, “Pertama, tampakkanlah amalan yang kamu rahasiakan di hadapan orang-orang saleh. Jika mereka meridainya, berarti kamu termasuk orang saleh. Jika mereka tidak meridainya, kamu belum tergolong orang saleh. Kedua, palingkan dunia dari hatimu. Jika kamu sanggup berpaling dari kehidupan dunia, berarti kamu termasuk orang saleh. Jika kamu tidak sanggup, kamu belum termasuk orang saleh. Ketika, palingkanlah kematian dari jiwamu. Jika kamu berani mengharapkan kematian, berarti kamu termasuk orang saleh. Jika kamu belum berani menghadapi kematian, kamu belum termasuk orang saleh. Jika tiga hal ini telah berkumpul dalam dirimu, rendahkanlah dirimu kepada Allah agar amalanmu tidak ternodai oleh sifat ria dan tetaplah istiqamah dengan amalanmu.”

Hamid al-Laffaf berkata, “Jika Allah menghendaki seseorang celaka, maka Allah akan menyiksanya dengan tiga tanda. Pertama, Allah memberikan ilmu kepadanya, tetapi Allah tidak
menganugerahkan kemampuan untuk mengamalkan ilmu itu. Kedua, orang itu senang berkumpul dengan orang-orang saleh, tetapi ia sendiri enggan mengetahui kewajiban-kewajiban orang saleh. Ketiga, Allah membukakan pintu ketaatan baginya, tetapi ia tidak dapat ikhlas beramal.”

Berkaitan dengan perkataan itu, seorang fakih berkata, “Itu terjadi karena orang itu menyimpan niat dan tujuan yang buruk. Seandainya niatnya baik, maka Allah akan menganugerahinya manfaat ilmu dan keikhlasan beramal.”

Ingatlah kalimat dalam satu syair yang menyebutkan..
Riya dapat mengikis pahala amal yang seseorang lakukan..
Jika kamu beramal dengan ria, tak aka nada pahala yang kamu dapatkan.

Jadi kembali lagi ke pribadi kita masing-masing, apakah kita ingin dirahmati Allah semua amalan yang telah kita perbuat, atau malah Allah menghendaki kita celaka karena sifat ria yang terselip dalam hati kita? [Chairunnisa Dhiee]

 

Sumber buku “Ikhlas Tanpa Batas”

INILAH MOZAIK

Belajar Ikhlas

ALHAMDULILLAH. Segala puji hanya milik Allah Swt. Tiada yang kuasa menciptakan alam semesta yang mengagumkan ini selain Allah, tiada yang mampu menghidupkan yang mati dan mematikan yang hidup kecuali Allah. Hanya kepada Allah kita menyembah dan hanya kepada-Nya kita pasti akan kembali. Sholawat dan salam semoga selalu tercurah kepada baginda Nabi Muhammad Saw.

Mengapa itikaf di masjid? Karena untuk menghemat sewa kontrakan. Mengapa rajin shaum senin-kamis? Karena ingin langsing sekaligus menghemat uang jajan. Mengapa disiplin sholat subuh di awal waktu? Karena ingin wajah terlihat berbinar.

Saudaraku, Allah Swt berfirman,“Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu kitab (Al Quran) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)..”(QS. Az Zumar [39] : 2-3)

Saudaraku, marilah kita senantiasa berhati-hati dalam menjaga kebersihan hati agar senantiasa lurus dan murni dalam berniat. Karena Allah Swt hanya menerima amal sholeh seorang hamba yang dilakukan dengan niat ikhlas hanya mengharapkan ridho-Nya semata. Boleh jadi kita menunaikan rencana niat baik kita, tetapi saat melakukannya hati kita berbelok menjadi berharap sesuatu yang lain selain penghargaan Allah.

Seperti saat ikut aksi bela Islam tempo hari di Jakarta. Mari kita tafakuri kembali, muhasabah kembali apa sebenarnya niat kita. Kegiatan tersebut adalah kegiatan yang direncanakan sebagai kebaikan, sebagai amal sholeh kita sehingga kita berusaha sekuat tenaga agar semuanya berlangsung tertib dan damai, ada dalam ridho Allah Swt. Namun, bagaimana dengan hati kita, jangan sampai niat kita malah hanya ingin dilihat orang lain sebagai pemberani, jangan sampai niat kita hanya ingin berfotoselfiesehingga dikagumi orang lain.

Rasulullah Saw dalam sebuah haditsnya pernah mengingatkan kepada kita tentang seorang mujahid yang gugur di medan jihad, seorang dermawan yang membelanjakan hartanya di jalan Allah, dan seorang yang hafal dan paham Al Quran, tetapi ketiganya masuk neraka. Sebabnya hanya satu, karena bukan Allah yang ada di dalam hatinya.

SubhaanAllah!Marilah kita terus-menerus melatih diri untuk terampil menjaga niat. Semoga Allah Swt menerima amal sholeh kita dan membimbing kita dengan hidayah-Nya sehingga kita termasuk orang-orang yang ikhlas.Aamiin yaa Robbalaalamiin. [smstauhiid]

 

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

INILAH MOZAIK

Ikhlas Perlu Perjuangan

ALHAMDULILLAH. Segala puji hanya milik Allah Swt. Semoga Allah Yang Maha Menolong lagi Maha Menjaga, menggolongkan kita sebagai orang-orang yang senantiasa mendapatkan hidayah-Nya. Sholawat dan salam semoga selalu tercurah kepada baginda Nabi Muhammad Saw.

Allah Swt berfirman,“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.”(QS. Al Bayyinah [98]:5)

Salah satu godaan syaitan yang seringkali menyergap manusia adalah godaan niat ketika beramal. Tidak jarang kita beramal baik kemudian ada orang lain yang memuji kita maka hati kita pun berbunga-bunga karena senang dengan pujian itu. Secara halus niat kita pun berbelok dari yang tadinya tulus saja beramal, menjadi berharap mendapat pujian yang lebih banyak dari manusia.

Atau, tidak jarang juga kita sedang melakukan kebaikan dengan tulus, kemudian ada orang lain yang malah menjelek-jelekkan kebaikan kita, merendahkan amal kita, meremehkan perbuatan kita, maka seketika kita menghentikan amal kita dan sibuk dengan rasa kesal dan amarah yang memenuhi rongga dada. Kita yang sudah berniat dengan aman di awal, menjadi berbelok niatnya karena terpengaruh omongan orang lain.

Saudaraku, ternyata untuk ikhlas dalam beramal itu perlu perjuangan. Tidak selesai hanya pada ucapan lisan saja bahwa kita ikhlas, melainkan harus meresap ke dalam hati dan istiqomah.

Ketika dipuji orang lain ataupun direndahkan oleh orang lain, kita perlu senantiasa sadar bahwa dua keadaan ini sama-sama kesempatan bagi kita untuk berlatih, yaitu berlatih memelihara keikhlasan. Saat dipuji, kita kembalikan kepada Allah, dan saat direndahkan kita tetap berpegang teguh kepada Allah Swt. Inilah keindahan orang yang ikhlas, dalam keadaan seperti apapun hanya Allah saja yang memenuhi hatinya. Semoga kita tergolong hamba-hamba Allah Swt yang terampil menjaga keikhlasan.Aamiin yaa Robbalaalamiin.[smstauhid]

 

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

INILAH MOZAIK