Hakikat Pemberian Menurut Imam Al-Ghazali

Imam Al-Ghazali dalam karyanya Kitab Arbain Fi Ushuluddin mengulas tentang memelihara atau menjaga pemberian kepada orang lain, agar pemberian mendapatkan keutamaan dan pahala dari Allah. Baik pemberian itu berupa zakat, sedekah, atau yang lainnya.

Imam Al-Ghazali menegaskan:

فاعلم أن إنفاق المال في الخيرات أحد أركان الدين؛ وإنما سر التكليف به بعدما يرتبط به من مصالح البلاد والعباد، وسد الخلات والفاقات

Artinya: “Ketahuilah bahwasanya menginfakkan harta di jalan kebaikan merupakan salah satu dari tiang agama, dan bahwasanya hikmah dari diperintahkannya menginfakkan harta tersebut hanya setelah adanya hubungan harta tersebut dengan hal-hal yang ada kaitannya dengan kemaslahatan negara, masyarakat, pemenuhan kebutuhan dan menolong orang yang membutuhkan.

Selanjutnya Imam Al-Ghazali menuturkan, kita harus menjaga lima perkara di saat kita memberi sesuatu kepada orang lain. Adapun uraiannya sebagai berikut:

Pertama, samarkan pemberianmu. Pemberian secara samar akan memadamkan murka Allah. Orang yang memberi sesuatu kepada orang lain secara terang-terangan akan menimbulkan sifat riya’ atau ingin dipuji oleh orang lain. Jika pemberian secara terang-terangan akan menimbulkan sifat riya’ sebaiknya pemberian dilakukan secara samar. Allah berfirman:

إِن تُبْدُوا۟ ٱلصَّدَقَٰتِ فَنِعِمَّا هِىَ ۖ وَإِن تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا ٱلْفُقَرَآءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ

Artinya: “Jika kamu menampakkan sedekahmu, maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu”.(QS. Al Baqarah: 271)

Kedua, Jangan mengungkit-ungkit pemberianmu. Hakikat mengungkit-ungkit pemberian adalah merasa berbuat baik kepada orang lain, dan mengharapkan ucapan terima kasih dari orang lain. Adapun obat mengungkit-ungkit pemberian, yaitu, harus beranggapan bahwa orang lain telah berbuat baik kepadamu, karena ia bisa menerima pemberianmu, dan menerima hak Allah lewat perantara hartamu.

Ketiga, pemberian dari barang yang  bagus. Harta yang diberikan kepada orang lain harus dari harta yang halal, bukan dari harta yang haram. Pemberian barang bagus menunjukkan derajat kecintaan kepada Allah. Jika kita cinta kepada Allah, maka akan memberikan atau mempersembahkan dengan sesuatu yang paling bagus.

Keempat, memberi dengan muka yang senang atau gembira. Ketika kamu memberi sesuatu kepada orang lain jangan sampai disertai dengan kemarahan atau merasa bersedih. Pemberian yang sedikit disertai dengan rasa riang gembira, itu lebih baik dari pada pemberian yang banyak dengan disertai kemarahan atau kesedihan.

Kelima, memilih orang yang menerima pemberian. Pemberian harus tepat sasaran, memberi kepada ahli maksiat, maka akan ia gunakan untuk bermaksiat. Oleh karena itu, pemberian lebih diutamakan kepada orang-orang yang bertakwa atau orang-orang saleh, supaya pemberian digunakan untuk menjalankan ketaatan kepada Allah. Wallahu a’lam bissawab.

ALIF

4 Elemen Kebahagiaan menurut Al-Ghazali

Salah satu elemen kebahagiaan menurut Imam Al-Ghazali adalah mengenal Allah (ma’rifatullah), yang akan mengantarkan manusia tidak salah memilih Tuhannya

SEMUA orang pasti menginginkan kebahagiaan. Namun belum tentu semua orang mengetahui hakikat kebahagian yang sebenarnya. 

Secara sederhana, kebahagiaan menurut Imam Al-Ghazali adalah merasakan kelezatan atau kenikmatan pada suatu kecenderungan yang menjadi tabiat segala sesuatu.

Dipilah dari sifatnya, setidaknya ada dua macam kebahagiaan, yaitu kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akhirat. Sehingga dalam penyikapannya, diantara manusia ada yang standar kebahagian hanya diukur dengan nilai duniawi, ada pula yang pandangan jauh kedepan, yakni yang utama adalah ukhrawi.

Kebahagiaan dunia dan akhirat

Dunia yang tampak indah dan mempesonakan. Namun sesungguhnya kesenangan atau kebagiaan dunia itu semua hanyalah menipu, sementara atau fana.

Maka sungguh alangkah bijak bila kenikmatan dunia yang fana ini digunakan untuk meraih kenikmatan hakiki di akhirat nanti.

Dalam sebuah hadits Rasulullah ﷺ, perbandingan nikmat dunia dengan nikmat akhirat itu ibarat tetesan air pada jari yang dicelupkan ke lautan, tak sebanding dengan akhirat yang nikmatnya seluruh air di lautan. Rasulullah juga menyebutkan bahwa nikmat dunia itu tak lebih berharga dari sayap nyamuk.

Dari Sahl bin Sa’id as-Sa’idi radhiyallahu’anhu, Rasulullah ﷺ  bersabda,

لَوْ كَانَت الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ الله جَنَاحَ بَعُوضَةٍ ، مَا سَقَى كَافِراً مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ

“Seandainya dunia ini di sisi Allah senilai harganya dengan sayap nyamuk niscaya Allah tidak akan memberi minum barang seteguk sekalipun kepada orang kafir.” (HR: Tirmidzi).

Nikmat dunia apa yang tidak sementara? Kenikmatan tamasya di hari weekend misalnya, menikmati indahnya alam sembari berkumpul bersama keluarga tercinta tentu mengasyikan.

Tapi kalau hari weekend sudah habis, maka kembali sibuk dengan aktivitas biasanya, dan nikmat tamasya itu juga sudah habis. Bukan berarti weekend itu tidak boleh, cuma menunjukkan kalau nikmatnya itu sementara saja.

Dan sudah semestinya liburan weekend itu tidak membuat kita lupa mengingat Allah, seperti tidak melalaikan sholat, senantiasa berdzikir, dan seterusnya.

Terus contoh lagi, seseorang yang dikaruniai istri cantik atau suami ganteng, apakah kalau sudah tua juga masih secantik dan seganteng waktu muda? Apakah mereka juga tak akan pernah berpisah di dunia?. Itulah realita kenikmatan dunia.

Fana, semua bakal ditinggalkan alias sementara. Mana ada orang yang hidupnya abadi. Suka atau tidak suka. Harta kita, istri kita yang cantik, kendaraan-kendaraan kita. Semua akan ditinggalkan di dunia ini.

Dunia ini tidak ada keadaan yang bisa dikatakan benar-benar bahagia atau sebaliknya betul-betul sedih. Begitulah hidup yang kita jalani; bahagia sebentar. Lalu datang masalah melanda, sedih sebentar.

Dunia akan berputar tTerus begitu. Demikian pula tak da keberhasilan hakiki di dunia, kadang berhasil, kadang gagal.

اِعْلَمُوْۤا اَنَّمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَّلَهْوٌ وَّزِيْنَةٌ وَّتَفَا خُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَا ثُرٌ فِى الْاَ مْوَا لِ وَا لْاَ وْلَا دِ ۗ كَمَثَلِ غَيْثٍ اَعْجَبَ الْكُفَّا رَ نَبَا تُهٗ ثُمَّ يَهِيْجُ فَتَرٰٮهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُوْنُ حُطٰمًا ۗ وَفِى الْاٰ خِرَةِ عَذَا بٌ شَدِيْدٌ ۙ وَّمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللّٰهِ وَرِضْوَا نٌ ۗ وَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَاۤ اِلَّا مَتَا عُ الْغُرُوْرِ

“Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurauan, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu.” (QS: Al-Hadid: 20).

Orang yang cerdas ialah yang menggunakan kenikmatan dunia ini sebagai bekal untuk kenikmatan abadi diakhirat.

Sebuah kisah nyata menarik yang bisa diambil ibrahnya bagaimana kisah akhir hidup seseorang yang bergelimang harta dunia. Seorang miliader dan salah satu CEO Top di Amerika Serikat Steven Job, meninggal dunia di usia 56 tahun, karena Cancer Pankreas.

CEO perusahaan Apple ini meninggalkan kekayaan senilai USD 7 Milyar. Wow, yang jelas nolnya amat banyak kalau dirupiahkan. Simak pesan terakhirnya.

“Menurut saya saat ini, hidupku adalah inti dari kesuksesan itu sendiri. Tapi, saya tidak bahagia dengan apa yang saya miliki. Akhirnya aset itu hanya angka, atau sesuatu yang saya kumpulkan. Saat ini, ketika saya tergeletak di tempat tidur, sakit, saya mengenang hidupku.”

“Saya tahu, semua ketenaran dan asetku tak ada artinya saat menghadapi kematian. Anda bisa bayar orang untuk menyetir mobil, memenuhi kebutuhan Anda, membayar manajer memimpin perusahaan Anda, mengumpulkan banyak harta dan ketenaran. Tapi, Anda tidak bisa membayar orang memikul rasa sakit Anda. Ada banyak materi saat hilang bisa diganti, tapi tidak dengan kehidupan,” begitu katanya.

Elemen kebahagian

Karena itulah manusia perlu mengetahui hakikat kebahagiaan yang sejati. Selain itu, manusia juga harus mengetahui elemen-elemen apa saja yang bisa mengantarkan untuk memperolehnya.

Menurut Imam Al-Ghazali Rahimahullah, ada 4 elemen supaya kita mendapatkan kebahagiaan yang sejati. Yakni: mengenal diri, mengenal Allah, mengenal dunia, dan mengenal akhirat.

Pertama; Mengenal diri (Ma’rifatun Nafs).

Al-Ghazali mengatakan; mengenal  adalah kunci untuk mengenal Tuhannya yaknia Allah Swt. Sebagaimana dikatakan Al-Quran:

سَنُرِيْهِمْ اٰيٰتِنَا فِى الْاٰ فَا قِ وَفِيْۤ اَنْفُسِهِمْ حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ اَنَّهُ الْحَـقُّ ۗ اَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ اَنَّهٗ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (QS: Fussilat: 53)

Dengan bertafakkur bertafakur siapakah kita ini, darimana ia berasal, siapa yang menciptakannya, berfikir tentang keadaanya, anggota tubuhnya, serba kelemahannya, maka hal itu akan mendorong dia menemukan Tuhannya.

Karena apapun di dunia ini pasti ada yang menciptakan, mustahil kalau adanya manusia, dan alam semesta itu tiba-tiba ada dengan sendirinya. Dialah Allah Sang Pencipta.

Kedua: mengenal Allah (Ma’rifatullah)

Mengenal Allah dengan sebaik-baiknya akan mengantarkan seorang manusia untuk tidak salah dalam memilih Tuhannya. Ia akan terhindar dari sifat menyekutukan-Nya karena Allah tida suka untuk disekutukan. 

Bila manusia mengenal Allah dengan baik maka ia juga tidak akan putus asa dari rahmat-Nya yang begitu luas. Sehinga Ia akan berusaha menaatinya dalam rangka untuk memperoleh ridha-Nya.

Ketiga: Mengenal dunia (Ma’rifatuddunya

Seseorang yang mengenal dunia dengan baik, maka ia tidak akan menjadikan dunia sebagai tujuan utama. Melainkan menjadikannya wasilah untuk memperoleh kebahagiaan yang sejati di akhirat.

Imam Al-Ghazali membuat perumpamaan dunia penumpang kapal yang kemudian kapal istirahat sebentar di pelabuhan.

Nahkoda kapal mengumumkan bahwa kapal akan berlabuh selama beberapa jam, dan mereka boleh berjalan-jalan di pantai, tetapi jangan terlalu lama.

Akhirnya, para penumpang turun dan berjalan ke berbagai arah. Kelompok penumpang yang bijaksana akan segera kembali setelah berjalan-jalan sebentar dan mendapati kapal itu kosong sehingga mereka dapat memilih tempat yang paling nyaman. Ada pula para penumpang yang berjalan-jalan lebih lama di pulau itu, mengagumi dedaunan, pepohonan, dan mendengarkan nyanyian burung.

Saat kembali ke kapal, ternyata tempat yang paling nyaman telah terisi sehingga mereka terpaksa diam di tempat yang kurang nyaman. Kelompok penumpang lainnya berjalan-jalan lebih lauh dan lebih lama; mereka menemukan bebatuan berwarna yang sangat indah, lalu membawanya ke kapal.

Namun, mereka terpaksa mendekam di bagian paling bawah kapal itu. Batu-batu yang mereka bawa, yang kini keindahannya telah sirna, justru semakin membuat mereka merasa tidak nyaman.

Kelompok penumpang lain berjalan begitu jauh sehingga suara kapten, yang menyeru mereka untuk kembali, tak lagi terdengar. Akhirnya, kapal itu terpaksa berlayar mereka. Dan mereka menjadi terlunta-lunta serta santapan binatang buas.

Kelompok pertama adalah orang beriman yang sepenuhnya menjauhkan diri dari dunia, dan kelompok terakhir adalah orang kafir yang hanya mengurusi dunia dan sama sekali tidak memedulikan kehidupan akhirat. Dua kelompok lainnya adalah orang ber iman, tetapi masih disibukkan oleh dunia. yang sesungguhnya tidak berharga.

Keempat: mengenal akhirat (Ma’rifatul akhirah)

Manusia yang mengenal akhirat dengan baik akan membuatnya tidak silau dengan gemerlap dunia. Ia tahu bahwa perjalannya sangat panjang dan melelahkan setelah menjalani hidup di dunia yang sementara, sehingga berusaha untuk mempersiapkan bekal sebaik-baiknya menuju akhirat.

Syahdan, dengan mengetahui keempat elemen tersebut, seorang manusia akan mendorong  memahami hakikat tujuan manusia di ciptakan. Dari mana ia hidup, untuk apa dan mau kemana?. Semoga kita semua dimudahkan oleh Allah untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Aamiin. Wallahu a’lam.*/Ali Musthofa Akbar, bahan dari Kimiyaus Sa’adah

HIDAYATULLAH

Imam Al-Ghazali Ungkap Enam Tempat Pemicu Riya

Ustadz Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumnus Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, mencoba menjelaskan gambaran seputar riya’. Pamer atau riya merupakan salah satu perilaku yang tidak disukai Allah SWT. Untuk menghindari hal ini, utamanya dalam hal beribadah, bukanlah hal yang gampang.

Abu Hamid al-Ghazali dalam Kitab al-Arba’in fi Ushul ad-Din, halaman 102, menyebut “Buta dari mengenal seluk-beluk benalu amal membuat kita mustahil dapat menghindarinya”. Dalam kitab yang sama di halaman 100-101, Imam al-Ghazali menerangkan secara lengkap enam tempat yang berpotensi menumbuhkan rasa riya’.

1. Badan dan raut muka

Imam al-Ghazali menyampaikan beberapa contoh yang berkaitan dengan hal ini. Salah satunya, menampakkan badan yang kurus dan lemah, agar orang-orang melihatnya tampak seperti seorang ahli ibadah, ahli riyadhah, puasa, dan lainnya.

Memperlihatkan raut muka sedih juga termasuk dalam perilaku pamer, dengan tujuan agar terlihat seperti orang yang punya pengamatan mendalam ihwal kehidupan dan kehinaan dunia.

2. Penampilan

Contoh dari hal ini adalah mencukur kumis agar terlihat lebih menawan dan mempesona, sehingga banyak orang terpukau. Contoh lainnya adalah menundukkan kepala saat berjalan, bergerak dan melangkah secara elegan, dengan harapan tampak lebih berwibawa.

Atau, seseorang bisa saja menampakkan bekas sujud di dahi agar tidak diragukan kualitas sujudnya.

3. Cara berpakaian

Orang yang ingin pamer biasanya terlihat mengenakan pakaian lengan panjang dengan lengan baju yang terlipat, dengan alasan agar terlihat lebih keren.

Atau kebalikannya, sengaja menggunakan baju yang lusuh dengan beberapa tambalan, tujuannya agar terlihat sebagai seorang sufi besar lagi bersahaja.

 4. Riya’ dalam hal ucapan

Jebakan ini kerapkali menjebak para dai. Karena itu, lebih baik bagi seseorang untuk berhati-hati dengan ucapannya, karena orang alim sekalipun tidak terlepas dari penyakit ini.

Maka, wajar jika Nabi Muhammad SAW bersabda dalam hadist riwayat Mu’âdz bin Jabal, “Termasuk ujian besar seorang alim, yaitu ketika ia lebih suka berbicara daripada mendengar”. (Abu Hamid al-Ghazali, Ihyâ’ Ulumuddin, juz I, halaman 62).

5. Pamer dalam perbuatan

Beberapa bentuk dari poin ini adalah memperlama durasi rukuk dan sujud, atau menampilkan kepada khalayak saat bersedekah, puasa, atau haji.

Semua contoh itu sangat potensial dalam memunculkan riya’. Bahkan, gerak-gerik tubuh ketika melenceng dari niat luhur, kerapkali terjerumus dalam penyakit hati ini.

6. Banyaknya murid atau guru yang dipamerkan

Perilaku riya bisa tumbuh karena banyaknya murid, teman, maupun guru yang bisa dipamerkan. Orang yang sering berkunjung kepada para gurunya, membuat ia memiliki gambaran atau branding diri yang baik di mata umat.

Sekilas membaca penjelasan Imam al-Ghazali tentang enam potensi yang menyebabkan riya’, seolah membuat gambaran untuk beramal shaleh menjadi susah. Beramal lillahi ta’ala, murni karena Allah semata memang tidak mudah.

Hal ini semata bukan karena Allah SWT mempersulit aksesnya, tetapi karena hati manusia penuh oleh nuansa syaithani, egoisme dan mabuk dunia. Yang demikian membuat seseorang menjadi sulit dalam menemukan kemurnian ibadah yang sebenarnya.

“Sebagai hamba Allah SWT, tentu orang tidak boleh berkecil hati. Orang harus terus berupaya sedikit demi sedikit membenahi hati dengan cara apa pun. Seperti banyak membaca, mengaji kepada para ustadz, kiai, atau tuan guru yang dapat meningkatkan kualitas spiritualnya,” tulis Ust Ahmad Dirgahayu. 

Terakhir, ia menyebut kunci dari beribadah adalah tidak sampai berhenti karena terjangkit riya’ saat beramal pertama, kedua, atau bahkan ketiga kalinya. Namun amal ibadah tetap harus terus dilanjutkan sampai hati menjadi stabil dan tidak butuh dilihat lagi oleh manusia lainnya. 

IHRAM

Konsep Mengenali Diri Menurut Imam al-Ghazali

Pernahkah kita merasa dalam kondisi tidak mengenali diri kita sendiri. Misalnya, kita melakukan atau mengikuti segala macam tawaran yang datang kepada kita, tapi kita tidak pernah benar-benar bertanya, apakah diri kita benar-benar membutuhkannya atau tidak ? Persoalan tentang cara mengenali diri ini rupanya juga pernah diperbincangkan para ulama terdahulu, diantaranya adalah oleh Imam al-Ghazali dalam karyanya Kimiyaa as-Sa’adah (Formula Kebahagiaan). Dalam karyanya tersebut, yang pertama kali langsung dibahas oleh al-Ghazali adalah tentang mengenali diri atau jiwa (ma’rifatu an-nafs). Landasannya adalah surah Fusshilat : 53,

سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ ۗ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ

kami akan perlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan Kami di seluruh penjuru dan pada diri mereka sendiri sehingga jelaslah kepada mereka bahwa Al-Qur’an itu benar. Tidakkah cukup bahwa Tuhanmu menjadi Saksi atas segala sesuatu. (Fusshilat : 53)

Landasan berikut adalah riwayat yang disebut sebagai hadis Nabi Saw.,

من عرف نفسه فقد عرف ربّه

Siapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhan.

Tentang keabsahan hadis ini dan bagaimana maknanya telah dibahas pada tulisan “Membincang Hadis “Man ‘Arafa Nafsahu Faqad Arafa Rabbahu”

Kata al-Ghazali, kunci kita mengenal Tuhan itu diawali dengan mengenali diri. Dalam konteks cara mengenali diri, al-Ghazali langsung menjelaskan bahwa seseorang bisa mengenal baik Allah jika ia sudah mengenal dengan baik dirinya. Al-Ghazali pun menjawab orang yang mengatakan kalau ia sudah mengenali dirinya sendiri dengan mengatakan, « saya kenal diriku sendiri.

Saya punya tangan, kaki, kepala, perut. » Jawaban tersebut bahkan kata al-Ghazali belum bisa mengetahui apa yang terjadi dalam diri kita ketika kita marah, kita bemusuhan, ketika kita berhasrat, kita berkawin, ketika kita lapar kita mencari makan, haus mencari minum. Jika sudah mengetahui ini saja, kita masih lama dengan hewan yang berada di muka bumi ini, tegas al-Ghazali.

Lanjut al-Ghazali, kita harus mengenali diri kita yang sejati. Pertanyaan-pertanyaan mengenali diri menurut al-Ghazali dimulai dengan :

« kita ini apa ? », « kita ini datang dari mana ? » « untuk apa kita tercipta ? » « apa yang membuat kita menjadi bahagia dan menjadi nestapa ? »

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, al-Ghazali menjelaskan bahwa di dalam tubuh kita ini ada sifat-sifat yang khas yang memiliki karakteristiknya masing-masing. Sifat pertama, adalah sifat kehewanan (shifaatu al-bahaaim).

Dengan sifat ini, mansia bahagia ketika bisa makan, minum, tidur, dan memuaskan hasrat seksualitas. Sifat kedua, adalah sifat buas (shifaatu as-siba’). Sifat ini tersalurkan ketika seseorang marah atau menyakiti yang lain.

Sifat ketiga, adalah sifat jahat (shifaatu as-syayaathin). Sifat ini terpenuhi keinginannya dengan melakukan niat buruk, keburukan, mencari celah agar terhindar dari melakukan kebenaran. Dan sifat keempat, adalah sifat malaikat. Sifat ini muncul ketika seseorang menyadari atau menyaksikan indahnya kekuasaan Allah. Ketika sifat yang terakhir ini kuat, ketiga sifat yang pertama menjadi lemah dan justru manusia yang mengendalikannya, bukan sebaliknya.

Wallahu A’lam.

BINCANG SYARIAH

Saran Imam Al-Ghazali untuk Jamaah Setelah Jalankan Haji

 Setelah melaksanakan rukun dan wajib haji, jamaah disarankan mengunjungi pemakaman Syuhada, masjid dan sumur yang pernah digunakan Rasulullah. Pemakaman, Syuhada, Masjid dan Sumur yang disarankan dikunjungi itu lokasinya ada di Madinah.

Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Asrar al-Haj mengatakan, bahwa jumlah pemakaman Syuhada dan masjid di Madinah berjumlah 30, semuanya dikenal oleh penduduk setempat. Masjid yang sering dikunjungi Rasulullah di aantaranya Masjid Qiblatain, Masjid Ibnu Abd al-Asyhal, Masjid Bani Ashifah, Masjid Bani Muawiyah dan Masjid Bani Jhafar yang di dalamnya terdapat batu yang pernah diduduki oleh Rasulullah SAW

“Maka dianjurkan mengunjungi tempat-tempat tersebut semampunya,” katanya.

Selain itu juga Imam Ghazali menyarankan agar jamaah haji dan umrah mengunjungi tujuh sumur yang airnya pernah digunakan Rasulullah untuk wudhu, minum dan mandi. Sumur-sumur itu di antaranya sumur Aris, sumur Ha, sumur Rauqah, sumur Aras, sumur Bidha’ah, sumur Bashshah.

“Ketika mengunjungi sumur itu niatkan untuk mengharap keberkahan dari nabi dan meminta kesembuhan kepada Allah,” katanya.

Imam Ghazali mengatakan, jika dia mampu menetap di Madinah dengan tetap megindahkan status keihramannya, maka dia mendapatkan anugerah yang besar. Rasulullah SAW bersabda.

“Tidaklah seseorang bersabar menahan kesusahan dan kesulitan yang dideritanya di kota ini melainkan aku akan menjadi penolongnya kelak pada hari kiamat. “HR Muslim).

Nabi SAW juga bersabda. “Barangsiapa bisa meninggal di Madinah, hendaklah dia meninggal di sana karena tidak akan meninggal seseorang di Madinah melainkan aku (Rasulullah) akan menjadi penolong dan saksi baginya pada hari kiamat. “HR. Tirmidzi).

Setelah itu kata Imam Ghazali ketika kita sudah selesai mengerjakan semua amalan dan urusan agama lain berniat keluar dari Madinah, maka disunahkan mendatangi Makam kembali untuk berziarah dan berpamitan kepada Rasulullah. Saat berziarah juga dianjurkan membaca doa-doa masyhur.

“Memohon kepada Allah agar berkenan memberi kesempatan kembali ke Madinah serta meminta keselamatan selama perjalanan pulang ke kampung halaman,” katanya.

Kemudian salat dua rakaat di Raudhah tempat Rasulullah berdoa dan bermunajat sebelum dibangun bilik kecil di dalam masjid. Ketika keluar seyogianya keluar dengan melangkahkan kaki kiri terlebih dahulu kemudian kaki kanan sambil membaca doa.

“Ya Allah berikanlah rahmag Agung kepada Nabi Muhammad dan keluarga Muhammad dan janganlah engkau jadikan ini sebagai saat terakhirku dengan Nabi-Mu. Gugurkan semua dosaku dengan menziarahinya. Sertakanlah keselamatan dalam kepulanganku, mudahkanlah aku kembali pada keluarga dan kampung halaman dengan selamat wahai Dzat Yang Paling Menyayangi di antara segala yang menyayangi.”

“Sebelum pergi hendak mengeluarkan sedekah untuk para tetangga Rasulullah sesuai kemampuan. Hendaklah pula mengunjungi setiap masjid yang berada di antara Madinah dan Makkah, Lalu Salat di sana yang masjidnya kurang lebih berjumlah 20 masjid,” kata Imam Ghazali.

IHRAM

Ini Wirid Harian dari Imam Al-Ghazali Agar Hidup Berkah

Dalam kitab Mujarrabat Al-Dairabi disebutkan bahwa Imam Al-Ghazali memiliki wirid harian yang beliau anjurkan untuk diamalkan. Menurut beliau, siapa saja yang mengamalkan wirid harian ini, maka hidupnya akan mendapatkan keberkahan dan dimudahkan untuk memperoleh ilmu.

Amalan wirid harian dimaksud adalah sebagai berikut;

Pertama, hari Jumat membacat dzikir berikut sebanyak seribu kali;

يَا اللهُ

Yaa alloh.

Kedua, hari Sabtu membaca dzikir berikut sebanyak seribu kali;

لَااِلَهَ اِلاّ الله

Laa ilaaha illallooh.

Ketiga, hari Ahad membaca dzikir berikut sebanyak seribu kali;

يَاحَيُّ يَا قَيُّوْمُ

Yaa hayyu yaa qoyyuum.

Keempat, hari Senin membaca dzikir berikut sebanyak seribu kali;

لَا حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ اِلاَّ بِاللهِ اْلعَلِيِّ اْلعَظِيْمِ

Laa hawla walaa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘azhiim.

Kelima, hari Selama membaca shalawat kepada Nabi Saw sebanyak seribu kali.

Keenam, hari Rabu membaca istighfar berikut sebanyak seribu kali;

اَسْتَغْفِرُ اللهَ اْلعَظِيْمَ

Astaghfirulloohal ‘azhiim.

Ketujuh, hari Kamis membaca tasbih berikut sebanyak seribu kali;

سُبْحَانَ اللهَ اْلعَظِيْمَ وَبِحَمْدِهِ

Subhaanalloohal ‘azhiima wa bihamdih.

Disebutkan dalam kitab Mujarrabat Al-Dairabi sebagai berikut;

فائدة: قال الغزالي رحمه الله تعالى ما حصل لي الفتوح والبركة الا بهذه الاوراد وهي ان تقول في يوم الجمعة يا الله الف مرة وفي يوم السبت لا اله الا الله الف مرة وفي يوم الاحد يا حي يا قيوم وفي يوم الاثنين لا حول ولا قوة الا بالله العلي العظيم وفي يوم الثلاثاء تصلى على النبي الف مرة وفي يوم الاربعاء استغفر الله العظيم الف مرة وفي يوم الخميس سبحان الله وبحمده الف مرة

Faidah; Imam Al-Ghazali berkata; Aku tidak mendapatkan futuh dan keberkahan kecuali dengan wirid-wirid ini. Yaitu di hari Jumat membaca; Yaa alloh, seribu kali, hari Sabtu membaca; Laa ilaaha illalloh, seribu kali, hari Ahad membaca; Yaa hayyu yaa qoyyuum, seribu kali, hari Senin membaca; Laa hawla walaa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘azhiim, seribu kali, hari Selasa membaca shalawat kepada Nabi Saw seribu kali, hari Rabu membaca; Astagfirullaahal ‘azhiim, seribu kali, hari Kamis membaca; Subhaanallaah wa bihamdih, seribu kali.

BINCANG SYARIAH

Tak Asal Ucapan, Ini 4 Fondasi Syahadat Menurut Ghazali

Terdapat 4 fondasi utama syahadat menurut Imam Al-Ghazali

Bagi setiap orang yang ingin memeluk Islam, maka wajib mengucapkan dua kalimat syahadat, yaitu:  

أشهد أن لا إله إلا الله، وأشهد أن محمدا رسول الله Asyhadualla ilaha Illallah wa Asyhadunn Muhammadar Rasulullah. 

Di dalam kalimat kesaksian itu terdapat beberapa penegasan. Dalam kitab Imam Al-Ghazali “Raudhatu ath-Thalibin wa ‘Umdatu as-Salikin” dijelaskan, secara ringkas dua kalimat syahadat mengandung penegasan tentang Dzat Allah, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, dan kebenaran Rasulullah SAW.

Selain itu, di dalamnya juga terkandung empat fondasi bangunan iman. Fondasi pertama, mengenal Allah, yang meliputi sepuluh prinsip, yaitu: ilmu (pengetahuan) tentang wujud Allah, sifat qidam dan baqa’-Nya, dan bahwa dia bukan substansi, materi, maupun aksiden. Dia tidak terbatasi oleh suatu arah, tidak menetap pada sebuah tempat, dan Dia Mahamelihat dan Mahasaesa.

Fondasi kedua, yaitu mengenal sifat-sifat Allah SWT yang terdiri atas sepuluh prinsip, yaitu mengenali bahwa Allah itu Hidup, Mahamengetahui, Mahakuasa, Mahaberkehendak, Mahamendengar, Mahamelihat, Mahaberbicara, Mahabenar dalam menyampaikan berita, suci dari hal-hal baru, dan sifat-sifat-Nya adalah kadim.

Fondasi ketiga, mengenali perbuatan-perbuatan Allah SWT yang berkisar atas sepuluh prinsip, yaitu perbuatan-perbuatan hamba adalah ciptaan Allah, akibat kehendak-Nya, perbuatan-perbuatan itu merupakan sesuatu yang diupayakan (muktasab).

Kemudian, Dia juga merupakan pemberi agnugerah kepada makhluk, Dia berhak memberi beban syariat (taklif) di luar kemampuan, Dia boleh menyakiti makhluk, Dia tidak wajib memperhatikan hal yang lebih maslahat, tidak ada kewajiban kecuali atas dasar syariat, pengutusan para nabi adalah perkara ja’iz (boleh), dan kenabian Muhammad Saw yang didukung berbagai mukjizat merupakan kepastian.

Fondasi keempat, perkara yang hanya didengar (samiyyat) mencakup sepuluh prinsip, yaitu hari pengumpulan makhluk (hasyr), hari kebangkitan (nasyr), azab kubur, pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir, shirat, penciptaan surga dan neraka, dan hukum-hukum imamah.

KHAZANAH REPUBLIKA


4 Golongan Manusia yang Tertipu Menurut Imam Ghazali

Manusia yang tertipu dari golongan ulama hingga ahli tasawuf.

Tidak selamanya hamba Allah SWT akan selamat dari godaan setan. Dalam kitabnya, al-Kasf wa Al-Tibyan fi Ghurur al-Khalq Ajma’in (Menyingkap Aspek-aspek Ketertipuan Seluruh Makhluk), Al-Ghazali menyebutkan empat kelompok manusia yang tertipu. 

Keempat kelompok manusia itu adalah ulama atau cendikiawan, ahli ibadah, hartawan, dan golongan ahli tasawuf. Mereka itu tertipu karena ibadahnya.

1. Ulama atau Cendekiawan

Menurut al-Ghazali, banyak sekali golongan ulama atau cendekiawan yang tertipu. Di antaranya, mereka yang merasa ilmu-ilmu syariah dan aqliyah yang dimiliki telah mapan (cukup). ”Mereka mendalaminya dan menyibukkan diri mereka dengan ilmu-ilmu tersebut, namun mereka lupa pada dirinya sendiri sehingga tidak menjaga dan mengontrol anggota tubuh mereka dari perbuatan maksiat.”

Selain itu, ketertipuan para ulama atau cendekiawan ini juga dikarenakan kelalaian mereka untuk senantiasa melakukan amal saleh. Mereka ini, kata al-Ghazali, tertipu dan teperdaya oleh ilmu yang mereka miliki. Mereka mengira bahwa dirinya telah mendapatkan kedudukan di sisi Allah. Mereka mengira bahwa dengan ilmu itu telah mencapai tingkatan tertinggi 

Lebih lanjut al-Ghazali dalam kitabnya menjelaskan, orang-orang yang masuk dalam kelompok ini adalah orang-orang yang dihinggapi perasaan cinta dunia dan diri mereka sendiri serta mencari kesenangan yang semu.

Selain itu, mereka yang tertipu adalah orang yang merasa ilmu dan amal lahiriahnya telah mapan, lalu meninggalkan bentuk kemaksiatan lahir, namun mereka lupa akan batin dan hatinya. Mereka tidak menghapuskan sifat tercela dan tidak terpuji dari dalam hatinya, seperti sombong, ria (pamer), dengki, gila pangkat, gila jabatan, gila kehormatan, suka popularitas, dan menjelek-jelekkan kelompok lain.  

2. Golongan Ahli Ibadah

Golongan berikutnya yang tertipu, kata al-Ghazali, adalah golongan ahli ibadah. Mereka tertipu karena shalatnya, bacaan Alqurannya, hajinya, jihadnya, kezuhudannya, amal ibadah sunnahnya, dan lain sebagainya.

Dalam kelompok ini, lanjut al-Ghazali, terdapat pula mereka yang terlalu berlebih-lebihan dalam hal ibadah hingga melewati pemborosan. Misalnya, ragu-ragu dalam berwudu, ragu akan kebersihan air yang digunakan, berpandangan air yang digunakan sudah bercampur dengan air yang tidak suci, banyak najis atau hadas, dan lainnya. Mereka memperberat urusan dalam hal ibadah. Tetapi, meringankan dalam hal yang haram. Misalnya, menggunakan barang yang jelas keharamannya, namun enggan meninggalkannya. 

3. Golongan Hartawan

Dalam kelompok hartawan, ada beberapa kelompok yang tertipu. Menurut al-Ghazali, mereka adalah orang yang giat membangun masjid, membangun sekolah, tempat penampungan fakir miskin, panti jompo dan anak yatim, jembatan, tangki air, dan semua amalan yang tampak bagi orang banyak. Mereka dengan bangga mencatatkan diri mereka di batu-batu prasasti agar nama mereka dikenang dan peninggalannya dikenang walau sudah meninggal dunia.

Selanjutnya, kelompok hartawan yang tertipu adalah mereka yang memperoleh harta dengan halal, lalu menghindarkan diri dari perbuatan yang haram, kemudian menafkahkannya untuk pembangunan masjid. Padahal, tujuannya adalah untuk pamer (ria) dan sum’ah (mencari perhatian) serta pujian.

Lalu, mereka yang tertipu dalam kelompok ini adalah mereka yang menafkahkan hartanya untuk fakir miskin, penampungan anak yatim, dan panti jompo dengan mengadakan perayaan. 

4. Golongan Ahli Tasawuf

Golongan selanjutnya yang tertipu, kata Imam al-Ghazali, adalah golongan ahli tasawuf. Dan, kebanyakan mereka muncul pada zaman ini. Mereka yang tertipu adalah yang menyerupakan diri mereka dengan cara berpakaian para ahli tasawuf, cara berpikir dan penampilan, perkataan, sopan santun, gaya bahasa, dan tutur kata. Mereka juga tertipu dengan cara bersikap, mendengar, bersuci, shalat, duduk di atas sajadah sambil menundukkan kepala, bersuara rendah ketika berbicara, dan lain sebagainya.

KHAZANAH REPUBLIKA