Imam Syafii dan Kakek Misterius

Imam Syafii terkesan dengan penampilan kakek berwibawa yang misterius itu.

Dalam sejarah peradaban Islam, Imam Syafii merupakan salah seorang tokoh yang berpengaruh besar. Pemilik nama lengkap Muhammad bin Idris bin ‘Abbas bin ‘Usman bin Syaafi’ itu mendirikan salah satu mazhab fikih ahlussunnah waljama’ah. Fatwa dan pemikirannya diikuti banyak kaum Muslimin di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Sejak kecil, ia tumbuh dalam lingkungan yang mengutamakan ilmu-ilmu agama. Perjalanannya dalam menuntut ilmu dimulai dari belajar membaca, menulis, dan menghafal Alquran. Alhasil, saat usianya masih tujuh tahun, Imam Syafi’i telah menyelesaikan hafalan 30 juz dengan lancar.

Setelah menjadi hafiz, lelaki kelahiran Gaza, Palestina, tersebut meneruskan rihlah keilmuannya dengan menghafal berbagai macam syair Arab dan kitab Al-Muwattha’ karangan Imam Malik. Ketika menetap di Makkah, ia berguru kepada Sufian bin ‘Uyainah, salah seorang ahli hadis terkemuka dari generasi tabiit tabiin. Imam Syafi’i memuji keduanya, “Kalau bukan karena Imam Malik dan Sufian bin ‘Uyainah, maka akan hilanglah ilmu di Hijaz.”

Salah seorang habib atau keturunan Nabi Muhammad SAW itu dikenal luas sebagai ulama besar. Ia mengajar di sejumlah daerah, utamanya Irak dan Mesir. Dengan reputasi yang sedemikian besar, bagaimanapun, dirinya tidak jatuh pada keangkuhan.

Malahan, pakar fikih tersebut tetap belum merasa puas akan ilmu-ilmu yang telah diperolehnya. Dalam suatu riwayat disebutkan, Imam Syafii masih merasa sebagai orang yang paling bodoh. “Bila aku mendapatkan satu ilmu baru, maka hal itu menunjukkan betapa bodohnya diriku,” katanya. Sebuah ungkapan rendah hati sang imam!

Kisah berikut ini juga menggambarkan kerendah-hatiannya. Pada suatu hari, yakni antara zuhur dan ashar, Imam Syafii bersandar pada sebuah pohon yang rindang. Waktu itu dimanfaatkannya untuk istirahat, menenangkan pikiran sejenak setelah menyelami kitab-kitab di perpustakaan.

Tiba-tiba, seorang kakek berjalan menghampirinya. Kakek tersebut tampak memakai jubah yang cukup tebal, imamah, dan sarung yang menutupi kedua kakinya. Kelihatannya, semua yang dikenakan orang tua ini berbahan dasar bulu domba (shuf). Adapun tangan kanannya memegang sebuah tongkat.

Imam Syafii terkesan dengan penampilan kakek itu. Menurutnya, kewibawaan begitu terpancar dari sosok misterius tersebut. Kakek ini mengucapkan salam. Sang imam bangkit dari duduknya, berdiri sembari merapikan pakaian, dan menjawab salamnya. Lelaki tua itu mengisyaratkan ingin duduk di sebelah Imam Syafii. Yang diminta pun mempersilakannya.

“Sungguh, aku ingin mengajukan pertanyaan untukmu,” kata sang kakek.

“Silakan,” jawab Imam Syafii.

“Apa dasar dari agama Allah?” tanya kakek itu.

“Alquran.”

“Lalu, apa lagi?”

“Sunnah Rasulullah SAW.”

“Kemudian?”

“Ijma (konsensus) para ulama,” terang Imam Syafii.

“Apa dalil-dalil yang bisa Anda ajukan sehingga mengatakan ijma para ulama?” desak kakek tersebut.

“Alquran,” jawab Imam Syafii.

“Kalau begitu, ayat yang mana di Alquran?” cecarnya lagi.

Imam Syafii tidak langsung menjawab. Untuk beberapa lama, dia merenung dan berpikir sejenak. Melihat itu, sang kakek bangkit lalu berkata kepadanya, “Kuberikan kepadamu waktu tiga hari tiga malam. Jika menemukan ayat dari Alquran sebagai dalil untuk itu, maka kamu benar. Jika tidak, maka segeralah bertobat!”

Imam Syafii terkejut. Sebelum ia menanggapi, kakek tersebut sudah beranjak pergi. Sejak saat itu, sang imam berupaya untuk menemukan dalil yang dimaksud. Ia pun selalu memohon petunjuk kepada Allah agar diberikan ilham tentang ayat Alquran yang bisa menjelaskan perihal ijma.

Tiap hari, begitu memasuki waktu antara Zhuhur dan Ashar, Imam Syafii menyambangi pohon tempatnya bertemu dengan sang kakek misterius. Barulah pada hari ketiga, keduanya kembali berjumpa.

Tampak jelas rasa lelah pada fisik Imam Syafii. Kantung matanya menjadi tebal. Kedua telapak tangan dan kakinya kelihatan bengkak. Itu menandakan, sang imam memang sangat bersungguh-sungguh dalam menemukan apa yang dicari.

“Silakan, berikan jawabanmu,” kata sang kakek setelah mengucapkan salam.

“Baiklah,” jawab Imam Syafii, “adapun dalil yang dimaksud ialah surah an-Nisa ayat 115.”

Terjemahan ayat itu, “Dan barangsiapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu, dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahanam, dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.”

“Jawabanmu tepat,” timpal kakek tersebut sembari tersenyum kepada Imam Syafii.

Sejurus kemudian, pria tua misterius itu pun pergi. Menurut riwayat dari Tajuddin as-Subki, kakek ini adalah Nabi Khidir.

Kisah tersebut memuat pesan moral tentang keteladanan yang ditunjukkan Imam Syafii. Tidak perlu diragukan lagi, sang imam memiliki taraf keilmuan yang tinggi. Pengetahuannya akan syariat pun luas, di atas rata-rata Muslimin. Tentangnya, Imam Hambali pernah berkata, “Imam Syafii laksana matahari bagi dunia dan kesembuhan bagi tubuh. Setelahnya, tidak ada orang yang menandingi kebesarannya.”

Namun, keluasan ilmu tidak menjadikannya sombong. Sikap rendah hatilah yang membuatnya tidak gengsi untuk tidak menjawab seketika pertanyaan dari sang kakek. Ketika “diberi” waktu tiga hari untuk menemukan jawaban, masa itu dimanfaatkannya dengan sungguh-sungguh. Sampai-sampai, kaki dan tangannya bengkak karena kerja keras mencari dalil yang tepat.

OLEH HASANUL RIZQA

REPUBLIKA ID

4 Tips Sukses Belajar dari Imam Syafii

Imam Asy-Syafi’i mengatakan, 

من أحب أن يفتح الله تعالى قلبه ويرزقه العلم فعليه بالخلوة وقلة الأكل وترك مخالطة السفهاء وبعض أهل العلم الذين ليس معهم إنصاف ولا أدب

“Siapa saja yang ingin Allah bukakan hatinya dan Allah beri ilmu hendaknya suka menyendiri, sedikit makan, tidak bergaul dengan orang-orang yang kurang berakal dan tidak bergaul dengan sebagian orang yang berilmu yang tidak memiliki sikap objektif dan tidak memiliki adab.” (Bustanul Arifin karya Imam an-Nawawi hlm 159)

Ada empat kiat sukses belajar:

Pertama:

Suka menyendiri untuk belajar dengan berbagai bentuknya, membaca buku, menyimak rekaman kajian, meringkas buku yang dibaca dll. 

Orang yang terlalu gaul di dunia maya atau dunia nyata tidak akan sukses belajar. 

Kedua:

Sedikit makan karena dua sebab.

Pertama, supaya tidak mudah ngantuk karena orang yang terlalu kenyang itu cenderung malas beraktivitas dan mudah ngantuk. 

Kedua, orang yang sukses belajar itu hemat makan agar bisa punya uang untuk beli buku dan sarana pendukung belajar yang lain. 

Ketiga:

Sama sekali tidak bergaul dengan orang-orang yang kurang akal yang suka buang-buang waktu untuk obrolan yang tidak bermanfaat, candaan berlebihan, sibuk ngobrol urusan perut dan lawan jenis dll. 

Keempat:

Agar ilmu bermanfaat hindari belajar kepada orang yang berilmu namun tidak memiliki dua hal.

Pertama, sikap objektif dengan indikator sulit mengakui kalo dirinya salah, suka ngeles dan muter-muter kalo pendapatnya ternyata kurang tepat, sulit berkata saya tidak tahu dll. 

Kedua, tidak memiliki adab dalam tutur kata, keras dan kasar ketika berbicara, tidak memiliki adab ketika berselisih, cenderung melecehkan orang berilmu yang berbeda paham dengan dirinya, dll. 

Penulis: Ustadz Aris Munandar, S.S., M.P.I.

YUFIDIAH

Teladan Imam Syafii, Berharap Pahala Bukan Pujian

Ar-Rabi bin Sulaiman berkata, “Aku mendengar Asy Syafii berkata, “Aku ingin bahwasanya manusia mempelajari ilmu ini dan tidak dinisbatkan kepadaku sedikitpun darinya.” Ar-Rabi juga menuturkan, “Aku masuk menemui Asy-Syafii ketika ia sakit, lantas ia menanyakan keadaan sahabat-sahabat kami, lalu ia berkata, Hai anakku, sungguh aku sangat ingin, bahwasanya manusia semuanya mempelajari maksudnya kitab-kitabnya dan tidak dinisbatkan kepadaku sedikitpun darinya.”

Dari Harmalah ia berkata, “Aku mendengar Asy Syafii berkata, “Aku ingin bahwasanya setiap ilmu yang kuajarkan kepada kepada manusia aku diberi pahala atasnya dan mereka tidak memujiku.” (Hilyatul Awliya oleh Abu Nuaim: 9/118)

Semoga Allah merahmatimu wahai Imam Asy Syafii. Perjuangannya untuk membela dan menyebarkan sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallama sehingga ia digelari Naashirus Sunnah (pembela sunnah). Perjuangannya membukukan sendi-sendi ilmu ushul fiqh untuk pertama kali dalam sejarah, sehingga terbukalah kunci-kunci ilmu fiqh bagi orang-orang sesudahnya. Namun ia tidak ingin orang memujinya, tidak ingin manusia menyebut-nyebut jasanya sedikitpun. Demikianlah ketulusan para ulama, jauh dari keinginan tenar dan tersohor, jauh dari ujub dan sumah.

Adapun penuntut ilmu hari ini. Tidak sedikit yang bangga hanya karena menulis satu, dua atau beberapa artikel yang itupun isinya mencomot (copy paste) dari sana dan sini. Bangga karena gelar kesarjanaan yang telah diraih. Semoga Allah Taala melimpahkan kepada kita keikhlasan dalam beramal, dan menjauhkan kita dari penyakit riya, ujub dan hubbusy syuhrah (cinta ketenaran) , amin. [Ustadz Abu Zubair Al-Hawary, Lc.]

 

INILAH MOZAIK

Meski Beda Pendapat, Imam Ahmad Doakan Syafi’i 40 Tahun

IMAM Ahmad Bin Hambal (164-241 H), salah satu ulama madzhab 4, berasal dari Bagdad, karya beliau antara lain, Musnad Ahmad, Ar Radd ilal Jahmiyah Waz Zanadiqah, dll. Beliau dikenal amat tegas terhadap hukum,  akan tetapi amat tawadhu’ terhadap sesama ulama Ahlu Sunnah, berikut ini beberapa nukilan yang menunjukkan kearifan Ahmad bin Hambal terhadap mereka yang berbeda pendapat dengannya.

Dalam Siyar ‘Alam An Nubala’, dalam tarjamah, Ishaq bin Rahuyah, berkata Ahmad bin Hafsh As Sa’di, Syeikh Ibnu ‘Adi: “Aku mendengar Ahmad bin Hambal berkata: Tidak ada seorang pun yang pernah pergi ke Khurasan menyerupai Ishaq (kelebihannya), walaui dia telah menyelisihi kita dalam beberapa hal, sesungguhnya manusia masih berselisih satu sama lain.” (Siyar ‘Alam An Nubala’ hal. 16, vol. 10).

Juga diriwayatkan oleh Al Hafidz Abu ‘Umar bin ‘Abdul Barr, dalam Jami’ Bayan Al ‘Ilmi, dalam bab Itsbat Al Munadharah Wal Mujadalah Wa Iqamati Al Hujjah, dari Muhamad Bin ‘Attab bin Al Murba’, dia berka, aku mendengar Al ‘Abbas bin Abdi Al Al Adzim Al Ambari mengabarkan kepadaku:  “Aku bersama Ahmad bin Hambal dan datanglah ‘Ali bin Madini dengan mengandarai tunggangan, lalu keduanya berdebat dalam masalah syahadah, hingga meninggi suara keduanya, sampai aku takut terjadi apa-apa di antara keduanya. Ahmad berpendapat adanya syahadah sedangakan ‘Ali menolak dan menyanggah, akan tetapi ketika Ali hendak meninggalkan tempat tersebut Ahmad bangkit dan menaiki kendaraan bersamanya.” (Jami’ Bayan Al ‘Ilmi hal. 968, vol.2).

Juga diriwayatkan bahwa Ahmad bin Hambal juga pernah berdebat dengan guru beliau Imam Syaf’i dalam masalah hukum meninggalkan shalat, maka berkata kepada dia Imam Syafi’i: “Wahai Ahmad, apakah engkau mengatakan dia (yang meninggalkan shalat) kafir?” Ahmad menjawab: “Iya.” Imam Syafi’i lantas bertanya: ”Jika sudah kafir bagaimana cara untuk berislam?” Imam Ahmad menjawab: “Dengan mengatakan La ilaha ila Allah.” Dijawab Syafi’I; “Dia masih memegang kata itu dan tidak meninggalkannya (syahadat).”Ahmad berkata lagi: “Dengan menyerahkan diri untuk mau mengerjakan shalat.” Syafi’i menjawab; “Shalat orang kafir tidak sah, dan tidak dihukumi sebagai Muslim dengan hanya shalat.” Maka Ahmad berhenti berbicara dan diam.” (Thabaqat As Syafi’iyah, hal. 61, vol.2).

Walau terjadi perselisihan dalam beberapa masalah, Imam Ahmad tetap bersikap tawadhu’, bahkan banyak memuji untuk Imam Syafi’i.

Berkata Ishaq bin Rahuyah: “Aku bersama Ahmad di Makkah, dia berkata: “Kemarilah! Aku tunjukkan kepadamu seorang lelaki yang kamu belum pernah melihat orang seperti dia!” Ternyata laki-laki tersebut adalah Imam Syafi’i. (Shifatu As Shofwah, hal. 142, vol. 2)

Tidak sedikit perbedaan pendapat terjadi antara Imam Ahmad dengan Imam Syafi’i. Namun keduanya mengajarkan kita semua akan akhlak yang mulia. Di antaranya, Imam Ahmad selalu mendokan Imam Syafi’I hingga 40 tahun lamanya.

Berkata Ahmad bin Al Laits: “Aku mendengar Ahmad bin Hambal berkata: “Aku akan benar-benar mendo’akan Syafi’i dalam shalatku selama 40 tahun, aku berdoa: ”Ya Allah, ampunilah diriku dan orang tuaku, dan Muhammad bin Idris Asyafi’i.” (Manaqib As Syafi’i lil Baihaqi, hal. 254, vol. 2).*/Thoriq

 

HIDAYATULLAH

Makkah, Kota Tempat Tumbuhnya Keilmuan Imam Syafi’i

Imam Syafi’i  adalah salah satu dari empat imam besar yang warisannya mengenai masalah peradilan dan yurisprudensi hukum Islam. Imam Syafi’i lahir di kota Gaza di Palestina pada tahun 767 M.

Nama kecilnya adalah Mohammad Ibn Idris.Imam Syafi’i merupakan keturunan keluarga Hasyim dari suku Quraish yang juga menjadi keluarga MuhammadSAW.

Rantai leluhur Imam Shafi’i terdiri dari sebagai berikut: Imam Abu Abdullah Muhammad Ibn Idris Ibn Abbas Ibn Utsman Ibn Syafi’i Ibn Saa’ib Ibn Ubayd Ibn Abd Yazid Ibn Hasyim Ibn Muththalib Ibn Abd Munaf Qurayshi Muttalibi Hashimi.

Kehidupan Awal
Ayah Imam Syafi’i meninggal di Ash-Sham saat masih kecil. Setelah kematian ayahnya, ibu Imam Syafi’i pindah ke Makkah, saat Imam Syafi’i baru berusia dua tahun. Akar keluarga ibu Imam Shafi’i berasal dari Yaman dan ada juga beberapa anggota keluarga di Makkah, tempat di mana ibunya percaya dan berharap agar dia mendapat perhatian dengan baik.

Imam Syafi’i menghabiskan tahun-tahun awal pembentukan karakternya  di Makkah dan memperoleh pendidikan agama di kota-kota di Makkah dan Madinah. Di Makkah, Imam Syafi’i belajar di bawah Mufti Muslim Ibn Ibn Khalid Az-. Dia dibesarkan di antara suku Banu Huzayl di Makakh yang sesuai dengan banyak suku Arab di era itu sangat berpengalaman dalam seni puisi, sebuah tradisi yang disampaikan kepada Imam Syafi’i yang juga menjadi sangat mahir dalam hal itu.

Pendidikan awalnya ditandai dengan kemiskinan akut. Ini karena ibunya tidak mampu membayar biaya pendidikannya. Meski begitu, gurunya sangat terkesan dengan kemampuannya sehingga dia menganggapnya sebagai siswa formal dengan biaya tanpa biaya tambahan.

Seperti dilansir Saudii Gazette.com, saking miskinnya, ibunya tidak bisa membelikannya kertas karena keadaannya ekonominya begitu  buruk. Alhasil. Sosok remaja Mohammad Ibn Idris terpaksa  menggunakan tulang, batu dan daun kelapa untuk menulis tugas belajarnya.

Tapi kekurangan tersebut  bukan untuk mencegahnya memperoleh pengetahuan. Mohammad muda Ibn Idris tidak hanya menghafal seluruh teks, tapi juga mampu memahami konteks dan sejarah etimologis yang terkait dengan berbagai ayat Alquran pada usia 10  tahun.

Sedangkan ketika berusia 15 tahun dia telah mampu mengumpulkan kedalaman dan ketelitian pengetahuan ajaran Islam. Melihat kemampuan anak didiknya itu, maka Mufti Makkah pada waktu itu kemudian memberi wewenang kepadanya untuk mengeluarkan fatwa .

Secara kronologis, Imam Mohammad Ibn Idris lahir hamper 57 tahun setelah kelahiran Imam Malik,. Untuk itu, maka karya monumental Hadith Mu’atta dari Imam Malik oleh Imam Syafii atau Mohammad Ibnu Idris pelajari bersama dengan Alqur’an di usia dini seperti yang disebutkan di atas.

Teologi bukanlah satu-satunya keahliannya, namun Imam Syafi’i juga mahir mengajar tentang puisi, linguistik, dan silsilah. Murid-muridnyapun berasal dari beragam disiplin ilmu.

Mengenai siapa yang menjadi guru Imam Syafi’i, di masa asal masa belajarnya pamannya sendiri, yakni Sufyan Ibn Uyaynah Makki salah satu gurunya. Sedangkan para guru lainnya antara lain adalah Muslim Ibn Khalid Zanji, Haatim Ibn Ismail, Ibrahim Ibn Muhammad Ibn Yahya, Hishaam Ibn Yusuf Sinani, Marwan Ibn Mu’aawiyah, Muhammad Ibn Ismail, Dawood, Ibn Abdul Rahman, Ismail Ibn Ja’far dan Hisham Ibn Yusuf.

Sedangan guru Imam Syafii yang paling terkenal adalah pendahulunya, yakni Imam Malik, pencetus mahzab Maliki yang juga merupakan salah satu dari empat aliran pemikiran terkemuka dalam Islam.

Jadi, Imam Syafi’i tidak hanya belajar dari buku Imam Malik yang sangat terkenal, Mu’atta sejak usia dini, namun seperti yang dilansir beberapa orang, dia juga mendapat kehormatan saat berada di kota Madinah, untuk belajar langsung di tangan tuan mazhab pemikiran itu.

Setelah berguru ada ulama terkemuka, maka Mohammad Ibn Idris (Imam Syafi’i) kemudian melanjutkan untuk memunculkan aliran pemikirannya sendiri yang sekarang dikenal mahzab Syafi’i .

Kontribusi paling penting dari Syafi’i kepada badan akademis pengetahuan Islam adalah pembentukan dasar-dasar yang kuat tentang prinsip-prinsip fikih Islam. Pemikirannya mengenai ajaran Islam itu kemudian diwujudkan dalam sebuah buku penting, yakni karya Al-Risala yang dianggap oleh banyak orang sebagai karya akademis terpenting di bidang ini., yakni pinsip-prinsip fikih Islam.

Pada zamannya, saat itu pemikiran Imam Syafo’i dibenak banyak orang saat itu sebagai ‘ajaran revivalis’. .Proses cara kajian penelitiannya adalah dimulai dengan mencari makna harfiah dari sebuah ayat Alquran dan kemudian beralih ke hadits terkait (tradisi Nabi Muhammad SAW.

Setelah itu kemudian berkembang menjadi sebuah konsensus pendapat semua orang terpelajar yang berkumpul (Ijma) yang menerapkan penalaran dengan analogi (Qiyas).

Setelah mengkaji soal fiqih, Imam Syafi’i juga dinobatkan sebagai pelopor gagasan untuk membuat perbedaan antara aplikasi peradilan mengenai pertimbangan hukum (Istihsan) dan penalaran hukum murni dengan analogi (Qiyas).

Sedangkan terkait dengan kemurahan hati Imam Syafi’i terjadi dalam banyak peristiwa. Salah satunya kisahya yang terkenal adalah terkait dengan kemurahan hatinya di bulan Ramadhan saat dia hendak pindah ke Makkah.Saat itu, kalau perjalanannya sampai di perbatasan Makkah, dia terkejut dengan kehidupan warganya yang sangat miskin. Keadaan ini berbanding terbalik dengan posisi dirinya yang bisa dibilang cukup kaya karena dia mempunyai uang hingga 10.000 dirham. Uang sebanyak itu merupakan jumlah uang yang sangat besar pada masa itu.

Melihat kesengsaraan itu hati Imam Syafi’i pun terketuk. Dan tak tanggung-tanggung dia kemudian memberikan seluruh uangnya itu, sampai-sampai dia harus meminjam sejumlah uang di Makkah untuk membiayai hidupnya sendiri.

Sikap kedermawanan Imam Syafi itu ternyata dia contoh dari karakter Nabi Muhammad SAW. Rupanya Imam Syafi’i selama ini telah bertekad mencontoh tindakan Rasullah yang selalu memberikan pakaian, makanan, dan uang secara ekstensif di bulan Ramadhan.

Sampai akhir hayatnya, imam Imam Syafi’i berada di perkumpulan orang terpelajar. Dilaporkan dia pun menghabiskan hari-hari terakhirnya di sebuah lembaga pendidikan yang dikelola Abdullah Ibnul Hakam, seorang sarjana terkenal pada masanya.

Imam Syafi’i diperkirakan meninggal usia 54 tahun, pada sebuah hari Jumat di bulan Rajab di tahun 204 H (820 M). Gubernur Mesir waktu itu mengakui keunggulan akademisnya dengan tidak hanya menghadiri pemakamannya tapi benar-benar memimpin doa-doa sewaktu pemakaman tersebut. Tempat peristirahatan terakhir Imam Syafi’i diperkirakan berada di kaki perbukitan gunung Mukatram.

IHRAM

Imam Syafi’i; Pentolan Mengurai Hadis yang Kusut

Hadis merupakan sumber syariat kedua dalam Islam setelah al-Quran, dalam hal ini, semua yang diucapkan, dan dilakukan oleh Rasulullah Saw menjadi tuntunan dan pedoman jika tidak didapatkan dalam al-Quran. Dalam perkembangannya, perbandingan antara dua hadis atau lebih seringkali memunculkan pemahaman berbeda. Perbedaan riwayat, pemahaman, juga pengamalannya membuat kontradiksi antara beberapa hadis tidak terelakkan, oleh karena itu fenomena inilah yang menjadi objek dari kajian ‘ilmu mukhtalaf al-Hadith.

Kajian teoretis tentang kontradiksi yang ada dalam hadis-hadis Nabi Saw sudah dimulai sejak abad kedua Hijriah. Sebagaimana dicatat al-Suyuti dalam kitabnya Tadrib al-Rawi, buku yang pertama kali membahasnya sebagai kajian yang mandiri Ikhtila>f al-H{adi>th adalah karya al-Syafi’i (w. 204 H) yaitu kitab Ikhtilaf al-Hadith. Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad ibn Idris ibn al-Abbas ibn Usman ibn Syafi‘, Al-Syafi‘i adalah nisbat kepada kakeknya yaitu al-Syafi‘i ibn al-Saib, dan ia merupakan seorang sahabat junior (bertemu Nabi Muhammad Saw., ketika masih kecil). Syafi’i dilahirkan di Gazah salah satu kota di Palestina pada hari Jum’at bulan Rajab tahun 150 H (767 M) dan wafat di Mesir pada tahun 204 H.

Hadis-hadis mukhtalif merupakan salah satu objek kajian ilmu hadis. Secara khusus dibahas dalam cabang ilmu hadis yang disebut ilmu mukhtalaf al-Hadith. Dalam rentang sejarah, al-Syafi’i adalah tokoh pertama yang membicarakan dan menulis tentang hadis-hadis mukhtalaf secara khusus, sekaligus cara-cara penyelesaiannya. Sebagaimana dituangkan dalam kitab al-Umm dan al-Risalah.

Menurut al-Syafi’i, sebenarnya tidak ada pertentangan (kontradiksi) di antara hadis-hadis tersebut. Al-Syafi’i berkata:“Kami tidak menemukan adanya hadis yang bertentangan (mukhtalif), melainkan ada jalan keluar penyelesaiannya.” Hadis-hadis yang dinilai bententangan menurut al-Syafi’i hanya pada lahirnya saja, bukan dalam arti yang sebenarnya. Suatu hadis dikatakan bertentangan dengan hadis lainnya sebenarnya disebabkan karena kekeliruan dalam memahaminya. Tujuan al-Syafi’i

Mengarang Kitab Ikhtilaf al Hadith yaitu agar para pembaca khususnya Muhaddisin mengetahui bagaimana cara al-Syafi’i dalam menyelesaikan permasalahan hadis-hadis yang bertentangan tersebut. Seperti disampaikan al-Nawawi dalam kitabnya al-Taqrib wa al-Taysir: “Al-Syafi’i mengarang kitabnya (Ikhtilaf al-hadith), tidak bermaksud menyebutkan semua hadis-hadis yang bertentangan, melainkan al-Syafi’i hanya menyebutkan beberapa hadis-hadis yang bertentangan untuk menjelaskan bagaimana cara al-Syafi’i dalam menyikapi hadis tersebut”. Di dalam kitab ini, al-Syafi’i menyebutkan 253 hadis yang saling kontradiksi.

Al-Syafi’i dalam menyikapi dan menyelesaikan hadis-hadis yang berten angan dalam kitabnya “Ikhtilaf al-Hadith” memiliki beberapa metode yaitu: Pertama, metode jam’ yang berarti mengumpulkan, yaitu mengumpulkan dua dalil dengan cara mengamalkan keduanya tanpa membuang salah satunya. Al-Syafi’i menegaskan:“Selama dua hadis (yang bertentangan) masih memungkinkan difungsikan, maka hendaknya hal itu dilakukan tanpa menelantarkan salah satunya”.
Kedua, metode nasakh (pengubahan, penggantian). al-Syafi’i mengartikan nasakh dengan penurunan perintah yang bertentangan dengan perintah yang telah diturunkan sebelumnya. Nasakh dapat dilakukan jika terdapat dalil yang mendukung. Dalil dapat berupa dari Nabi, sahabat yang menyaksikan kejadian, rawi, atau informasi apapun yang dapat menunjukkan terjadinya nasakh.

Ketiga, Jika solusi jam’u dan nasakh tidak mampu menyelesaikan kontradiksi hadis, al-Syafi’i terakhir menawarkan metode tarjih al-riwayah, yaitu dengan membandingan kedua hadis yang kontradiktif tersebut dari segi validitasnya, jika salah satu hadis tersebut diriwayatkan melalui jalur yang kuat sedang yang lain tidak, maka hadis yang kuatlah yang diamalkan.

Di sinilah kajian kritik sanad memiliki peranan penting untuk mengetahui kevalidan sebuah hadis. Namun al-Syafi’i juga menawarkan teori lain dalam menguatkan salah satu dari hadis yang kontradiktif, yaitu dengan metode penyesuaian dengan dalil lain, yakni pensesuaian dengan al-Quran dan Qiyas, jika salah satu hadis tersebut memiliki kesesuaian dengan dalil tersebut, maka hadis itu dianggap lebih kuat dibanding dengan yang lainnya.

 

sumber:Muslim Media News

Biar Jadi Muslim Unggulan, Yuk Baca Tips-tips Imam Syafi’i Berikut Ini

Suasana tahun ajaran baru lagi anget-angetnya nih. So, asyik dan bijaknya, kita remaja Muslim  lebih fokus dan serius perhatiin masalah pendidikan. Gimana, Sobat Panjimassepakat?

Oke deeeh… Kemarin kita udah bicara-bicara soal tujuan pendidikan yang bikin kita-kita pada garuk-garuk kepala, khan? Hehe… Nah, saat ini kita gantian mau ngebahas. Eh, bukan ngebahas, ding, tapi nyimak aja. Yeah, kita-kita mau simak bareng sebelas tips menuntut ilmu dari salah satu imam madzhab, yaitu Imam Syafi’i Rahimahullah.

Yup, sebagai seorang imam, beliau mewariskan buat kaum Muslim, rumus-rumus canggih biar kita-kita ini dapet peluang jadi Muslim unggulan.

Nah, ini dia tips-tips nyari ilmu yang tercatat dalam syair-syair Imam Syafi’i yang dikutip dari Kitab Diwân al-Imâm al-Syâfi’i karya Muhammad Abdurrahim…

  1. Ikhlas karena Allah

“Siapa menuntut ilmu untuk meraih kebahagiaan negeri akhirat; ia ‘kan beruntung meraih kemuliaan dari Allah yang Maha Pemberi Petunjuk; Maka dia pun akan meraih kebaikan yang berasal dari hamba-Nya”

  1. Ninggalin Perbuatan Dosa

“Aku mengadu kepada Wakî’ tentang kelemahan hafalanku. Ia pun memberikan nasehat Agar aku meninggalkan maksiat. Ia memberitahuku pula bahwa ilmu itu cahaya, dan cahaya Allah tidak diberikan kepada orang yang maksiat.”

  1. Nuntut Ilmu Sejak Dini

“Siapa yang kehilangan waktu belajar pada waktu mudanya, takbirkan dia empat kali. Anggap saja ia sudah mati. Seorang pemuda akan berarti apabila ia berilmu dan bertaqwa. Jika dua hal itu tiada, pemuda pun tak bermakna lagi.”

  1. Nulis Materi yang Dipelajari

“Ilmu itu bagaikan binatang buruan, dan menulis adalah pengikatnya. Ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat, sebab di antara bentuk kebodohan adalah, engkau memburu seekor rusa, lalu kaubiarkan rusa itu bebas begitu saja.”

  1. Sabar Dibimbing Guru

“Sabarlah dengan sikap guru yang terasa pahit di hatimu, sebab kegagalan itu disebabkan meninggalkan guru. Barangsiapa yang tak mau merasakan pahitnya menuntut ilmu barang sesaat, sepanjang hidupnya akan jadi orang hina karena bodohnya.”

  1. Manajemen Waktu yang Baik

“Tak ada seorang pun yang akan mencapai seluruh ilmu, takkan ada. Meskipun ia terus berusaha seribu tahun lamanya. Sesungguhnya ilmu itu bagaikan lautan yang sangat dalam. Sebab itu ambilah semua yang terbaik dari ilmu yang ada.”

  1. Menikmati Ilmu yang Dipelajari

“Malam-malamku untuk mempelajari ilmu terasa lebih indah daripada bersentuhan dengan wanita cantik dan aroma parfum. Mata penaku yang tertuang dalam lembaran-lembaran kertasku lebih nikmat daripada bercinta dan bercumbu. Menepuk debu-debu yang menempel di lembaran-lembara kertasku lebih indah suaranya daripada tepukan rebana gadis jelita.”

  1. Bergaul dengan Orang Berilmu dan Saleh

“Bergaullah dengan orang-orang berilmu dan bertemanlah dengan orang-orang saleh diantara mereka. Sebab berteman dengan mereka sangat bermanfaat dan bergaul dengan mereka akan membawa keuntungan. Janganlah kaurendahkan mereka dengan pandanganmu. Sebab mereka seperti bintang yang memberi petunjuk. Tak ada bintang yang seperti mereka.”

  1. Berkelana Nyari Ilmu

“Mengembaralah, maka engkau akan mendapat sahabat-sahabat pengganti sahabat-sahabat yang ditinggalkan. Bekerja keraslah, karena kelezatan hidup adalah dalam bekerja keras. Saya berpendapat bahwa air jika tetap di suatu tempat, ia akan busuk. Jika ia mengalir barulah ia bersih, dan kalau tidak mengalir akan menjadi kotor. Singa, jika tidak keluar dari sarangnya, ia tak akan bisa makan. Anak panah jika tak meluncur dari busurnya, takkan mengena sasaran.”

  1. Hargai Pendapat Orang Lain

“Jika engkau benar-benar memiliki ilmu dan pemahaman tentang ikhtilaf ulama dulu dan sekarang, maka hadapilah lawan diskusimu dengan ketenangan dan kebijaksanaan. Jangan sombong dan keras kepala.”

  1. Tak Pernah Puas dengan Ilmunya

“Setiap aku mendapat pelajaran dari masa, setiap itu pula aku tahu segala kekurangan akalku. Setiap ilmuku bertambah, setiap itu pula bertambah tahuku akan kebodohan atas diriku.”

Sobat, gimana, nggak cuma asyik dibaca, khan? Tapi begitu dalam jika kita mau renungin pesan dalamnya. Selamat merenung, semoga kelak kita ‘kan jadi Muslim unggulan, aamiin. [IB]

 

 

sumber:Panji Mas

Wasiat Emas Imam Syafi’i seputar Menuntut Ilmu

Nama Imam Syafi’i rohimahulloh tak asing lagi di telinga kaum muslimin. Bahkan kebanyakan kaum muslimin di negeri ini menisbatkan dirinya kepada madzhab beliau rohimahulloh.

Untuk itulah, perlu kiranya kita mengetahui bagaimana Imam Syafi’i ini mewajibkan para penuntut ilmu agar kembali merujuk kepada dalil-dalil syar’i dalam mempelajari ilmu syar’i.

Mutiara Emas Imam Syafi’i.

Imam Syafi’i rohimahulloh telah membuat perumpamaan bagi penuntut ilmu syar’i yang tidak berdasarkan hujjah. Beliau berkata:

مَثَلُ الَّذِيْ يَطْلُبُ الْعِلْمَ بِلاَ حُجَّةٍ كَمَثَلِ حَاطِبِ لَيْلٍ، يَحْمِلُ حُزْمَةَ حَطَبٍ وَفِيْهِ أَفْعَى تَلْدَغُهُ وَهُوَ لاَ يَدْرِيْ.

Perumpamaan orang yang mencari ilmu tanpa hujjah adalah seperti orang yang mencari kayu bakar pada malam hari, ia membawa seikat kayu, di mana di dalamnya terdapat ular yang siap mematuknya, sedangkan dia tidak mengetahuinya.” (Manaqib Syafi’i, karya al-Baihaqi, jilid 2, hal. 143; al-Madkhol, karya beliau juga, no. 262, hal. 211; Hilyah al-Auliya`, jilid IX, hal. 125; Adab asy-Syafi’i, karya Abu Hatim, hal. 100; Tawaali at-Ta`siis, karya al-Hafidz Ibnu Hajar, hal. 135)

Dari pernyataan ini dapat diketahui bahwa beliau rohimahulloh menganjurkan para penuntut ilmu ketika menuntut ilmu harus berdasarkan kepada hujjah yang berasal dari al-Qur`an dan Sunnah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam.

Apabila seseorang mempelajari ilmu agama, akan tetapi tidak merujuk kepada sumbernya yang asli, yaitu Kitabulloh dan Sunnah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, maka bisa saja ia akan mendapatkan masalah-masalah yang disangka termasuk agama, padahal bukan, sehingga akibatnya dapat terjatuh ke dalam penyimpangan.

Makna Ilmu

Para ulama telah menjelaskan bahwa kata ilmu apabila disebutkan secara mutlak dalam al-Qur`an, as-Sunnah, dan ungkapan para ulama adalah ilmu syar’i.

Imam Syafi’i rohimahulloh sendiri telah menyatakan:

كُلُّ الْعُلُوْمِ سِوَى الْقُرْآنِ مَشْغَلَةٌ
إِلاَّ الْحَدِيْثَ وَعِلْمَ الْفِقْهِ فِي الدِّيْنِ
الْعِلْمُ مَا كَانَ فِيْهِ قَالَ حَدَّثَنَا
وَمَا سِوَى ذَلِكَ وَسْوَاسُ الشَّيْطَانِ

Setiap ilmu selain al-Qur`an adalah kesibukan,
Kecuali al-Hadits dan ilmu tentang pemahaman agama.
Ilmu itu apa yang padanya mengandung “ungkapan telah menyampaikan kepada kami” (sanad).
Sedangkan selain itu, adalah bisikan-bisikan setan.

(Diwan Imam Syafi’i, hal. 30, Darul Manar)

Selain beliau, Syaikh Bin Bazz telah menyatakan, “Sesungguhnya (kata) ilmu itu dilontarkan untuk banyak hal, akan tetapi menurut para ulama Islam, yang dimaksud dengan ilmu adalah ilmu syar’i. Inilah yang dimaksud dalam Kitabulloh dan Sunnah RosulNya shollallohu ‘alaihi wa sallam secara mutlak, yaitu ilmu tentang Alloh, Asma’-Nya, SifatNya, ilmu tentang hakNya atas hambaNya dan tentang segala sesuatu yang disyariatkan untuk mereka oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala.“ (Majmu’ Fatawa wa Maqolat Mutanawwi’ah, jilid 23, hal. 297)

Dalam muqoddimah Kitab al-‘Ilm, Syaikh ‘Utsaimin juga menjelaskan, “Yang kami maksud dengan ilmu adalah ilmu syar’i. yaitu ilmu yang diturunkan oleh Alloh kepada RosulNya yang berupa bukti-bukti yang nyata dan petunjuk. Jadi ilmu yang mengandung pujian adalah ilmu wahyu.” (Kitab al-’Ilm, hal. 7)

Dengan demikian, yang dimaksud dengan ilmu oleh Imam Syafi’i adalah ilmu syar’i.

Harus Berdasarkan Hujjah.

Hujjah adalah dasar dan landasan yang dijadikan sebagai penguat ilmu syariat tersebut.

Dalam ar-Risalah, beliau menyatakan:

فَكُلُّ مَا أَنْزَلَ فِيْ كِتَابِهِ – جَلَّ ثَنَاؤُهُ – رَحْمَةٌ وَحُجَّةٌ، عَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ، جَهِلَهُ مَنْ جَهِلَهُ.

Semua yang diturunkan (oleh Alloh) dalam kitabNya Jalla Tsanaa`uhu adalah rahmat dan hujjah. Orang yang mengetahuinya akan mengetahuinya, orang yang tidak mengetahuinya juga tidak akan mengetahuinya.” (Ar-Risalah, no. 43, hal. 19, tahqiq (diteliti) Syaikh Ahmad Syakir.)

Al-Muzani atau ar-Robi’ pernah menceritakan, “Kami pada suatu hari pernah berada di sisi Imam Syafi’i. Tiba-tiba ada seorang syaikh yang memakai pakaian dari shuf (wol), sedangkan di tangannya terdapat tongkat. Lalu asy-Syafi’i bangkit dan merapikan pakaiannya dan syaikh itu memberi salam kepada beliau lalu duduk. Syafi’i melihat syaikh tersebut dengan keadaan segan kepadanya.

Syaikh itu berkata, “Apakah aku boleh bertanya kepadamu?”

Syafi’i menjawab, “Bertanyalah!”

Orang itu berkata, “Apakah hujjah dalam agama Alloh?”

Asy-Syafi’i menjawab, “Kitabulloh.”

Syaikh itu bertanya, “Apa lagi?”

Asy-Syafi’i menjawab, “Ittifaq ummat”. (Siyar A’laam an-Nubala`: X/83-84 dan Miftah al-Jannah, karya as-Suyuti , no. 159, hal. 85-86)

Dalam sebuah atsar dari Imam Syafi’i yang lainnya adalah:

مَنْ تَعَلمََّ الْقُرْآنَ عَظُمَتْ قِيْمَتُهُ، وَمَنْ نَظَرَ فِي الْفِقْهِ نَبُلَ قَدْرُهُ، وَمَنْ كَتَبَ الْحَدِيْثَ قَوِيَتْ حُجَّتُهُ، وَمَنْ نَظَرَ فِي اللُّغَةِ رَقَّ طَبْعُهُ، وَمَنْ نَظَرَ فِي الْحِسَابِ جَزُلَ رَأْيُهُ، وَمَنْ لَمْ يَصُنْ نَفْسَهُ، لَمْ يَنْفَعْهُ عِلْمُهُ.

“Barangsiapa yang mempelajari al-Qur`an maka kedudukannya menjadi agung, barangsiapa yang belajar fiqih maka kehormatannya menjadi mulia, barangsiapa yang menulis Hadits maka hujjahnya menjadi kuat, barangsiapa yang belajar bahasa maka tabiatnya menjadi lembut, barangsiapa yang belajar berhitung maka pendapatnya menjadi kuat, barangsiapa yang tidak menjaga dirinya maka ilmunya tidak dapat memberi manfaat kepadanya.” (Tawaali at-Ta`siis bi Ma’ali Ibnu Idris, karya al-Hafidz Ibnu Hajar, hal. 136)

Salah satu ungkapan beliau tersebut adalah “barangsiapa yang menulis Hadits, maka hujjahnya menjadi kuat”. Ini berarti bahwa salah satu hujjah yang dijadikan dasar dan landasan dalam agama adalah Hadits Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam.

Dengan demikian, di antara hujjah yang dapat dijadikan sebagai landasan ilmu agama adalah al-Qur`an dan Hadits Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

إِنِِّيْ قَدْ تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَا إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بهِ فَلَنْ تَضِلُّوْا أَبَدًا : كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ.

Sesungguhnya aku telah meninggalkan di antara kalian sesuatu yang apabila kalian berpegang teguh kepadanya, niscaya kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitabulloh dan Sunnah NabiNya.” (HR. Hakim I/71, no. 319. Dishohihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shohih at-Targhib wa at-Tarhib, no. 40, I/125.)

Maka kunci untuk dapat selamat dari kesesatan adalah dengan berpegang kepada Kitabulloh dan Sunnah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam.

Ular yang Tersembunyipun Dapat Menggigitnya.

Dalam wasiat tersebut, Imam Syafi’i menjelaskan tentang resiko dan bahaya yang akan menimpa seorang penuntut ilmu apabila tidak berdasarkan kepada hujjah dalam mempelajari ilmu yaitu akan tersesat tanpa disadarinya.

Semoga Alloh merahmati beliau. Apabila seseorang mempelajari ilmu syariat tanpa dasar al-Qur`an dan Hadits yang shohih, maka akhirnya adalah berupa penyimpangan, kekeliruan dan kesesatan. Di antara contohnya adalah:

1. Menyangka tauhid, padahal syirik.

Apabila tidak berdasarkan dalil dari Kitabulloh atau Sunnah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dalam menetapkan aqidah tauhidulloh, maka bisa saja meyakini bahwa suatu masalah adalah tauhid, padahal itu adalah kesyirikan kepada Alloh ‘Azza wa Jalla, sedangkan Alloh telah berfirman:

٤٨. إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاءُ وَمَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْماً عَظِيماً

Sesungguhnya Alloh tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya. Barangsiapa yang mempersekutukan Alloh, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. an-Nisa`: 48)

Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam telah bersabda tentang bahayanya dalam Hadits berikut:

عَنْ عَبْدِ الرحْمَنِ بْنِ أَبِيْ بَكْرَةَ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ : قَالَ النِبي – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ : ((أَلاَ أُنَبِئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ؟))، ثَلاَثًا. قَالُوْا : بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ : ((اْلإِشْرَاكُ بِاللهِ، وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ)) .

Dari ‘Abdurrohman bin Abi Bakroh, dari bapaknya ia berkata: Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Maukah kalian aku beritahukan tentang dosa-dosa besar yang paling besar?” Beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam mengatakannya tiga kali. Mereka menjawab, “Ya, wahai Rosululloh!” Beliau berkata, “Menyekutukan Alloh dan durhaka kepada kedua orang tua.” (HR. Bukhori, no. 2564 dan Muslim, no. 87)

Demikian juga tentang para malaikat, kitab-kitabNya, keterangan tentang para Nabi dan Rosul, hari akhir, qodho` dan qodar, serta masalah-masalah aqidah yang lainnya. Dimungkinkan seorang penuntut ilmu –yang tidak meruju’ kepada dalil syar’i- meyakini suatu keyakinan yang bertentangan dengan dalil-dalil yang shohih yang ada.

2. Mengira sunnah, padahal bid’ah.

Apabila mempelajari perkara-perkara yang disyariatkan oleh Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam akan tetapi tidak kembali kepada al-Qur`an dan Hadits yang shohih dari beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam, tetapi hanya perpegang kepada pendapat Imam Fulan dan Imam Fulan saja, maka bisa saja seseorang terjatuh dalam kebid’ahan, akan tetapi disangka termasuk sunnah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Padahal beliau telah bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ.

Barangsiapa yang mengada-adakan dalam perkara kami ini (yaitu perkara agama) apa yang tidak termasuk bagian darinya, maka hal itu tertolak.” (HR. Bukhori, no. 2697 dan Muslim, 1718, sedangkan ini lafal al-Bukhori.)

Apabila keadaannya demikian, maka kerugianlah yang akan didapati.

3. Terjatuh ke dalam taklid yang terlarang.

Tatkala seorang penuntut ilmu mengikuti suatu pendapat di antara pendapat-pendapat ulama, akan tetapi tidak mengetahui dalil yang dijadikan sebagai landasannya, maka telah terjatuh ke dalam taklid yang terlarang.

Alloh telah berfirman:

٦٦. يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا
٦٧. وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا
٦٨. رَبَّنَا آتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْناً كَبِيراً

Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata, “Alangkah baiknya, andaikata kami taat kepada Alloh dan taat (pula) kepada Rosul.” Dan mereka berkata, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka adzab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar.” (QS. al-Ahzab: 66-68)

Imam Ibnu Katsir asy-Syafi’i menjelaskan bahwa Thowus berkata:

سَادَتَنَا يَعْنِي اْلأَشْرَافَ، وَكُبَرَاءَنَا يَعْنِي الْعُلَمَاءَ.

“Pemuka-pemuka kami yaitu orang-orang mulia di antara kami, dan pembesar-pembesar kami yaitu para ulama.”

Kemudian beliau mengomentari atsar tersebut, “Maksudnya adalah kami telah mengikuti para pemuka yaitu para pemimpin dan orang-orang besar dari kalangan para syaikh dan kami telah menyelisihi para Rosul. Kami dahulu telah berkeyakinan bahwa mereka memiliki sesuatu (kebenaran, pen.) dan mereka di atas sesuatu (kebenaran, pen.), ternyata mereka tidak berada di atas sesuatu (kebenaran, pen.).” (Tafsir al-Qur`an al-‘Adzim, jilid 11, hal. 245, di-tahqiq (diteliti) oleh beberapa pen-tahqiq.)

Al-Hajjaj bin Amr dahulu apabila bertemu, berkata, “Wahai sekalian orang Anshor, apakah kalian ingin mengatakan kepada Robb apabila kita menghadapNya, “Ya Robb, sesungguhnya kami dahulu telah mengikuti para pemuka dan pembesar kami, maka merekapun menyesatkan kami. Ya Robb kami, berikanlah kepada mereka dua kali lipat adzab dan laknatlah mereka dengan laknat yang besar.”” (Tafsir al-Qur`an al-‘Adzim, hal. 246)

Selain itu, Imam Syafi’i juga telah melarang bertaklid kepada beliau dalam mutiaranya:

كُلُ مَا قُلْتُ – فَكَانَ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم خِلاَفُ قَوْلِيْ مِمَّا يَصِح – فَحَدِيْثُ النَّبِيِّ أَوْلَى، فَلاَ تُقَلِّدُوْنِيْ.

Segala perkataanku, apabila apa yang shohih dari Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam telah menyelisihi perkataanku, maka Hadits Nabi itulah yang lebih pantas untuk diikuti. Janganlah kalian bertaklid kepadaku.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Asakir dan sanadnya dishohihkan oleh Syaikh al-Albani. Lihat Shifat ash-Sholah, hal. 52.)

4. Menyangka suatu amalan mengandung keutamaan, padahal terdapat penyimpangan.

Tatkala dalil syar’i ditinggalkan dalam mempelajari ilmu syar’i, maka seseorang akan memperhatikan dan mengagungkan suatu amalan yang disangka mengandung keutamaan, padahal amalan tersebut menyimpang.

Imam Nawawi telah menyatakan:

لَيْسَ يَكْفِيْ فِي الْعِبَادَاتِ صُوَرُ الطَّاعَاتِ، بَلْ لاَ بُدَّ مِنْ كَوْنِهَا عَلَى وِفْقِ الْقَوَاعِدِ الشَّرْعِيَّاتِ.

Dalam melakukan ibadah-ibadah, tidaklah cukup hanya dengan bentuk-bentuk ketaatan, akan tetapi harus sesuai dengan kaidah-kaidah syariat.” (Muqoddimah al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, jilid 1, hal. 3, tahqiq Dr. Mahmud Mathroji, Darul Fikr, cet. 1, 1417 H, Beirut)

5. Apabila mendakwahkan kesesatan, maka akan menyesatkan.

Apabila perkara-perkara yang termasuk syirik, atau kekufuran atau kebid’ahan atau penyimpangan-penyimpangan syariat disampaikan kepada orang lain, maka orang yang menyampaikan ilmu syar’i tanpa dalil tersebut akan menjadi penyesat bagi orang lain.

Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ، حَتَى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا، اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوْسًا جُهَّلاَءَ، فَسُئِلُوْا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ، فَضَلُّوْا وَأَضَلُّوْا.

Sesungguhnya Alloh tidak mencabut ilmu itu dengan mencabutnya dari hamba-hambaNya, akan tetapi mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama. Sampai apabila tidak tersisa satu orang alimpun, maka manusia akan mengangkat para pemimpin atau penguasa yang jahil (bodoh-bodoh), lalu mereka ditanya, lalu mereka berfatwa tanpa didasari dengan ilmu, maka merekapun tersesat dan menyesatkan (orang lain).” (HR. Bukhori, no. 100, 7308 dan Muslim, no. 2673)

Al-Hafidh Ibnu Hajar asy-Syafi’i mengatakan, “Dalam Hadits ini terdapat (penjelasan) bahwa berfatwa adalah kepemimpinan yang hakiki dan celaan bagi yang melakukannya tanpa ilmu.” (Fath al-Bari, I/258 Darus Salam, Riyadh, cet. 1, 1421/2000M)

oleh Abu ‘Ashim Muhtar Arifin, Lc.

– See more at: http://www.majalahislami.com/2011/08/wasiat-emas-imam-syafi%E2%80%99i-seputar-menuntut-ilmu/#sthash.G0Exiv5W.dpuf