Berinfak dengan Cerdas

Berinfak dengan ikhlas adalah ibadah yang sangat dicintai Allah Ta’ala . Bukti nyata seorang mukmin bertakwa yang mengeluarkan hartanya di jalan yang mengandung kemaslahatan bagi kaum muslimin.

Bahkan, dengan berinfak sebenarnya kebaikan atau pahalanya akan berfaedah untuk dirinya sendiri yang kelak di akhirat akan ditampakkan oleh Allah Ta’ala. Iya, hakikatnya nya tabungan atau investasi yang menolong kita di hadapan Sang Pencipta. Ketika berinfak tepat sasaran, niscaya kebaikan akan mampu diraih seorang mukmin.

Imam al-Ghazali rahimahullah berkata: “Sebaiknya orang yang hendak berinfak menyalurkan sedekahnya tepat sasaran, yaitu kepada ahli agama dan berusaha mengoreksi secara teliti kondisi orang-orang, baik yang hidup berpura-pura cukup yang menyembunyikan dan merahasiakan kekurangannya, tidak banyak berkeluh kesah dan tidak mengadukan kemiskinannya.

Atau dia termasuk orang yang sangat menjaga harga diri, sementara telah terkuras habis kekayaannya, namun ia masih berada pada kebiasaan semula, sehingga ia hidup menggunakan jilbab basa-basi. Maka menyalurkan infak kepada mereka akan mendapatkan balasan pahala berlipat ganda daripada diberikan kepada mereka yang terang-terangan meminta-minta.

Begitu juga seharusnya seorang hamba menyalurkan sedekahnya kepada orang-orang yang bisa memanfaatkan secara baik, misalnya para ahli ilmu. Sebab, hal ini bisa menjadi bantuan baginya dalam menuntut ilmu karena mencari ilmu merupakan ibadah yang paling mulia, asal niatnya benar.” Ibnu al-Mubarok senantiasa mengkhususkan infaknya kepada para ahli ilmu.

Ketika beliau ditanya, “Mengapa tidak engkau berikan kepada orang secara umum?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya aku tidak mengetahui kedudukan setelah kenabian yang lebih utama daripada kedudukan para ulama. Jika pikiran para ulama sibuk mencari kebutuhan (hidupnya) maka ia tidak bisa konsentrasi sepenuhnya kepada ilmu dan tidak fokus dalam belajar. Maka membuat mereka bisa mempelajari ilmu secara konsen lebih utama.” (Dinukil dari Tafsir al-Qasimi, 3/250)

Dari penjelasan di atas dapat diambil suatu faedah ilmu bahwa infak lebih bermanfaat ketika diberikan kepada orang miskin yang menjaga diri dari meminta-minta dan kepada penuntut ilmu syar’i.

Memberi infak pada penuntut ilmu

Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia berkata: “Dahulu ada dua orang saudara pada masa Rasulullah, salah seorang mendatangi Nabi (untuk belajar), sementara saudaranya bekerja.

Lalu saudaranya yang bekerja itu mengadu kepada Nabi, maka Nabi bersabda: “Mudah-mudahan engkau diberi rezeki dengan sebab dia.” (HR. At-Tirmidzi dalam Sunan-nya [2346] dan al-Hakim dalam Mustadrak-nya [320], shahih)

Al-Mubarakfury rahimahullah menjelaskan sabda Nabi, yaitu “Mudah-mudahan engkau diberi rezeki dengan sebab dia” yang menggunakan shigat majhul (kata kerja pasif) seolah ingin berkata, “Yakni, aku berharap atau aku takutkan bahwa engkau sebenarnya diberi rezeki karena sebab keberkahan saudaramu.

Namun, saudaramu itu diberi rezeki karena sebab usahamu. Maka hendaknya jangan kamu mengungkit-ungkit pemberianmu.” (lihat Tuhfatul Ahwadzi, 7/8)

Orang yang menginfakkan hartanya untuk para penuntut ilmu, dia akan mendulang banyak pahala, amalnya akan memperberat timbangan nya di sisi Allah Ta’ala . Menfasilitasi para penuntut ilmu agar lebih konsentrasi belajar merupakan bentuk ta’awun dalam kebaikan.

Memberi infak kepada orang miskin yang menjaga diri dari meminta-minta

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang maknanya: “Orang miskin itu bukanlah mereka yang berkeliling meminta-minta kepada orang lain agar diberikan sesuap atau dua suap makanan dan satu dua butir kurma.”

Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, (kalau begitu) siapa yang dimaksud orang miskin itu?” Beliau menjawab, “Mereka ialah orang yang hidupnya tidak berkecukupan, dan tidak ada yang menyadari (kemiskinannya) sehingga tidak ada yang memberinya sedekah (zakat), dan mereka tidak mau meminta-minta sesuatupun kepada orang lain.” (HR. Al-Bukhari [1479], Muslim [1039, 101])

Uang atau harta yang diinfakkan untuk orang mukmin sebagaimana hadis di atas insyaallah akan sangat membantu mereka untuk menjalankan ketaatan kepada Allah Ta’ala . Juga untuk membiayai hidup keluarganya sehingga mampu menjalani kehidupan dengan tercukupinya kebutuhan lahir dan batinnya. Allah Ta’ala berfirman:

لِلْفُقَرَاۤءِ الَّذِيْنَ اُحْصِرُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ لَا يَسْتَطِيْعُوْنَ ضَرْبًا فِى الْاَرْضِۖ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ اَغْنِيَاۤءَ مِنَ التَّعَفُّفِۚ تَعْرِفُهُمْ بِسِيْمٰهُمْۚ لَا يَسْـَٔلُوْنَ النَّاسَ اِلْحَافًا ۗوَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ خَيْرٍ فَاِنَّ اللّٰهَ بِهٖ عَلِيْمٌ

“(Apa yang kamu infakkan) adalah untuk orang-orang fakir yang terhalang (usahanya karena jihad) di jalan Allah, sehingga dia yang tidak dapat berusaha di bumi; (orang lain) yang tidak tahu, menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya karena mereka menjaga diri (dari meminta-minta). Engkau (Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak meminta secara paksa kepada orang lain. Apa pun harta yang baik yang kamu infakkan, sungguh, Allah Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 273)

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata: “Maksudnya, sudah selayaknya kalian mencari fakir miskin untuk kalian berikan sedekah kepadanya. mereka adalah orang-orang yang terhalang dirinya dari melakukan jihad di jalan Allah Subhanahu Wa Ta’ala , dan senantiasa taat kepada-Nya, dan mereka tidak memiliki kemampuan untuk bekerja, sedang mereka menahan/menjaga diri meminta-minta, yang bila mereka dilihat oleh orang-orang bodoh, maka pastilah mereka akan menduga (menyangka) bahwa mereka orang kaya, karena mereka tidak minta-minta secara umum, dan bila mereka harus meminta, mereka meminta karena sangat terpaksa, mereka tidak memaksa dalam memintanya.

Inilah golongan fakir miskin yang lebih afdal (utama). Kalian memberikan infak untuk memenuhi kebutuhan mereka, membantu mereka kepada maksud dan tujuan mereka dan kepada jalan kebaikan, dan sebagai rasa terima kasih kepada mereka atas sifat sabar yang mereka miliki, serta (kuatnya) harapan mereka hanya kepada Allah Maha Pencipta, bukan kepada makhluk.

Walaupun demikian, berinfak dalam segala jalan kebaikan dan menutupi semua kebutuhan di mana saja, maka semua itu adalah kebaikan, dan pahala serta ganjarannya ada di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala.” (Taisiiru al-Kariimi ar-Rahman fii Tafsiiri Kalaami al-Mannaan, hlm.116)

Semoga uraian di atas menyemangati kaum muslimin agar berinfak secara cerdas dan memperhatikan skala prioritas kebutuhan agar lebih bermanfaat untuk dirinya dan orang lain.

Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa

Referensi:

1. Kiat-Kiat Islam Mengatasi Kemiskinan, Yazid Bin Abdul Qadir Jawas, Pustaka at-Taqwa, Bogor, 2015.

2. Mencari Kunci Rizki yang Hilang, Zainal Abidin Syamsudin, Pustaka Imam Abu Hanifah, Jakarta, 2008.

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/14063-berinfak-dengan-cerdas.html

Niscaya akan Bertambah

Sering kali kita terbelenggu oleh kerangka berpikir matematis ketika memaknai sesuatu. Seakan segala pekerjaan bisa diukur dengan rumus tambah, kurang, dan bagi.

Jika menerima sesuatu maka akan bertambah dan jika memberi maka akan berkurang, atau akan habis jika dibagikan. Padahal, pola pikir semacam ini tidak tepat dan akan memengaruhi sikap dan tindakan kita dalam berinteraksi dengan orang lain.

Dalam Kitab Riyadhush-Shalihin karya Imam Nawawi (631-676 H), menukil sebuah riwayat dari Abu Kafsyah Umar bin Sa’ad Al-Anmari RA yang pernah mendengar Nabi SAW bersabda, “Tiga perkara yang aku bersumpah atasnya dan aku sampaikan kepada kalian agar menjaganya dengan baik.Pertama, tidak akan berkurang harta karena sedekah.Kedua, seseorang yang dianiaya dan ia sabar, Allah akan membalasnya dengan kemuliaan. Ketiga, seseorang yang meminta- minta maka Allah akan membuka baginya pintu kemiskinan. ” (HR Turmudzi).

Hadis di atas memiliki pesan yang sangat tinggi nilainya bagi kita karena dikuatkan dengan sumpah. Pertama, bagi orang yang mengira bahwa sedekah akan mengurangi hartanya hingga ia enggan melakukan, justru akan bertambah-tambah.Alquran mengumpamakan harta yang diinfakkan seperti sebutir benih yang menumbuhkan tujuh tangkai dan setiap tangkai berbuah seratus biji, bahkan berlipat ganda tak terkira (QS 2:216).

Ketika dalam kesempitan pun, kita masih tetap dianjurkan sedekah seadanya sebagai pembuka pintu rezeki (QS 65:7).Sungguh, tak perlu menunggu kaya baru sedekah, tetapi bersedekahlah niscaya akan tambah kaya.Seorang tak akan jatuh miskin atau bangkrut karena sedekahnya karena ia telah menebar kebaikan dan energi positif kepada banyak orang. Pada kemudian hari, kebaikannya pun akan berbalas kebaikan berlimpah (QS 55:60).

Kedua, bagi orang yang mengira bahwa kehormatannya akan hilang ketika dihina atau dizalimi, justru kemuliaannya akan bertambah.Orang bertakwa itu mudah memberi maaf, bahkan berbuat baik kepada orang yang bersalah (QS 3:134).Allah pun akan menambah kemuliaan kepada seseorang yang suka memaafkan (HR Muslim).Tak perlu menunggu permintaan maaf, tetapi maafkan sebelum ia datang memintanya.Apa yang akan terjadi ketika Nabi SAW membalas setiap penghinaan yang dialaminya? Nyatanya, beliau telah memberikan teladan yang baik bagi umatnya agar bersikap baik kepada orang yang berlaku buruk, hingga Allah pun memujinya (QS 33:21, 68:4).

Ketiga, bagi orang yang mengira bahwa meminta-minta akan menjadikannya kaya, justru sebaliknya akan menambah miskin dan susah. Sebab, ia telah mengingkari karunia Ilahi dan tidak menggunakannya untuk berusaha dengan baik.Islam mendorong umatnya agar kerja keras mencari nafkah yang halal, walau harus dengan mencari kayu bakar (HR Ahmad).

Allah SWT pun mewajibkan orang kaya menolong orang miskin yang tidak meminta-minta karena menjaga kehormatannya (QS 51: 19).Saat ini, selain pengemis berkeliaran, juga makin banyak orang yang pura-pura miskin atau orang kaya bermental pengemis hingga tega mengambil hak orang lain.

Dua karakter pertama merupakan akhlak terpuji yang harus ditanamkan kepada anak-anak kita agar tumbuh menjadi pribadi dermawan dan mudah memaafkan.Jangan sampai mereka berkarakter yang ketiga, yakni pribadi yang lemah dan hidup dalam belas kasihan orang lain (QS 4:9, 9:54).Nabi SAW berpesan agar kita menjadi orang yang bertangan di atas, bukan di bawah (HR Muslim). Allahu a’lam bish- shawab.

OLEH DR HASAN BASRI TANJUNG

REPUBLIKA

Bila Rizkimu Sempit, Segera Berinfak!

Allah swt berfirman,

لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ ۖ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا ۚ سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا

“Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan.” (QS.Ath-Thalaq:7)

Secara umum ayat ini mirip seperti ayat-ayat lain yang mengajak orang-orang yang memiliki kelebihan rizki untuk ber-infak. Namun ada hal yang sangat menarik pada potongan ayat setelahnya.

“Dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.”

Jadi tidak hanya mereka yang memiliki kelebihan, namun seorang yang sedang sempit rizkinya juga dianjurkan untuk berinfak.

Mungkin kita bertanya, orang yang sedang sempit rizkinya malah diperintahkan untuk berinfak.

Disinilah kita akan mengenal logika Al-Qur’an. Ayat ini ingin menjelaskan kaitan yang sangat erat antara infak (sedekah) dengan kemudahan rezeki. Pada potongan ayat selanjutnya disebutkan,

“Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan.”

Seakan Allah ingin menjelaskan, “Siapa yang memberi, maka ia akan mendapat balasannya…”

Dia-lah pemilik alam semesta yang mengatur rizki bagi hamba-Nya. Dan Allah telah menetapkan sunnatullah bahwa setiap yang memberi pasti akan mendapat balasan yang lebih baik.

Sayyidina Ali bin Abi tholib pernah berpesan,

إِذَا أَمْلَقْتُمْ فَتَاجِرُوا اللَّهَ بِالصَّدَقَةِ

“Bila kalian sedang miskin maka berbisnis lah kepada Allah dengan bersedekah.”

Dikuatkan dengan sabda Rasulullah saw yang berbunyi,

مَا مِنْ يَوْمٍ يَصْبَحُ الْعِبَاد فِيْهِ إِلَّا مَلَكَانِ يَنْزِلَانِ فَيَقُوْلُ أَحَدُهُمَا : اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا وَيَقُوْلُ الْآخَر اَللَّهُمَّ أَعْطِ مُمُسِكًا تَلَفًا

“Tidak ada sehari pun ketika seorang hamba bangun di pagi harinya kecuali ada dua malaikat yang turun. Salah satu dari mereka berkata,

Ya Allah berilah ganti bagi orang-orang yang berinfak.

Dan malaikat yang satunya berkata,

Ya Allah berilah kehancuran bagi orang yang bakhil.”

Ayat ini secara gamblang ingin menjelaskan, bila rizki kita sempit segera lah berinfak. Karena dengan itu kita akan mendapat rizki dan kemudahan dari Allah swt.

Semoga bermanfaat….

 

KHAZANAH ALQURAN

Berinfaqlah dengan Harta Tercinta

Kalau enggan mendoakan sesama dan malas tersenyum, maka ucapkan kalimat-thayyibah yang mampu menjadi harta karun di Hari Akhirat, yaitu: La haula wa la quwwata illa billah

 

“KAMU sekali-kali tidak akan sampai pada kebajikan yang sempurna, sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan, apa saja yang kamu nafkahkan maka, sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali Imran: 92).

Menginfaqkan harta yang paling dicintai merupakan syarat meraih kebajikan yang hakiki. Sebab, iman perlu pembuktian dengan pengorbanan. Tidak ada bukti keimanan tanpa adanya pengorbanan, semakin besar ia berkorban, entah dengan harta, raga, atau pun jiwa, semakin kuat pula keimanannya. Sebaliknya, semakin pelit dan kikinrya seseorang, akan menunjukkan keimanannya yang tipis terhadap akhirat. Bahkan Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda, “La yajtami’ al-syuhhu wal-iman fi qalbi ‘abdin abadan“. Sifat kikir dan iman tidak akan berkumpul dalam hati seorang selama-lamanya, (Al-Musnad, Imam Ahmad, 202/14, No. 8512).

Sebab turunnya ayat di atas terekam dalam hadits yang dirawikan oleh Anas bin Malik, beliau berkata, Abu Thalhah adalah orang Ansar kaya yang paling banyak memiliki kebun kurma di Madinah, dia sangat mencintai Biruha (nama kebunnya) yang pas berhadapan dengan masjid.

Rasulullah juga suka masuk ke kebun itu sambil minum air, tatkala turun ayat, “Lan tanalul-birra harta tunfiqu minma tuhibbun, Kalian sekali-kali tidak akan sampai pada kebajikan sempurna hingga menginfaqkan harta yang kalian paling cintai!” maka Abu Thalhah berkata, Wahai Rasulullah, Allah telah menegaskan bahwa tidak akan mendapatkan kebaikan kecuali Menginfaqkan apa yang dicintai. Harta yang paling saya cintai adalah kebun “Bairuha”, maka dengan ini saya sedekahkan karena Allah. Gunakanlah wahai Rasulullah sesuai kehendakmu. Rasul lalu bersabda, Bakh! [ungkapan kekaguman], ini adalah harta yang sangat baik dan sangat bernilai. Saya berpendapat alangkah baiknya jika engkau berikan pada kerabatmu. Dia mengatakan, aku lakukan wahai Rasulullah! Kemudian Abu Thalhah membagikannya pada kaum kerabat dan anak pamannya, (HR. Bukhari-Muslim).

 

Petunjuk Nabi Tentang Sedekah

Kisah mirip tapi tidak sama dari Sahabat Nabi lainnya adalah Zaid bin Haritsah, harta yang paling ia cintai seekor kuda bernama “Sab”. Ketika ayat di atas turun, maka ia pun menyedekahkan kudanya pada Rasulullah. Ketika kuda itu digiring oleh anaknya, Rasulullah melihat wajah Zaid berubah, maka ia pun bersabda, Sesungguhnya Allah telah menerima darimu wahai Zaid. (Diriwayatkan oleh Ibn Abi Hatim, dalam Tafsir Al-Qurthubi).

***

Banyak ahli tafsir yang menerangkan bahwa al-birr yang dimaksud oleh ayat ini adalah surga. Penafsiran ini diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Atha’, Mujahid, Amr bin Maimun, dan as-Suddi sebagaimana dinukil oleh Al-Thabari dan al-Qurthubi.

Syekh Abdurrahman as-Sa’di berkata, Ayat ini adalah anjuran dari Allah Ta’ala kepada para hamba-Nya untuk Berinfaq dan berbagi dalam kebaikan. Allah ta’ala menyatakan Kalian tidak akan meraih al-birr, yaitu setiap kebaikan berupa berbagai ketaatan dan ganjaran yang mengantarkan pelakunya ke surga. Hingga kalian Menginfaqkan apa yang kalian, cintai, yaitu harta-harta kalian yang berharga yang paling disenangi oleh jiwa dan raga kalian. Jika kalian lebih mendahulukan kecintaan kepada Allah Ta’ala  daripada daripada harta lalu kalian mengeluarkan dengan tujuan menggapai keridhaan-Nya, hal itu menunjukkan keimanan yang jujur, ketaatan hati, dan juga sebagai bentuk pembuktian takwa kalian. Termasuk dalam hal ini adalah menginfaqkan harta yang bernilai, berinfaq dalam keadaan sehat yang dia sendiri pun butuh terhadap apa yang ia infaqkan. Ayat di atas menunjukkan bahwa seorang hamba dinilai ketaatannya berdasarkan harta kesenangan yang dia infaqkan dan semakin berkurang ketaatannya jika infaqnya berkurang, (Al-Sa’di, Taisir Al-Karim Al-Rahman).

Kemudian di penghujung ayat diterangkan bahwa apa pun yang diinfaqkan, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui. Maksudnya, Allah ta’ala mengabarkan bahwa apa pun yang diinfaqkan atau disedekahkan, atau nazar orang yang bernazar, sesungguhnya Allah mengetahui hal itu. Kandungan makna ilmu Allah menunjukkan bahwa Dia membalas dan tidak menyia-nyiakan sedikit pun apa yang ada di sisi-Nya. Dia mengetahui apa yang dilakukan seorang hamba berupa niat yang baik atau buruk. (Taisir Al-Karim Al-Raman)

***

Manusia diciptakan dengan fitrah berupa kecenderungan mencintai harta benda, semua manusia memiliki fitrah ini. Tidak ada manusia yang tidak mencintai hartanya. Hanya saja mereka mampu menekan kecintaan itu sehingga tidak melebihi cintanya pada Allah, Rasul, dan jihad di jalan Allah melalui jiwa dan harta.

 

Budayakan Infaq dan Memohon Ampunan

Coba kita lihat keadaan Abu Thalhah saat bersedekah dengan hartanya. Ia menyadari bahwa harta yang akan ia sedekahkan tersebut adalah harta yang sebetulnya sangat ia cintai. Akan tetapi, karena seruan Allah lebih ingin ia dengarkan dari seruan perasaan yang ada dalam hatinya, ia rela berbuat kemuliaan tersebut. Orang-orang beriman yang rajin berinfaq dan bersedekah bukan berarti mereka tidak mencintai hartanya, tetapi karena seruan Allah ia utamakan.

Saat ini peluang berinfaq dan bersedekah sangat terbuka lebar, lihatlah begitu banyak saudara-saudara kita yang hidup dalam kemelaratan, hanya sekadar makan saja tidak cukup, tempat tinggal yang tidak layak, sakit lalu tidak dapat berobat, cerdas tapi tidak dapat melanjutkan sekolah disebabkan oleh keterbatasan biaya. Masalah di atas dapat kita pikul bersama dengan menyisihkan sebagian harta pendapatan rutin bulanan yang kita miliki, tidak mesti harta yang paling kita cintai, namun cukup 2,5% dari total penghasilan bagi mereka yang bergaji tetap. Atau bersedekah dengan hasil bumi bagi petani, dan apa saja dari harta kita yang dapat bermanfaat untuk orang lain bisa menjadi infaq dan shadaqah bernilai ibadah di sisi Allah. Kecuali bagi mereka yang sudah masuk kategori muzakki berupa pendapatan rutinnya sudah memenuhi hitungan nishab, maka ia harus berzakat sesuai ketentuan.

Jika belum juga mampu bersedekah dengan harta, cukup dengan senyum dan doa pada sesama pun tidak akan sia-sia. Kalau enggan mendoakan sesama dan malas tersenyum, maka ucapkan kalimat-thayyibah yang mampu menjadi harta karun di Hari Akhirat, yaitu: La haula wa la quwwata illa billah, Tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah. Wallahu A’lam!.*/Ilham Kadir, komisioner Baznas Enrekang

 

sumber: Hidayatullah.com