Gendong Ibunda Selama Haji, Jemaah Indonesia Ini Jadi Inspirasi di Saudi

Seorang jemaah haji asal Indonesia bernama Badri Mir (53) menarik perhatian sebuah media ternama di Saudi. Badri menjadi inspirasi karena terus menggendong ibunya selama prosesi ibadah haji.

Media yang memberitakan kisah Badri adalahakhbaar24.argaam.com dalam artikel yang ditulis pada 27 September lalu. Mereka memberi tajuk: Jemaah Haji Asal Indonesia menggendong ibunya Selama Hari-hari Haji.

Dalam artikel berbahasa arab tersebut, dituliskan Badri selama rangkaian ibadah haji terus menggendong ibundanya di belakang. Lengan wanita berusia 85 tahun terus melingkar di leher Badri.

Dituliskan juga, aksi Badri itu sengaja dilakukan hanya untuk mengharapkan ridha Allah SWT. Sebetulnya, Badri bisa saja menyewa kursi roda untuk ibunda, namun dia memilih untuk tetap menggendong. Hebatnya, Badri tak merasa sedikit pun kelelahan atau cidera, baik di Arafat maupun di Muzdalifah, sampai prosesi lempar jumrah.

Aksi Badri ini juga jadi sorotan di artikel Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia. Mereka menyebut Badri mirip dengan seorang tokoh saleh yang dikagumi nabi Muhammad SAW, yakni Uwais, seorang seorang penduduk desa al-qarani di Yaman yang menggendong orangtuanya selama melaksanakan rukun haji.
(mad/ndr)

 

sumber:Detik

Nabung 18 Tahun, Tukang Becak asal Harjamukti Naik Haji

DADA Suhada memang hanya tukang becak. Dia membawa pulang rupiah yang tak tentu setiap hari. Yang luar biasa, dia mampu melaksanakan ibadah haji dengan jerih payah sendiri.

Kondisi ekonomi yang serba pas-pasan, tak lantas menyurutkan niat seseorang untuk mendekatkan diri dengan sang pencipta. Hal itulah yang tercermin dalam diri Dada Suhada. Penarik becak asal RT 2 RW 9 Katiasa, Harjamukti, Kota Cirebon. Di usianya yang sudah senja, Dada kini bisa tersenyum lebar.

Jika tak ada aral melintang, awal bulan September nanti akan menyempurnakan imannya untuk pergi ke Tanah Suci. Sejak puluhan tahun lalu, Dada sudah membulatkan tekatnya untuk bisa menunaikan rukum islam terakhir itu. Kendati memiliki penghasilan yang pas-pasan sebagai penarik becak, namun hal itu tak menyurutkan keinginannya untuk naik haji.

“Dari dulu memang ingin pergi haji. Namun baru bisa berangkat sekarang. Karena uangnya baru cukup,” imbuh pria satu orang anak itu. Perjalanannya menuju Baitullah ternyata tidak semudah calon jemaah haji lainnya. Pria berusia 59 tahun itu harus menabung selama puluhan tahun untuk bisa melihat megahnya kakbah.

Perlu perjuangan ekstrakeras bagi Dada untuk mengumpulkan uang puluhan juta rupiah. Awalnya, Dada mengaku sulit mengumpulkan uang sambil membaginya untuk kebutuhan belanja keluarga. “Nabungnya dari tahun 1998. Setiap hari saya sisihkan, kadang 5 ribu, kadang 10 ribu, kalau udah banyak setiap bulan saya tabungin di bank,” paparnya.

Ketekunan, kerja keras dan kegigihan Dada terjawab. Tabungan Ongkos Naik Haji (ONH) yang dibuatnya sejak 1998 akhirnya terkumpul dan mencukupi biaya Dada ke tanah suci. Ada cerita lain dari seorang Dada. Selain menjadi penarik beca, Dada adalah anggota Komunitas Peduli Masjid yang dikoordinatori oleh H Daben Sudiyana SE.

Bersama rekannya Adam dan Madila, Dada keliling dari satu masjid ke masjid lainnya untuk bersih-bersih. Dengan seijin pengurus masjid yang didatangi, Dada dan rekan Komunitas Peduli Masjid membersihkan karpet, ruangan, halaman masjid, mengganti kran yang rusak, memasang cermin, hingga menempelkan stiker yang berisikan doa-doa masuk atau keluar masjid, doa sebelum dan sesudah wudhu serta lainnya.

Kabar Dada yang akan berangkat ke tanah suci pun mendapat tanggapan yang positif dari tetangga sekitar kediaman pria kelahiran Cirebon, 15 Juni 1957 itu. “Tetangga pada kaget, karena memang saya gak bilang-bilang kalau dari dulu nabung. Alhamdulillah, saya juga gak menyangka, kok bisa. Kuncinya kesungguhan niat dan selalu berdoa kepada Allah SWT, lalu kita berusaha,” ungkap suami dari Imas Rostiyati itu.

Sementara itu, Koordinator Komunitas Peduli Masjid, H Daben Sudiyana SE selaku rekan sejawat menilai Dada adalah sosok pekerja keras, rajin, jujur, ulet, dan taat beragama.

“Saya lihat Mang Dada rajin ibadah, salat sunnah dan puasa sunnah juga gak pernah tertinggal. Man jadda wajada ya, dengan kesungguhan, niat tulus, dan usaha itu Allah memudahkan jalan Mang Dada untuk berangkat haji,” pungkasnya.(mike dwi setiawati)

 

sumber: RadarCirebon

Radiudin, Tukang Sampah yang Bisa Naik Haji

Pergi berhaji memang butuh biaya. Radiudin menyadari itu. Tukang sampah tersebut mengumpulkan uang sedikit demi sedikit untuk membayar cicilan ongkos haji. Tahun ini, namanya tercantum dalam daftar kloter 19.

RULLY EFENDI, Jember

 

DI gang menuju SMAN 3 Jember, ada sebuah depo sampah yang ramai setiap pagi. Bau busuk sampah itu cukup menyengat. Bagi Radiudin, sampah dan bau busuk tersebut justru menghidupinya. Setiap hari, selama tiga jam dia bergulat dengan sampah. Mulai pukul 07.00 hingga 10.00, kadang bisa lebih. Sebab, truk tak kunjung datang atau gerobak sampah terlambat datang.

Bau busuk sampah itu tidak pernah dia rasakan. Kotornya tubuh pun dianggap Radiudin sebagai bagian dari risiko pekerjaan. Namun, berkat ketekunannya menjadi tukang sampah, pria berumur 51 tahun tersebut pergi berhaji pada tahun ini. ’’Saya sangat-sangat bersyukur. Mulanya, saya tidak menyangka jadi juga berangkat pada tahun ini,’’ katanya.

Bapak tiga orang anak itu menjadi tukang sampah sejak 1993. Empat tahun belakangan, dia bertugas di Depo Lingkungan Muktisari, Kelurahan Tegal Besar, Kaliwates. Meski rumah dan tempat kerjanya berjarak sekitar 20 kilometer, pria yang akrab disapa Pak Nur tersebut rela berangkat pada pagi dari rumahnya di Dusun Bunder, Desa Sumberpinang, Pakusari.

Nama Pak Nur bakal berganti menjadi Pak Haji Nur. Sebab, namanya tercatat dalam daftar anggota rombongan jamaah haji dalam kloter 19. Dia bakal berangkat bersama jamaah haji asal Jember yang lain pada 14 Agustus 2016. Itu bertepatan dengan hari ulang tahunnya.

 

Menjadi calon jamaah haji bukan kejutan yang mendadak datang begitu saja. Hal itu bisa terwujud karena rencana panjang yang dilalui dengan penuh perjuangan. Si tukang sampah tersebut pun harus nyeper dan mencari rongsokan di tengah tumpukan sampah. Hasilnya dia tabung untuk ongkos berhaji. Biaya pendaftaran untuk mendapatkan kursi berhasil dia bayar pada 2009. ’’Saat itu kena Rp 20 juta,’’ ungkap Radiudin.

Dia tak ragu mencari kerja sampingan dengan memungut barang bekas yang bisa diuangkan untuk tambahan biaya hidup. Apalagi, saat awal bekerja menjadi tukang sampah, dia hanya dibayar Rp 1.000 tiap hari. Tunjangan bulanan hanya Rp 5 ribu. Total uang yang dia terima per bulan tak lebih dari Rp 35 ribu.

Sebagaimana pesan orang tuanya, Radiudin tak pernah mengeluhkan keadaan hidupnya. Dia yakin Tuhan memberikan berkah dalam setiap pekerjaan yang nikmatnya dia syukuri. Ternyata benar, setelah bekerja selama 23 tahun, dia bisa mewujudkan cita-citanya untuk pergi ke Tanah Suci dari hasil ’’bersahabat’’ dengan tumpukan sampah.

Radiudin memang tidak bisa berangkat bersama istrinya, Maryati. Namun, dia yakin sang istri menyusulnya pergi ke Tanah Suci pada waktu yang berbeda. Apalagi, Maryati adalah salah seorang yang mendukungnya pergi berhaji.

’’Istri saya selalu memberikan semangat. Saat saya pesimistis karena sulit mencari uang, dia meyakinkan saya bahwa Allah Maha Pengasih,’’ ucapnya. Bahkan, dia mengakui, sang istri sangat memerhatikan dan lebih memilih untuk mengirit uang belanja daripada dirinya tidak bisa menyetor cicilan ongkos haji.

Menurut Radiudin, kekuatan sedekah mengalahkan tantangan ekonominya yang sulit. Meski hanya membawa pulang uang seadanya, kewajiban bersedekah tetap dia keluarkan. Sebab, dia yakin sedekah merupakan cara terbaik untuk memperlancar rezeki. (ai/JPG)

 

sumber: Jawa Pos

 

Haji Tukang Sapu

Ibnu Mubarak menceritakan bahwa setelah musim haji, ia bermimpi mendengar dialog antara dua malaikat tentang mereka yang telah menunaikan ibadah haji. Dalam dialog dua malaikat itu terungkap bahwa tidak satu pun dari ribuan jamaah haji musim ini yang hajinya diterima Allah, kecuali hajinya seorang tukang sapu yang tinggal di Kota Damsyik.

Karena penasaran dengan mimpinya, Ibnu Mubarak pun pergi ke Damsyik untuk mencari keberadaan orang tersebut. Setelah bertemu, ia langsung menanyakan tentang perjalanan hajinya. Maka, tukang sapu yang bernama Muwaffak menceritakan bahwa ia telah lama mengumpulkan uang guna melaksanakan ibadah haji.

Setelah terkumpul dan mulai mempersiapkan diri untuk keberangkatannya, tiba-tiba istrinya yang hamil muda (ngidam) menginginkan masakan daging yang bau lezatnya tercium dari rumah tetangganya.

Akhirnya, Muwaffak terpaksa mendatangi rumah tetangganya untuk meminta. Namun, jawaban yang didengar sangat mengejutkan, ”Daging ini halal untukku, tetapi haram untukmu.” Sebab, daging yang dimasaknya itu adalah bangkai yang ditemukannya dalam perjalanan setelah lama berjalan ke sana ke mari mencari makanan untuk dirinya dan anak yatim yang telah beberapa hari tidak makan.

Mendengar kisah janda tersebut, hatinya terhenyak. Muwaffak segera pulang mengambil seluruh bekal yang telah lama ia persiapkan untuk keberangkatan haji. Dengan penuh keyakinan, ia berucap, ”Hajiku cukup di depan rumah.”

Tidak lama kemudian, Muwaffak dengan ditemani istrinya mendatangi tetangganya yang tengah didera lapar untuk memberikan uang simpanannya ditambah beberapa potong roti. ”Kami telah berbuat zalim, membiarkan tetangga yang tinggalnya tidak seberapa jauh, hidup dalam kelaparan. Maafkan kami,” pintanya dengan penuh rasa bersalah.

Kisah ini jauh dari maksud merendahkan keutamaan pergi berhaji. Ini hanya sebuah renungan sebelum menentukan wajib tidaknya pergi berhaji bagi seseorang, terutama bila mengingat situasi dan kondisi sekitarnya, lebih lagi di tengah masyarakat yang cenderung memaksakan diri untuk pergi berhaji bahkan ada berkali-kali. Kepergiannya tidak benar-benar dalam rangka memenuhi panggilan Allah, melainkan untuk rekreasi, bertujuan politik, berdagang, dan lain-lain.

Rasulullah SAW dalam sebuah sabdanya pernah mensinyalir bahwa kelak di akhir zaman akan muncul empat macam orang-orang yang berhaji dengan berbagai motivasinya. Para pemimpin berhaji untuk rekreasi, orang-orang kaya untuk berdagang, orang-orang miskin untuk meminta-minta, dan para pembaca Alquran untuk mencari popularitas.

Mereka yang berhaji dengan berbagai niatan ini jika dibandingkan dengan tamu-tamu Allah yang ikhlas bagaikan tamu-tamu yang tak diundang. Kehadirannya tidak membawa perubahan apa-apa, kecuali sebutan Pak Haji dan Bu Hajah.

 

Oleh Muhammad Bajuri

Tukang Pungut Sampah Naik Haji, Tabung Uang dari 500 Rupiah Selama Delapan Tahun

Hidayatullah.com – Niat dan usaha yang sungguh-sungguh akan mengantarkan seseorang pada sesuatu yang dicita-citakannya. Inilah yang diamalkan oleh Suparning, tukang pemungut sampah di perkampungan daerah Asem Rowo Surabaya yang bisa berangkat haji.

Meski secara logika penghasilan dari pekerjaan Suparning tidaklah seberapa besar, tapi nenek berusia 60 tahun ini membuktikan bahwa dengan tekad dan usahanya yang kuat, mampu mengantarkannya untuk berangkat untuk melaksanakan rukun Islam kelima, yakni Haji ke Baitullah.

Nenek 4 cucu ini berkeyakinan bahwa suatu saat ia bisa berangkat ke tanah suci layaknya orang-orang yang memiliki harta lebih pada umumnya. Untuk itu, ia berinisiatif untuk menyisihkan sebagian penghasilannya dari mungut sampah untuk biaya daftar haji.

“Memang untuk mewujudkan impian naik haji ini penuh perjuangan. Karena saya harus menabung selama 8 tahun lamanya. Tetapi saya yakin Allah pasti mengabulkan doa saya untuk bisa melihat Ka’bah secara langsung,” ujar Suparning sebagaimana rilis yang diterimahidayatullah.com pada Senin, (24/08/2015).

Sekitar tahun 2009, Suparning mulai mendaftarkan KBIH Al Aziziyah Surabaya. Pada waktu itu, tabungannya dari hasil menjadi Pemungut sampah sudah mencapai sekitar Rp. 20 juta.

“Bermodalkan sebuah gerobak untuk mengambil sampah di kampung saya bisa mengumpulkan uang Lima Ratus sampai Seribu Rupiah untuk ditabung,” aku Suparning.

Usaha yang dilakukan Suparning tidak sia-sia. Semua hasil jerih payah dan keikhlasan hatinya membawa Suparning berangkat haji di tahun 2015 ini.

Kini, dengan izin Allah, Suparning telah berangkat ke tanah suci pada tanggal 23 Agustus 2015 lalu melalui kloter 4 Embarkasi Juanda, Surabaya.*/Yahya G. Nasrullah

Rep: Admin Hidcom

Editor: Achmad Fazeri

Menabung 34 Tahun, Penjaga Mushalla Akhirnya Tunaikan Haji

Jutaan umat Muslim di seluruh dunia mungkin mempunyai mimpi yang sama seperti diinginkan Syamsuri Sigra menjadi tamu Allah menunaikan rukun Islam kelima.

Syamsuri Sigra tak menyangka akan berangkat haji pada tahun ini.

“Selama 34 tahun lebih penantian dari hasil tabungan yang dikumpulkan sejak tahun 1980, akhirnya tahun 2015 ini saya berangkat ke tanah suci Makkah,” kata Syamsuri Sigra (80), salah satu calon jemaah haji asal Sumatera Selatan di Palembang, Rabu (26/8/2015).

Menurut penjaga Mushalla Nurul Yakin di Jalan H Fasih Umar Kelurahan 1 Ulu Palembang ini, ia tak menyangka akan berangkat ke Tanah Suci Makkah menunaikan rukun Islam kelima setelah lebih dari 34 tahun mengumpulkan uang sedikit demi sedikit hingga akhirnya berangkat haji tahun ini.

Ia mengaku, di usianya yang ke-80 tahun ini tak banyak yang dilakukan sejak berhenti bekerja pada tahun 1980-an sebagai seorang teknisi. Keseharian dihabiskan dengan mengurus mushalla di dekat rumahnya.

Ia memimpin peribadatan di mushalla tersebut seraya berdoa kepada Yang Maha Kuasa agar selalu diberikan kesehatan untuk dapat melaksanakan ibadah sebelum akhir hayatnya.

“Kini penantian panjang lebih dari 34 tahun itu diwujudkan pada musim haji tahun ini, saya akan diberangkatkan menunaikan ibadah haji melalui kelompok terbang (kloter) pertama pada 27 Agustus dari embarkasi Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang menuju tanah suci Makkah,” katanya, dilansir Antara.

Menurut dia, pada tahun 1950 saat usia remaja ia memang sudah ada niat berhaji jika ada rezeki. Maka ia mulai menabung sejak selesai mendidik anak-anak ketika masih bekerja sebagai teknisi, hingga akhirnya uang terkumpul cukup untuk syarat berangkat haji.

Salah seorang tetangga Syamsuri, Samsul (61), mengomentari bahwa Syamsuri adalah sosok contoh dan teladan dari sekian juta umat Muslim di tengah kesederhanaan dan kesulitan ekonomi keluarga, masih mampu menyisihkan uang belanja sehari-hari untuk ditabung guna mewujudkan cita-cita berangkat haji.

Informasi dari Kasubag Humas Kakanwil Kementerian Agama Provinsi Sumsel, Saefudin di Palembang, Selasa (25/8/2015) bahwa Syamsuri Sigra adalah salah satu dari total 4.947 orang jemaah calon haji asal Sumatera Selatan diberangkatkan ke Tanah Suci Makkah, yang dibagi dalam 14 kelompok terbang melalui embarkasi Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang.*

Rep: Insan Kamil

Editor: Syaiful Irwan

sumber: Hidayatullah.com

Ketekunan Sunar, Kuli Angkut yang Menabung selama 15 Tahun untuk Berhaji

Ketekunan Sunaryanto (53), warga Kulonprogo, DIY, membuahkan hasil. Setelah menabung selama 15 tahun, pria yang berprofesi sebagai buruh gendong atau kuli angkut ini akhirnya naik haji.

Sunar, panggilan Sunaryanto, bekerja di Pasar Bendungan, Kecamatan Wates, Kulonprogo. Pasar ini terletak sekitar 100 meter dari rumah Sunar. Sebagai kuli angkut, dia dapat mengumpulkan uang sebesar Rp 25 ribu hingga Rp 30 ribu per hari.

“Saya tabung Rp 10 ribu. Sisanya untuk keperluan keluarga di rumah dan memberi uang saku anak saya yang kuliah,” ungkap Sunar kepada wartawan di rumahnya, Dusun Bendungan Kidul, Wates, Kulonprogo Jumat (21/8/2015).

Sunar tidak pernah mematok ongkos jasa angkut. Berapapun bayarannya, dia ikhlas. “Mau memberi Rp 1.000, Rp 2.000, Rp 5.000, berapapun saya terima. Semua pedagang di pasar sudah kenal semua, sudah seperti saudara saja,” katanya.

Saat mengetahui tahun ini bisa berangkat haji, Sunar bersujud syukur. Sesegera mungkin, dia memenuhi semua persyaratan, termasuk melakukan pelunasan.

“Banyak tetangga dan para pedagang di pasar yang mengetahui akan berhaji banyak yang minta didoakan,” ungkapnya.

Selain bekerja di pasar, Sunar adalah takmir Masjid Al Fallah di dusunnya. Dia menjadi petugas kebersihan masjid. Jumat pagi, dia bersama salah seorang rekannya juga sedang mengepel lantai masjid sebelum digunakan untuk salat.

“Kami sekeluarga tidak pernah meninggalkan salat wajib, salat sunat, dhuha maupun salat tahajud. Saat ini saya sudah mempersiapkan fisik maupun mental agar bisa fokus ibadah di tanah suci nanti,” katanya.

Sunar yang tergabung dalam Kloter SOC 28 bersama jamaah asal Kulonprogo dan Sleman itu akan berangkat pada gelombang pertama, tanggal 30 Agustus 2015 melalui Embarkasi Haji Donohudan Solo/Bandara Adi Soemarmo Solo menuju Madinah.
(bgs/try)

Demi Naik Haji, Penjual Bubur Candil Ini Menabung 24 Tahun

BANYUMAS, KOMPAS.com — Sariyah, perempuan berusia 52 tahun asal warga Desa Karanglewas Kidul, Kecamatan Karanglewas, Kabupaten Banyumas, pada tahun 2014 akan menunaikan ibadah haji.

Bukan karena mendapat “durian runtuh”, Sariyah, yang merupakan penjual bubur candil keliling, ini dapat berangkat ke Mekkah. Sebab, dia sudah memulai tekad bisa berhaji sejak 1990. Selama 24 tahun itu pula dia tekun menabung.

“Saya kalau nabung tidak setiap hari, kadang dua atau tiga hari sekali, bahkan jika memang tidak ada sisa uangnya, saya baru satu minggu menabung. Itu pun sekali menabung saya hanya Rp 20.000,” ungkap dia yang ditemui di rumahnya, Minggu (7/9/2014).

“Setiap hari, dari hasil keliling jualan bubur candil sama sepeda biasanya saya dapat Rp 20.000 sampai Rp 30.000. Ya kadang-kadang malah kurang dari itu,” kata Sariyah.

Namun, dengan tekadnya yang besar, dia berhasil mengumpulkan uang. Pada 2010, dia mendaftar pemberangkatan haji ke Kantor Kementerian Agama Banyumas. Namun, dia harus masuk dalam daftar antrean dan baru akan berangkat haji pada 2014 ini. “Saat itu, saya mendaftar dengan uang Rp 25 juta dan harus mengantre empat tahun,” kata dia.

Meski sudah mendaftarkan diri, Sariyah tetap meneruskan kebiasaannya untuk gemar menabung. “Saya nabung terus karena uangnya kan masih kurang untuk ongkos dan sangu (bekal) haji,” sambung dia lagi.

Satu kunci untuk bisa mewujudkan niat beribadah haji, menurut dia, adalah ketekunan dan selalu berdoa. “Kuncinya hanya satu, niatnya harus sungguhan dan selalu berdoa kepada Allah SWT, lalu kita berusaha,” ungkap dia.

Dulu, sebelum menggunakan sepeda onthel untuk berjualan, dia hanya menggendong barang dagangannya. “Dulu waktu jualan menggunakan gendong, setiap hari penghasilan saya antara Rp 5.000 sampai Rp 7.000. Alhamdulilah sekarang sudah lumayan,” kata perempuan satu anak ini.

Sudah lebih dari 10 tahun, Sariyah harus hidup sendiri sejak suaminya meninggal dunia. Selama itu, dia menggantungkan hidupnya dari pendapatan sebagai penjual bubur candil keliling.

Alhamdulillah dari hasil usaha sebagai penjual bubur candil keliling saya bisa menyekolahkan putra saya,” ungkap dia.

Kini, putra Sariyah satu-satunya, bernama Ilham Setiawan, sudah bekerja dan memiliki keluarga yang tinggal di Jakarta. Sariyah akan menjadi salah satu calon jemaah haji yang bertolak ke Tanah Suci dengan kelompok penerbangan 47. “Berapa pun pendapatan saya setiap hari, saya selalu syukuri,” ujar dia menutup perbincangan.

 

sumber: Kompas.com

Kisah Seorang Pemulung yang Bisa Naik Haji

Dalam sehari, upah memungut barang bekas sebesar Rp 10 ribu. Yang Rp 5 ribu ditabung dan yang Rp 5 ribu untuk makan.

Probolinggo – Niat dan usaha yang sungguh-sungguh akan mengantarkan seseorang pada sesuatu yang dicita-citakannya. Inilah yang diyakini dan dilakukan Mbok Karyati, seorang pemulung asal Probolinggo.

Meski secara logika pekerjaannya adalah pekerjaan rendahan, namun nenek 68 tahun ini ternyata bisa mencapai cita-citanya yakni menunaikan rukun Islam yang kelima, haji.

Untuk bisa mencapai keinginannya itu, Mbok Karyati telah bekerja sangat keras. Selama 20 tahun, wanita paruh baya yang tinggal di Desa Pondok Wuluh, Kecamatan Leces, Probolinggo ini menyisihkan sebagian jerih payahnya sebagai pengais barang bekas plastik dan kertas.

Janda renta yang mempunyai 4 orang anak ini berkeyakinan bahwa ia bakal bisa naik haji layaknya orang-orang berduit. “Memang penuh perjuangan. Karena saya harus menabung selama 20 tahun lamanya. Saya yakin Allah pasti mengabulkan doa saya untuk bisa melihat Ka’bah secara langsung,” ujar Mbok Karyati saat berbincang dengan detikcom di rumahnya, Rabu (18/9/2013).

Mbok Karyati bercerita, cita-cita naik haji itu sudah lama terpendam semenjak 2001 lalu. Saat itu ia masih punya toko kelontong di desanya. Masa-masa sulit dilewatinya saat usaha kelontongnya bangkrut di 2005. Untuk menyambung hidup, Mbok Karyati kemudian menjadi seorang pemulung. Meski pekerjaannya terbilang rendah, tapi itu tidak menyurutkan niatnya untuk bisa meraih cita-cita menunaikan ibadah haji.

“Ketika uang sudah terkumpul Rp 40 juta, ada seseorang yang meminjam dan tidak dikembalikan. Padahal saat itu sudah mau didaftarkan. Saya hanya bisa pasrah namun saya tidak mau putus asa,” terang Mbok Karyati.

Bermodal sepeda buntut, Mbok Karyati keliling dari kampung ke kampung mengumpulkan barang bekas. Sebagian hasilnya digunakan untuk makan dan sebagian lain ditabung untuk bisa naik haji.

“Dalam sehari, upah memungut barang bekas sebesar Rp 10 ribu. Yang Rp 5 ribu ditabung dan yang Rp 5 ribu untuk makan,” ujar Mbok Karyati.

Dan selama mengejar impiannya, Mbok Karyati tidak mau kumpul atau tidur di rumah anak-anaknya. Bukannya tidak sayang kepada anak dan cucu, namun nenek bercucu 12 orang ini tak mau mengganggu atau menjadi beban hidup anak-anaknya.

Mbok Karyati lebih memilih tidur di toko usang miliknya. Terkadang pula tidur di mesjid desanya. “Kalau pas bersih-bersih masjid ada orang kasih rejeki, saya tabung,” katanya.

Usaha Mbok Karyati tak sia-sia. Semua hasil jerih payah dan keihklasan hatinya membawa Mbok Karyati berangkat haji di tahun 2013 ini. Mbok Karyati direncanakan akan berangkat tanggal 29 September 2013 melalui kloter 43 embarkasi Juanda.

 

sumber: Detik.com/M Rofiq