Mengaku Islam Kok Perilaku di Medsos Buruk

BELAKANGAN ini makin nyata adanya kelompok orang yang mengaku muslim dan beriman tetapi tidak menampakkan akhlak mulia dalam kehidupan sehari-harinya. Gejala ini sangat banyak kita temui baik dalam rutinitas keseharian apalagi di media sosial. Sumpah serapah dan caci maki, tak urung mewarnai “komunikasi” (kalau boleh disebut komunikasi) yang terjadi.

Kita pun dibuat bertanya-tanya, “Bagaimana mungkin seorang yang mengaku Islam, melakukan hal-hal seperti itu?” Untuk memahaminya, perlu dijelaskan adanya perbedaan antara orang-orang muslim (ber-Islam), mukmin (beriman), dan muhsin (ber-ihsan).

Definisi keislaman dipaparkan dalam Al-Hujurat ayat 14: “Orang-orang Arab Badui (a’rab, pengembara Badui yang belum mengembangkan peradaban, bukan ‘arab) itu berkata: Kami telah beriman…. Katakanlah: Kamu belum beriman, tapi katakanlah ‘kami telah menjadi muslim (tunduk)’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu.”

Sedang definisi keimanan dipaparkan dalam Al-Anfal ayat 2 -3: “Sesungguhnya orang2 beriman ialah mereka yg bila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka, dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”

Jadi kira-kira Muslim itu yang melaksanakan kewajiban syariah secara lahiriah, sedangkan Mukmin adalah sikap hati (batiniyah). Orang beriman (Mukmin) adalah yang gemetar hatinya bila mendengar kata Allah dan bertambah terus imannya ketika membaca ayat Allah. Mukmin menjaga dan menghayati shalatnya–yakni menghadirkan hati dalam ibadah–dan melahirkan amal-amal saleh antara lain dalam bentuk sedekah.

Sedang berkenaan dengan Ihsan, Allah Swt. berfirman dalam Al-Mulk, ayat 23: “… Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih sempurna amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”

Dalam hadis Jibril disebutkan ihsan adalah menyembahNya dalam keadaan kita (seolah-olah, yakni bukan dengan mata fisik) melihat Allah Swt. Atau kalau kita tidak bisa merasa seolah melihatNya, kita yakin bahwa Allah melihat/mengawasi kita. Dalam hadis lain dikatakan: “Allah Swt. cinta pada orang yang jika menyelesaikan pekerjaan, dia selesaikannya dengan ihsan (sempurna).”

Ada juga dalam hadis lain disebutkan: “Allah telah menetapkan al-ihsan dalam semua hal.” (HR Muslim)

Ada 166 ayat yang mengandung kata ihsan dan turunannya. Salah satunya yang populer: “Sungguh Allah menyuruh berlaku adil & berbuat ihsan serta memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.” (An-Nahl: 90 )

Segera tampak bahwa ihsan terkait erat dengan kepemilikan dan penerapan akhlak mulia secara konkret dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, orang yang berihsan tak hanya menahan marah, tetapi juga memaafkan orang yang bersalah padanya dan menyempurnakannya dengan berbuat baik padanya.

Sebagaimana firmanNya dalam QS. Ali Imran: 134; “Dan orang yang menahan marahnya & yg memaafkan kesalahan org2. Dan Allah mencintai org yang menyempurnakan kebaikan (berbuat ihsan).”

Yang menarik dalam ayat di atas adalah bahwa Allah sendiri tidak pernah menyebut diriNya “mencintai orang-orang beriman” atau “orang-orang Muslim”, tetapi “mencintai orang-orang yang berihsan”.

Ihsan adalah menyempurnakan seluruh amal agar secara spiritual kita makin dekat kepadaNya. Maka tak sedikit ulama mengidentikkan Ihsan dengan tasawuf.

Dan bukan kebetulan juga tasawuf disebut mazhab cinta, yang mempromosikan hubungan saling cinta manusia dengan Allah (dan dengan manusia serta makhluk-makhluk lain). Penjelasan lbh panjang tentang tasawuf sbg mazhab cinta al. ada di buku saya: ISLAM Risalah Cinta dan Kebahagiaan.

Jadi, Islam-Iman-Ihsan sejajar dengan Syariah-Akidah-Tasawuf (akhlak). Ketiganya tak terpisahkan, tapi puncaknya adalah akhlak. Dengan kata lain, puncak keislaman kita harus terwujud pada kepemilikan/penerapan akhlak mulia. Tak akan banyak berarti bila kita mengaku Islam, dan tak akan terbukti mengaku beriman, kecuali jika kita telah benar-benar memiliki/menerapkan akhlak mulia. Inilah makna hadis Nabi Saw.: “Aku tak diutus kecuali untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.”

Demikian juga inti dari firmanNya yang sering kita ulang-ulang: “Dan tak Kami utus kau (Muhammad) kecuali sebagai rahmat (kasih-sayang) untuk alam semesta.”

Maka, orang-orang yang mengaku Muslim tapi tak berakhlak mulia bisa jadi baru mencapai tahap Islam, mungkin iman, tetapi belum ihsan. WalLah a’lam.[Haidar Bagir/islamindonesia]

 

INILAH MOZAIK

Ini Syarat Jika Ingin Berakhlak Islami

SYAIKH Abdul Aziz bin Baz mengatakan, di antara prasyarat yang mengantarkan pada akhlak Islami adalah memperbanyak membaca Al Quran serta men-tadabburi maknanya.

Setelah itu bersungguh-sungguh untuk berperilaku dengan akhlak yang sebagaimana Allah Taala sebutkan dalam Al Quran mengenai sifat-sifat para hamba-Nya yang shalih. Hal ini dapat mengantarkan kita pada akhlak yang mulia.

Demikian juga hendaknya memperbanyak duduk bersama orang-orang baik dan berakrab-akrab dengan mereka. Juga dengan memperbanyak membaca hadits-hadits shahih dari Nabi Shallallahualaihi Wasallam yang menunjukkan tentang akhlak mulia.

Demikian juga hendaknya banyak membaca kisah-kisah orang terdahulu dalam kitab-kitab sirah nabawiyyah dan sejarah Islam, yaitu membaca bagaimana sifat dan akhlak orang-orang shalih di masa itu. Semua hal ini dapat mengantarkan kita pada akhlak yang mulia dan beristiqamah di atasnya.

Namun sebab yang paling besar adalah Al Quran. Dengan banyak membacanya serta men-tadaburi maknanya dengan benar-benar menghadirkan hati yang penuh keinginan tulus untuk berakhlak mulia ketika membaca Al Quran dan men-tadaburi-nya. Inilah hal terbesar yang bisa mengantarkan kepada akhlak mulia, dengan juga memberi perhatian yang serius terhadap hadits-hadits shahih dari Nabi Shallallahualaihi Wasallam tentang akhlak mulia. [ ]

 

 

“Islam yang Baik, Jelaskanlah Ajaranmu Padaku!”

Ath-Thufail bin Amru ad-Dausi adalah kepala kabilah Daus di masa jahiliyah, salah seorang pemuka orang-orang Arab yang berkedudukan tinggi, satu dari para pemilik muruah yang diperhitungkan orang banyak. Panci miliknya tidak pernah turun dari api karena senantiasa di pakai untuk memasak dalam rangka menjamu tamu dan pintu rumahnya tidak pernah tertutup dari tamu yang mengetuk untuk bermalam. Dia adalah potret manusia yang memberi makan orang yang lapar, memberi rasa aman bagi orang yang takut, dan memberi perlindungan kepada orang yang memerlukan perlindungan.

Di samping itu, dia adalah seorang sastrawan cerdik lagi ulung, seorang penyair dengan ilham besar dan perasaan lembut, mengenal dengan baik kata-kata yang manis dan pahit, dimana kalimat berperan padanya layaknya sihir. Ath-Thufail meninggalkan kampung halamannya di Tihamah (Tihamah adalah lembah pesisir di Jazirah Arab yang bersebelahan dengan Laut Merah) menuju Mekah pada saat terjadi pertentangan antara Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan orang kafir Quraisy, di saat Rasul shallallahu alaihi wa sallam berusaha menyampaikan dakwah Islam kepada penduduknya.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyeru mereka kepada Allah, senjata beliau adalah iman dan kebenaran. Sementara orang-orang kafir Quraisy memerangi dakwah beliau dengan segala macam senjata, menghalang-halangi manusia darinya dengan berbagai macam cara. At-Thufail melihat dirinya masuk ke dalam pertentangan ini tanpa persiapan, menerjuni lahannya tanpa dia kehendaki sebelumnya. Dia tidak datang ke Mekah untuk tujuan tersebut, perkara Muhammad dan orang-orang Quraisy tidak pernah terbesit dalam pikirannya sebelum ini. Dari sini ath-Thufail bin Amru ad-Dausi mempunyai kisah dengan pertentangan ini yang tidak terlupakan. Kita simak kisah tersebut, karena ia termasuk kisah yang sangat menarik.

Ath-Thufail berkisah, Aku datang ke Mekah, begitu para pembesar Quraisy melihatku, mereka langsung menghampiriku, menyambutku dengan sangat baik dan menyiapkan tempat singgah yang terbagus bagiku. Kemudian para pemuka dan pembesar Quraisy mendatangiku sembari berkata, “Wahai Thufail, sesungguhnya kamu telah datang ke negeri kami, dan laki-laki yang menyatakan dirinya sebagai nabi itu telah merusak urusan kami dan memecah-belah persatuan kami serta mencerai-beraikan persaudaraan kami. Kami hanya khawatir apa yang menimpa kami ini akan menimpamu sehingga mengancam kepemimpinanmu atas kaummu. Oleh karena itu, jangan berbicara dengan laki-laki itu, jangan mendengar apa pun darinya, karena dia mempunyai kata-kata seperti sihir, memisahkan seorang anak dari bapaknya, seorang saudara dari saudaranya, seorang istri dari suaminya.”

Ath-Thufail berkata, Demi Allah, mereka terus menceritakan berita-beritanya yang aneh, menakut-nakutiku atas diri dan kaumku dengan perbuatan-perbuatan Muhammad yang terkutuk dan tercela sampai aku pun bertekad bulat untuk tidak mendekat kepadanya, tidak berbicara dengannya dan tidak mendengar apa pun darinya. Manakala aku berangkat ke Masjidil Haram untuk melakukan thawaf di Kabah dan mencari keberkahan kepada berhala-berhala yang kepada merekalah kami menunaikan ibadah haji dan kepada merekalah kami mengagungkan, aku menyumbat kedua telingaku dengan kapas karena aku takut ada perkataan Muhammad yang menuyusup ke telingaku.

Begitu aku masuk masjid, aku melihat Muhammad sedang berdiri. Dia shalat di Kabah dengan shalat yang berbeda dengan shalat kami, beribadah dengan ibadah yang berbeda dengan ibadah kami, pemandangan itu menarik perhatianku, ibadanya menggugah nuraniku. Tanpa sadar aku melihat diriku telah mendekat kepadanya sedikit demi sedikit, sehingga tanpa kesengajaan diriku telah benar-benar dekat kepadanya. Allah pun membuka hatiku, sebagian apa yang diucapkan Muhammad terdengar olehku, aku mendengar ucapan yang sangat indah. Aku berkata kepada diriku, “Celaka kamu wahai Thufail, sesungguhnya kamu adalah laki-laki penyair yang cerdas, kamu mengetahui yang baik dan yang buruk, apa yang menghalangimu untuk mendengar ucapan laki-laki ini? Jika apa yang dia bawa itu baik, maka kamu harus menerimanya, jika buruk maka kamu harus membuangnya.”

Ath-Thufail berkata, “Aku diam sampai Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam meninggalkan tempatnya menuju rumahnya, aku mengikutinya sampai dia masuk ke dalam rumahnya dan aku pun masuk kepadanya. Aku berkata, “Wahai Muhammad, sesungguhnya kaumku telah berkata tentangmu begini dan begini. Demi Allah, mereka terus menakut-nakuti dari ajaranmu sampai aku menutup kedua telingaku dengan kapas agar aku tidak mendengar kata-katamu. Kemudian Allah menolak itu semua dan membuatku mendengar sebagian dari ucapanmu. Aku melihatnya baik, maka jelaskan ajaranmu kepadaku.”

Di saat itulah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan agamanya kepadaku, beliau membacakan surat al-Ikhlas dan al-Falaq. Demi Allah, aku tidak pernah mendengar sebuah ucapan yang lebih bagus dari ucapannya, aku tidak melihat sebuah perkataan yang lebih adil daripada perkaranya. Pada saat itu aku ulurkan tanganku untuknya, aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang haq selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, aku masuk Islam.”

 

INILAH MOZAIK

Masuklah ke Dalam Islam Secara Total

MENGAPA kebanyakan dari kita sangat tidak mudah untuk merasakan kenikmatan keimanan, lezatnya ketaatan, khusyuknya keperibadahan dan manisnya amal kebajikan?

Pada umumnya kita masih menjalani sebuah ibadah itu dengan setengah-tengah atau mungkin lebih rendah lagi. Mayoritas masyarakat pada umumnya memiliki level masih berada di tataran seremoni (semangat peringatan-peringatan), atau formalitas saja. Padahal keimanan dan keislaman sejati itu seharusnya benar-benar bisa merasuk ke hati, menyatu dengan jiwa dan mewujud dalam rasa cinta dan rida yang nyata.

Agar mampu merasakan nikmatnya amal saleh dan khusyuknya ibadah diharuskan beragama itu secara total. Syarat mutlaknya adalah hawa nafsu harus mampu ditundukkan dan dikendalikan. Karena selama masih ada hawa nafsu tertentu yang secara utuh atau hampir utuh selalu diperturutkan, maka selama itu pula sikap ogah-oagahan akan senantiasa menyertai dalam pelaksanaan setiap amal saleh dan penunaian ibadah.

Karena pada umumnya ketaatan itu harus disikapi sebagai beban berat yang harus ditanggung dan dilepaskan dan belum dirasakan sebagai kebutuhan hidup yang dirindukan rasa nikmatnya dan buah lezatnya.

Allah Taala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan (secara total), dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” Q.S Al-Baqarah: 208

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Tak sempurna iman seseorang dari kalian sampai hawa nafsunya tunduk mengikuti ajaran yang aku bawa”. (Hadist Riwayat Imam An-Nawawi, hadits hasan shahih yang kami riwayatkan dalam kitab Al-Hujjah dengan sanad yang shahih).

Dalam hadis lain Rasulullah juga bersabda: “Telah bisa merasakan nikmat/lezatnya iman, orang yang telah ridha terhadap Allah sebagai Tuhan(nya), ridha terhadap Islam sebagai agama(nya) dan ridha terhadap Muhammad (shallallahu alaihi wasallam) sebagai rasul(nya).” Hadits Riwayat Muslim dari Al-Abbas radhiyallahu anhu.

Riwayat yang lain lagi beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Ada tiga hal di mana jika ketiganya ada dalam diri seseorang, maka ia bisa merasakan manisnya iman, yaitu: 1). Jika Allah dan Rasul-Nya telah ia cintai melebihi kecintaannya terhadap selain keduanya; 2). Jika ia mencintai seseorang benar-benar hanya karena Allah; dan 3). Jika ia benci untuk kembali kepada kekufuran seperti kebenciannya andai ia dilemparkan ke dalam api.” (Hadits Riwayat. Al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu).

Jadi rumusnya adalah: Tidak memperturutkan hawa nafsu/menundukkan dan mengendalikannya -> tidak mengikuti langkah-langkah setan -> beriman dengan sepenuh rasa cinta hati dan rida jiwa -> berislam secara total -> manisnya beriman, nikmatnya berislam dan lezatnya berketaatan.

Sedangkan rumus sebaliknya adalah: Memperturutkan hawa nafsu -> mengikuti langkah-langkah setan -> beriman sebatas teori logika, tidak turun dari hati dan tidak sampai menjiwai -> berislam secara setengah-setengah -> beriman sebagai beban, beribadah terasa hambar dan berketaatan terpaksa dan menjenuhkan. [

INILAH MOZAIK

Dunia Sangat Membutuhkan Islam

KENYATAAN dalam sejarah, hijrah (migrasi) dari satu negeri ke negeri yang lain tidak bisa berlangsung kecuali dengan darah.

Contoh yang sering kita saksikan dalam film-film, migrasi orang-orang Eropa ke Amerika. Berapa orang Indian yang terbunuh. Berapa banyak darah yang berceceran sampai mereka menguasasi Amerika.

Namun, migrasi terhebat dalam sejarah adalah hijrah kalangan Muhajirin ke Madinah. Sebab, migrasi ini berlangsung dalam naungan Islam yang berisi cinta kasih dan sikap altruisme (mengutamakan orang lain).

Betapa luar biasa kejadian di atas. Semua sahabat Anshar membagi rumah, harta, dan semua yang mereka miliki menjadi dua bagian; separuh untuk mereka dan separuh lagi untuk kalangan Muhajirin.

Tidakkah Anda ingin seperti mereka? Mulailah sekarang dan niatkan untuk mengubah hidup Anda! Jadikan semuanya menjadi sikap altruisme (mengutamakan orang lain). Mampukah Anda melakukannya? [amru muhammad khalid]

 

INILAH MOZAIK

Islam, Agama Fitrah (2)

DARI keterangan hadis qudsi di atas jelaslah bahwa pada hakikatnya kita diciptakan oleh Allah dalam kondisi berpegang teguh pada agama, berada pada fitrah Allah. Tetapi, tipu daya setanlah yang kemudian memalingkan kita dari ajaran agama kita. Setan telah memperdaya kita untuk mengingkari Allah, dengan menjadikan selain Allah sebagai tuhan. Ada di antara umat manusia yang kemudian kembali kepada fitrah agamanya. Ada pula yang tetap berada pada kesesatan dan kekufuran.

Satu hal yang harus kita sadari bersama adalah bahwa selama hayat masih di kandung badan, selalu ada kesempatan untuk kembali kepada agama, kembali kepada Tuhan. Tuhan sangat senang jika ada hamba-Nya yang telah lama berkelana, mengembara mengarungi kehidupan ini, serta jauh dari-Nya, kemudian dia kembali ke jalan-Nya.

Seperti halnya orangtua yang telah lama ditinggal anaknya pergi merantau kemudian kembali pulang ke pangkuannya. Bahkan, kasih sayang Tuhan kepada hamba-hamba-Nya jauh melebihi kasih sayang orangtua kepada anak-anaknya.

Alangkah sayangnya, jika kesempatan hidup di dunia yang hanya sekali, tidak dimanfaatkan untuk menjalani fitrah kemanusiaan, yaitu memeluk erat agama, mendekatkan diri kepada Tuhan, menjadi hamba-hamba-Nya yang dikasihi dan dicintai-Nya. Betapa malangnya diri ini, jika hidup di dunia ini yang hanya sementara, diisi dengan amal yang sia-sia, yang hanya akan membawa kita pada penyesalan tiada tara di akhirat kelak.

Mari kembali kepada fitrah kita, yaitu fitrah untuk beragama, fitrah untuk selalu dekat dengan Tuhan, fitrah untuk menjadi hamba-hamba yang dikasihi dan dicintai-Nya. Dengan tetap pada fitrah itu, maka kita semua berharap semoga kelak, ketika Tuhan mengambil kita untuk kembali kepada-Nya, Tuhan akan memanggil dengan panggilan mesra:

“Wahai jiwa-jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diradai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS.Al-Fajr [89]:27-30) [didi junaedi]/selesai.

INILAH MOZAIK

Islam, Agama Fitrah (1)

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptkan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Ruhm [13]: 30)

PADA hakikatnya, setiap manusia lahir ke dunia ini dengan membawa fitrah berupa keyakinannya kepada agama (Islam). Demikian ditegaskan oleh para ulama tafsir, ketika menjelaskan tentang maksud ayat di atas.

Seiring berjalannya waktu, maka fitrah yang sudah Allah tetapkan tersebut, akan tetap atau berubah bergantung pada kondisi lingkungan di mana manusia itu berada.

Nabi Muhammad saw menegaskan, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah)–beragama Islam–, maka bergantung kedua orangtuanyalah yang akan menjadikannya seorang Yahudi, Nasruni atau Majusi.”

Dari keterangan hadis di atas jelaslah bahwa setiap manusia dilahirkan dalam kondisi beragama (Islam). Agama itu fitrah yang sudah ada sejak manusia lahir, bahkan ketika mereka masih berada di alam rahim. Demikian ditegaskan dalam ayat lain.

Begitu melekatnya fitrah berupa agama ini di dalam diri manusia, maka meski seseorang larut dalam pelukan nafsu duniawi, yang seringkali melenakannya dari ajaran agama, atau bahkan melupakannya pada Tuhan, pada saat tertentu akan muncul kerinduan dalam dirinya untuk kembali kepada agama, kembali kepada Tuhannya.

Jika seseorang menuruti kata hatinya untuk kembali kepada Tuhannya, kepada ajaran agamanya, maka sangat mungkin pintu hidayah akan terbuka lebar baginya. Namun sebaliknya, jika ia lebih memperturutkan hawa nafsunya, tidak mengindahkan kata hatinya, maka dia akan semakin terjerumus pada kesesatan dan gelimang dosa.

Az-Zamakhsyari dalam kitab tafsirnya al-Kasysyaf menjelaskan ayat di atas dengan mengutip sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang menyatakan, “setiap hamba-Ku aku ciptakan dalam keadaan lurus (berpegang teguh pada ajaran agama), kemudian setan telah melencengkannya dari agamanya, serta menyuruhnya untuk menyekutukan-Ku dengan yang lainnya.” [didi junaedi]/bersambung…

 

INILAH MOZAIK

Habib Ali Al Jufri: Caci Maki Bukan Ajaran Islam

Intisari ajaran Islam adalah menciptakan perdamaian dan menghargai keberagaman. Nilai-nilai toleransi dan sopan santun adalah buah dari keindahan ajaran Islam. Namun mutakhir ini, caci maki dan bahasa kasar acapkali digunakan oleh pemuka agama terutama di mimbar-mimbar keagamaan. Tentu saja hal ini sangat bertentangan dengan misi ajaran Nabi yang ingin membawa Islam sebagai agama yang beradab dan penuh dengan kedamaian.

Habib Ali Al-Jufri menyayangkan para pendakwah yang kerap membawa materi kebencian di mimbar agama tersebut. Menurut Habib Ali AL-Jufri, pendakwah yang isinya selalu memprovokasi umat untuk membenci sesama umat muslim dan umat agama lain adalah pendakwah yang tidak patut diikuti, karena dakwah dengan kebencian sejatinya hanyalah hasutan belaka.

Ulama asal Mekkah yang terkenal karena kedalaman ilmunya itu bersyukur mengenal Islam bukan dengan cara kekerasan. Menurutnya, Islam yang diajarkan secara keras akan berbuah konflik di tengah masyarakat. Jika dakwah disampaikan dengan cara yang santun, maka masyarakat pun akan lebih menerima isi daripada dakwah tersebut.

“Ketika aku mendengar orang bicara atas nama Islam dengan bahasa yang kasar dan caci maki, aku bersyukur kepada Allah tidak memahami Islam lewat lisan mereka,” terang Habib Ali.

Pesan yang dikemukakan oleh Habib Ali mengandung makna Islam adalah agama yang damai dan toleran terhadap semua perbedaan. Sifat yang kasar dan mencaci maki adalah sifat yang tidak diajarakan oleh Nabi, bahkan Nabi tidak sepakat dengan Islam yang disampaikan secara keras tersebut, dan tentu saja dakwah yang keras dan caci maki bukanlah ajaran Islam.

 

ISLAM RAMAH

Habib Ali Al Jufri: Jangan Membenci Umat Agama Lain

Ulama kharismatik asal Arab Saudi, Habib Ali Al Jufri dalam ceramahnya yang diunggah di Youtube menyayangkan tindakan seorang muslim yang mengaku beriman kepada Allah namun membenci makhluk ciptaan-Nya. Menurut Habib Ali, umat Islam yang meyakini kebenaran kalimat La ilaha ilallah pasti akan berperilaku sesuai dengan sifat Allah yang berlandaskan kasih sayang. Rasa kebencian yang timbul sesungguhnya sudah jauh dari akhlak umat muslim itu sendiri.

“Kalimat La ilaha ilallah menyatukan kita semuanya. Orang yang mencintai Allah, tidak akan pernah membenci siapapun termasuk orang kafir sekalipun. Lebih dari itu, dia juga tidak akan membenci saudara-saudaranya sesama muslim meskipun sebagian mereka telah mengkafirkan dirinya,” terang Habib Ali.

Habib yang dikenal karena kesantunan akhlaknya tersebut menegaskan kepada seluruh umat muslim agar menebarkan ajaran agama dengan cinta dan damai. Perbedaan yang bersifat sunnatullah jangan dijadikan alat untuk membenci. Tolok ukur orang yang benar mencintai Allah menurut Habib Ali adalah dia yang selalu menebar kasih sayang dengan sesama makhluk Allah.

Menurut Habib Ali, ketulusan seorang mukmin mencintai Allah dan Rasulnya adalah ketika ia memiliki jiwa dan pikiran yang jernih, sehingga ia tidak pernah memiliki sifat benci terhadap orang lain. “Saudaraku-saudaraku, janganlah sedikitpun kalian membenci mereka! Orang yang benar jujur mencintai Allah dan Rasul-Nya tidak akan pernah membenci,” tegas Habib Ali.

 

ISLAMRAMAH

Pangeran Khalid Ingin Islam Tersebar dari Indonesia

Pangeran Khalid bin Sultan Abdul Aziz dari Arab Saudi berharap agama Islam yang merupakan rahmat bagi alam semesta dapat tersebar ke seluruh dunia dari Indonesia.

“Pangeran berharap Indonesia menjadi yang terdepan dalam penyebaran agama yang rahmatan lil alamin,” kata Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin usai silaturahim Presiden Joko Widodo dengan peserta Musabaqah Hafalan Alquran dan Hadist Pangeran Sultan bin Abdul Aziz Alu Suud Tingkat ASEAN dan Pasifik Ke-10 2018 di Istana Negara Jakarta,  Kamis (22/3).

Lukman menyebutkan Indonesia menjadi tuan rumah tetap musabaqah yang seluruh pembiayaannya ditanggung oleh pangeran dari Arab Saudi dan keluarga itu. “Beliau di depan Presiden menyampaikan terima kasih karena selama ini Indonesia tekah menyelenggarakan musabaqah dengan baik dan pangeran berharap Indonesia menjadi yang terdepan dalam menyebarkan ajaran yang rahmatan lil alamin,” katanya.

Menurut Lukman, pemilihan Indonesia sebagai tuan rumah tetap penyelenggaraan  Musabaqah Hafalan Alquran dan Hadist Pangeran Sultan bin Abdul Aziz Alu Suud Tingkat ASEAN dan Pasifik merupakan pilihan yang tepat. Penyelenggaraan pada 2018 merupakan yang ke-10.

Menurut dia, Indonesia tepat menjadi tuan rumah tetap mengingat Indonesia memiliki jumlah Muslim yang besar di tengah keragaman suku agama, ras dan adat istiadat. Ia menyebutkan secara umum tujuan penyelenggaraan musabaqah itu untuk memperkuat motivasi masyarakat di Asia dan Pasifik untuk menghafalkan Alquran dan Hadits Rasullah SAW.

Selain itu untuk meningkatkan kualitas pemahaman dan pengamalan nilai Alquran dalam praktik sehari hari. Juga untuk memelihara kesucian ajaran islam dari penyimpangan dan ajaran ekstrem.

“Juga sebagai sarana mempererat kesatuan umat dan bangsa dan memperkokoh persahabatan antarnegara di kawasan Asia dan Pasifik,” katanya.

Ia menyebutkan jumlah  peserta pada 2018  sebanyak 84 orang terdiri dari 70 hafalan Alquran dan 14 hafalan hadits, 11 orang official. Mereka berasal dari 14 negara di kawasan Asia dan Pasifik.

Pelaksanaan musabaqah itu di Masjid Istiqlal Jakarta pada 20-22 Maret 2018. Selain musabah tingkat Asia Pasifik, setiap tahun juga dilaksanakan Musabah Hafalan Alquran dan Hadist Pangeran Sultan bin Abdul Aziz Alu Suud tingkat nasional yang pada 2018 merupakan ke-11.

Musabaqah tingkat nasuonal itu diikuti 130 peserta putra dan 30 peserta putri dari berbagai provinsi di Indonesia. “Yang membanggakan  minat peserta selalu meningkat dari tahun ke tahun,” kata Lukman.