Maulid Nabi dan Isra Miraj, Dua Peristiwa Penting untuk Pondasi Muslim

Kisah Maulid Nabi dan Isra Miraj adalah peristiwa penting bagi semua umat Islam. Keduanya membawa dua dari lima poin rukun Islam yang merupakan pondasi bagi tiap muslim.
Maulid Nabi ditandai kelahiran Rasulullah SAW yang membawa risalah Islam dari Allah SWT. Tiap muslim wajib mengucapkan dua kalimat syahadat, yang merupakan persaksian atas keesaan Allah SWT sebagai Tuhan dan Nabi Muhammad sebagai utusanNya.

Sedangkan Isra Miraj merupakan perjalanan yang membawa perintah sholat lima waktu. Isra Miraj dianggap sebagai mu’jizat karena tidak mungkin dilakukan manusia di masa itu.

Pakar astronomis Prof Thomas Djamaluddin menjelaskan lebih detail peristiwa Maulid Nabi dan Isra Miraj. Penjelasan disampaikan dalam Pengajian Cangkrukan ITB 81, yang berawal dari sebuah WhatsApp Grup.

A. Kisah Maulid Nabi
Maulid Nabi adalah perayaan kelahiran Rasulullah SAW untuk meningkatkan rasa cinta padanya. Kecintaan inilah yang bisa menjadi motivasi untuk hidup berdasarkan sunnah dan ketentuan Al Quran.

Dalam hadits dijelaskan Nabi Muhammad lahir pada 12 Rabiul Awal pada hari Senin yang tenang. Berikut hadits yang menjelaskan peristiwa tersebut diriwayatkan Imam Ibnu Ishaq dari Ibnu Abbas,

وُلِدَ رَسُولُ اللَّهِ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ، لِاثْنَتَيْ عَشْرَةَ لَيْلَةً خَلَتْ مِنْ شَهْرِ رَبِيع الْأَوَّلِ، عَام الْفِيلِ

Artinya: “Rasulullah dilahirkan di hari Senin, tanggal dua belas di malam yang tenang pada bulan Rabiul Awwal, Tahun Gajah.”

Tahun Gajah terjadi 53 tahun sebelum Hijriah yang bisa ditulis sebagai -53 H. Jika dikonversi dalam penanggalan masehi, maka Nabi Muhammad SAW lahir pada 5 Mei 570.

Setelah berusia 41 tahun, Nabi Muhammad SAW mulai menerima wahyu dari Allah SWT. Manusia yang meyakini kebenarannya wajib mengucapkan dua kalimat syahadat, seperti dijelaskan dalam hadits ini,

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَيُقِيْمُوْا الصَّلَاةَ، وَيُؤْتُوْا الزَّكَاةَ، فَإِذَا فَعَلُوْا ذٰلِكَ عَصَمُوْا مِنِّيْ دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّ الْإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ تَعَالَى

Artinya: “Aku diperintah memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allâh dan bahwa Muhammad adalah utusan Allâh, mendirikan shalat, dan membayar zakat. Jika mereka melaksanakan hal tersebut, maka darah dan harta mereka terlindungi dariku, kecuali dengan hak Islam dan hisab (perhitungan) mereka diserahkan kepada Allâh.” (HR Bukhari).

B. Cerita Isra Miraj
Selain Maulid Nabi, peristiwa Isra Miraj yang diperingati tiap 27 Rajab juga sangat penting bagi muslim. Peristiwa ini membawa perintah sholat wajib yang harus dilaksanakan para muslim.

ثُمَّ فُرِضَتْ عَلَيَّ الصَّلَوَاتُ خَمْسِينَ صَلاَةً كُلَّ يَوْمٍ، فَرَجَعْتُ فَمَرَرْتُ عَلَى مُوسَى، فَقَالَ: بِمَ أُمِرْتَ؟ قَالَ: أُمِرْتُ بِخَمْسِينَ صَلاَةً كُلَّ يَوْمٍ. قَالَ: إِنَّ أُمَّتَكَ لاَ تَسْتَطِيعُ خَمْسِينَ صَلاَةً كُلَّ يَوْمٍ، وَإِنِّي وَاللَّهِ قَدْ جَرَّبْتُ النَّاسَ قَبْلَكَ، وَعَالَجْتُ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَشَدَّ المُعَالَجَةِ، فَارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ فَاسْأَلْهُ التَّخْفِيفَ لأُمَّتِكَ. فَرَجَعْتُ فَوَضَعَ عَنِّي عَشْرًا، فَرَجَعْتُ إِلَى مُوسَى فَقَالَ مِثْلَهُ، فَرَجَعْتُ فَوَضَعَ عَنِّي عَشْرًا، فَرَجَعْتُ إِلَى مُوسَى فَقَالَ مِثْلَهُ، فَرَجَعْتُ فَوَضَعَ عَنِّي عَشْرًا، فَرَجَعْتُ إِلَى مُوسَى فَقَالَ مِثْلَهُ، فَرَجَعْتُ فَأُمِرْتُ بِعَشْرِ صَلَوَاتٍ كُلَّ يَوْمٍ، فَرَجَعْتُ فَقَالَ مِثْلَهُ، فَرَجَعْتُ فَأُمِرْتُ بِخَمْسِ صَلَوَاتٍ كُلَّ يَوْمٍ، فَرَجَعْتُ إِلَى مُوسَى، فَقَالَ: بِمَ أُمِرْتَ؟ قُلْتُ: أُمِرْتُ بِخَمْسِ صَلَوَاتٍ كُلَّ يَوْمٍ. قَالَ: إِنَّ أُمَّتَكَ لاَ تَسْتَطِيعُ خَمْسَ صَلَوَاتٍ كُلَّ يَوْمٍ، وَإِنِّي قَدْ جَرَّبْتُ النَّاسَ قَبْلَكَ وَعَالَجْتُ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَشَدَّ المُعَالَجَةِ، فَارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ فَاسْأَلْهُ التَّخْفِيفَ لأُمَّتِكَ. قَالَ: سَأَلْتُ رَبِّي حَتَّى اسْتَحْيَيْتُ، وَلَكِنِّي أَرْضَى وَأُسَلِّمُ. قَالَ: فَلَمَّا جَاوَزْتُ نَادَى مُنَادٍ: أَمْضَيْتُ فَرِيضَتِي، وَخَفَّفْتُ عَنْ عِبَادِي”.

Artinya: “Kemudian diwajibkan padaku shalat lima puluh kali setiap hari. Aku kembali, dan lewat di hadapan Musa. Musa bertanya, ‘Apa yang telah diperintahkan padamu?’ Kujawab, ‘Aku diperintahkan shalat lima puluh kali setiap hari’. Musa berkata, “Sungguh ummatmu tak akan sanggup melaksanakan lima puluh kali shalat dalam sehari. Dan aku -demi Allah-, telah mencoba menerapkannya kepada manusia sebelummu, aku telah berusaha keras membenahi Bani Israil dengan sungguh-sungguh. Kembalilah kepada Rabbmu dan mintalah keringanan untuk umatmu’. Aku pun kembali dan Allah memberiku keringanan dengan mengurangi sepuluh shalat. Lalu aku kembali bertemu Musa. Musa bertanya seperti pertanyaan sebelumnya. Lalu aku kembali dan Allah memberiku keringanan dengan mengurangi sepuluh shalat.” (HR Bukhari).

Isra Mi’raj adalah mukjizat yang membuktikan kebesaran Allah SWT. Saat itu, Allah SWT menjalankan Rasulullah dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa dalam Isra, serta menuju Sidratul Muntahan dalam Miraj.

“Isra Miraj bukan penerbangan biasa, antar negara, atau luar angkasa. Perjalanan Isra Miraj keluar dari dimensi ruang dan waktu yang biasa terjadi pada manusia,” ujar Prof Thomas.

Isra adalah perjalanan menembus ruang, sehingga Rasulullah bisa menempuh jarak Masjidil Haram di Makkah dan Masjidil Aqsa di Palestina dalam waktu singkat. Sedangkan Miraj adalah perjalanan menuju sidratul muntaha, tempat diterimanya perintah sholat.

Sebagai muslim, semoga kita bisa mengambil hikmah dari Maulid Nabi dan kisah Isra Miraj. Tentunya hikmah dan pelajaran dapat dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.

DETIK HIKMAH

Lima Pelajaran Berharga dalam Peristiwa Isra’ dan Mi’raj

Isra’ dan Mi’raj yang diartikan sebagai perjalanan Nabi Muhammad Saw dari masjid al-Haram menuju masjid al-Aqsha Yarussalem Palestina yang kemudian dilanjut dengan naiknya beliau dari masjid al-Aqsha menuju Sidrah alMuntaha bersama malaikat Jibril dengan mengendarai al-Buraq, menjadi pristiwa sejarah yang sangat luar biasa dan diluar nalar manusia. Karena secara logika peristiwa demikian tidak mungkin dialami manusia tanpa kehendak,  pertolongan dan bantuan dari zat yang maha luar biasa.

Peristiwa tersebut sekalipun tidak bisa dijangkau akal, tetap kita benarkan melalui keimanan yang mendalam. Karena hal itu semata-mata berada dalam kekuasaan Allah Swt. Kemudian, setelah memantapkan keimanan tentunya kita harus mencari , merenung, dan menelisik rahasia yang terkandung dalam sebuah peristiwa satu-satunya tersebut yang puncaknya dapat memercikkan pelajaran berharga bagi kita dalam memamahi Islam hususnya diera milenial ini.

Maka dari itu, penulis ingin berbagi lima pelajaran penting dan berharga dari adanya peristiwa super dahsyat tersebut yang penulis temukan dalam buku al-Isra’ wa al-Mi’raj yang ditulis oleh Haiah Ammah li Al-Syu’un alIslamiyah wa al-Auqaf Uni Emirat Arab, h. 24-29, sebagai berikut:

Pertama, Islam merupakan agama yang mengedepankan keilmuan

Pelajaran penting pertama yang didaaapatkan dari adanya peristiwa isra’ dan mi’rajnya Nabi Muhammad Saw adalah bahwa islam sebagai agama yang dijadikan pandangan hidup manusia sangat mengedepankan keilmuan. Islam dan keilmuan tidak boleh dipisahkan karena sejatinya Islam menjadi agama ilmu.

Terbukti, bahwa ilmu sangat mempengaruhi keagamaan seseorang, dengan ilmu ia bisa memahami teks-teks dan ajran-ajaran Islam. Dengan ilmu rahasia peristiwa dan dunia ini bisa tersingkap. Dengan ilmu seseorang juga bisa berkembang dan sukses. Dan dengan ilmu ia juga bisa menjaga peradaban serta dapat mengalahkan kebodohan dan radikalisme. Benarlah adagium yang menyatakan bahwa ilmu adalah segala-galanya.

Kedua, adanya sinergitas antara agama-agama samawi yang dibawa oleh utusan sebelumnya

Terdapat dua hal yang bisa menjadi bukti adanya hubungan yang saling menyempurnakan antara agama yang satu dengan agama yang lainnya. Pertama, dari sisi teologis, semua agama samawi yang dibawa Nabi-Nabi sebelumnya menyatu dalam konsep ketuhanan yang maha esa dan sama-sama menebarkan kebaikan serta nilai-nilai positif terhadap manusia.

Nabi Muhammad bersabda: “semua para Nabi Satu keluarga, satu agama sekalipu  dilahirkan dari perempuan yang berbeda-beda.” (H.R. Bukhari, 3443)

Dan sabda lainnya: “ perumpamaanku dengan perumpaan Nabi-Nabi sebelumnya bagaikan seseorang yang membangun sebuah bangunan yang diperindah dan dipercantik, hanya saja ada satu tempat yang dibolongkan dari sisi pojok untuk ukuran satu bata, sehingga orang takjub dan bertanya-tanya kenapa ini dibiarkan lalu Nabi Muhammad menjawab:  saya yang akan menyempurnakan bangunan itu dan saya menjadi pamungkas dari semua para Nabi.” (muttafaq alaih)

Disisi lain sinergitas juga dapat ditemukan dalam hubungan peradaban yang menekankan adanya interaksi yang baik dan damai antara pemeluk agama islam dengan agama samawi lainnya. Karena semuanya bersumber dari satu sumber yaitu Allah Swt. Sehingga perinsip-prinsip dialog dan saling tolong menolong harus dikedepankan dalam bingkai persaudaraan agar tidak menebarkan kerusakan akibat dari fanatisme dan radikalisme yang tinggi.

Penguatan ini dapat ditemukan dalam peristiwa di masjid al-Aqsha dimana beliau menjadi imam dalam salat yang dilaksanakan bersama para Nabi sebelumnya. Disamping itu, peristiwa mi’rajnya beliau yang sampai pada suatu tempat yang sama sekali belum pernah disinggahi siapapun selain Nabi Muhammad Saw. Dalam hal ini beliau mengatakan “ saya menjadi pemimpin dari setiap keturunan Nabi Adam AS. Nanti dihari kiamat.” (H.R. Muslim: 2278)

Keempat, Islam menjadi agama yang memudahkan dan agama yang penuh rahmat

Bukti kuat dalam hal ini dapat ditemukan dalam terjadinya dialog antara Nabi Muhammad Saw dengan Allah SWT dalam penetapan jumlah kewajiban salat yang harus dilaksanakan sebagaimana sabda Nabi berikut:

قال صلى الله عليه وسلم في خصوص فرضية الصلاة ليلة الإسراء والمعراج: فَأَوْحَى اللَّهُ إِليَّ ما أَوحَى ففرضَ عليَّ خمسينَ صلاةً فِي كلِّ يومٍ وَلَيْلَةٍ، فَنَزَلْتُ إِلَى مُوسَى -صلَّى اللَّه عليهِ وسلَّم- فقالَ: مَا فرضَ ربُّكَ على أُمَّتكَ؟ قُلْتُ: خمسينَ صلاةً، قالَ: ارْجعْ إِلى ربِّكَ فَاسألْهُ التَّخْفِيفَ، قَال: فلمْ أزَلْ أَرْجعُ بينَ ربِّي تبارَكَ وتعالَى وبينَ مُوسَى -عليهِ السَّلَام- حتَّى قالَ: يَا محمَّدُ إِنَّهنَّ خمسُ صلوَاتٍ كُلَّ يومٍ وليلةٍ، لكلِّ صلاةٍ عشرٌ، فذلكَ خمسونَ صلاة

“Allah mewahyukan kepadu jumlah lima pulu kali kewajiban salat dalam sehari semalam, kemudian saya mendatangi musa, lalu dia berkata: apa yang diwajibkan tuhanmu terhadap umatmu? Nabi menjawab: lima puluh kali salat dalam sehari semalam. Musa berkata: kembalilah pada Tuhanmu dan mintalah keringanan serta penguraangan. Nabi mengatakan: saya tidak pernah berhenti mendatangi Tuhanku dan Nabi Musa hingga kemudian Allah memberikan keringanan dan pengurangan hingga menjadi lima kali dalam sehari semalam yang mana tiap-tiap satu salat kualitasnya menyamai sepuluh kali salat sehingga pada akhirnya secara kualitas sama dengan jumlah lima puluh kali salat.” (H.R. Bukhari 7517)

Kelima, pentingnya kewajiban salat lima waktu

Terdapat hubungan yang kuat dan mendalam antara isra’-mi’rajnya Nabi Muhammad Saw dengan kewajiban salat lima waktu. Karena Shalat pada hakikatnya merupakan mi’raj (naiknya ruh) dengan meninggalkan segala hawa nafsu dan shawat kemanusiaan, menyaksikan keagungan, kekuasaan dan keesaan Allah Swt, sehingga seseorang yang selalu menjaga shalat akan selalu menjaga nilai-nilai kebaikan dan kesucian.

Disamping itu, diwajibkannnya shalat pada malam isra’ dan mi’rajnya Nabi Muhammad Saw menandakan akan pentingnya kedudukan shalat dalam kehidupan seseorang. Ia menjaganya dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik hingga selalu hidup bahagia dan tenang. Ia pada intinya menjadi syarat mutlak keberhasilan dan kemenangan dunia akhirat, sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw. berkenaan dengan pentingnya shalat, seperti disebutkan dalam hadis riwayat Shahih Muslim,

أقرب ما يكون العبد من ربه وهو ساجد فأكثروا الدعاء – رواه مسلم 215

“Jarak kedekatan antara hamba dengan Tuhannya adalah pada saat dia sedang bersujud , maka perbanyaklah berdoa daan meminta”. (HR. Muslim 215)

وقال أيضا: أفضل الأعمال الصلاة لوفتها وبر الوالدين – رواه مسلم 140

“Sebaik-baik pekerjaan adalah shalat pada waktunya dan berbakti kepada kedua orang tua.” (HR. Muslim 140)

أول ما يحاسب به العبد الصلاة – رواه الطبراني 39/8

Hal pertama yang dihisab nanti pada hari akhir adalah shalatnya seseorang.” (HR. Al-Thabrani: 39/8)

Wallahu A’lam bi al-Shawab

BINCANG SYARIAH

Isra dan Mikraj Bersama Nabi: Menyebar Toleransi Agama

Saban tahun, setiap tanggal 27 Rajab umat Islam memperingati peristiwa Isra dan Mikraj Nabi Muhammad SAW. Pelbagai cara pun dilakukan umat Islam untuk merayakan euforia perjalanan spritual Nabi tersebut.

Ada yang  merayakan Isra dan Mikraj dengan mendengar ceramah di masjid. Rutinitas ini jamak dilaksanakan umat Islam di Indonesia. Ada juga yang menyambut Isra dan Mikraj dengan sedekah. Ada juga dengan napak tilas kisah hidup Nabi. Pelbagai ekspresi itu ghalib kita jumpai di Nusantara.

Syahdan, Isra dan Mikraj merujuk pada peristiwa supranatural Muhammad tahun 620-621 M (setahun sebelum hijrah). Isra adalah perjalanan nabi Muhammad dari Masjid Haram di Mekah, menuju Masjid Aqsa di Jerusalem. Ada pun Mikraj, naiknya Nabi ke langit hingga ke Sidaratul Muntaha. Perjalanan yang di luar nalar itu terjadi dalam satu malam. Tepatnya tanggal 27 Rajab.

Perjalanan supranatural itu mendapat pelbagai respons dari dulu hingga kini. Perdebatan alot itu masih terus membayangi seputar peristiwa Isra dan Mikraj itu. Berkelindan hingga pelbagai kubu; ada yang percaya. Ada yang menganggap Isra dan Mikraj hanya perjalanan ruh Nabi. Tetapi, tak sedikit yang mengingkari. Menganggap itu perjalan halu.

Ketimbang terjebak dalam bayangan perdebatan tiada henti, seyogianya kita kaji lebih jauh peristiwa Isra dan Mikraj dari kacamata sosial. Peristiwa itu hendaknya dianalisis menggunakan pisau analisis sosiologi. Tak dapat dipungkiri, peritiwa bernas itu menjadi modal penting Nabi dalam dalam perjalanan kariernya ke depan; baik sebagai seorang Nabi, maupun tokoh pemimpin sebuah negara.

Sebuah anekdot tak terpisah dari perjalanan Isra dan Mikraj, adalah interaksi Nabi Muhammad dengan agama samawi. Sejak awal, agama monoteis, merupakan dimensi yang selalu eksis membersamai Nabi dalam perjalanan supranaturalnya. Eksistensi Isra dan Mikraj adalah interaksi Nabi Muhammad dengan  agama monoteisme terdahulu; Yahudi, Nasrani, dan Bapak agama Motheisme (Ibrahim).

Interaksi telah dimulai sejak Isra yakni perjalanan Nabi dari kota Mekah menuju Yerusalem. Menurut, syeikh Muhammad Rawas Qal’ah dalam buku Dirasatun Tahliliyatun li syahshiyati Rasuli Muhammad; Min Khilali Siratihi asy Syarifah, mengatakan sebelum Isra dan Mikraj, bahkan sebelum Islam datang, kepemimpinan dunia di bawah kendali Bani Israil. Hukum syariat yang bersumber dari Tuhan yang mewarisi adalah Bani Israel, yakni agama Yahudi dan Kristen.

Perjalanan Isra ke Yerusalem merupakan suatu upaya rekonsilasi Nabi terhadap dua agama monoteis sebelumnya. Yerusalem merupakan kota Suci; bagi Yahudi dan Kristen. Bagi mereka, Yerusalem adalah simbol sakral agama mereka.

Nah, perjalanan Isra ke Yerusalem, sejatinya  mempunyai misi untuk menegaskan eksistensi agama Islam. Agama yang dibawa Muhammad itu tak ujuk-ujuk lahir. Bukan pula ajaran hasil rekaan Muhammad, sebagaimana tuduhan kaum pagan Quraisy. Agama Muhammad, punya akar sejarah yang panjang dengan agama sebelumnya, yakni yahudi dan Kristen.  Pendeknya, perjalanan ini untuk menegasikan tuduhan miring kaum pagan terhadap Islam dan Muhammad kala itu.

Sayyid Qutb dalam  kitab Fi Zilal al-Qur’an,  menilai bahwa perjalanan Muhammad dari Masjid Haram (Mekah) menuju Masjid Aqsa (Yerusalem) sejatinya merupakan upaya Nabi Muhammad untuk menghubungkan doktrin-doktrin agung tauhid yang bersumber dari Ibrahim lantas diturunkan kepada Ismail dan Yaqub. Dalam perjalanan ini, Nabi Muhammad mendaku diri sebagai pewaris agama monoteisme selanjutnya.

Dalam sejarah agama monoteisme, peran Ismail dan Ishaq tak bisa dinafikan. Kedua putra Ibrahim itu adalah aktor utama dari lahirnya agama monoteis. Dari rahim Ishaq, lahir dua agama besar, yakni yahudi yang dibawa Musa.  Dan kemudian agama Kristen, dibawa oleh Yesus (Isa). Dari rahim Ismail, muncul agama Islam yang dibawa Muhammad. Agama monoteisme ini berpisah jauh, baik secara geografi, kebudayaan, bahasa, dan budaya. Meski demikian, punya akar sejarah yang sama, dari bapak monoteisme Ibrahim. Upaya itulah yang dilakukan Muhammad dalam peristiwa Isra ke Yerusalem.

Penting untuk menjadi catatan, sebelum perjalanan Isra, upaya rekonsiliasi ini telah Nabi lakukan, yakni dengan menjadikan Baitul Maqdis (Masjid Aqsa/Yerusalem) sebagai kiblat. Rasulullah menurut, Ibn hajar dalam kitab Fathul Bari, Jilid I, menjadikan Yerusalem sebagai kiblat selama 16 bulan (baca: riwayat lain 17 bulan).

Mikraj Nabi Muhammad; Berdialog dengan Isa, Musa, dan Ibrahim

Pun dalam Mikraj, interaksi dengan pelopor agama monoteisme terus berlanjut. Jika dalam peristiwa Isra, Nabi hanya mengunjungi situs berupa tempat yang dianggap sakral agama Kristen dan Yahudi, sebaliknya dalam Mikraj, Nabi langsung berinteraksi dengan para pembawa agama monoteisme itu.

Alkisah, ketika Mikraj di langit kedua, Nabi Muhammad di sambut oleh nabi Isa. Dalam sebuah hadis riwayat Imam Bukhari nomor 336, dikisahkan pertemuan Nabi Muhammad dengan Yesus (Isa).

 ثُمَّ مَرَرْتُ بِعِيسَى فَقَالَ مَرْحَبًا بِالْأَخِ الصَّالِحِ وَالنَّبِيِّ الصَّالِحِ قُلْتُ مَنْ هَذَا قَالَ هَذَا عِيسَى

Artinya; Kemudian daku berjalan dan bersua dengan Isa. Seketika Ia berkata; ‘Selamat datang saudara yang saleh dan nabi yang shaleh’. “Aku pun bertanya kepada Jibril; ‘Siapa ini?’ ‘Ini adalah Isa’, jawab Jibril.

Dalam dialog ini, terlihat keakraban Muhammad dan nabi Isa. Pemilihan diksi yang baik dan bersahaja. Dalam hadis riwayat Bukhari tersebut, Rasul menuturkan, bahwa diksi yang pakai Isa  dalam menyapanya adalah “saudara ku”. Kata ini seolah mengindikasikan sebuah persahabatan dan persaudaraan yang dekat.

Diksi kedua yang dipakai Isa dalam berdialog dengan Muhammad adalah “Nabi”. Pemilihan diksi ini sejatinya untuk mengakui eksistensi Muhammad sebagai Rasul dan Nabi yang diutus Allah, sebagai Nabi penutup.

Interaksi Muhammad dan Isa yang penuh keakraban sejatinya menguatkan hubungan keduanya. Terlepas dari ajaran agama yang mereka bawa, keduanya adalah utusan Tuhan yang mengajarkan “Saleh” kebaikan. Kata inilah yang dipakai Isa dalam menyapa Muhammad. Kebaikan sejatinya inti ajaran monoteisme.

Alkisah selanjutnya, Nabi Muhammad pun bertemu dengan bapak agama Yahudi, yakni Nabi Musa. Perjumpaan antara Muhammad dan Musa digambarkan oleh hadis riwayat Imam Bukhari;

Berikut dialognya;

 ثُمَّ مَرَرْتُ بِمُوسَى فَقَالَ مَرْحَبًا بِالنَّبِيِّ الصَّالِحِ وَالْأَخِ الصَّالِحِ قُلْتُ مَنْ هَذَا قَالَ هَذَا مُوسَى

artinya; kemudian aku berjumpa dengan Musa, Ia berkata; “Selamat datang nabi yang saleh dan Nabi yang saleh”, maka aku tanya Jibril; “Siapa ini”, Jibril menjawab; “Ini adalah Musa”.

Dalam dialog ini, tampak tak jauh berbeda dengan interaksi dengan Isa. Term “saudara, Nabi, dan baik perangai (saleh)” masih dipakai Nabi dalam  menggambarkan dialog tersebut. Tetapi ada tambahan kisah, tatkala Rasul menerima perintah shalat dari Allah.

Anas bin Malik menceritakan;

وَأَنَسُ بْنُ مَالِكٍ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفَرَضَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى أُمَّتِي خَمْسِينَ صَلَاةً فَرَجَعْتُ بِذَلِكَ حَتَّى مَرَرْتُ عَلَى مُوسَى فَقَالَ مَا فَرَضَ اللَّهُ لَكَ عَلَى أُمَّتِكَ قُلْتُ فَرَضَ خَمْسِينَ صَلَاةً قَالَ فَارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ فَإِنَّ أُمَّتَكَ لَا تُطِيقُ ذَلِكَ

Artinya; Anas bin Malik menyebutkan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kemudian Allah ‘azza wajalla mewajibkan kepada ummatku shalat sebanyak lima puluh kali. Maka aku pergi membawa perintah itu hingga aku berjumpa dengan Musa, lalu ia bertanya, ‘Apa yang Allah perintahkan buat umatmu? ‘ Aku jawab: ‘Shalat lima puluh kali.’ Lalu dia berkata, ‘Kembalilah kepada Rabbmu, karena umatmu tidak akan sanggup!

Dalam hadis ini terlihat keakraban antara Muhamad dan Musa. Dalam interaksi ini, Musa memberikan masukan sangat berharga bagi Muhammad. Ia memberikan nasihat,  yang berangkat dari pengalaman sebagai utusan Allah. Berkat nasihat Musa, bilangan shalat yang awal sebanyak 50 rakaat, kini tinggal 5 rakaat.

Pun dalam Mikraj, Nabi bersua juga dengan nenek moyang agama semitik, sang kekasih Allah, Nabi Ibrahim.

ثُمَّ مَرَرْتُ بِإِبْرَاهِيمَ فَقَالَ مَرْحَبًا بِالنَّبِيِّ الصَّالِحِ وَالِابْنِ الصَّالِحِ قُلْتُ مَنْ هَذَا قَالَ هَذَا إِبْرَاهِيمُ

Artinya; aku pun berjumpa dengan Ibrahim. Ketika itu Ibrahim menyambut, “Selamat datang wahai Nabi yang saleh dan anak yang saleh”, maka aku bertanya siapa ini? Jibril menjawab “Ini adalah Ibrahim”.

Dalam interaksi ini, Nabi Muhammad disapa Ibrahim dengan sapaan cinta “anak  yang saleh“. Ungkapan cinta kakek buyut kepada cicit tersayang.

Dengan demikian, perjalanan Isra dan Mikraj sejatinya upaya konsolidasi antara Muhammad dan agama monoteisme lain. Perjalanan Muhammad ke Yerusalem, berjumpa dengan Isa, Musa,dan Ibrahim semakin mengindikasikan bahwa perjalanan ini adalah mempererat persaudaraan antar agama monoteis.

Tiga agama ini sejatinya dari rumpun yang satu, yakni Ibrahim. Peristiwa Isra dan Mikraj menjadi modal dasar Nabi dalam perjalanan dakwahnya ke depan. Ia sadar, bahwa antara Islam, Yahudi, dan Kristen adalah agama serumpun. Peran para aktor utama dari agama monoteis itu sangat kentara dalam peristiwa Isra dan Mikraj.

Interaksi  Nabi dengan Yahudi dan Kristen di Madinah

Setahun setelah Isra dan Mikraj berlangsung, Nabi Muhammad pun hijrah ke Madinah (Yasrib). Tapi tampaknya bekas Isra dan mikraj, masih kental dalam pelbagai kebijakan beliau. Di Madinah, interaksi Muhammad dan komunitas Yahudi dan Kristen kian intens.

Di Madinah nabi menjaga hubungan baik dengan dua agama tersebut. Dalam jurnal  Interaksi Nabi Muhammad dengan Yahudi dan Kristenyang ditulis oleh Muhammad Rifki Fatkhi, tatkala  memimpin Madinah, Nabi Muhammad menjamin  kebebasan  memeluk  agama dan melaksanakan  ajaran agama setiap individu. Ada kisah menarik terkait interaksi Nabi dan Kristen di Madinah.

Dengan mengutip kitab Ibn  Hisyām, al-Sīrah  al-Nabawīyah dan karya Ibn Katsir Al-Bidayah wa Nihayah, Rifki Muhammad Fathki menjelaskan bahwa suatu waktu Muḥammad  mengizinkan umat Nasrani untuk beribadah di dalam masjid.

Syahdan, ketika itu ada kunjungan 60 orang tokoh  agama  Kristen dari  Najran ke  Madinah. Kepala rombongan mereka ada tiga orang yakni, ‘Āqib ‘Abd al- Masih, al-Ayham, dan  seorang Uskup Agung bernama Abu Haritsah ibn  ‘Alqamah. Abu  Ḥaritsah kemudian yang ditunjuk sebagai juru bicara dari rombongan Najrān tersebut.

Ketika tiba Madinah, kelompok Kristen Najran itu langsung menuju Masjid (baca: ketika itu masjid berfungsi sebagai tempat menyambut delegasi dan tamu). Setelah waktu ashar, Kristen Najran ini langsung melaksanakan kebaktian, dengan menghadap ke Timur. Melihat fenomena itu Nabi Muhammad berkata pada sahabatnya; “Biarkan mereka”.

Demikianlah penjelasan Isra dan Mikraj bersama Nabi: menyebar toleransi Agama.

BINCANG SYARIAH

Isra Miraj di Tengah Corona, MUI: Shalat Disiplinkan Diri

MUI menyatakan tuntunan shalat ajarkan displin hidup bersih.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyampaikan pesan Isra Miraj bertepatan Ahad (22/3), di tengah kondisi mewabahnya virus corona atau Covid-19. MUI mengajak semua umat Islam lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT dan berdoa supaya musibah yang menimpa bangsa ini segera berlalu.

“Di tengah suasana musibah yang melanda dunia dengan merebaknya virus corona marilah kita semuanya lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT, melakukan muhasabah dengan memperbanyak zikir, memohon ampunan atau istighfar kepada Allah dan berdoa semoga musibah yang melanda bangsa Indonesia dan seluruh warga dunia segera berlalu,” kata Wakil Ketua Umum MUI, KH Zainut Tauhid Sa’adi kepada Republika.co.id, Ahad (22/3).

Kiai  Zainut mengatakan, salah satu hikmah memperingati Isra Miraj adalah anjuran untuk mengimplementasikan nilai-nilai ibadah shalat dalam kehidupan sehari-hari. Ibadah shalat menempati posisi yang sangat utama dalam ajaran Islam. 

Dalam hadits, shalat diibaratkan sebagai tiang agama dan dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Shalat juga dapat mendidik seorang Muslim menjadi pribadi yang bersih, jujur, sabar, dan disiplin.  

Dalam konteks menghadapi wabah virus corona, MUI mengajak umat Islam menjadikan nilai-nilai ajaran shalat sebagai bekal untuk menanggulangi wabah virus corona. 

Shalat melatih diri untuk sabar dan disiplin dalam melakukan gerakan kampanye serta edukasi kepada masyarakat melalui pembiasaan hidup sehat.

“Pembiasaan hidup sehat bisa melalui perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), dan disiplin melakukan social distancing agar dapat menghambat penularan virus corona,” ujarnya.

Kiai Zainut menyampaikan, melalui peringatan Isra Miraj, MUI mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk menggalang solidaritas nasional, menumbuhkan sikap empati, dan kepekaan perasaan terhadap musibah ini. 

Dia menyebutkan, caranya dengan saling membantu, saling menolong, bekerja sama, dan bahu membahu mengatasi musibah ini dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab, bukan dengan saling menyalahkan dan saling menghujat. 

Dia mengingatkan bahwa musibah wabah corona ini bukan menjadi tanggung jawab pemerintah semata, tetapi tanggung jawab bersama. Maka MUI mengimbau kepada para ulama, kiai, habib, tuan guru, dan lainnya untuk ikut mendukung kebijakan pemerintah dalam mengatasi musibah virus corona. 

Melalui hikmah Isra Miraj, kata dia, diharapkan dapat memberikan pesan agama kepada masyarakat dengan narasi yang positif dan edukatif. Sebaliknya tidak menyampaikan pesan agama yang dapat menimbulkan kontroversi dan kontra produktif. 

“Semoga Allah SWT melindungi bangsa Indonesia dengan segera mengangkat musibah yang sangat berat ini,” kata Wakil Menteri Agama ini.

KHAZANAH REPUBLIKA

Nilai-Nilai Pendidikan di Balik Isra Mi’raj

Isra’ Mi’raj menyimpan banyak hikmah dan ibrah bagi orang-orang yang berakal sehat. Isra’ adalah perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Masjid al-Haram di Mekkah ke Masjid al-Aqsha di al-Quds, Palestina. Sedangkan Mi’raj adalah naiknya Rasulullah SAW menembus lapisan langit tertinggi sampai batas yang tidak bisa dijangkau oleh semua makhluk, malaikat, jin dan manusia. Dan perjalanan itu berlangsung hanya semalam (Said Muhammad Ramadhan al-Buthy, Fiqh al-Sîrah al-Nabawiyah, Kairo: Dar al-Salam, 2012, hlm. 108).

Di balik keagungan mu’jizat ini, ada nilai-nilai pendidikan yang patut untuk direnungkan dan diaplikasikan. Demikian dikemukakan Kepala Divisi Pendidikan & Dakwah Direktorat Pembinaan dan Pendidikan Agama Islam UII, Junaidi Safitri., S.E.I., M.E.I. dalam pesan tertulis yang diterima Bidang Humas UII, Senin (23/3). Tahun ini umat Islam kembali memperingati peristiwa Isra Mi’raj pada 27 Rajab 1441 H yang jatuh bertepatan dengan hari Minggu (22/3).

Junaidi Safitri menjelaskan, sejarah mencatat bahwa keesokan harinya Rasullah SAW menceritakan peristiwa itu kepada penduduk Mekkah. Namun berita ditolak mentah-mentah oleh Abu Jahal dan para pengikutnya. Mereka justru menertawakan Rasululah dan mengolok-oloknya. Menurut mereka, perjalanan Nabi di malam hari itu tidak masuk akal. Sebaliknya, ada manusia cerdas seperti Abu Bakar yang bisa menerima kebenaran peristiwa itu tanpa banyak berpikir dan ragu.

Dengan tegas ia mengatakan “Jika memang benar Muhammad yang mengatakannya, dia telah berkata benar, dan sungguh aku akan membenarkannya lebih dari itu.” Atas keyakinannya yang teguh itu Abu Bakar kemudian diberi gelar al-Shiddiq yang berarti orang yang jujur dalam keimanan (Muhammad al-Khudari, Nur al-Yaqin, Beirut:Dar al-Fikr, 2001, hlm. 59)

Junaidi Safitri menegaskan bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj adalah momen yang baik untuk memperkuat aqidah umat Islam. Para pendidik Muslim harus melahirkan manusia-manusia beradab seperti Abu Bakar al-Shiddiq. Manusia-manusia yang keimanannya kepada Allah dan Rasul-Nya tidak menyisakan keraguan sedikitpun. Manusia yang memahami cara menggunakan akal dengan benar agar tidak berpikir nyeleneh.

“Bukan manusia yang “sok kritis” karena terlalu mendewakan akalnya yang lemah. Bukan manusia yang hilang keyakinannya karena “bertaqlid” kepada orang-orang Barat-Sekular yang bertentangan dengan pandangan alam Islam (Islamic Worldview),” paparnya.

Selain masalah aqidah, seperti dijelaskan Junaidi Safitri, Isra’ Mi’raj juga mengandung pendidikan ibadah. Dalam hal ini tentu saja tentang pentingnya mendirikan shalat. Sebab shalat adalah hadiah dari Allah SWT di malam Isra’ Mi’raj itu. Ibadah shalat adalah Mi’rajnya orang-orang mukmin. Isra’ Mi’raj adalah evaluasi ibadah shalat kita.

“Apakah shalat kita sudah benar, sesuai syarat, rukun dan adabnya? Apakah kita sudah istiqamah mendirikan shalat secara berjama’ah? Apakah keluarga kita sudah mendirikan shalat? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang harus dijawab terkait shalat yang kita laksanakan,” tutur Junaidi Safitri.

Lebih lanjut dipaparkan Junaidi Safitri, Allah SWT memerintahkan kita sekeluarga mendirikan shalat dan bersabar dalam mendirikannya (QS Thaha:132). Nabi Muhammad SAW juga memerintahkan para orangtua agar memperhatikan masalah shalat sejak dini. Orangtua wajib mendidik anak-anaknya untuk mendirikan shalat sejak usia tujuh tahun. Bahkan orangtua diizinkan mendidik anaknya dengan pukulan jika mereka meninggalkan shalat ketika sudah berusia sepuluh tahun (HR Abu Daud).

“Atas dasar itu, para ulama seperti Imam al-Ghazali menjadikan shalat sebagai kurikulum inti dalam mendidik anak (Abu Hamid al-Ghazali, Ihyâ ‘Ulûmiddîn, Kairo:Dar Mishr li al-Thiba‘ah, 1998, Juz II, hlm. 91),” terangnya.

Junaidi Safitri menegaskan, perhatian terhadap pendidikan shalat ini harus lebih diutamakan daripada sekedar kemampuan membaca dan menulis. Jika orangtua khawatir anak-anaknya belum bisa membaca dan menulis sebelum masuk sekolah dasar, maka orangtua harus lebih khawatir jika anaknya belum mendirikan shalat padahal mereka sudah di perguruan tinggi. Sebab anak adalah amanah, dan setiap amanah akan dituntut pertanggungjawabannya.

Junaidi Safitri menambahkan, buah yang diharapkan dari ibadah shalat ini adalah akhlak yang baik. Sebab Allah SWT menyatakan bahwa shalat itu mencegah perbuatan keji dan munkar (QS al-Ankabut:45). Banyak akhlak yang mulia di dalam shalat. Di dalam shalat kita dididik untuk menjadi orang yang cinta kebersihan, memakai pakaian yang beradab, disiplin waktu, siap memimpin dan dipimpin, rendah hati, menjaga persatuan, menebarkan kedamaian (salâm) kepada sesama dan sebagainya. Akhlak-akhlak mulia seperti ini hanya akan muncul dari orang-orang yang telah mendirikan shalat dengan benar, istiqamah dan ikhlas.

Dan yang tidak boleh dilupakan, Isra’ Mi’raj juga memberi isyarat pentingnya menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Umat Islam harus meningkatkan semangat menuntut ilmu-ilmu yang fardhu ‘ain dan fardhu kifâyah. Ilmu-ilmu syariah dan ilmu-ilmu umum. Sebab bangkitnya peradaban harus didahului bangkitnya tradisi ilmu.

“Umat Islam merindukan sosok ulama sekaligus ilmuwan seperti Ibn Haytham, al-Biruni, al-Khawarizmi dan sebagainya. Mereka semua bukan tokoh yang turun dari langit. Tapi tokoh yang lahir dari proses pendidikan yang Islami dan terintegrasi antara ilmu dan adab,” tandas Junaidi Safitri.

“Peristiwa Isra’ Mi’raj tidak akan terulang kembali. Tetapi semangat itu harus tetap menyala. Yaitu dengan memanfaatkan waktu, khususnya waktu malam dengan ilmu dan amal agar peradaban Islam bisa Mi’raj mengungguli peradaban lainnya.Wallâhu a’lam bi al-shawâb,” pungkasnya. (RS)

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

Syariat Salat Telah Ada sebelum Isra Miraj

PERTAMA, bahwa syariat salat sudah dikenal sebelum peristiwa isra miraj. Pernah ada seseorang yang bertanya kepada Aisyah tentang salat malam Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, beliau menjawab, “Pernahkah anda membaca surat ini (surat Al-Muzammil)? Sesungguhnya Allah mewajibkan salat malam seperti di awal surat ini. Maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya melaksanakan salat malam selama setahun, sampai kaki mereka bengkak, dan Allah tidak turunkan ayat-ayat akhir surat ini selama 12 bulan. Kemudian Allah menurunkan keringanan untuk salat malam seperti disebutkan pada akhir surat ini, sehingga salat malam hukumnya anjuran, setelah sebelumnya kewajiban.” (HR. Nasai 1601, Ibnu Khuzaimah 1127).

Kemudian keterangan lainnya juga terdapat dalam hadis panjang yang menceritakan dialog antara Heraklius dengan Abu Sufyan, ketika dia mendapat surat dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Heraklius bertanya kepada Abu Sufyan,
“Apa yang diperintahkan nabi itu kepada kalian?”
Jawab Abu Sufyan, yang saat itu sedang berdagang di Syam, Nabi itu mengajarkan, “Beribadahlah kepada Allah semata dan jangan menyekutukannya dengan sesuatu apapun, tinggalkan apa yang menjadi ajaran nenek moyang kalian. Dia memerintahkan kami untuk salat, zakat, bersikap jujur, menjaga kehormatan, dan menyambung silaturahim.” (HR. Bukhari 7 dan Muslim 1773)

Ketika menjelaskan hadis ini, Al-Hafidz Ibnu Rajab mengatakan, “Kisah ini menunjukkan bahwa perintah terpenting yang diserukan Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada umatnya adalah salat, sebagaimana beliau memerintahkan mereka untuk bersikap jujur, menjaga kehormatan. Ajaran ini menjadi terkenal hingga tersebar ke berbagai pengikut agama selain islam. Karena Abu Sufyan ketika dialog itu masih musyrik, dan Heraklius beragama Nasrani. Dan sejak diutus beliau senantiasa memerintahkan untuk bersikap jujur dan menjaga kehormatan, beliau juga senantiasa salat, sebelum salat diwajibkan (salat 5 waktu).” (Fathul Bari Ibn Rajab, 2/303).

Sebagian ulama mengatakan, kewajiban salat pertama kali adalah 2 rakaat di waktu subuh dan 2 rakaat sore hari. Berdasarkan keterangan Qatadah seorang tabiin, muridnya Anas bin Malik , “Puasa pertama kali yang diperintahkan adalah puasa 3 hari setiap bulan, dan salat 2 rakaat di waktu pagi dan 2 rakaat di waktu sore.” (Tafsir At-Thabari, 3/501). Meskipun ada ulama yang menolak keterangan Qatadah ini. Apapun itu, intinya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat telah mengenal salat sebelum peristiwa isra miraj.

Kedua, tidak ada keterangan yang jelas tentang tata cara salat sebelum isra miraj. Imam Ibnu Utsaimin pernah ditanya tentang masalah ini, jawaban beliau, “Yang kami tahu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah melaksanakan salat sebelum peristiwa isra miraj, di pagi dan sore hari. Bagaimana cara beliau salat? Allahu alam, yang jelas beliau salat. Bisa jadi tata caranya dengan ijtihad mereka atau berdasarkan wahyu. Jika tata cara salat yang beliau kerjakan ketika itu, berdasarkan wahyu maka statusnya telah mansukh (dihapus) [dengan tata cara shalat yang saat ini]. Jika berdasarkan ijtihad, syariat telah menjelaskan tata cara salat yang benar.” (Sumber: http://islamancient.com/play.php?catsmktba=22684)

Hal yang sama juga yang dipesankan dalam Fatawa Syabakah Islamiyah. Ketika menanggapi pertanyaan semacam ini, majlis fatwa mengatakan, “Yang kami ketahui, tidak terdapat keterangan yang shahih maupun hasan yang menjelaskan tata cara salat yang dikerjakan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sebelum persitiwa isra miraj. Dan tahu masalah ini tidak memberikan banyak manfaat. Karena kita beribadah kepada Allah sesuai dengan apa yang Allah perintahkan untuk kita, dan yang sudah ditetap dalam syariat setelah sempurna.” (Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 41207).

INILAH MOZAIK