Amalan di Bulan Rajab

Segala puji bagi Allah Rabb Semesta Alam, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan para pengikut beliau hingga akhir zaman. Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah Ta’ala karena pada saat ini kita telah memasuki salah satu bulan haram yaitu bulan Rajab. Apa saja yang ada di balik bulan Rajab dan apa saja amalan di dalamnya? Insya Allah dalam artikel yang singkat ini, kita akan membahasnya. Semoga Allah memberi taufik dan kemudahan untuk menyajikan pembahasan ini di tengah-tengah pembaca sekalian.

Rajab di Antara Bulan Haram

Bulan Rajab terletak antara bulan Jumadil Akhir dan bulan Sya’ban. Bulan Rajab sebagaimana bulan Muharram termasuk bulan haram. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (Qs. At Taubah: 36)

Ibnu Rajab mengatakan, “Allah Ta’ala menjelaskan bahwa sejak penciptaan langit dan bumi, penciptaan malam dan siang, keduanya akan berputar di orbitnya. Allah pun menciptakan matahari, bulan dan bintang lalu menjadikan matahari dan bulan berputar pada orbitnya. Dari situ muncullah cahaya matahari dan juga rembulan. Sejak itu, Allah menjadikan satu tahun menjadi dua belas bulan sesuai dengan munculnya hilal.

Satu tahun dalam syariat Islam dihitung berdasarkan perputaran dan munculnya bulan, bukan dihitung berdasarkan perputaran matahari sebagaimana yang dilakukan oleh Ahli Kitab.” (Latho-if Al Ma’arif, 202)

Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

“Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679)

Jadi empat bulan suci yang dimaksud adalah (1) Dzulqo’dah; (2) Dzulhijjah; (3) Muharram; dan (4) Rajab.

Di Balik Bulan Haram

Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram? Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, “Dinamakan bulan haram karena dua makna.

Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian.

Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan.” (Lihat Zaadul Maysir, tafsir surat At Taubah ayat 36)

Karena pada saat itu adalah waktu sangat baik untuk melakukan amalan ketaatan, sampai-sampai para salaf sangat suka untuk melakukan puasa pada bulan haram. Sufyan Ats Tsauri mengatakan, “Pada bulan-bulan haram, aku sangat senang berpuasa di dalamnya.” (Latho-if Al Ma’arif, 214)

Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan sholeh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.” (Latho-if Al Ma’arif, 207)

Bulan Haram Mana yang Lebih Utama?

Para ulama berselisih pendapat tentang manakah di antara bulan-bulan haram tersebut yang lebih utama. Ada ulama yang mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Rajab, sebagaimana hal ini dikatakan oleh sebagian ulama Syafi’iyah. Namun An Nawawi (salah satu ulama besar Syafi’iyah) dan ulama Syafi’iyah lainnya melemahkan pendapat ini. Ada yang mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Muharram, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri dan pendapat ini dikuatkan oleh An Nawawi. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Dzulhijjah. Ini adalah pendapat Sa’id bin Jubair dan lainnya, juga dinilai kuat oleh Ibnu Rajab dalam Latho-if Al Ma’arif (hal. 203).

Hukum yang Berkaitan Dengan Bulan Rajab

Hukum yang berkaitan dengan bulan Rajab amatlah banyak, ada beberapa hukum yang sudah ada sejak masa Jahiliyah. Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ini masih tetap berlaku ketika datang Islam ataukah tidak. Di antaranya adalah haramnya peperangan ketika bulan haram (termasuk bulan Rajab). Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ini masih tetap diharamkan ataukah sudah dimansukh (dihapus hukumnya). Mayoritas ulama menganggap bahwa hukum tersebut sudah dihapus. Ibnu Rajab mengatakan, “Tidak diketahui dari satu orang sahabat pun bahwa mereka berhenti berperang pada bulan-bulan haram, padahal ada faktor pendorong ketika itu. Hal ini menunjukkan bahwa mereka sepakat tentang dihapusnya hukum tersebut.” (Lathoif Al Ma’arif, 210)

Begitu juga dengan menyembelih (berkurban). Di zaman Jahiliyah dahulu, orang-orang biasa melakukan penyembelihan kurban pada tanggal 10 Rajab, dan dinamakan ‘atiiroh atau Rojabiyyah (karena dilakukan pada bulan Rajab). Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ‘atiiroh sudah dibatalkan oleh Islam ataukah tidak. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa ‘atiiroh sudah dibatalkan hukumnya dalam Islam. Hal ini berdasarkan hadits Bukhari-Muslim, dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ فَرَعَ وَلاَ عَتِيرَةَ

“Tidak ada lagi faro’ dan  ‘atiiroh.” (HR. Bukhari no. 5473 dan Muslim no. 1976). Faro’ adalah anak pertama dari unta atau kambing, lalu dipelihara dan nanti akan disembahkan untuk berhala-berhala mereka.

Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Tidak ada lagi ‘atiiroh dalam Islam. ‘Atiiroh hanya ada di zaman Jahiliyah. Orang-orang Jahiliyah biasanya berpuasa di bulan Rajab dan melakukan penyembelihan ‘atiiroh pada bulan tersebut. Mereka menjadikan penyembelihan pada bulan tersebut sebagai ‘ied (hari besar yang akan kembali berulang) dan juga mereka senang untuk memakan yang manis-manis atau semacamnya ketika itu.” Ibnu ‘Abbas sendiri tidak senang menjadikan bulan Rajab sebagai ‘ied.

‘Atiiroh sering dilakukan berulang setiap tahunnya sehingga menjadi ‘ied (sebagaimana Idul Fitri dan Idul Adha), padahal ‘ied (perayaan) kaum muslimin hanyalah Idul Fithri, Idul Adha dan hari tasyriq. Dan kita dilarang membuat ‘ied selain yang telah ditetapkan oleh ajaran Islam. Ada sebuah riwayat,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَنْهَى عَن صِيَامِ رَجَبٍ كُلِّهِ ، لِاَنْ لاَ يَتَّخِذَ عِيْدًا.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berpuasa pada seluruh hari di bulan Rajab agar tidak dijadikan sebagai ‘ied.” (HR. ‘Abdur Rozaq, hanya sampai pada Ibnu ‘Abbas (mauquf). Dikeluarkan pula oleh Ibnu Majah dan Ath Thobroniy dari Ibnu ‘Abbas secara marfu’, yaitu sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Intinya, tidaklah dibolehkan bagi kaum muslimin untuk menjadikan suatu hari sebagai ‘ied selain apa yang telah dikatakan oleh syari’at Islam sebagai ‘ied yaitu Idul Fithri, Idul Adha dan hari tasyriq. Tiga hari ini adalah hari raya dalam setahun. Sedangkan ‘ied setiap pekannya adalah pada hari Jum’at. Selain hari-hari tadi, jika dijadikan sebagai ‘ied dan perayaan, maka itu berarti telah berbuat sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam Islam (alias bid’ah).” (Latho-if Al Ma’arif, 213)

Hukum lain yang berkaitan dengan bulan Rajab adalah shalat dan puasa.

Mengkhususkan Shalat Tertentu dan Shalat Roghoib di bulan Rajab

Tidak ada satu shalat pun yang dikhususkan pada bulan Rajab, juga tidak ada anjuran untuk melaksanakan shalat Roghoib pada bulan tersebut.

Shalat Roghoib atau biasa juga disebut dengan shalat Rajab adalah shalat yang dilakukan di malam Jum’at pertama bulan Rajab antara shalat Maghrib dan Isya. Di siang harinya sebelum pelaksanaan shalat Roghoib (hari kamis pertama  bulan Rajab) dianjurkan untuk melaksanakan puasa sunnah. Jumlah raka’at shalat Roghoib adalah 12 raka’at. Di setiap raka’at dianjurkan membaca Al Fatihah sekali, surat Al Qadr 3 kali, surat Al Ikhlash 12 kali. Kemudian setelah pelaksanaan shalat tersebut dianjurkan untuk membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak 70 kali.

Di antara keutamaan yang disebutkan pada hadits yang menjelaskan tata cara shalat Raghaib adalah dosanya walaupun sebanyak buih di lautan akan diampuni dan bisa memberi syafa’at untuk 700 kerabatnya. Namun hadits yang menerangkan tata cara shalat Roghoib dan keutamaannya adalah hadits maudhu’ (palsu). Ibnul Jauzi meriwayatkan hadits ini dalam Al Mawdhu’aat (kitab hadits-hadits palsu).

Ibnul Jauziy rahimahullah mengatakan, “Sungguh, orang  yang telah membuat bid’ah dengan membawakan hadits palsu ini sehingga menjadi motivator bagi orang-orang untuk melakukan shalat Roghoib dengan sebelumnya melakukan puasa, padahal siang hari pasti terasa begitu panas. Namun ketika berbuka mereka tidak mampu untuk makan banyak. Setelah itu mereka harus melaksanakan shalat Maghrib lalu dilanjutkan dengan melaksanakan shalat Raghaib. Padahal dalam shalat Raghaib, bacaannya tasbih begitu lama, begitu pula dengan sujudnya. Sungguh orang-orang begitu susah ketika itu. Sesungguhnya aku melihat mereka di bulan Ramadhan dan tatkala mereka melaksanakan shalat tarawih, kok tidak bersemangat seperti melaksanakan shalat ini?! Namun shalat ini di kalangan awam begitu urgent. Sampai-sampai orang yang biasa tidak hadir shalat Jama’ah pun ikut melaksanakannya.” (Al Mawdhu’aat li Ibnil Jauziy, 2/125-126)

Shalat Roghoib ini pertama kali dilaksanakan di Baitul Maqdis, setelah 480 Hijriyah dan tidak ada seorang pun yang pernah melakukan shalat ini sebelumnya. (Al Bida’ Al Hawliyah, 242)

Ath Thurthusi mengatakan, “Tidak ada satu riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat ini. Shalat ini juga tidak pernah dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum, para tabi’in, dan salafush sholeh –semoga rahmat Allah pada mereka-.” (Al Hawadits wal Bida’, hal. 122. Dinukil dari Al Bida’ Al Hawliyah, 242)

Mengkhususkan Berpuasa di Bulan Rajab

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Adapun mengkhususkan bulan Rajab dan Sya’ban untuk berpuasa pada seluruh harinya atau beri’tikaf pada waktu tersebut, maka tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat mengenai hal ini. Juga hal ini tidaklah dianjurkan oleh para ulama kaum muslimin. Bahkan yang terdapat dalam hadits yang shahih (riwayat Bukhari dan Muslim) dijelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa banyak berpuasa di bulan Sya’ban. Dan beliau dalam setahun tidaklah pernah banyak berpuasa dalam satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban, jika hal ini dibandingkan dengan bulan Ramadhan.

Adapun melakukan puasa khusus di bulan Rajab, maka sebenarnya itu semua adalah berdasarkan hadits yang seluruhnya lemah (dho’if) bahkan maudhu’ (palsu). Para ulama tidaklah pernah menjadikan hadits-hadits ini sebagai sandaran. Bahkan hadits-hadits yang menjelaskan keutamaannya adalah hadits yang maudhu’ (palsu) dan dusta.”(Majmu’ Al Fatawa, 25/290-291)

Bahkan telah dicontohkan oleh para sahabat bahwa mereka melarang berpuasa pada seluruh hari bulan Rajab karena ditakutkan akan sama dengan puasa di bulan Ramadhan, sebagaimana hal ini pernah dicontohkan oleh ‘Umar bin Khottob. Ketika bulan Rajab, ‘Umar pernah memaksa seseorang untuk makan (tidak berpuasa), lalu beliau katakan,

لَا تُشَبِّهُوهُ بِرَمَضَانَ

“Janganlah engkau menyamakan puasa di bulan ini (bulan Rajab) dengan bulan Ramadhan.” (Riwayat ini dibawakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa, 25/290 dan beliau mengatakannya shahih. Begitu pula riwayat ini dikatakan bahwa sanadnya shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil)

Adapun perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berpuasa di bulan-bulan haram yaitu bulan Rajab, Dzulqo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, maka ini adalah perintah untuk berpuasa pada empat bulan tersebut dan beliau tidak mengkhususkan untuk berpuasa pada bulan Rajab saja. (Lihat Majmu’ Al Fatawa, 25/291)

Imam Ahmad mengatakan, “Sebaiknya seseorang tidak berpuasa (pada bulan Rajab) satu atau dua hari.” Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Aku tidak suka jika ada orang yang menjadikan menyempurnakan puasa satu bulan penuh sebagaimana puasa di bulan Ramadhan.” Beliau berdalil dengan hadits ‘Aisyah yaitu ‘Aisyah tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh pada bulan-bulan lainnya sebagaimana beliau menyempurnakan berpuasa sebulan penuh pada bulan Ramadhan. (Latho-if Ma’arif, 215)

Ringkasnya, berpuasa penuh di bulan Rajab itu terlarang jika memenuhi tiga point berikut:

  1. Jika dikhususkan berpuasa penuh pada bulan tersebut, tidak seperti bulan lainnya sehingga orang-orang awam dapat menganggapnya sama seperti puasa Ramadhan.
  2. Jika dianggap bahwa puasa di bulan tersebut adalah puasa yang dikhususkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana sunnah rawatib (sunnah yang mengiringi amalan yang wajib).
  3. Jika dianggap bahwa puasa di bulan tersebut memiliki keutamaan pahala yang lebih dari puasa di bulan-bulan lainnya. (Lihat Al Hawadits wal Bida’, hal. 130-131. Dinukil dari Al Bida’ Al Hawliyah, 235-236)

Perayaan Isro’ Mi’roj

Sebelum kita menilai apakah merayakan Isro’ Mi’roj ada tuntunan dalam agama ini ataukah tidak, perlu kita tinjau terlebih dahulu, apakah Isro’ Mi’roj betul terjadi pada bulan Rajab?

Perlu diketahui bahwa para ulama berselisih pendapat kapan terjadinya Isro’ Mi’roj. Ada ulama yang mengatakan pada bulan Rajab. Ada pula yang mengatakan pada bulan Ramadhan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tidak ada dalil yang tegas yang menyatakan terjadinya Isro’ Mi’roj pada bulan tertentu atau sepuluh hari tertentu atau ditegaskan pada tanggal tertentu. Bahkan sebenarnya para ulama berselisih pendapat mengenai hal ini, tidak ada yang bisa menegaskan waktu pastinya.” (Zaadul Ma’ad, 1/54)

Ibnu Rajab mengatakan, “Telah diriwayatkan bahwa di bulan Rajab ada kejadian-kejadian yang luar biasa. Namun sebenarnya riwayat tentang hal tersebut tidak ada satu pun yang shahih. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa beliau dilahirkan pada awal malam bulan tersebut. Ada pula yang menyatakan bahwa beliau diutus pada 27 Rajab. Ada pula yang mengatakan bahwa itu terjadi pada 25 Rajab. Namun itu semua tidaklah shahih.”

Abu Syamah mengatakan, “Sebagian orang menceritakan bahwa Isro’ Mi’roj terjadi di bulan Rajab. Namun para pakar Jarh wa Ta’dil (pengkritik perowi hadits) menyatakan bahwa klaim tersebut adalah suatu kedustaan.” (Al Bida’ Al Hawliyah, 274)

Setelah kita mengetahui bahwa penetapan Isro’ Mi’roj sendiri masih diperselisihkan, lalu bagaimanakah hukum merayakannya?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tidak dikenal dari seorang dari ulama kaum muslimin yang menjadikan malam Isro’ memiliki keutamaan dari malam lainnya, lebih-lebih dari malam Lailatul Qadr. Begitu pula para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik tidak pernah mengkhususkan malam Isro’ untuk perayaan-perayaan tertentu dan mereka pun tidak menyebutkannya. Oleh karena itu, tidak diketahui tanggal pasti dari malam Isro’ tersebut.” (Zaadul Ma’ad, 1/54)

Begitu pula Syaikhul Islam mengatakan, “Adapun melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu idul fithri dan idul adha, pen) seperti perayaan pada sebagian malam dari bulan Rabi’ul Awwal (yang disebut dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada sebagian malam Rojab (perayaan Isro’ Mi’roj), hari ke-8 Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rojab atau perayaan hari ke-8 Syawal -yang dinamakan orang yang tidak mengerti agama dengan Idul Abror (ketupat lebaran)-; ini semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf (sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tidak pernah melaksanakannya.” (Majmu’ Fatawa, 25/298)

Ibnul Haaj mengatakan, “Di antara ajaran yang tidak ada tuntunan yang diada-adakan di bulan Rajab adalah perayaan malam Isro’ Mi’roj pada tanggal 27 Rajab.” (Al Bida’ Al Hawliyah, 275)

Catatan penting:

Banyak tersebar di tengah-tengah kaum muslimin sebuah riwayat dari Anas bin Malik. Beliau mengatakan, “Ketika tiba bulan Rajab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengucapkan,

“Allahumma baarik lanaa fii Rojab wa Sya’ban wa ballignaa Romadhon [Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban dan perjumpakanlah kami dengan bulan Ramadhan]”.”

Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad dalam musnadnya, Ibnu Suniy dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah. Namun perlu diketahui bahwa hadits ini adalah hadits yang lemah (hadits dho’if) karena di dalamnya ada perowi yang bernama Zaidah bin Abi Ar Ruqod. Zaidah adalah munkarul hadits (banyak keliru dalam meriwayatkan hadits) sehingga hadits ini termasuk hadits dho’if. Hadits ini dikatakan dho’if (lemah) oleh Ibnu Rajab dalam Lathoif Ma’arif (218), Syaikh Al Albani dalam tahqiq Misykatul Mashobih (1369), dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Imam Ahmad.

Demikian pembahasan kami mengenai amalan-amalan di bulan Rajab dan beberapa amalan yang keliru yang dilakukan di bulan tersebut. Semoga Allah senantiasa memberi taufik dan hidayah kepada kaum muslimin. Semoga Allah menunjuki kita ke jalan kebenaran.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Allahumma sholli ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallim.

Selesai disusun di Wisma MTI, 5 Rajab 1430 H

***
Penulis: Ust. Muhammad Abduh Tuasikal, M.Sc.

MUSLIMorid

Perselisihan tentang Isra Miraj Rasulullah

ADA sebagian kalangan yang mengatakan bahwa Isra dan Mi’rajnya nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya ruhnya saja, sedangkan jasadnya tidak ikut. Pendapat ini kalau kita kaitkan dengan peristiwa-peristiwa sesudahnya serta dampak yang dialami oleh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, nampak kurang bisa diterima.

Sebab bila hanya ruhnya yang terbang ke langit, sedangkan jasadnya tetap di bumi, seharusnya tidak perlu ada kegegeran di tengah kaumnya. Padahal sirah nabawiyah mencatat bahwa setelah pengakuan nabi atas peristiwa itu, muncul reaksi dari para kalangan kafir Quraisy yang mengingkarinya.

Buat logika mereka, tidak mungkin ada manusia bisa terbang ke langit dengan jasadnya. Kalau sekedar ruhnya saja, banyak di antara mereka yang bisa mempercayainya. Sebagaimana masyarakat Arab saat itu percaya adanya jin yang bisa terbang tinggi ke langit. Sehingga bila yang terbang ke langit hanya ruh nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam saja, tentu tidak akan menimbulkan bantahan.

Namun karena beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan bahwa dirinya sepenuhnya, termasuk jasad dan ruhnya, yang terbang ke luar angkasa, setelah sebelumnya ‘mampir’ ke Baitil Maqdis di Palestina, muncullah penolakan luar biasa dari orang arab. Dan pemahaman bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berisra’ dan mi’raj dengan jasad dan ruhnya secara sadar, bukan mimpi, adalah keyakinan mayoritas umat Islam, serta menjadi keyakinan paham ahlussunnah wal jamaah sepanjang zaman.

Sebaliknya, mereka yang mengingkari kalau jasadnya ikut terbang, umumnya muncul dari kalangan ahli ra’yu yang lebih menekankan pertimbangan logika manusia ketimbang wahyu. Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh. [Ahmad Sarwat, Lc.]

INILAH MOZAIK

Hikmah dari Isra Miraj

SAHABATKU yang baik, dalam kedahsyatan Isra Miraj, terkandung banyak sekali hikmah yang bisa kita ambil dan jadikan teladan untuk kehidupan sehari-hari.

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. Al-Isra` : 1)

Salah satunya hikmah yang bisa kita ambil ialah bagaimana perjuangan Rasulullah untuk memudahkan umatnya dalam beribadah. Ini sebuah teladan yang bisa diambil bagi para pemimpin untuk selalu memperjuangkan kemudahan-kemudahan bagi para rakyatnya.

Semoga dengan peristiwa ini, kita senantiasa mengambil hikmah yang banyak dan semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala senantiasa membimbing kita semua agar selalu dalam lindungan-Nya. Aamiin Ya Robbal alamin. [*]

 

INILAH MOZAIK

Isra Miraj dan Semangat Kebaikan bukan Permusuhan

PARA sahabat nabi memang tidak pernah mengadakan ritual apapun, termasuk tidak pernah merayakan peringatan hari lahirnya nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, juga tidak pernah merayakan hari turunnya Alquran dan Isra’ mi’raj nabi. Semua itu tidak pernah dilakukan di zaman sahabat, apalagi di zaman nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup. Tidak ada satu pun ulama yang menolak realita ini. Semua mengakui bahwa di masa itu belum ada kegiatan seperti itu.

Namun ketika ada orang atau kalangan masyarakat muslim yang kemudian melakukannya, seperti yang kita lihat di berbagai negeri muslim, apakah hal itu juga harus dilarang? Apakah perayaan itu menjadi bid’ah dan haram untuk dikerjakan? Dan apakah ada larangan nabi shallallahu ‘alaihi wasallam secara khusus untuk mengharamkan perayaan itu? Jawaban masalah seperti ini tidak pernah sampai ke titik final kesepakatan. Para ulama dan umat Islam banyak berbeda dalam menyikapinya. Sebagian kalangan tanpa tedeng aling-aling langsung mengeluarkan fatwa haram dan bid’ah. Artinya, siapa saja yang melakukan berbagai kegiatan ini berdosa besar dan matinya akan masuk neraka.

Namun sebagian lainnya memandang dengan sudut pandang berbeda. Meski tetap mengakui bahwa di masa nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan di masa para sahabat tidak pernah ada kegiatan seperti ini, namun dalam pandangan mereka, kegiatan seperti ini tidak lantas menjadi haram untuk dikerjakan. Dua kubu ini sejak zaman dahulu sudah berbeda pendapat, dan rasanya sampai hari ini perbedaan pendapat itu masih tetap berlangsung. Yang satu tetap setia dengan vonis bid’ahnya dan yang lain tetap komintmen untuk tidak membid’ahkannya.

Mereka yang membid’ahkan perayaan-perayaan seperti disebutkan di atas, biasanya berargumen bahwa apa saja kegiatan keagamaan yang tidak ada contoh dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat, berarti hukumnya bid’ah. Dan semua jenis bid’ah itu sesat dan orang sesat itu tempatnya di neraka. Mereka umumnya sangat khawatir kalau urusan mengadakan perayaan maulid, isra’ mi’raj dan nuzulul quran akan menyeret diri mereka ke neraka. Tidak cukup ketakutan itu untuk diri mereka, mereka pun sibuk berkampanye melarang umat Islam melakukannya.

Jutaan eksemplar buku, kaset, ceramah, rekaman dan alat propaganda serta aliran dana mereka gulirkan untuk kampanye bahwa semua itu adalah sesat dan berujung ke neraka. Dalilnya sederhana saja, karena semua itu tidak pernah dilakukan di zaman nabi, maka siapa saja yang melakukannya dianggap telah membuat agama baru dan tempatnya kekal di dalam neraka.

Mereka yang membolehkan tidak juga tidak mau kalah dalam berargumen. Meski di zaman nabi tidak pernah dilakukan, namun menurut mereka tidak lantas kegiatan seperti itu bisa dianggap sebagai bid’ah sesat dan membawa ke neraka. Sebab yang termasuk bid’ah hanyalah bisa seseorang menambah ritual peribadatan, seperti salat yang ditambahi rukun atau rakaatnya. Sedangkan kegiatan peringatan maulid nabi, menurut mereka, tidak ada kaitannya dengan ibadah rtitual, namun lebih terkait dengan masalah teknis muamalah. Dan dalam masalah muamalah, prinsipnya apapun boleh dilakukan selama tidak melanggar hal-hal yang memang secara tegas dilarang.

Kalau menambahi rakaat salat subuh menjadi tiga rakaat, barulah itu namanya bid’ah. Atau mengubah tempat haji dari Arafah ke lapangan monas, itu juga bid’ah. Tapi kalau kita memperingati lahirnya seseorang termasuk nabi kita, atau hari awal turunnya Quran, sama sekali tidak ada kaitannya dengan ritual ibadah. Demikian pendapat mereka yang membolehkan kegiatan seperti itu.

Mungkin ada baiknya kedua kelompok ini duduk bersama untuk membahas masalah ini secara lebih terbuka. Setidaknya agar umat Islam tidak dibuat bingung dan semakin saling bermusuhan dengan sesamanya. Karena sikap-sikap dari masing-masing gurunya terkadang tidak mengajak ke arah toleransi dalam berbeda pendapat. Sebaliknya, cenderung malah sengaja ingin menyebarkan rasa permusuhan, merasa diri paling benar sendiri, orang lain harus dalam posisi yang salah, bodoh, jahil dan tidak punya ilmu.

Mentalitas seperti ini terkadang malah menggerogoti keikhlasan dalam berdakwah. Akhirnya, orientasi dakwah yang awalnya mengajak orang menjadi baik, berubah malah mengajak orang untuk saling memusuhi dengan sesama umat Islam. Padahal seandainya masing-masing mengelar pendapat secara baik-baik, di dalam forum kajian yang ilmiyah, dengan dilandasi dengan semangat kebersamaan, serta rasa kasih sayang, tentu suasananya tidak akan sekeruh sekarang. Mungkin dengan pergantian generasi hal itu akan tercapai, insyaallah. Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh. [Ahmad Sarwat, Lc]

 

 

Memahami Hakikat Isra Miraj dari Sisi Rasulullah

ADA sebagian kalangan yang mengatakan bahwa Isra dan Mi’rajnya nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya ruhnya saja, sedangkan jasadnya tidak ikut. Pendapat ini kalau kita kaitkan dengan peristiwa-peristiwa sesudahnya serta dampak yang dialami oleh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, nampak kurang bisa diterima.

Sebab bila hanya ruhnya yang terbang ke langit, sedangkan jasadnya tetap di bumi, seharusnya tidak perlu ada kegegeran di tengah kaumnya. Padahal sirah nabawiyah mencatat bahwa setelah pengakuan nabi atas peristiwa itu, muncul reaksi dari para kalangan kafir Quraisy yang mengingkarinya.

Buat logika mereka, tidak mungkin ada manusia bisa terbang ke langit dengan jasadnya. Kalau sekedar ruhnya saja, banyak di antara mereka yang bisa mempercayainya. Sebagaimana masyarakat Arab saat itu percaya adanya jin yang bisa terbang tinggi ke langit. Sehingga bila yang terbang ke langit hanya ruh nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam saja, tentu tidak akan menimbulkan bantahan.

Namun karena beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan bahwa dirinya sepenuhnya, termasuk jasad dan ruhnya, yang terbang ke luar angkasa, setelah sebelumnya ‘mampir’ ke Baitil Maqdis di Palestina, muncullah penolakan luar biasa dari orang arab. Dan pemahaman bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berisra’ dan mi’raj dengan jasad dan ruhnya secara sadar, bukan mimpi, adalah keyakinan mayoritas umat Islam, serta menjadi keyakinan paham ahlussunnah wal jamaah sepanjang zaman.

Sebaliknya, mereka yang mengingkari kalau jasadnya ikut terbang, umumnya muncul dari kalangan ahli ra’yu yang lebih menekankan pertimbangan logika manusia ketimbang wahyu. Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh. [Ahmad Sarwat, Lc.]

INILAH MOZAIK

Selisih Pendapat Tanggal Terjadinya Isra Miraj

PERTAMA, para ahli sejarah berbeda pendapat tentang tanggal kejadian isra miraj. Ada berbagai pendapat ulama, terkait dengan penentuan waktu kejadian Isra dan Miraj. Ada yang mengatakan di bulan ramadhan, ada yang mengatakan 27 Rajab, ada yang berpendapat di bulan muharram, dan ada pula yang mengatakan di bulan rabiul awal.

Ini menunjukkan tidak ada keterangan tegas dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam maupun sahabat tentang kapan Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjalani isra miraj. Yang berarti bahwa tidak ada sesuatu yang istimewa terkait aturan syariat untuk tanggal 27 rajab. Bagaimana mungkin akan ada ibadah di tanggal ini, sementara sahabat tidak menganggapnya sebagai waktu istimewa.

Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam fathul Bari menyebutkan ada sekitar 10 pendapat ulama tentang kapan isra miraj terjadi. Selanjutnya dikomentari oleh lembaga Fatawa Syabakah Islamiyah, “Perselisihan ini menunjukkan bahwa hari isra miraj tidak memiliki keutamaan khusus untuk puasa, tidak pula shalat di malam harinya. Karena, andaikan itu baik, tentu Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat mulia akan mendahului kita dalam melaksanakannya.” (Fatawa Syabakah islamiyah, no. 5951)

Para sahabat mengakui kemukjizatan isra miraj, namun kapan itu terjadi, dan tanggal berapa bulan apa Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjalaninya, para sahabat tidak memperhatikannya. Kedua, tidak ada amal apapun yang dianjurkan ketika isra miraj. Andaikan tanggal kejadian isra miraj ini merupakan hari yang istimewa untuk ibadah, tentu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan sahabat akan mempraktekkannya. Dan kami belum menjumpai dalil tentang itu. Siapa yang mengklaim ada aturan khusus untuk hari isra miraj, dia harus mendatangkan dalil. Jika tidak, maka pendapatnya ditolak.

Sekali lagi para sahabat sangat mengakui kemukjizatan isra miraj. Terbukti dari semangat mereka untuk menyampaikan berita tentang isra miraj. Ada sekitar 16 sahabat yang meriwayatkan hadis tentang isra miraj ini. Namun kapan itu terjadi, sahabat tidak terlalu peduli. Karena itulah, para ahli sejarah tidak sepakat dalam menentukan tanggalnya. Andai ada keterangan yang jelas tentang tanggal kejadian isra miraj, tentu mereka akan sepakat terhadap tanggal itu. Ini artinya, tanggal isra miraj bukan waktu yang istimewa untuk ibadah. Peristiwanya istimewa, tapi tanggal kejadiannya tidak istimewa.

Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah, ketika ditanya tentang hukum puasa isra miraj, mereka menjawab, “Hari isra miraj, tidak diwajibkan, tidak dianjurkan, tidak pula disunahkan untuk puasa. Karena tidak ada keterangan dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau mengerjakan puasa di hari itu atau memerintahkan sahabatnya untuk puasa di hari itu. Andaikan puasa di hari ini dianjurkan, atau disunahkan tentu beliau akan menjelaskannya. Sebagaimana beliau menjelaskan tenatng puasa hari Arafah atau puasa Asyura”( Fatawa Syabakah islamiyah, no. 5951)

Ketiga, jika hari isra miraj bertepatan dengan hari yang menjadi rutinitas seseorang berpuasa sunah maka tetap dianjurkan untuk melaksanakan puasa itu. Bukan karena isra mirajnya, tapi karena hari kebiasaan puasanya. Seperti isra miraj yang bertepatan dengan hari senin atau kamis. Oleh karena itu, keterangan bahwa hari ini tidak boleh puasa karena isra miraj adalah keterangan yang sama sekali tidak bisa diterima. Karena disamping tidak ada anjuran untuk mengkhususkan puasa di hari isra miraj, juga tidak ada larangan untuk berpuasa sunah di hari senin atau kamis yang kebetulan bertepatan dengan isra miraj.

Allahu alam. [Ustadz Ammi Nur Baits]

INILAH MOZAIK

Perintah Salat Sebelum dan Sesudah Isra Miraj

PERTAMA, bahwa syariat salat sudah dikenal sebelum peristiwa isra miraj. Pernah ada seseorang yang bertanya kepada Aisyah tentang salat malam Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, beliau menjawab, “Pernahkah anda membaca surat ini (surat Al-Muzammil)? Sesungguhnya Allah mewajibkan salat malam seperti di awal surat ini. Maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya melaksanakan salat malam selama setahun, sampai kaki mereka bengkak, dan Allah tidak turunkan ayat-ayat akhir surat ini selama 12 bulan. Kemudian Allah menurunkan keringanan untuk salat malam seperti disebutkan pada akhir surat ini, sehingga salat malam hukumnya anjuran, setelah sebelumnya kewajiban.” (HR. Nasai 1601, Ibnu Khuzaimah 1127).

Kemudian keterangan lainnya juga terdapat dalam hadis panjang yang menceritakan dialog antara Heraklius dengan Abu Sufyan, ketika dia mendapat surat dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Heraklius bertanya kepada Abu Sufyan,
“Apa yang diperintahkan nabi itu kepada kalian?”
Jawab Abu Sufyan, yang saat itu sedang berdagang di Syam, Nabi itu mengajarkan, “Beribadahlah kepada Allah semata dan jangan menyekutukannya dengan sesuatu apapun, tinggalkan apa yang menjadi ajaran nenek moyang kalian. Dia memerintahkan kami untuk salat, zakat, bersikap jujur, menjaga kehormatan, dan menyambung silaturahim.” (HR. Bukhari 7 dan Muslim 1773)

Ketika menjelaskan hadis ini, Al-Hafidz Ibnu Rajab mengatakan, “Kisah ini menunjukkan bahwa perintah terpenting yang diserukan Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada umatnya adalah salat, sebagaimana beliau memerintahkan mereka untuk bersikap jujur, menjaga kehormatan. Ajaran ini menjadi terkenal hingga tersebar ke berbagai pengikut agama selain islam. Karena Abu Sufyan ketika dialog itu masih musyrik, dan Heraklius beragama Nasrani. Dan sejak diutus beliau senantiasa memerintahkan untuk bersikap jujur dan menjaga kehormatan, beliau juga senantiasa salat, sebelum salat diwajibkan (salat 5 waktu).” (Fathul Bari Ibn Rajab, 2/303).

Sebagian ulama mengatakan, kewajiban salat pertama kali adalah 2 rakaat di waktu subuh dan 2 rakaat sore hari. Berdasarkan keterangan Qatadah seorang tabiin, muridnya Anas bin Malik , “Puasa pertama kali yang diperintahkan adalah puasa 3 hari setiap bulan, dan salat 2 rakaat di waktu pagi dan 2 rakaat di waktu sore.” (Tafsir At-Thabari, 3/501). Meskipun ada ulama yang menolak keterangan Qatadah ini. Apapun itu, intinya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat telah mengenal salat sebelum peristiwa isra miraj.

Kedua, tidak ada keterangan yang jelas tentang tata cara salat sebelum isra miraj. Imam Ibnu Utsaimin pernah ditanya tentang masalah ini, jawaban beliau, “Yang kami tahu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah melaksanakan salat sebelum peristiwa isra miraj, di pagi dan sore hari. Bagaimana cara beliau salat? Allahu alam, yang jelas beliau salat. Bisa jadi tata caranya dengan ijtihad mereka atau berdasarkan wahyu. Jika tata cara salat yang beliau kerjakan ketika itu, berdasarkan wahyu maka statusnya telah mansukh (dihapus) [dengan tata cara shalat yang saat ini]. Jika berdasarkan ijtihad, syariat telah menjelaskan tata cara salat yang benar.” (Sumber: http://islamancient.com/play.php?catsmktba=22684)

Hal yang sama juga yang dipesankan dalam Fatawa Syabakah Islamiyah. Ketika menanggapi pertanyaan semacam ini, majlis fatwa mengatakan, “Yang kami ketahui, tidak terdapat keterangan yang shahih maupun hasan yang menjelaskan tata cara salat yang dikerjakan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sebelum persitiwa isra miraj. Dan tahu masalah ini tidak memberikan banyak manfaat. Karena kita beribadah kepada Allah sesuai dengan apa yang Allah perintahkan untuk kita, dan yang sudah ditetap dalam syariat setelah sempurna.” (Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 41207).

INILAH MOZAIK

Pelajaran dari Isra dan Miraj Nabi SAW

Nabi SAW membawa oleh-oleh berupa perintah shalat lima waktu bagi umatnya

Setiap bulan Rajab kaum Muslimin selalu memperingati peristiwa perjalanan Isra dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW.

Isra adalah perjalanan Nabi dari Masjidil Haram (di Makkah) ke Masjidil Aqsha (di al-Quds, Palestina). Mi’raj adalah kenaikan Nabi menembus lapisan langit tertinggi sampai batas yang tidak dapat dijangkau oleh ilmu semua makhluk. Semua itu ditempuh dalam semalam.

Jumhur sepakat bahwa perjalanan ini dilakukan oleh Nabi SAW dengan jasad dan ruh. Oleh karena itu, ia merupakan salah satu mukjizatnya yang mengagumkan yang dikaruniakan Allah SWT kepadanya.

Peristiwa Isra Mi’raj terjadi pada tahun ke 10 dari Nubuwah, ini pendapat al-Manshurfury. Menurut riwayat Ibnu Sa’d di dalam Thabaqat-nya, peristiwa ini terjadi 18 bulan sebelum hijrah. Dengan tujuan untuk menentramkan perasaan Nabi, sebagai nikmat besar yang dilimpahkan kepadanya.

Agar Nabi merasakan langsung adanya perlindungan dari-Nya, yang sebelumnya, Nabi mengalami kesulitan dan penderitaan selama menjalankan dakwah dan kehilangan orang yang dicintai, Abu Thalib dan Khadijah binti Khuwailid; untuk menunjukkan pada dunia bahwa Nabi merupakan Nabi teristimewa; untuk menunjukkan keagungan-Nya (QS al-Isra’ [17]: 1, QS al-An’am [6]: 75, dan QS Thaha [20]: 23); dan untuk menguji keimanan umat manusia.

Mengapa perjalanan Isra Mi’raj dimulai dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha? Peristiwa ini memberikan isyarat, kaum Muslimin di setiap tempat dan waktu harus menjaga dan melindungi Rumah Suci (Baitul Maqdis) dari keserakahan musuh Islam. Hal ini juga mengingatkan kaum Muslimin zaman sekarang agar tidak takut dan menyerah menghadapi kaum Yahudi yang selalu menodai dan merampas Rumah Suci.

Dalam perjalanan Isra Mi’raj, Nabi dipertemukan dengan para nabi terdahulu, hal ini merupakan bukti nyata adanya ikatan yang kuat antara Nabi SAW dengan nabi-nabi terdahulu. Sabda Nabi SAW, “Perumpamaan aku dengan nabi sebelumku adalah seperti seorang laki-laki yang membangun sebuah bangunan, lalu ia memperindah dan mempercantik bangunan itu, kecuali satu tempat batu bata di salah satu sudutnya. Ketika orang-orang mengitarinya, mereka kagum dan berkata, “Amboi indahnya, jika batu batu ini diletakkan?” Akulah batu bata itu, dan aku adalah penutup para nabi.” (HR Bukhari dan Muslim).

Dalam hadis shahih diriwayatkan, Nabi SAW mengimami para nabi dan rasul terdahulu dalam shalat jamaah dua rakaat di Masjidil Aqsha. Kisah ini menunjukkan pengakuan bahwa Islam adalah agama Allah terakhir yang diamanatkan kepada manusia. Agama yang mencapai kesempurnaannya di tangan Nabi SAW.

Pilihan Nabi SAW terhadap minuman susu, ketika Jibril menawarkan dua jenis minuman, susu dan khamr, merupakan isyarat secara simbolik bahwa Islam adalah agama fitrah. Yakni, agama yang akidah dan seluruh hukumnya sesuai dengan tuntunan fitrah manusia. Tidak ada sesuatu pun yang bertentangan dengan tabiat manusia.

Oleh-Oleh Isra Mi’raj

Sekembalinya seseorang dari menempuh perjalanan jauh selalu membawa oleh-oleh untuk keluarga, sanak famili, dan tetangganya. Pun dengan perjalanan Isra Mi’raj Nabi SAW.

Nabi SAW membawa oleh-oleh untuk umatnya. Setiap oleh-oleh yang dibawa Nabi pasti memiliki manfaat bagi manusia. Oleh-oleh yang dimaksud adalah perintah shalat lima waktu.

Sungguh merugi orang yang shalat, namun ia tidak dapat merasakan manfaatnya. “Maka, kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. (Yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS al-Maa’un [107]: 4-5).

Di antara manfaat shalat itu, pertama, sebagai pembuka pintu surga. Nabi bersabda, “Kunci surga adalah shalat dan kunci shalat adalah wudhu.” (HR Tirmidzi).

Kedua, sebagai penerang hati. Shalat mendidik jiwa, menajamkan nurani, dan menerangi hati melalui lentera kebesaran dan keagungan. Nabi bersabda, “Shalat itu adalah cahaya penerang bagi seorang Mukmin.” (HR Ibnu Majah).

Ketiga, meraih ketenangan dan kebahagiaan. Seseorang yang mendirikan shalat berarti sedang menghadap Allah secara langsung tanpa perantara. Dengan keadaan seperti itu, perasaan dekat kepada-Nya menyelimuti jiwa, kebersamaan dengan-Nya memenuhi dada yang diiringi rasa tenteram, percaya diri, dan penuh keyakinan.

Kondisi itu pula yang mengantarkan seseorang untuk sujud dan rukuk dengan penuh khusyuk, seraya memohon pertolongan-Nya. “Sesungguhnya beruntunglah orang yang beriman. (Yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya.” (QS al-Mukminun [23]: 1-2).

Keempat, menghapus dosa. Setiap manusia tidak luput dari salah dan dosa. Salah satu sarana untuk menghapus dosa adalah dengan menjaga shalat lima waktu. Nabi bersabda, ”Begitulah seperti halnya shalat lima waktu yang menghapuskan dosa-dosa.” (HR Muslim).

Kelima, mencegah perbuatan keji dan mungkar. Dengan kata lain, menjalankan shalat dengan benar dapat mencegah berbagai bentuk kemungkaran. Hal ini menunjukkan, shalat dapat mempercantik perilaku dan memperindah diri dengan akhlak mulia. “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (QS al-Ankabut [29]: 45).

Dalam hadis Nabi disebutkan, ”Barang siapa yang mendirikan shalat tetapi dirinya tidak terhindar dari perbuatan keji dan munkar maka hakikatnya dia tidak melaksanakan shalat.” (HR Thabrani).

Keenam, menjadi pembeda antara Mukmin dengan kafir. Nabi bersabda, “Sesungguhnya batas antara seseorang dan kemusyikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).

Dalam hadis lain, “Kesepakatan yang mengikat kita dengan mereka adalah shalat. Barang siapa yang meninggalkan shalat berarti telah kafir.” (HR Nasai, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).

Oleh karena itu, kewajiban shalat tidak akan pernah lepas dari seorang Muslim. Ia tidak dapat gugur hanya karena sakit atau bepergian. Di mana pun seorang Muslim berada, ia tetap berkewajiban mendirikan shalat.

“Dan, bumi ini dijadikan untukku baik dan suci sebagai tempat bersujud. Jika waktu shalat datang pada setiap umatku, hendaknya ia mendirikannya di manapun ia berada.” (HR Bukhari dan Muslim)

Nilai-Nilai Shalat 

Peringatan Isra dan Mi’raj merupakan momentum bagi kaum Muslimin untuk mengevaluasi kualitas dan untuk mengambil pelajaran dari nilai-nilai shalat. Sehingga, shalat yang dilakukan dapat mengubah seseorang menjadi lebih bermakna dalam kehidupan pribadi dan sosial.

Pertama, shalat mendidik kaum Muslimin untuk mensucikan diri dari sifat-sifat buruk. Hal ini dijelaskan melalui firman Allah SWT, ”Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.” (QS al-Ankabut [29]: 45).

Kedua, shalat mendidik kesatuan dan persatuan umat. Orang yang melaksanakan shalat menghadap ke satu tempat yang sama, yaitu Baitullah. Hal ini menunjukkan pentingnya mewujudkan persatuan dan kesatuan umat. Perasaan persatuan ini akan menimbulkan saling pengertian dan saling melengkapi antar sesama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Ketiga, shalat mendidik disiplin waktu. Setiap yang shalat selalu memeriksa masuknya waktu shalat, dan menjaga serta berusaha untuk menunaikannya tepat pada waktunya, sesuai ketentuan syara, dan menaklukkan nafsunya untuk tidak tenggelam dalam kesibukan duniawi yang melalaikan .

Keempat, shalat mendidik tertib organisasi. Menyangkut tertibnya jamaah shalat yang baris lurus di belakang imam dengan tanpa adanya celah kosong (antara yang satu dengan jamaah di kanan kirinya) mengembalikan kaum Muslimin pada perlunya nidzam (tertib organisasi). Dalam falsafat organisasi dikatakan, kebenaran yang tidak terorganisir dapat dikalahkan dengan kebatilan yang terorganisir.

Kelima, shalat mendidik ketaatan kepada pemimpin. Mengikuti gerakan imam, tidak mendahuluinya walau sesaat, menunjukkan adanya ketaatan dan komitmen atau loyal, serta meniadakan penolakan terhadap perintahnya, selama perintah tersebut tidak untuk bermaksiat. Nabi SAW bersabda, ”Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah SWT.” (HR Ahmad).

Keenam, shalat mendidik keberanian untuk mengingatkan pimpinan. Jika imam lalai, diharuskan bagi makmum untuk mengingatkannya (dengan membaca subhanallah), hal ini menunjukkan keharusan rakyat untuk menegur atau mengingatkan pemimpinnya jika lalai atau melakukan kesalahan.

Ketujuh, shalat mendidik persamaan hak. Pada shalat berjamaah, dalam mengisi shaf tidak didasarkan pada status sosial jamaah, tidak pula memandang kekayaan atau pangkat, walau dalam shaf terdepan sekalipun. Gambaran ini menunjukkan adanya persamaan hak tanpa memperdulikan tinggi kedudukan maupun tuanya umurnya.

Kedelapan, shalat mendidik hidup sehat. Dalam shalat pun memberikan kesan kesehatan, yang diwujudkan dalam gerakan di setiap rakaat shalat, yang setiap harinya minimal 17 rekaat secara seimbang. Hal ini merupakan olah-raga fisik dalam waktu yang teratur dengan cara yang sangat sederhana dan mudah dalam gerakannya.

Jika pelajaran dari Isra dan Mi’raj Nabi SAW ini dapat diimplementasikan dalam kehidupan, maka tidak menutup kemungkinan perubahan dalam kehidupan bangsa dan negara ke arah yang lebih baik dapat terwujud. Semoga.

Pengirim: Imam Nur Suharno, Kepala HRD dan Personalia Pesantren Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat

REPUBLIKA

Zikir Jelang Isra Miraj 27 Rajab 3 April 2019, Anjuran Rasulullah SAW, Dilafalkan Mulai Malam Ini Artikel ini telah tayang di Tribunstyle.com dengan judul Zikir Jelang Isra Miraj 27 Rajab 3 April 2019, Anjuran Rasulullah SAW, Dilafalkan Mulai Malam Ini

Zikir anjuran Nabi Muhammad SAW yang dipanjatkan di malam jelang Isra Miraj 27 Rajab Rabu, 3 April 2019.

Isra Miraj tinggal sehari lagi, besok Rabu, 3 April 2019 seluruh umat Islam akan memperingati peristiwa bersejarah ini.

Jelang Isra Miraj umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak zikir yang diajarkan Nabi Ibrahim kepada Nabi Muhammad SAW saat menjalani Isra Miraj.

Zikir di malam jelang Isra Miraj ini diajarkan oleh NabiI brahim pada Nabi Muhammad ketika sampai ke lapisan langit ketujuh.

Zikir Isra Miraj ini disebut akan menjadi tanaman subur di surga.

Berikut ini zikir yang diajarkan Nabi Ibrahim kepada Nabi Muhammad SAW dalam perjalanan Isra Miraj yang dianjurkan dibaca oleh umat Rasulullah:

لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّ

Laa haula walaa quwwata illa billah

“Tidak ada daya dalam menjauhi maksiat dan tidak ada upaya menjalankan ketaatan melainkan dengan pertolongan Allah.”

Zikir tersebut bisa dilihat dari yang diriwayatkan oleh Abu Ayyub Al Anshari ra.

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَيْلَةَ أُسْرِىَ بِهِ مَرَّ عَلَى إِبْرَاهِيمَ فَقَالَ مَنْ مَعَكَ يَا جِبْرِيلُ قَالَ هَذَا مُحَمَّدٌ.فَقَالَ لَهُ إِبْرَاهِيمُ مُرْ أُمَّتَكَ فَلْيُكْثِرُوا مِنْ غِرَاسِ الْجَنَّةِ فَإِنَّ تُرْبَتَهَا طَيِّبَةٌ وَأَرْضَهَا وَاسِعَةٌ. قَالَ « وَمَا غِرَاسُ الْجَنَّةِ ». قَالَ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ

Artinya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada malam Isra’, pernah melewati Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Nabi Ibrahim ketika itu bertanya pada malaikat Jibril, “Siapa yang bersamamu wahai Jibril?” Ia menjawab, “Muhammad.” Ibrahim pun mengatakan pada Muhammad, “Perintahkanlah pada umatmu untuk membiasakan memperbanyak (bacaan dzikir) yang nantinya akan menjadi tanaman surga, tanahnya begitu subur, juga lahannya begitu luas.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apa itu ghirosul jannah (tanaman surga)?” Ia menjawab, “Laa hawla wa laa quwwata illa billah (tidak ada daya dalam menjauhi maksiat dan tidak ada upaya menjalankan ketaatan melainkan dengan pertolongan Allah).” (HR. Ahmad, 5: 418)

Meski begitu, mayoritas ulama tidak mewajibkan agar zikir itu dibaca pada malam Isra Mi’raj.

Zikir itu bisa dibaca kapan saja dan dalam keadaan apa pun.

Seperti diketahui, Isra Mi’raj adalah perjalanan agung Nabi Muhammad yang ditempuh dalam waktu semalam dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsho di Yerussalem.

Tak hanya itu, Nabi Muhammad juga mengalami perjalanan Nabi Muhammad dari bumi menuju langit ketujuh, lalu dilanjutkan ke Sidratul Muntaha.

Sidaratul Muntaha menjadi akhir perjalanan untuk menerima perintah salat lima waktu.

 

TRIBUNNEWS.com

Bacaan Istighfar Pada Malam Pertama Bulan Rajab

Syaikh Abdul Hamid bin Muhammad Ali Quds dalam kitab Kanzun Najah was Surur fil Ad’iyah al-Lati Tasyrohus Shudur menyebutkan bahwa kita sangat dianjurkan untuk membaca istighafaru rojaba atau istighfar bulan Rajab yang disusun oleh Sayid Hasan bin Sayid Abdullah Ba Alawi al-Haddad berikut;

اَسْتَغْفِرُاللهَ اْلعَظِيْمَ ،اَلَّذِيْ لآاِلَهَ اِلاَّ هُوَاْلحَيُّ اْلقَيُّوْمُ وَاَتُوْبُ اِلَيْهِ مِنْ جَمِيْعِ اْلمَعَاصِيْ وَالذُّنُوْبِ، وَاَتُوْبُ اِلَيْهِ مِنْ جَمِيْعِ مَاكَرِهَ اللهُ قَوْلاً وَفِعْلاً وَسَمْعًا وَبَصَرًا وَّحَاصِرًا، اَللَّهُمَّ اِنِّيْ اَسْتَغْفِرُكَ لِمَا قَدَّمْتُ وَمَااَخَرْتُ وَمَااَسْرَفْتُ وَمَااَسْرَرْتُ وَمَااَعْلَنْتُ وَمَااَنْتَ اَعْلَمُ بِهِ مَنِّيْ اَنْتَ اْلمُقَدِّمُ وَاَنْتَ اْلمُؤَخِّرُ وَاَنْتَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ، اَللَّهُمَّ اِنِّيْ اَسْتَغْفِرُكَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ تُبْتُ اِلَيْكَ مِنْهُ ثُمَّ عُدْتُ فِيْهِ، اَسْتَغْفِرُكَ بِمَااَرَدْتُ بِه وَجْهَكَ اْلكَرِيْمَ فَخَالَطْتُهُ بِمَالَيْسَ لَكَ بِه رِضًى،

وَاَسْتَغْفِرُكَ بِمَا وَعَدْتُكَ بِه نَفْسِيْ ثُمَّ اَخْلَفْتُكَ، وَاَسْتَغْفِرُكَ بِمَادَعَالِيْ اِلَيْهِ اْلهَوَى مِنْ قَبْلِ اْلرُّخَصِ مِمَّااشْتَبَهَ عَلَيَّ وَهَوَعِنْدَكَ مَحْظُوْرٌ، وَاَسْتَغْفِرُكَ مِنَ النِّعَمِ الَّتِيْ اَنْعَمْتَ بِهَاعَلَيَّ فَصَرَفْتُهَا وَتَقَوَّيْتُ بِهَاعَلَى اْلمَعَاصِيْ، وَاَسْتَغْفِرُكَ مِنَ الذُّنُوْبِ الَّتِيْ لاَيَغْفِرُهَا غَيْرُكَ وَلاَيَطَّلِعُ عَلَيْهَااَحَدٌ سِوَاكَ وَلاَيَسَعُهَا اِلاَّ رَحْمَتُكَ وَحِلْمُكَ وَلاَيُنْجِيْ مِنْهَااِلاَّ عَفْوُكَ، وَاَسْتَغْفِرُكَ مِنْ كُلِّ يَمِيْنِ حَلَفْتُ بِهَا فَحَنَثْتُ فِيْهَا وَاَنَاعِنْدَكَ مَأْخُوْذٌ بِهَا، وَاَسْتَغْفِرُكَ يَالاَاِلهَ اِلاَّ اَنْتَ سُبْحَانَكَ اِنِّيْ كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِيْنَ،

وَاَسْتَغْفِرُكَ يَالاَاِلهَ اِلاَّ اَنْتَ عَالِمُ اْلغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ مِنْ كُلِّ شَيِّئَةٍ عَمِلْتُهَا فِى بَيَاضِ النَّهَارِوَسَوَادِ الَّيْلِ فِى اْلمَلاَءٍ وَّخَلاَءٍ وَسِرٍّ وَعَلاَنِيَةٍ اِلَيَّ وَاظِرٌ اِذَاارْتَكَبْتُهَا تَرَى مَآاَتَيْتُه مِنَ اْلعِصْيَانِ بِهِ عَمَدًا اَوْ خَطَأً اَوْنِسِيَانًا يَاحَلِيْمُ يَاكَرِيْمُ، وَاَسْتَغْفِرُكَ يَالاَاِلهَ اِلاَّ اَنْتَ سُبْحَانَكَ اِنِّيْ كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِيْنَ رَبِّ اغْفِرْلِيْ وَارْحَمْنِيْ وَتُبْ عَلَيَّ وَاَنْتَ خَيْرُالرَّاحِمِيْنَ،

وَاَسْتَغْفِرُكَ مِنْ كُلِّ فَرِيْضَةٍ وَجَبَتْ عَلَيَّ فِى آنَآءِ اللَّيْلِ وَاَطْرَافِ النَّهَارِ فَتَرَكْتُهَا عَمَدًا اَوْ خَطَأً اَوْنِسِيَانًا اَوْ تَهَاوُنًا وَاَنَا مَسْئُوْلٌ بِهَا وَمِنْ كُلِّ سُنَّةٍ مِنْ سُنَنِ سَيَّدِاْلمُرْسَلِيْنَ وَخَاتَمِ النَّبِيَّيْنَ مُحَمَّدٍ وَصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَرَكْتُهَا غَفْلَةً اَوْسَهْوًا اَوْ جَهْلاً اَوْ تَهَاوُنًا قَلَّتْ اَوْكَثُرَتْ وَاَنَا عَائِدٌ بِهَا، وَاَسْتَغْفِرُكَ يَالاَاِلهَ اِلاَّ اَنْتَ وَحْدَكَ لاَشَرِيْكَ لَكَ سُبْحَانَكَ رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ لَكَ اْلمُلْكُ وَلَكَ اْلحَمْدُ وَلَكَ الشُّكْرُ وَاَنْتَ حَسْبُنَا وَنِعْمَ اْلوَكِيْلُ نِعْمَ اْلمَوْلى وَنِعْمَ النَّصِيْرُ ، وَلاَحَوْلَ وَقُوَّةَ اِلاَّبِاللهِ اْلعَلِيِّ اْلعَظِيْمِ وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا وَاْلحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ.

“Saya memohon ampun kepada Allah Yang Maha Agung, tiada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Hidup dan Berdiri Tegak, dan saya bertaubat kepada Allah dari seluruh perbuatan dosa dan maksiat, dari perkara-perkara yang di benci Allah baik di dalam perkataan, perbuatan, pendengaran dan penglihatan yang terbatas. Ya Allah, sesungguhnya saya memohon ampun kepada Engkau dari sesuatu hal yang telah saya kerjakan dan yang belum saya kerjakan serta dari perbuatan yang melampaui batas, baik yang tersembunyi maupun terang-terangan dan Engkau lebih mengetahui dari apa yang saya ketahui. Engkaulah yang awal dan yang akhir dan kesemuanya atas kehendak-Mu.

Ya Allah, saya juga memohon ampun dari setiap dosa apabila saya telah bertaubat lalu saya kembali mengerjakanya, dari perbuatan yang saya kehendaki tetapi Engkau tidak meridhoinya. Ya Allah, saya juga memohon ampun dari setiap perbuatan yang mana saya telah berjanji pada diri saya dan kepada Engkau untuk mengerjakan atau meniggalkanya lalu saya menginkarinya, saya memohon ampun pula dari perbuatan yang mengikuti ajakan hawa nafsu padahal tidak diperbolehkan oleh Engkau lalu saya mengerjakannya secara diam-diam padahal itu di larang disisi-Mu, saya juga memohon ampun dari nikmat-nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepada saya lalu saya gunakan nikmat-nikmat tersebut untuk bermaksiat kepada-Mu.

Saya juga memohon ampun dari segala dosa yang tidak dapat terampuni dan terangkat selain hanya kepada-Mu, tiada ampunan yang lebih luas kecuali rahmat dan kasih-Mu, tiada pula yang dapat menyelamatkan kecuali maaf dan ampunan-Mu, saya juga memohon ampun dari segala kebaikan yang saya telah berjanji untuk mengerjakan lalu saya melanggar janji itu dan berarti saya telah merampas sesuatu dari sisi-Mu.

Saya juga memohon ampun kepada-Mu wahai Zat yang tiada Tuhan melainkan Engkau, Maha Suci Engkau. Sesungguhnya saya telah termasuk golongan orang-orang yang berbuat zalim, saya memohon ampun kepada-Mu, tiada Tuhan melainkan Engkau yang mengetahui yang ghaib dan nampak dari setiap keburukan yang saya kerjakan di waktu siang maupun di kegelapan malam, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan dan Engkau menyaksikan akan segala perbuatan maksiat itu baik dilakukan dengan sengaja, lupa atau lalai wahai Zat Yang Maha Murah dan Maha Mulia.

Saya memohon ampun kepada-Mu, tiada Tuhan melaikan Engkau, Maha Suci Engkau. Sesungguhnya saya telah termasuk golongan orang-orang yang berbuat zalim dan aniaya. Wahai Tuhanku, ampuni dan sayangilah saya dan terimalah taubat saya karena sesugguhnya Engkau Maha Penyayang, saya juga memohon ampun dari setiap kewajiban yang telah Engkau wajibkan atas diri saya dari permulaan malam hingga akhir siang lalu saya meninggalkan kewajiban itu dengan sengaja, salah dalam mengerjakan, lupa ataupun dengan sebab lalai.

Saya juga akan dimintai pertanggung jawaban atas segala sunah-sunah junjungan para nabi dan para rasul, Nabi Muhammad Saw, kemudian saya tinggalkan karena salah, lupa, bodoh, atau lalai, banyak atau sedikit, dan saya kembali mengulanginya. Saya memohon ampunan kepada-Mu, tiada Tuhan melainkan Engkau, Maha Suci Engkau, wahai Tuhan semesta alam. Bagi-Mu kerajaan, bagi-Mu segala puji, bagi-Mu segala bentuk syukur dan Engkau sandaran kami, sebaik-baik wakil, sebaik-baik tuan dan sebaik-baik penolong. Tiada daya dan upaya melainkan atas pertolongan Allah Yang Maha Luhur dan Agung. Semoga rahmat Allah senantiasa mengalir atas junjungan kami Nabi Muhammad, keluarganya, sahabatnya, juga keselamatan yang banyak. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.”

BINCANG SYARIAH