Faktor-Faktor Yang Dapat Merusak Keistiqamahan

Bismillahirrahmanirrahim
Faktor-faktor yang bisa merusak keistiqamahan hamba sangatlah banyak. Secara umum dibagi menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor Internal

1. Kejahilan, lawan dari ilmu

Ilmu adalah sumber dari segala kebaikan dan kejahilan atau kebodohan adalah sumber segala keburukan.

Kejahilan yang ada pada seorang hamba bisa menyeretnya kepada kehancuran dan akibat yang buruk. Pelakunya bisa saja terjerumus kepada dosa dan maksiat, menyimpang dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang lurus, serta mengikuti syahwat dan syubat. Kecuali jika Allah Subhanahu wa Ta’ala memberinya petunjuk untuk kembali kepada jalan yang lurus.

Siapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya, maka Dia akan memberinya ilmu agama yang bermanfaat serta menganugerahkan padanya pemahaman kepada agama yang benar. Sebaliknya, siapa saja yang tidak Allah kehendaki kebaikan atas dirinya maka Allah akan membiarkannya kepada kebodohan. Hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kita memohon agar diberikan ilmu yang bermanfaat dan melindungi kita dari kejahilan.

2. Lalai, berpaling dari kebenaran, dan lengah

Kelengahan yaitu kelalaian yang muncul karena kurangnya kewaspadaan dan kesadaran, hal ini merupakan penyakit yang berbahaya jika menimpa pada seseorang. Karenanya, seorang hamba tidak akan menyibukkan dirinya pada ketaatan dan hal yang tidak bermanfaat. Siapa yang dikuasai oleh kelengahan, disibukkan dengan kelalaian, dan selalu berpaling dari kebenaran, niscaya akan berkurang imannya, serta akan melemah istiqamahnya. Bahkan bisa juga mematikan hati karena berkuasanya syahwat atas dirinya.

Kelengahan adalah sifat yang tercela dan termasuk sifat orang-orang kafir dan munafik. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperigatkannya dengan keras. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ ٱلْجِنِّ وَٱلْإِنسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَّا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ ءَاذَانٌ لَّا يَسْمَعُونَ بِهَآ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ كَٱلْأَنْعَٰمِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْغَٰفِلُونَ

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf: 179)

3. Hawa Nafsu yang Selalu Mendorong Berbuat Kejahatan

Hawa nafsu adalah jiwa tercela yang Allah jadikan pada setiap manusia. Jiwa yang tercela ini bisa mendorong seseorang berbuat kejahatan dan mengajaknya pada keburukan. Ini memang tabiat dan watak dasarnya. Kecuali jiwa yang telaah mendapat taufik dari Allah. Tidaklah jiwa seseorang bisa selamat kecuali hanya dengan taufiq dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman,

وَلَوْلَا فَضْلُ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُۥ مَا زَكَىٰ مِنكُم مِّنْ أَحَدٍ أَبَدًا

“… Kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya padamu, niscaya tidak seorangpun diantara kamu bersih (dari perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya …. (Q.S An-Nur: 21)

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah menerangkan : “ Hawa nafsu itu selalu mengajak kepada kebinasaan. Suka membantu musuh-musuh dan berambisi kepada semua perbuatan jelek. Suka mengikuti tiap keburukan serta berjalan dengan tabiatnya yang suka melakukan pelanggaran dan penyelisihan. Nikmat yang tiada taranya ialah keluar dari belitan hawa nafsu dan melepaskan diri dari perbudakannya. Karena hawa nafsu itu merupakan hijab terbesar yang menghalangi seorang hamba dengan Rabbnya. Orang yang paling tahu tentang hawa nafsu adalah yang paling merendahkannya dan yang paling mengutuknya.” (Ightsatul Lafhan (I/103))

#. Faktor Eksternal

1. Syaitan

Pengaruh syaitan adalah pengaruh dari luar terkuat yang bisa menyebabkan berkurangnya iman dan rusaknya istiqamah.
Keinginan dan tujuannya hanyalah ingin menggoyahkan keimanan yang ada dalam hati orang-orang yang beriman. Barangsiapa yang mengikuti was-was dan bisikan dari syaitan serta tidak memohon perlindungan kepada Allah Ta’ala, maka akan melemahlah imannya dan berkurang istiqamahnya.
Oleh karena itu, Allah memerintahkan kita tentang bahaya dan akibat yang buruk apabila mengikuti syaitan, serta menjelaskan bahwa syaitan adalah musuh yang nyata bagi orang-orang yang beriman. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ ٱلشَّيْطَٰنَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَٱتَّخِذُوهُ عَدُوًّا ۚ إِنَّمَا يَدْعُوا۟ حِزْبَهُۥ لِيَكُونُوا۟ مِنْ أَصْحَٰبِ ٱلسَّعِيرِ

Sungguh, syaitan itu musuh bagimu, maka perlakukanlah ia sebagai musuh, karena sesungguhnya syaitan itu hanya mengajak golongannya agar mereka menjadi penghuni Neraka yang menyala-nyala.” (QS. Fathir: 6)

2. Dunia dan godaannya

Ini adalah faktor dari luar yang cukup mempengaruhi keimanan dan keiistiqamahan seorang hamba.
Termasuk hal yang bisa menyebabkan berkurang dan melemahnya iman serta keistiqamahan seorang hamba adalah terlalu menyibukkan dirinya dengan kehidupan dunia yang fana. Menghabiskan waktu hanya untuk mengurus segala hal tentang dunia. Mengikuti dan menikmati berbagai macam kelezatan dunia. Maka, semakin besar ambisi dan cita-cita seorang hamba kepada dunia dan semakin terpaut hatinya dengan dunia, semakin melemahlah semangat untuk mengerjakan berbagai macam ketaatan dan semakin berkurang semangatnya untuk terus istiqamah di atas jalan yang benar.

Ibnul Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Berat tidaknya seorang hamba dalam melaksanakan ketaatan dan dalam mengejar akhirat bergantung kadar ambisi dan kepuasan seorang hamba terhadap dunia.”(Al-Fawa-id (hal 180))

Ada dua hal yang bisa kita lakukan agar tidak tertipu dengan godaan dunia

Pertama: Melihat bahwa dunia begitu cepat hilang, fana dan akan musnah, serta melihat kekurangan dan kerendahannya. Hingga akhirnya hilang dan terputus yang disertai dengan penyesalan. Siapa yang terlalu mengejar dunia maka akan sering merasa sedih ketika tidak mendapatkannya, sedih ketika yang didapatkannya akan hilang, dan sedih ketika terlepas darinya

Kedua: Melihat bahwa akhirat adalah pasti, abadi, akan segera datang, dan kemuliaan apa-apa yang didalamnya berupa berbagai macam keindahan. Serta dengan melihat perbedaan dari dunia dan akhirat yang sangat mencolok, Allah Ta’ala berfirman,

وَٱلْءَاخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰٓ

Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al-A’la: 17)

3. Teman-teman yang jahat

Teman-teman yang jahat merupakan perusak yang paling berbahaya. Larangan bergaul dengan teman-teman yang buruk adalah karena manusia yang memiliki tabiat suka meniru dan mengikuti teman-teman dekatnya.

Bergaul dengan para penuntut ilmu akan mengajak jiwanya untuk ikut menuntut ilmu. Sedangkan, bergaul dengan para pelaku maksiat atau ahli bid’ah bisa menjadikan jiwanya mengikuti hal tersebut. Demikianlah seterusnya.

Karena itulah, hendaknya seorang mukmin memilih teman yang bisa mengajaknya kepada kebaikan, mengingatkan tentang akhirat, dan dia mendapatkan manfaat lainnya bila bergaul dengannya. Serta berhati-hati dari dan menjauhi teman yang kita tidak bisa mengambil kebaikan darinya dan sebaliknya begitupun dari teman-teman yang jahat.

Wallahu a’lam

(Diketik ulang dengan sedikit perubahan dari buku “Futur?? Jangan Gundah ini Solusinya” “terjemahan”, Abu Ihsan al-Atsari dan Ummu Ihsan, cetakan Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta.)

Sahabat muslimah, yuk berdakwah bersama kami. Untuk informasi lebih lanjut silakan klik disini. Jazakallahu khaira

R

Kisah Tsa’labah dan Pelajaran bagi Umat Islam

Menjaga istiqamah bukanlah hal mudah. Banyak tokoh yang gagal dikisahkan dalam Alquran.

Tsalabah Ibn Hathib al-Anshari adalah contoh orang yang gagal menjaga sikap istiqamahnya. Dia membuat Allah geram atas sifat kikirnya. Empat ayat diturunkan Allah untuk mengingatkannya dan mengingatkan umat Muslim lainnya di seluruh penjuru dunia.

Suatu hari Tsa’labah dikisahkan datang menghadap Rasulullah. Tanpa basa-basi dia minta Rasulullah untuk memohon kepada Allah supaya dia dianugerahi rezeki. Namun, Rasulullah menolak permintaan tersebut.

Meskipun demikian, Tsa’labah tidak bosan-bosannya mendesak Rasulullah untuk memenuhi maunya. Doakanlah kepada Allah agar Dia memberiku harta kekayaan, pinta Tsa’labah.

Meski kerap ditolak, Tsa’labah memohon sekali lagi. Namun, kali ini pun Rasulullah menolak kembali. A”pakah kamu tidak senang menjadi manusia seperti Nabi Allah? Demi Zat yang men-guasai diriku, andaikan aku ingin agar gunung itu berjalan di sampingku sebagai emas dan perak, niscaya ia melakukannya,” tutur Rasulullah.

Untuk meluruhkan hati Rasulullah, Tsa’labah kemudian mengucapkan sumpahnya. “Demi Zat yang telah mengutusmu dengan hak. Jika engkau memohon kepada Allah, lalu Dia memberiku harta kekayaan, niscaya aku akan memberikan hak kepada setiap orang yang berhak menerimanya,”ujarnya.

Rasullulah memegang janji Tsa’labah. Dia akhirnya mengamini keinginan Tsa’labah dan berdoa untuk Tsa’labah agar Allah memberikannya rezeki dan memberkahinya. “Ya Allah, anugerahkanlah harta kekayaan kepada Tsa’labah, ujar Nabi.

Allah memenuhi doa Rasulullah, sehingga akhirnya Tsa’labah mendapatkan seekor unta dan domba.Tsa’labah sangat senang. Setiap hari dia berusaha menggemukkan ternaknya, membuat ternaknya bisa menghasilkan susu yang banyak untuk bisa dijual. Tsa’labah masih teguh bersikap istiqamah saat memenuhi panggilan jihad pada Perang Badar.

Seusai perang, dia kembali pada ternaknya. Dia menggembalakannya, menggemukkan yang kurus, dan membesarkan yang kecil. Harinya semakin sibuk seiring bertambahnya jumlah ternak yang dimilikinya. Mereka beranak pinak bak belatung hingga Madinah menjadi penuh sesak.

Akibatnya, dia dan ternaknya menyingkir dan tinggal di sebuah lembah dekat Madinah sehingga dia masih bisa shalat Zhuhur dan Ashar dengan berjamaah. Sedangkan, shalat lainnya dilakukannya sendirian.

Ternaknya terus bertambah dan dia menjadi sangat sibuk. Akhirnya, Tsa’labah mulai meninggalkan shalat Jumat. Dia hanya menemui orang-orang yang lewat padang gembalaannya untuk menuju shalat Jumat di Masjid Madinah dan hanya untuk menanyakan kabar.

Saat itu, Rasulullah menangkap ada hal yang aneh dari Tsa’la bah. Dia pun bertanya kepada dua pengendara unta yang ditemuinya. Apa yang dilakukan oleh Tsa’labah? Mereka menceritakan soal ternak Tsa’labah kepada Nabi. Rasul terkejut dan bersabda.

“Aduh celaka Tsa’labah, aduh celaka Tsa’labah, celaka Tsa’labah,”tuturnya.

Tsa’labah juga bersikap kikir. Dia menghindari kewajiban berzakat. “Ini hanyalah pajak, ini adalah semacam pajak. Aku tidak tahu, apa ini? Pergilah sehingga selesai tugasmu, nanti kembali lagi kepadaku,” elak Tsa’labah kepada utusan Rasulullah.

Kabar ini sampai ke telinga Nabi dan membuatnya gusar. Maka, Allah kembali menurunkan firmannya dalam surah at-Taubah ayat 75-77 yang berisi sindiran kepada orang-orang yang sebelumnya berikrar akan menyedekahkan sebagian hartanya jika dikaruniai oleh Allah berupa kekayaan, tetapi setelah diberi kekayaan mereka justru menjadi kikir dan berpaling. Karena sikap seperti itu, Allah kemudian menanamkan kemunafikan pada hati mereka sampai tiba ajal sebab mereka telah memungkiri ikrar dan berdusta.

Ketika ayat itu disampaikan Rasulullah kepada para sahabatnya, ada salah seorang kerabat Tsa’labah yang ikut mendengar dan kemudian menyampaikan hal itu kepada Tsa’labah yang menjadi kalang kabut.Dia pun pergi menemui Nabi dan memohon agar beliau mau menerima zakat darinya.

Namun, Nabi tak mau menerimanya. Sesungguhnya Allah melarangku untuk menerima zakatmu. Kemudian, Tsa’labah yang sangat menyesal melaburi kepalanya dengan tanah. Lalu, Rasulullah berkata kepadanya, Inilah amalanmu. Aku telah memerintahkan sesuatu kepadamu, tetapi engkau tidak mau mematuhiku.Hingga Rasulullah dan para khalifah tidak menerima sedikit pun zakatnya.

Demikianlah kisah-kisah keistiqamahan dalam Alquran. Sikap istiqamah membawa para pelakunya menjadi penghuni surga. Mereka kekal didalamnya dan menikmati ganjaran atas semua amal perbuatannya.Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: Tuhan kami ialah Allah. kemudian mereka tetap istiqamah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tidak (pula) berdukacita.

Mereka itulah penghuni-penghuni surga. Mereka kekal di dalamnya, sebagai balasan atas apa yang mereka kerjakan. (QS al- Ahqaf: 13-14).

Bersikaplah istiqamah, namun kalian tidak akan dapat menghitung nilai istiqamah. Ketahuilah, bahwa amalan kalian yang terbaik adalah shalat. Yang dapat memelihara wudhu hanyalah orang beriman. (HR Ahmad dan Ibnu Majah)

Menjaga Sikap Istiqamah

Istiqamah adalah urusan iman. Tekanan datang silih berganti. Ujian dan cobaan kerap menghampiri.

Iblis menggoda dari segala penjuru. Dia menggoda dari sisi depan, belakang, kanan, kiri hingga dari bagian atas. Hanya orang-orang beriman yang bisa selamat dari godaan itu.

Allah SWT berfirman dalam Alquran: Maka tetaplah kamu dalam jalan yang benar sebagaimana diperintahkan kepadamu…(QS Hud ayat 112). Dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi menjelaskan bahwa istiqamah adalah sikap konsisten dalam taat kepada Allah.

Dari Abu Amr alias Abu Amrah Sufyan bin Abdullah, ia berkata: Saya berkata kepada Rasulullah, wahai Rasulullah, ajari saya satu ucapan yang mengandung ajaran Islam dan saya tidak perlu lagi bertanya kepada siapapun selain kepada anda. Rasulullah menjawab, katakanlah aku beriman kepada Allah, kemudian bersikap istiqamah. (HR Muslim).

Tujuh pemuda mengukir kisah istiqamah yang menjadi pelajaran berharga bagi kita. Ashabul Kahfi dan anjingnya bernama Raqim ditidurkan Allah SWT selama lebih dari tigaratus tahun yang kabur demi menyelamatkan agama.

Syekh Mohammad Mutawalli Sya’rawi dalam Untaian Kisah- Kisah Qurani dalam Surat Al- ahfimenjelaskan, kisah Ashabul Kahfi memiliki mutiara hikmah yang tak lekang hingga akhir zaman. Allah SWT dapat menjadi kan gua yang notabene tempat sempit di mana seseorang tidak bi sa berlama-lama tinggal di dalam nya sebagai tempat tidur para pemuda beriman, bahkan hingga ratusan tahun. Allah menginginkan agar manusia menyadari, gua sempit menurut pemikirannya bisa menjadi lapang berdasarkan kuasa-Nya.Anugerah Tuhan mem buat tempat sesempit itu terasa luas dan lapang sehingga mereka bisa leluasa di dalamnya.

Kenyataan ini mengingatkan kita bahwa setiap orang yang lari menyelamatkan agamanya ke suatu tempat di luar wilayahnya betapa pun sempitnya tempat itu akan terasa luas dan lapang berkat rahmat Tuhan.Jika dia di tempat itu kesulitan rezeki, Allah akan membuka pintu-pintu rezeki baginya sehingga dia merasakan dirinya sebagai orang terkaya, tulis Syekh Sya’rawi.

Meski demikian, bersikap istiqamah merupakan hal tak mudah. Para pemuda Ashabul kahfi harus diusir para penguasa demi menjaga keistiqamahan dalam beriman. Demi alasan yang sama, Kanjeng Nabi SAW harus dihujat, dicaci, dilempari, hingga diusir saat mengawali dakwah kenabian. Nabi SAW pun mesti hijrah ke Yastrib demi menjaga akidah dan mengawali kembali dakwah dari mula.

Bersikaplah istiqamah, namun kalian tidak akan dapat meng hitung nilai istiqamah. Ketahuilah, bahwa amalan kalian yang terbaik adalah shalat. Yang dapat memelihara wudhu hanyalah orang beriman.(HR Ahmad dan Ibnu Majah).

Hadis ini mengungkapkan betapa beratnya bersikap istiqamah, sehingga manusia tidak akan mampu melakukannya dengan sempurna. Tak mengherankan memang karena keimanan setiap Mukmin terkena hukum yaziidu wa yanqus, akan bertambah dan berkurang; naik dan turun.

Boleh jadi, ada saat-saat iman kita sedang naik, sehingga bersemangat dalam ibadah. Tapi, ketika iman sedang menurun, semangat beribadah pun menjadi lemah.