Sejarah Iktikaf dan Teladan Rasulullah

Sebelum diangkat menjadi rasul Allah SWT, Nabi Muhammad memiliki kecintaan untuk mengasingkan diri, dengan tujuan untuk beribadah. Menurut Dr Akram Dhiya Al-Umuri dalam Shahih Sirah Nabawiyah, Nabi Muhammad mengasingkan diri dari kaumnya yang jahiliyah di Gua Hira yang terletak di Bukit Jabal Nur. Posisi gua itu berada di tempat yang lebih tinggi dari Ka’bah.

Ibnu Abi Jamrah menuturkan, selama menyendiri di Gua Hira, Nabi Muhammad melakukan tiga bentuk ibadah sekaligus: menyepi, beribadah, dan melihat Baitullah. Rasulullah menyendiri di gua yang sempit itu untuk beberapa malam, kemudian kembali kepada keluarganya, dan kembali lagi untuk menyepi.

Kebiasaan itu berlangsung hingga turunya wahyu dan diangkatnya Nabi Muhammad SAW sebagai Utusan Allah. Dalam Fathu Bari dan Shahih Muslim disebutkan bahwa Rasulullah SAW diangkat sebagai nabi pada usia 40 tahun. Imam Baihaqi berkata, “Turun kepada beliau kenabian itu pada usia 40 tahun.”

Ketika sudah diangkat menjadi rasul, Nabi Muhammad SAW diperintahkan untuk berdakwah dan mengamalkan syariat Islam secara sempurna. Sejak itu, masjid menjadi tempat untuk beribadah kepada Allah. “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka kamu jangan menyembah seseorang pun yang ada didalamnya selain (menyembah) Allah.” (QS Al Jinn: 18).

Menurut Dr Ahmad Abdurazzaq Al-Kubaisi dalam Al-I’tikafu Ahkamuhu wa Ahammiyatuhu fi Hayati Muslim, Nabi Muhammad senantiasa menjalani kegiatan rutinya dengan Rabb-nya. “Beliau tak pernah meninggalkan kegiatan rutinya, termasuk amalan berkala tahunan,” ujar Al-Kubaisi.

Salah satu amalan berkala yang dilakukan Rasulullah adalah menyendiri dan memutuskan hubungan dengan berbagai kegiatan keluarga dan masyarakat. Menurut Al-Kubaisi, Nabi Muhammad SAW menjauhi tempat tidurnya, mengencangkan ikat pinggangnya, lalu pergi menyendiri ke masjid untukndan sujud guna beribadah kepada Rabb-nya dengan khusyuk.

Amalan yang tak pernah terlewatkan. Bila sakit dan ada alasan lainnya, Rasulullah SAW tak pernah lupa mengqadhanya. “Ketahuilah, kegiatan tahunan itu adalah iktikaf, yang biasa yang biasa dilakukan sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan,” papar Al-Kubaisi. Lalu mengapa Rasulullah SAW tak pernah melewatkan iktikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan?

Menurut Al-Kubaisi, karena sepuluh hari terakhir Ramadhan merupakan kesempatan terbaik yang dipilihkan Allah SWT bagi Rasulullah SAW dan umatnya pada kesepuluh terakhir Ramadhan itulah, Nabi Muhammad SAW menyendiri dan ber-khalwat dengan Sang Khalik.

Rasulullah bermunajat untuk yang dicintainya, yakni Allah SWT. Iktikaf merupakan kesempatan untuk mengungkapkan kepatuhan dan ketundukan seorang hamba kepada Rabb-nya.

 

sumber: Republika Online