Hukum Menepati Janji

Sebagian orang sangat mudah membuat janji, namun mudah pula menyelisihi janji yang dibuatnya dan tidak mau berusaha menepati janjinya. Tindakan semacam ini termasuk dosa lisan, dan merupakan salah satu tanda kemunafikan.

Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

آيَةُ المُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

“Tanda orang munafik itu ada tiga, (1) jika berbicara berdusta; (2) jika berjanji maka tidak menepati; dan (3) jika diberi amanah, dia berkhianat.” (HR. Bukhari no. 33 dan Muslim no. 59)

Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan diksi “ayat” (tanda). Dalam bahasa Arab, “ayat” adalah tanda yang tidak mungkin meleset, berbeda dengan “alamat” (yang juga memiliki makna “tanda” dalam bahasa Indonesia) yang bisa jadi meleset. Sehingga dapat dipahami dari hadits di atas, bahwa siapa saja yang memiliki tiga karakter di atas, maka bisa dipastikan bahwa terdapat cabang kemunafikan dalam dirinya.

Hal ini juga dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا، وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا: إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ، وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ

“Terdapat empat perkara yang jika semuanya ada pada diri seseorang, maka jadilah dia orang munafik tulen (maksudnya, akan mengantarkan kepada nifak akbar, pen.). Dan jika ada pada dirinya salah satunya, maka dia memiliki sifat kemunafikan, sampai dia meninggalkannya, (yaitu): (1) jika berbicara, dia berdusta; (2) jika membuat perjanjian, dia melanggarnya; (3) jika membuat janji (untuk berbuat baik kepada orang lain, pen.), dia menyelisihi janjinya; dan (4) jika bertengkar (berdebat), dia melampaui batas.” (HR. Bukhari no. 34 dan Muslim no. 59, lafadz hadits ini milik Bukhari)

Terdapat dua kondisi dalam diri seseorang yang melanggar (menyelisihi) janji, yaitu:

Pertama, membuat janji untuk berbuat baik kepada orang lain (misalnya memberi hadiah), akan tetapi ketika membuat janji, dia sudah berniat dan bertekad untuk tidak memenuhi janji tersebut, dan secara riil memang dia tidak memenuhi janji yang sudah dibuat. Ini adalah perbuatan menyelisihi janji yang paling jelek.

Ke dua, ketika membuat janji tidak ada niat untuk tidak memenuhi janji tersebut. Dia memiliki tekad untuk memenuhi janjinya. Namun ketika tiba hari H, dia tiba-tiba tidak memenuhi janjinya tersebut tanpa alasan yang bisa dibenarkan.

Dua perbuatan ini termasuk dalam perbuatan menyelisihi janji atau tidak menepati (memenuhi) janji yang telah dibuat.

Dalam masalah hukum menepati janji atau hukum menyelisihi janji, ada tiga pendapat ulama dalam masalah ini.

Pendapat pertama yaitu pendapat jumhur ulama. Jumhur ulama mengatakan bahwa hukum memenuhi janji yang itu murni berbuat baik kepada orang lain adalah sunnah (mustahab) dan tidak wajib.

Janji yang murni berbuat baik kepada orang lain misalnya seseorang berjanji jika dia mendapatkan bonus gaji, dia akan mentraktir makan bakso temannya. Maka menurut jumhur ulama, janji semacam ini hukumnya sunnah untuk dipenuhi, tidak sampai derajat wajib.

Pendapat ke dua adalah pendapat Imam Malik rahimahullah yang mengatakan bahwa hukum memenuhi janji itu wajib jika janji tersebut menyebabkan orang lain sudah melakukan suatu tindakan tertentu, dan jika janji tersebut tidak dipenuhi, maka orang tersebut akan menderita kerugian atau mengalami kesusahan.

Misalnya, ada seorang pemuda bujangan yang ingin menikah namun tidak memiliki dana untuk melangsungkan pernikahan. Lalu seseorang berjanji kepada pemuda tersebut bahwa dia lah yang akan menanggung mahar dan biaya pernikahannya. Dengan janji tersebut, sang pemuda melamar wanita yang hendak dinikahinya. Janji seperti inilah yang dalam madzhab Imam Malik rahimahullah wajib untuk ditunaikan dan haram diselisihi karena akan menimbulkan kesusahan bagi orang lain.

Pendapat ke tiga mengatakan bahwa memenuhi janji hukumnya wajib secara mutlak dan menyelisihi janji hukumnya haram.

Dan wallahu a’lam, pendapat ke tiga inilah yang paling kuat karena menyelishi janji adalah tanda kemunafikan, sehingga tidak mungkin kita katakan bahwa hukum menyelisihi janji itu tidak sampai derajat haram. Dan juga, menyelisihi janji disamakan dengan berkata dusta, sedangkan dusta (bohong) itu haram, sehingga tidak mungkin kalau menyelisihi janji itu tidak haram (sebatas makruh saja, misalnya). Sehingga yang lebih tepat, menyelisihi janji itu hukumnya haram dan sebaliknya, hukum memenuhi janji adalah wajib.

Oleh karena itu, karena hukum memenuhi janji adalah wajib, dan menyelisihinya adalah haram, maka sudah seharusnya seorang muslim berhati-hati dalam membuat janji. Seorang muslim tidak akan bermudah-mudah mengobral janji kemudian melupakan dan menyelisihi janjinya sendiri.

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/47562-hukum-menepati-janji.html

Sesungguhnya Janji itu Dimintai Pertanggungjawaban

JANJI memang ringan diucapkan namun berat untuk ditunaikan. Betapa banyak orang yang dengan entengnya berjanji untuk bertemu namun tak pernah menepatinya. Dan betapa banyak pula orang yang berutang namun menyelisihi janjinya. Bahkan meminta udzur (maaf) pun tidak.

Padahal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah banyak memberikan teladan dalam hal ini termasuk larangan keras melanggar janji dengan orang-orang kafir.

Manusia dalam hidup ini pasti ada keterikatan dan pergaulan dengan orang lain. Maka, setiap kali seseseorang itu mulia dalam hubungannya dengan manusia dan terpercaya dalam pergaulannya bersama mereka, maka, akan menjadi tinggi kedudukannya dan akan meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Sementara, seseorang tidak akan bisa meraih predikat orang yang baik dan mulia pergaulannya, kecuali jika ia menghiasi dirinya dengan akhlak-akhlak yang terpuji. Dan di antara akhlak terpuji yang terdepan adalah menepati janji.

Sungguh Alquran telah memerhatikan permasalahan janji ini dan memberi dorongan serta memerintahkan untuk menepatinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah itu sesudah meneguhkannya…” (QS. An-Nahl: 91)

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman: “Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawabannya.” (QS Al-Isra: 34)

Demikianlah perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk senantiasa menjaga, memelihara, dan melaksanakan janjinya. Hal ini mencakup janji seorang hamba kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, janji hamba dengan hamba, dan janji atas dirinya sendiri seperti nadzar. Masuk pula dalam hal ini apa yang telah dijadikan sebagai persyaratan dalam akad pernikahan, akad jual beli, perdamaian, gencatan senjata, dan semisalnya.

 

INILAH MOZAIK

Datangnya Kutukan dan Siksa Akibat Ingkar Janji

SIAPAPUN orangnya yang masih sehat fitrahnya tidak akan suka kepada orang yang ingkar janji. Karenanya, dia akan dijauhi di tengah-tengah masyarakat dan tidak ada nilainya di mata mereka.

Namun, anehnya ternyata masih banyak orang yang jika berjanji hanya sekedar igauan belaka. Dia tidak peduli dengan kehinaan yang disandangnya, karena orang yang punya mental suka dengan kerendahan tidak akan risih dengan kotoran yang menyelimuti dirinya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang kafir, karena mereka itu tidak beriman. (Yaitu), orang-orang yang kamu telah mengambil perjanjian dari mereka, sesudah itu mereka mengkhianati janjinya pada setiap kalinya, dan mereka tidak takut (akibat-akibatnya).” (QS. Al-Anfal: 55-56)

Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Bagi setiap pengkhianat (akan ditancapkan) bendera pada pantatnya di hari kiamat.” (HR. Muslim bab Tahrimul Ghadr no. 1738 dari Abu Said Al-Khudri radhiyallahu’anhu)

[Ustadz M. Shafwan Husein]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2346308/datangnya-kutukan-siksa-akibat-ingkar-janji#sthash.Yxnwd3Z8.dpuf

Tak Tepati Janji, Tanda-tanda Kemunafikan

MENEPATI janji adalah bagian dari iman. Barang siapa yang tidak menjaga perjanjiannya maka tidak ada agama baginya. Maka, seperti itu pula ingkar janji, termasuk tanda kemunafikan dan bukti atas adanya makar yang jelek serta rusaknya hati.

“Tanda-tanda munafik ada tiga; apabila berbicara dusta, apabila berjanji mengingkari, dan apabila dipercaya khianat.” (HR. Muslim, Kitabul Iman, Bab Khishalul Munafiq no. 107 dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu anhu)

Seorang mukmin tampil beda dengan munafik. Apabila dia berbicara, jujur ucapannya. Bila telah berjanji ia menepatinya, dan jika dipercaya untuk menjaga ucapan, harta, dan hak, maka ia menjaganya. Sesungguhnya, menepati janji adalah barometer yang dengannya diketahui orang yang baik dari yang jelek, dan orang yang mulia dari yang rendahan. (Lihat Khuthab Mukhtarah, hal. 382-383)

Tidak akan masuk surga kecuali jiwa yang beriman lagi bersih. Dan surga bertingkat-tingkat keutamaannya, sedangkan yang tertinggi adalah Firdaus. Darinya memancar sungai-sungai yang ada dalam surga dan di atasnya adalah ‘Arsy Ar-Rahman. Tempat kemuliaan yang besar ini diperuntukkan bagi orang-orang yang memiliki sifat-sifat yang baik, di antaranya adalah menepati janji. Allah Subhanahu wa Taala berfirman: “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (QS. Al-Mukminun: 8)

Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Jagalah enam perkara dari kalian niscaya aku jamin bagi kalian surga; jujurlah bila berbicara, tepatilah jika berjanji, tunaikanlah apabila kalian diberi amanah, jagalah kemaluan, tundukkanlah pandangan dan tahanlah tangan-tangan kalian (dari sesuatu yang dilarang).” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, Al-Hakim dan Al-Baihaqi dalam Syuabul Iman, lihat Ash-Shahihah no. 1470)

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2346306/tak-tepati-janji-tanda-tanda-kemunafikan#sthash.qcNIMDG0.dpuf

Janji, Ringan Diucapkan Berat Ditunaikan

JANJI memang ringan diucapkan namun berat untuk ditunaikan. Betapa banyak orang yang dengan entengnya berjanji untuk bertemu namun tak pernah menepatinya. Dan betapa banyak pula orang yang berutang namun menyelisihi janjinya. Bahkan meminta udzur (maaf) pun tidak.

Padahal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah banyak memberikan teladan dalam hal ini termasuk larangan keras melanggar janji dengan orang-orang kafir.

Manusia dalam hidup ini pasti ada keterikatan dan pergaulan dengan orang lain. Maka, setiap kali seseseorang itu mulia dalam hubungannya dengan manusia dan terpercaya dalam pergaulannya bersama mereka, maka, akan menjadi tinggi kedudukannya dan akan meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Sementara, seseorang tidak akan bisa meraih predikat orang yang baik dan mulia pergaulannya, kecuali jika ia menghiasi dirinya dengan akhlak-akhlak yang terpuji. Dan di antara akhlak terpuji yang terdepan adalah menepati janji.

Sungguh Alquran telah memerhatikan permasalahan janji ini dan memberi dorongan serta memerintahkan untuk menepatinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah itu sesudah meneguhkannya…” (QS. An-Nahl: 91)

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman: “Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawabannya.” (QS Al-Isra: 34)

Demikianlah perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk senantiasa menjaga, memelihara, dan melaksanakan janjinya. Hal ini mencakup janji seorang hamba kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, janji hamba dengan hamba, dan janji atas dirinya sendiri seperti nadzar. Masuk pula dalam hal ini apa yang telah dijadikan sebagai persyaratan dalam akad pernikahan, akad jual beli, perdamaian, gencatan senjata, dan semisalnya.

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2346305/janji-ringan-diucapkan-berat-ditunaikan#sthash.SUEGYNrS.dpuf

Berbisnis Ala Nabi Muhammad SAW

Rasulullah SAW adalah seorang yang kaya pada zamannya dulu. Sudah seharusnya kita sebagai umatnya untuk mengikuti jejaknya. Karena hidup bukanlah hanya pasrah kepada nasib.

Menurut beberapa sumber, rasulullah meraih kesuksesan dalam berbisnis di 6 kota berbeda. 4 diantaranya adalah Syam (Syuriah), Bahrain, Yordania, dan Yaman. Semua bisnisyang dijalankan oleh beliau menciptakan hasil yang sangat memuaskan. Bahkan menurut beberapa sumber, ia nyaris tidak mengalami kegagalan dalam berbisnis. Lalu bagaimana strategi beliau dalam menjalankan bisnis yang untuk mencapai kesuksesan? berikut ulasannya.

JUJUR DALAM BERBISNIS

Kejujuran adalah kunci dalam berbisnis. Inilah salah satu metode yang diterapkan oleh rasul. Bahkan saking jujurnya, ia mendapatkan gelar Al-Amin yang berarti terpercaya. Rasulullah awalnya mendapatkan barang dagangan dari seorang saudagar kaya bernama Khadijah yang kemudian membuatnya terpikat lalu menjadikannya seorang istri.

Kejujuran menjadi sebuah branding tersendiri pada dagangan beliau. Orang-orang lebih memilih untuk membeli kepadanya karena merasa aman tidak akan ditipu. Ini karena beliau selalu menjelaskan apa adanya tentang apa yang ia jual kepada pelanggannya.

MENGHORMATI PELANGGAN

Rasulullah memperlakukan pelanggannya layaknya seorang saudara yang harus dibantu. Bagi beliau, bisnis adalah sebuah kegiatan dimana kita akan membantu seseorang dalam memecahkan masalahnya. Itulah inti bisnis yang sesungguhnya. Oleh karena itu beliau sangat hormat dan santun kepada pelanggannya layaknya saudara. Seperti salah satu sabda beliau:

Sayangilah saudaramu layaknya menyayangi dirimu sendiri.

MENEPATI JANJI

Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janjimu (QS Al-maidah:1)

Seperti yang kita tahu, dalam melayani pelanggan kita harus menepati janji. Misalnya memenuhi deadline sesuai dengan yang sebelumnya telah disepakati. Ini akan menjadi nilai plus tersendiri bagi bisnis kita. Inilah salah satu yang di terapkan rasulullah SAW.

Baginya, menepati sebuah janji adalah sebuah tanggung jawab yang harus dilaksanakan. Bahkan bukan hanya menepati janji, beliau juga melakukan tugasnya dengan integritas yang tinggi sehingga membuat pelanggannya sangat puas.

HANYA MENJUAL PRODUK YANG BERKUALITAS

Rasulullah hanya menjual produk yang berkualitas saja. Beliau tidak pernah menjual produk yang rusak atau tidak layak untuk dijual. Dan ia juga memilah-milah produk yang berkualitas tinggi dan rendah untuk disesuaikan dengan harganya. Namun bukan berarti ia juga menjual produk yang tidak layak untuk dijual.

 

Suatu ketika rasulullah pernah memarahi seorang pedagang yang tidak jujur karena mencampur jagung basah ke dalam tumpukan jagung kering yang akan dibeli. Bukan hanya melanggar syariat agama, tapi perbuatan ini juga akan membuat pelanggan tidak akan kembali lagi.

TIDAK MENJELEK-JELEKKAN BISNIS ORANG PESAING

Seperti sabda beliau:

Janganlah seseorang diantara kalian menjual dengan maksud untuk menjelekkan apa yang dijual orang lain. (HR Muttafaq)

Rezeki sudah ada yang mengatur, oleh karena itu rasul sangat melarang seseorang menjelek-jelekkan dagangan pesaingnya. Karena sejatinya prinsip sebuah bisnis adalah bagaimana cara kita memuaskan pelanggan, bukan malah menjatuhkan pesaing. Naikkanlah kualitas bisnis kamu, dan biarkanlah pelanggan yang akan menilainya.

DILARANG MENYIMPAN/MENIMBUN BARANG

Menyimpan/menimbun barang demi sebuah keuntungan dilarang oleh islam. Misalnya seperti fenomena yang baru saja terjadi yaitu kenaikkan harga bbm. Karena harga bbm akan naik, kamu menyetok banyak bbm untuk dijual kembali pada saat harga bbm naik. Di dialam islam ini disebut ihtikar dan sangat dilarang. Jual lah barang dengan harga yang sesuai dengan kondisi pada saat itu juga.

MEMBAYAR GAJI KARYAWAN TEPAT PADA WAKTUNYA

Bayarlah gaji karyawan tepat pada waktunya. Karena mereka sudah rela memberikan waktunya ke kamu, maka kamu wajib membayarnya tepat waktu. Jika waktu pemberian gaji tanggal 1, maka kamu wajib membayarnya di tanggal 1. Seperti salah satu sabda rasul:

Berikanlah upah kepada karyawan sebelum kering keringatnya.

BISNIS JANGAN SAMPAI MENGGANGGU IBADAH

Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembahku (QS Adzdzariyat:56)

Dalam kehidupan, bisnis bukanlah semata-mata yang harus dikejar. Ada banyak orang yang melupakan sholat dan bahkan lupa membayar zakat karena kesibukkannya dalam bekerja. Allah swt amat tidak suka hal ini. Bekerja memang bagian dari ibadah, namun itu bukanlah hal yang utama.

Itulah strategi rasul dalam menjalankan bisnisnya. Ini sangat masuk akal dan bisa dijelaskan secara ilmiah. Maka sudah seharusnya kita sebagai entrepreneur muslim harus menerapkan apa yang sudah rasul lakukan dalam menjalankan sebuah bisnis.

Menepati Janji

Menepati janji merupakan identitas seorang mukmin. Ketika menepati janji, ia telah menghormati janjinya dan komitmen dengan ucapannya. Jika seseorang dengan mudahnya melanggar kesepakatan, perjanjian dan persetujuan, ia tidak mengindahkan pasal-pasal yang telah mereka buat sendiri dan masuk ke dalam ciri-ciri orang munafik.

Allah SWT berfirman, “Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggung jawabnnya”. (QS Al-Isra’:34).

Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman, Dan di antara mereka orang yang telah berikrar kepada Allah, “Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh.Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karuniaNya, mereka kikir dengan karunia itu dan berpaling. Mereka memanglah  orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). Maka, Allah menimbulkan kemunafikan pada hari mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri apa yang telah mereka ikrarkan kepadaNya dan (juga) karena mereka selalu berdusta (QS Al-Taubah:75-77).

Dalam hadist riwayat Muslim, dari Abdullah bin Amru bin Al-Ash RA, Nabi SAW bersabda, “Empat keadaan manakala salah seorang berada di dalamnya, ia benar-benar termasuk orang munafik. Apabila berada di salah satu dari empat keadaan tersebut maka ia tergolong orang munafik, kecuali ia meninggalkannya. Empat keadaan yang dimaksud adalah: apabila diberi amanah, ia mengkhianatinya; apabila berbicara, ia bohong; apabila ia berjanji, ia melanggarnya; apabila ia berselisih, ia curang.”

Sungguh indah kehidupan ini apabila ajaran Islam dijalankan dengan ketulusan dalam bermuamalah. Saling berbagi kebaikan, termasuk saling menepati janji.

 

 

Sumber: ensiklopedia akhlak muslim/Muslim Daily