Saat Jenazah LGBT Telantar, Siapa yang Menshalatkan?

Keberadaan kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di Surabaya disebut memprihatinkan. Pendiri Kawan Pelangi, sebuah ormas yang menangani pasien marginal di Surabaya, Mila Machmudah Djamhari, mengakui kerap menemukan kasus pasien HIV/AIDS yang merupakan LGBT telantar.

Dia pun mengenang kejadian pada April 2015 lalu. Ketika itu, dua korban HIV/AIDS wafat di RSUD Dr Soetomo. Satunya waria, sedangkan lainnya merupakan gay. “Mereka sudah dua hari meninggal, tapi tak ada respons apa pun dari keluarga dan dari teman-temannya,” ungkap Mila saat berbincang denganRepublika.co.id, Selasa (2/2).

Untuk pasien waria, kata Mila, memang sudah tidak ada keluarga yang mendampingi. Sementara itu, pasien gay ditolak oleh keluarga mereka. Pihak Dinas Kesehatan Pemerintah Kota Surabaya pun mengontak Mila untuk meminta solusi atas jenazah dua LGBT tersebut.

Menurut Mila, berdasarkan prosedur dari RSUD Dr Sutomo, jenazah tanpa penanggung jawab akan dikumpulkan hingga sepuluh. Setelah itu, jenazah tersebut akan dikuburkan tanpa mendapat penanganan sesuai dengan agama yang dipeluknya. Kendala tidak adanya keluarga yang menerima jenazah tersebut, pun membuat jenazah itu dalam status telantar.

Tak kehilangan akal, Mila lantas mengontak seorang aktivis organisasi masyarakat (ormas) Islam Abu Taqi Machiky Mayestino Triono Soendoro. Dia meminta saran kepada Abu Taqi apakah ada lembaga Islam yang bersedia menangani jenazah penderita HIV/AIDS tersebut.

“Kemudian, dikonfirmasi kepada saudara di STAI Ali bin Abi Tholib. Dari beliau-beliau direkomendasikan ke saudara Ustaz Hilmi Basyrewan dari Yayasan Dakwah Bil Hal,” kata Mila.

Sebelum meminta kepada sang ustaz untuk menangani dua jenazah tersebut, Mila mengaku menjelaskan kepada Ustaz Hilmi bahwa dua jenazah itu mengidap HIV/AIDS dan memiliki perilaku seksual menyimpang. Kemudian, kata Mila, ustaz itu hanya menjawab. “Asal dia Muslim, itu ladang amal kami,” kata Ustaz Hilmi seperti ditirukan Mila.

Jenazah waria pun dimandikan dan dishalatkan pada sore hari oleh Ustaz Hilmi. Jenazah itu lalu diantar dengan ambulans milik Dinkes Pemkot Surabaya ke permakaman.  Untuk jenazah gay, kata Mila, pihak dinkes melakukan pendekatan kepada keluarganya agar bisa menerima kondisi jenazah putra mereka. “Akhirnya, keluarga dan masyarakat pun menerima untuk memakamkannya di permakaman kampung,” ujarnya.

Kata Mila, tak ada satu pun ormas pro-LGBT yang melakukan pendampingan terhadap para pasien HIV/AIDS yang LGBT di rumah sakit tersebut. “Mereka kan hanya menggerakkan gaya hidup. Pada saat mereka sakit, coba saja di RSUD Dr Soetomo tidak kelihatan. Baru ketika ada proyek ditangani,” katanya.

Dia menjelaskan, hanya ormas waria yang menunjukkan kepedulian. Hanya saja, dia mengungkapkan, mereka terkendala dengan dana dan jaringan. Karena itu, mereka pun bergandengan dengan Kawan Pelangi untuk mendampingi para pasien korban HIV/AIDS.

Mila mengatakan, meski tidak setuju LGBT karena bertentangan dengan ajaran agama, dia memiliki banyak teman LGBT, dari homoseksual hingga waria. Kebanyakan mereka aktif di organisasi Kawan Pelangi bentukannya. Hanya, Mila mengaku kerap berusaha untuk menunjukkan kepada mereka untuk kembali pada fitrahnya masing-masing.