Kalimat Tauhid, Bukan Sembarang Kalimat

Kalimat tauhid adalah seruan setiap rasul kepada umatnya

Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Ketahuilah, sekelompok ulama besar Islam meriwayatkan bahwasanya seluruh syariat bersepakat dalam penetapan tauhid dengan sekian banyak jumlah rasul yang diutus dan sekian banyak kitab Allah yang diturunkan kepada para nabi.”

Ibnu Hibban dan Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad hasan dari hadis Abu Dzar yang isinya, “Jumlah nabi ada seratus dua puluh empat ribu orang, sedangkan kitab suci yang diturunkan adalah sejumlah seratus empat kitab.”

Kemudian beliau menegaskan, “Oleh sebab itu, tauhid ini adalah agama alam semesta (umat manusia) dari sejak yang pertama hingga yang terakhir, yang terdahulu hingga yang paling belakangan…” (lihat Irsyad Ats-Tsiqat ila Ittifaqi Asy-Syara’i’ ‘ala At-Tauhid wa Al-Ma’aad wa An-Nubuwwaat, hal. 5)

Keutamaan kalimat tauhid

Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Kalimat laa ilaha illallah adalah kalimat yang agung, meski ringan diucapkan dengan lisan. Namun, ia memiliki bobot yang amat besar di atas timbangan (amal). Karena pada hakikatnya, kalimat ini merupakan kandungan agama Islam. Akan tetapi, kalimat ini bukanlah semata-mata ucapan. Ia memiliki makna dan konsekuensi. Ia memiliki rukun dan syarat-syarat. Yang semua itu harus dimengerti…” (lihat Syarh Tafsir Kalimat At-Tauhid, hal. 5)

Kalimat tauhid ini pula yang mengawali sebuah ayat paling agung di dalam Al-Qur’an, yaitu ayat Kursi. Imam Muslim meriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ’anhu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, “Wahai Abul Mundzir! Tahukah kamu ayat manakah di antara ayat-ayat Kitabullah yang paling agung?” Aku menjawab, “Allahu laa ilaaha illa huwal hayyul qayyuum.” Ubay berkata, “Kemudian beliau pun menepuk dadaku seraya berkata, ‘Demi Allah, ilmu benar-benar akan membuatmu bahagia wahai Abul Mundzir.’ ” (lihat Ayat Al-Kursi wa Barahin At-Tauhid, karya Syekh Abdurrazzaq Al-Badr, hal. 4)

Syekh Abdurrazzaq Al-Badr hafizhahullah berkata, “Ya! Sungguh pendapat yang disampaikan oleh Ubay radhiyallahu ’anhu dalam memilih ayat ini merupakan pendapat yang sangat jeli dan cermat. Hal itu sekaligus menunjukkan betapa agungnya kedudukan tauhid dalam hati para sahabat…” (lihat Ayat Al-Kursi wa Barahin At-Tauhid, hal. 7)

Kalimat tauhid inilah nikmat terbesar dan anugerah terindah bagi seorang hamba di dalam hidupnya. Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah mengatakan, “Tidaklah Allah memberikan nikmat kepada seorang hamba di antara hamba-hamba-Nya dengan suatu kenikmatan yang lebih besar daripada tatkala Allah perkenalkan mereka dengan laa ilaha illallah.” (lihat Ayat Al-Kursi wa Barahin At-Tauhid, hal. 23)

Hamba Allah yang sejati

Allah Ta’ala berfirman menceritakan ucapan Ibrahim ‘alaihis salam kepada ayahnya,

یَـٰۤأَبَتِ لَا تَعۡبُدِ ٱلشَّیۡطَـٰنَۖ إِنَّ ٱلشَّیۡطَـٰنَ كَانَ لِلرَّحۡمَـٰنِ عَصِیࣰّا

Wahai ayahku, janganlah engkau menyembah setan. Sesungguhnya setan itu kepada Ar-Rahman adalah senantiasa durhaka.” (QS. Maryam: 44)

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Maka barangsiapa yang tidak merealisasikan ubudiyah (penghambaan) kepada Ar-Rahman dan benar-benar patuh kepada-Nya, itu artinya dia telah beribadah kepada setan yaitu dengan bentuk ketaatan kepadanya. Dan tidaklah bisa bersih dan terbebas dari penghambaan kepada setan, kecuali orang-orang yang mengikhlaskan ubudiyahnya kepada Ar-Rahman. Mereka itulah yang Allah sebutkan tentangnya,

إِنَّ عِبَادِی لَیۡسَ لَكَ عَلَیۡهِمۡ سُلۡطَـٰنٌ

Sesungguhnya hamba-hamba-Ku itu, tiada kekuasaan atasmu untuk mencelakakan mereka.” (QS. Al-Hijr: 42)

Kemudian, Ibnu Rajab rahimahullah menjelaskan, “Mereka itulah orang-orang yang merealisasikan ucapan laa ilaaha illallah dengan sebenarnya, ikhlas dalam mengucapkannya, perbuatan mereka pun mencerminkan apa yang mereka ucapkan, sehingga mereka tidak berpaling dan memuja kepada selain Allah, apakah dalam bentuk kecintaan, harapan, takut, ketaatan, maupun tawakal. Mereka itulah orang-orang yang jujur dalam mengucapkan laa ilaaha illallah, dan mereka itulah para hamba Allah yang sejati.” (lihat Kitab At-Tauhid, Risalah Kalimat Al-Ikhlash, hal. 57)

***

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/81240-kalimat-tauhid-bukan-sembarang-kalimat.html

Makna, Rukun dan Syarat Kalimat Tauhid

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullahu

Soal:

Apa saja syarat dari kalimat tauhid laa ilaaha illallah?

Jawab:

Tentang kalimat tauhid laa ilaaha illallah, pertama-tama hendaknya kita harus mengetahui apa maknanya? Maknanya adalah bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selain Allah ﷻ. Maka sesembahan selain Allah ﷻ baik itu malaikat, para Nabi, wali atau orang shalih, pepohonan, bebatuan, matahari, dan bulan (jika disembah) maka ini semua adalah sesembahan yang batil. Allah Ta’ala berfirman:

ذَٰلِكَ بِأَنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِن دُونِهِ ٱلْبَٰطِلُ وَأَنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلْعَلِىُّ ٱلْكَبِيرُ

“Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang hak dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah itulah yang batil; dan sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar”  (QS. Luqman: 30).

Inilah makna dari kalimat yang agung ini. Dan kalimat ini dibangun di atas dua rukun, yaitu an nafyu (penafian) dan al itsbat (penetapan). Yaitu menafikan semua sesembahan selain Allah ﷻ dan menetapkan bahwa yang berhak untuk disembah hanya Allah ﷻ semata. Dengan ini, barulah tauhid direalisasikan dengan benar. Yaitu menggabungkan antara kedua rukun ini, penafian dan penetapan.

Alasannya, karena jika sekedar penafian saja tanpa disertai penetapan, maka ini sama saja menganggap tidak ada Tuhan sama sekali. Dan sekedar penafian saja tanpa penetapan, maka ini menetapkan Allah sebagai sesembahan namun tidak menafikan sesembahan-sesembahan yang lain.

Dan juga tidaklah terwujud tauhid yang sebenarnya kecuali apabila dengan menafikan hukum selain hukum yang sudah ditetapkan oleh Allah ﷻ dan menetapkan apa yang sudah Dia tetapkan. Dua hal ini (penafian & itsbat) keduanya merupakan merupakan perkara inti dalam hal ini. Dengan demikian, tauhid tidak bisa direalisasikan dengan benar kecuali dengan penafian dan penetapan. Menafikan hak peribadahan dari selain Dzat yang ditetapkan sebagai sesembahan (yaitu Allah), dan menetapkan hak peribadahan hanya kepada Dzat yang berhak diibadahi (yaitu Allah). Inilah dua rukun kalimat tauhid serta landasannya.

Adapun syarat-syaratnya yaitu kalimat tauhid adalah harus disertai keyakinan, dan tidak ada keraguan di dalamnya. Juga mengilmui makna (kalimat laa ilaaha illallah), dan tidak jahil akan maknanya. Dan juga syarat-syarat lain yang harus selalu terdapat dalam mewujudkan tauhid. Di antaranya adalah mengamalkan amalan-amalan yang jadi konsekuensi dari kalimat laa ilaaha illallah, sesuai yang dituntunkan syariat. Adapun sekedar ucapan lisan belaka tanpa ada keyakinan di dalamnya, maka hal tersebut tidak bermanfaat. Kita bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah ﷻ dan Muhammad ﷻ adalah utusanNya.

Sumber: Fatawa Nurun ‘alad Darbi juz 4 halaman 2

https://al-maktaba.org/book/2300/43

Penerjemah: Dimas Setiaji

Artikel: Muslim.or.id

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/66426-makna-rukun-dan-syarat-kalimat-tauhid.html

PBNU: Muliakan Kalimat Tauhid dengan Cara-Cara Mulia

Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Helmy Faishal Zaini menyatakan kalimat tauhid harus dimuliakan dengan cara-cara yang mulia. Ia mengingatkan umat Islam untuk tidak sembarang menuliskannya.

“Saya hanya khawatir, kalau kalimat tauhid kita tulis di sembarang tempat, seperti di bendera kemudian terinjak-injak atau di kaos yang kemudian kita pakai juga saat masuk WC, bukankah ini sangat jauh dari niat kita untuk memuliakan kalimat tauhid,” ucapnya retoris.

Helmy menyerukan umat Islam untuk memuliakan kalimat tauhid dengan cara-cara yang mulia. Ada banyak cara yang bisa digunakan untuk melakukannya, antara lain dengan taqorrub kepada Allah SWT melalui zikir, tahlil, dan sebagainya.

“Dengan zikrullah akan terpancar kebijaksanaan untuk kemudian mau berbagi dan membantu antarsesama,” ujarnya dalam keterangan tulis yang diterima Republika.co.id, Sabtu (10/11).

Dalam pandangan Helmy, kalimat tauhid tepat digunakan untuk mempersatukan, bukan untuk mencerai-beraikan persatuan. Pernahaman seperti inilah yang penting untuk dimiliki bersama.

“Pengalaman di banyak negara Timur Tengah, seperti di Irak dan Suriah, mereka banyak yang berperang, hancur luluh lantah justru oleh politisasi kalimat tauhid melalui bendera, seperti ISIS dan Hizbut Tahrir,” ujarnya.

Seperti merujuk ke kasus temuan bendera tauhid di kediaman Imam Besar Front Pembela Islam Habib Rizieq Shihab di Makkah, Arab Saudi, Helmy mengatakan Pemerintah Kerajaan Saudi Arabia melarang bendera tauhid berwarna hitam, meski tanpa tulisan Hizbut Tahrir. “Masalah ini sudah masuk ke dalam wilayah politik, di mana ada sekelompok yang memperalat bendera kalimat tauhid dalam menjalankan gerakannya”, kata Helmy.

Helmy juga mengingatkan agar rajutan persaudaraan harus terjaga dalam keberagaman. Ia tak ingin persaudaraan antaranak bangsa koyak oleh framing pihak-pihak yang mencoba memancing di air keruh.

Soal pembakaran bendera di Garut, Helmy menyatakan kasusnya telah diserahkan ke ranah hukum. PP GP Ansor pun telah memberikan sanksi kepada oknum yang membakar, karena melampaui prosedur yang seharusnya cukup bendera tersebut diserahkan kepada aparat keamanan.

Keluarga besar NU, menurutnya, juga menyayangkan peristiwa tersebut. “Marilah kita menatap Indonesia yang lebih baik ke depan,” ucapnya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Membela Kalimat Tauhid dengan Mempelajari, Mengamalkan dan Mendakwahkannya

Kita sangat senang ketika kaum muslimin memunculkan ghirah dan semangat membela agama ketika agama mereka dilecehkan atau ketika kalimat tauhid dilecehkan dengan cara dihinakan. Ini adalah kabar gembira bagi kita semua atas semangat kaum muslimin, akan tetapi kita masih punya tugas dan PR bersama yang harus tetap terus kita perjuangkan untuk membela kalimat tauhid, yaitu mempelajarinya dengan sungguh-sungguh di majelis ilmu, berusaha mengamalkannya dan mendakwahkannya kepada manusia.

Membela dengan Belajar Terlebih Dahulu

Agama Islam dibangun di atas ilmu, agar bisa membela kalimat tauhid, kita perlu belajar dahulu dan kembali ke majelis ilmu di rumah-rumah Allah.

Kalimat tauhid ternyata harus dipelajari secara lengkap dengan pemahaman yang baik sesuai dengan pemahaman para salafus shalih. Kita perlu mempelajari dari kalimat tauhid ini (kami sebutkan sedikit poin-poinnya penting yang perlu dipelajari):
1. Makna kalimat tauhid
2. Rukun kalimat tauhid
3. Konsekuesi kalimat tauhid
4. Syarat-syarat kalimat tauhid
5. Pembatal kalimat tauhid
6. Penambah dan pengurang kesempurnaan tauhid

Dan masih banyak yang harus kita pelajari lagi terkait dengan kalimat tauhid. Allah memerintahkan kita dalam Al-Quran untuk mengilmui (mempelajari) kalimat tauhid.

Allah berfirman,

ﻓَﺎﻋْﻠَﻢْ ﺃَﻧَّﻪُ ﻟَﺎ ﺇِﻟَٰﻪَ ﺇِﻟَّﺎ ﺍﻟﻠَّﻪُ

“Maka ketahuilah (ilmuilah) bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali hanya Allah…” [Muhammad: 19]

Allah juga berfirman,

ﺇِﻟَّﺎ ﻣَﻦْ ﺷَﻬِﺪَ ﺑِﺎﻟْﺤَﻖِّ ﻭَﻫُﻢْ ﻳَﻌْﻠَﻤُﻮﻥَ

“Melainkan mereka yang mengakui kebenaran, sedang mereka orang-orang yang mengetahui (mengilmui).” [Az-Zukhruf: 86]

Setelah kita mempelajari dengan benar, kita berusaha mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari dan mendakwahkan kalimat tauhid. Hal ini sebagaimana yang tertulis dalam kitab terkenal yang menjelaskan tentang tauhid dasar yaitu kitab Tsalatsatul Ushul:

ﺍﻋﻠﻢ ﺭﺣﻤﻚ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﻧﻪ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻴﻨﺎ ﺗﻌﻠﻢ ﺃﺭﺑﻊ ﻣﺴﺎﺋﻞ :
ﺍﻷﻭﻟﻰ : ﺍﻟﻌﻠﻢ .
ﻭﻫﻮ ﻣﻌﺮﻓﺔ ﺍﻟﻠﻪ، ﻭﻣﻌﺮﻓﺔ ﻧﺒﻴﻪ، ﻭﻣﻌﺮﻓﺔ ﺩﻳﻦ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﺑﺎﻷﺩﻟﺔ .
ﺍﻟﺜﺎﻧﻴﺔ : ﺍﻟﻌﻤﻞ ﺑﻪ .
ﺍﻟﺜﺎﻟﺜﺔ : ﺍﻟﺪﻋﻮﺓ ﺇﻟﻴﻪ .
ﺍﻟﺮﺍﺑﻌﺔ : ﺍﻟﺼﺒﺮ ﻋﻠﻰ ﺍﻷﺫﻯ ﻓﻴﻪ

“Ketauhilah (semoga Allah merahmatimu) bahwa wajib bagi kita mempelajari 4 hal:
1) Ilmu
Yaitu ilmu mengenal Allah, mengenal Nabi-Nya dan mengenal agama dengan dalil-dalil
2) Mengamalkannya
3) Mendakwahkannya
4) Bersabar terhadap gangguan (ujian) ketika mengilmui, mengamalkan dan mendakwahkannya.” [Matan Tsalatsatul Ushul)

Sekedar tahu secara ringkas (superficialnya) saja tentu tidaklah cukup. Diibaratkan kalimat tauhid adalah kunci surga, maka tidak cukup kunci saja, tapi perlu diperhatikan gigi-gigi pada kunci tersebut. Inilah
syarat-syarat kalimat tauhid yang harus dipenuhi dan diamalkan. Perhatikan kisah berikut:

ﺳُﺌِﻞَ ﻭَﻫَﺐُ ﺑْﻦُ ﻣُﻨَﺒِّﻪِ ﺭَﺣِﻤَﻪُ ﺍﻟﻠﻪُ – ﻭَﻫُﻮَ ﻣِﻦْ ﺃﺟﻠﺔ ﺍﻟﺘﺎﺑﻌﻴﻦ – ﻗِﻴْﻞَ ﻟَﻪُ ﺃَﻟَﻴْﺲَ ﻟَﺎ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻟَّﺎ ﺍﻟﻠﻪُ ﻣِﻔْﺘَﺎﺡُ ﺍﻟﺠَﻨَّﺔِ ؟ ﻗَﺎﻝَ : ” ﺑَﻠَﻰ ؛ ﻭَﻟَﻜِﻦْ ﻣَﺎ ﻣِﻦْ ﻣِﻔْﺘَﺎﺡٍ ﺇِﻟَّﺎ ﻭَﻟَﻬُﺄَﺳْﻨَﺎﻥُ ، ﻓَﺈِﻥْ ﺟِﺌْﺖَ ﺑِﻤِﻔْﺘَﺎﺡٍ ﻟَﻪُ ﺃَﺳْﻨَﺎﻥُ ﻓُﺘِﺢَ ﻟَﻚَ ﻭَﺇِﻟَّﺎ ﻟَﻢْ ﻳُﻔْﺘَﺢْ”

Salah seorang tokoh tabiin yang bernama Wahab bin Munabbih rahimahullah pernah ditanya, “Bukankah kalimat laa ilaaha illallah adalah kunci surga?” Beliau menjawab, “Iya, betul. Tapi biasanya kunci itu memiliki geligi (bagian ujung yang tidak rata). Apabila engkau membawa kunci bergigi (yang tepat), terbukalah ia, jika tidak ia tak akan terbuka.” [HR. Bukhari secara mu’allaq]

Semoga kita semua dan kaum muslimin bisa selalu membela kalimat tauhid sampai akhir hayat kita dengan mempelajari, mengamalkan, dan mendakwahkan serta bersabar.

Demikian semoga bermanfaat

 

Penyusun: Raehanul Bahraen

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/43344-membela-kalimat-tauhid-dengan-mempelajari-mengamalkan-dan-mendakwahkannya.html

Kesalahan Memahami Makna Laa Ilaaha Ilallah

Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah berkata, “Tidak ada kebaikan bagi seseorang, yang mana orang kafir jahiliyyah lebih berilmu daripada dirinya tentang makna Laa ilaaha illallah“ (Kasyfu Syubuhaaat). Sungguh kaum muslimin telah menghafal dan sering membaca kalimat Laa ilaaha illallah dengan lisan-lisan mereka. Namun demikian tidak sedikit yang belum mengetahui maknanya secara benar, padahal kaum musyrikin jahiliiyyah memahami makna kalimat ini.

Kalimat tauhid adalah kalimat yang sangat agung, kalimat yang juga membedakan antara muslim dan kafir. Seorang muslim harus memahami makna kalimat ini dengan benar. Kesalahan dalam memahami kalimat ini bisa menjadi pintu pembuka terjerumus ke dalam berbagai perbuatan syirik yang membatalkan tauhid. Semoga tulisan ringkas ini bisa memberikan pemahaman bagi kita tentang makna kalimat tauhid yang benar.

Makna Laa Ilaaha Illallah yang Benar

Makna Laa ilaaha illallah [ لآإِلَهَ إِلاَّ الله ] yang benar adalah [ لآ معبود حق إِلاَّ اللهُ ] ) ( Laa ma’buuda bi haqqin illallah ), artinya tidak ada sesembahan yang benar dan berhak untuk disembah kecuali hanya Allah saja. Semua sesembahan yang disembah oleh manusia berupa malaikat, jin, matahari, bulan, bintang, kuburan, berhala, dan sesembahan lainnya dalah sesembahan yang batil, tidak bisa memberikan manfaat dan tidak pula bisa menolak bahaya.

Pada kalimat [ لآإِلَهَ إِلاَّ الله ] terdapat empat kata yaitu:

  1. Kata Laa لآُ) berarti menafikan, yakni meniadakan semua jenis sesembahan.

  2. Kata ilaah ( إِلَهَ) berarti sesuatu yang disembah.

  3. Kata illa (إِلاَّ ) berarti pengecualian.

  4. Kata Allah (الله ) maksudnya bahwa Allah adalah ilaah/sesembahan yang benar.

Dengan demikian makna [لآإِلَهَ إِلاَّ الله ] adalah menafikan segala sesembahan selain Allah dan hanya menetapkan Allah saja sebagai sesembahan yang benar.1

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala :

ذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَايَدْعُونَ مِن دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ

“(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Al Hajj: 62).

Allah juga berfirman :

وَلاَ تَدْعُ مِن دُونِ اللّهِ مَا لاَ يَنفَعُكَ وَلاَ يَضُرُّكَ فَإِن فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذاً مِّنَ الظَّالِمِينَ

Dan janganlah kamu menyembah sesuatu yang tidak bisa memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah. sebab jika kamu berbuat (yang demikian), itu, maka sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang zalim“. (Yunus : 106)

Dalam kalimat syahadat لآإِلَهَ إِلاَّ اللهُ terdapat dua rukun, yaitu nafi (peniadaan) dan itsbat(penetapan).

  1. Rukun pertama terdapat pada kalimat لآإِلَهَ. Maksudnya adalah membatalkan seluruh sesembahan selain Allah dalam segala jenisnya dan wajib kufur terhadapnya.

  2. Rukun kedua terdapat pada kalimat إِلاَّ اللهُ . Maksudnya menetapkan bahwa hanya Allah saja satu-satunya yang berhak untuk disembah, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam peribadatan.

Dalilnya adalah firman Allah:

فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىَ

Barangsiapa yang kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.“ (Al Baqarah: 256)

Pada penggalan ayat (فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ) merupakan rukun yang pertama yaitu لآإِلَهَ , sedangkan pada kalimat (وَيُؤْمِن بِاللّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىَ) merupakan rukun yang kedua yaitu إِلاَّ اللهُ.

Allah Ta’ala juga berfirman :

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ

“ Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut ” (An Nahl : 36). 2

Kesalahan Memaknai Kalimat لآإِلَهَ إِلاَّ اللهُ ]

Masih banyak yang keliru dalam memahami makna kalimat tauhid. Terdapat beberapa makna yang batil dan tertolak dalam memaknai لآإِلَهَ إِلاَّ اللهُ , di antaranya adalah:

(1). Memaknai dengan لآمعبود إِلاَّ اللهُ (tidak ada sesembahan kecuali Allah).

Pemaknaan seperti ini salah, karena konsekuensi dari makna ini berarti setiap sesembahan baik yang disembah dengan cara yang benar maupun cara yang batil adalah Allah. Hal ini juga bertentangan dengan realita yang ada, karena dapat kita saksikan bahwa sesembahan selain Allah sangat banyak ragamnya. Ada manusia yang menyembah jin, malaikat, matahari, bintang, batu, berhala, pohon, dan lain sebagainya. Konsekuensi dari pemaknaan seperti ini berarti segala sesembahan yang ada tersebut adalah Allah?! Ini jelas suatu pemaknaan yang batil.

(2). Memaknai dengaلآخالق إِلاَّ اللهُ (tidak ada pencipta selain Allah).

Pemaknaan seperti ini juga salah. Pemaknaan seperti ini hanya merupakan sebagian saja dari makna kalimat لآإِلَهَ إِلاَّ اللهُNamun bukan ini yang dimaksud, karena makna ini hanya menetapkan tauhid rububiyyah saja. Hanya sekedar pengakuan rububiyyah saja tidak cukup, bahkan ini juga merupakan keyakinan musyrikin jahiliyyah. Allah Ta’ala berfirman :

وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ

“ Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)? “(Az Zukhruf : 87)

Keyakinan kaum musyrikin tentang rububiyyah Allah tidak memasukkan mereka sebagaimuslim dan tetap diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi sekadar memaknai rububiyyah Allah saja tidaklah cukup dan ini merupakan kesalahan.

(3). Memaknai dengan لآحاكميةَ إِلاَّ اللهُ (tidak ada yang menetapkan hukum selain Allah).

Pemaknaan seperti ini juga salah, karena hanya merupakan sebagian saja dari makna لآإِلَهَ إِلاَّ اللهُPengakuan seperti ini saja tidak cukup dan bukan ini maksud لآإِلَهَ إِلاَّ اللهُSeandainya mengesakan Allah dalam hakimiyyah (penetapan hukum) namun masih menyembah selain Allah maka belum dikatakan bertauhid. 3

Dampak Kesalahan Memaknai لآإِلَهَ إِلاَّ اللهُ

Seseorang harus memahami makna kalimat لآإِلَهَ إِلاَّ اللهُ dengan benar. Kesalahan dalam memahami makna kalimat ini dapat mengantarkan seseorang terjerumus dalam beragam perbuatan syirik. Syaikh Shalih Alu Syaikh hafidzahullah menjelaskan, “ Apa yang mereka katakan tentang makna kalimat Laa ilaaha ilallah dengan makna rububiyyah saja akan menyebabkan terbukanya pintu-pintu kesyirikan di tengah kaum muslimin. Kaum muslimin akan menyangka bahwa bahwa tauhid hanyalah sekadar mentauhidkan Allah dalam perkara rububiyyah saja. Jika seseorang sudah meyakini bahwa pengatur segala sesuatu adalah Allah saja maka sudah dianggap bertauhid. Demikian pula jika ada yang meyakini bahwa Zat yang tidak membutuhkan sesuatu dan segala sesutau membutuhkan kepad Zat tersebut adalah Allah, maka sudah dianggap bertauhid. Keyakinan seperti ini jelas merupakan kebatilan. Kalau hanya sekadar rububiyyah, kaum musyrikin dahulu juga memahami dan meyakini rububiyyah, sebagaimana Allah terangkan dalam Al Qur’an :

وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ

“ Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” Tentu mereka akan menjawab: “Allah”, maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar) ” (Al Ankabut : 61)

وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ خَلَقَهُنَّ الْعَزِيزُ الْعَلِيمُ

Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka akan menjawab: “Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui “. (Az Zukhruf : 9).

قُلْ مَن يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ أَمَّن يَمْلِكُ السَّمْعَ والأَبْصَارَ وَمَن يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيَّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَن يُدَبِّرُ الأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللّهُ فَقُلْ أَفَلاَ تَتَّقُونَ

Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka katakanlah “Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?” ( Yunus : 31).4

Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa kaum musyrikin dahulu tidak mengingkari makna rububiyyah.

Kita bisa amati masih banyak praktek kesyirikan yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin seperti berdoa, menyembelih, dan memberika sesaji kepada selain Allah. Mereka beranggapan sudah bertauhid kepada Allah dengan cukup meyakini rububiyyah Allah, meskipun mereka menujukan sebagian ibadah mereka kepada selain Allah. Ini terjadi karena mereka tidak memahami makna tauhid dengan benar.

Demikianlah penjelasan yang ringkas tentang makna لآإِلَهَ إِلاَّ اللهُ yang benar dan beberapa kesalahan dalam memaknainya. Semoga menambah ilmu dan iman kita. Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad.

***

Penulis: dr. Adika Mianoki

Artikel Muslim.or.id

____

1 Lihat pembahasan selengkapnya dalam At-Tamhiid li Syarhi Kitabi At Tauhiid 72-78

2 Lihat At Tauhid Al Muyassar hal 14

3 Lihat At-Tauhid Al-Muyassar 13-15 dan Aqidatu At-Tauhid 39-42

4 Lihat At-Tamhiid li Syarhi Kitabi At Tauhiid 86-87

Membelah Dada yang Berisi “Laa Ilaha Illallah”

Para sahabat sangat rindu dan butuh akan nasihat Nabi Muhammad SAW. Contohnya adalah sebagaimana yang dikisahkan oleh Usamah bin Zaid.

Dia berkata, “Rasulullah SAW mengutus kami dalam sebuah pasukan perang untuk menyerang orang-orang kafir Huraqah, bagian dari suku Juhainah. Kami menyerang mereka pada waktu pagi, dan kami mengalahkan mereka. Aku dan seorang shahabat Anshar mengejar seorang anggota Bani Huraqah yang melarikan diri. Ketika kami mengepungnya, tiba-tiba ia mengucapkan ‘La Ilaha Illallah’ (Tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah). Sahabat Anshar itu pun menahan dirinya. Adapun aku menusuk orang tersebut dengan tombakku sampai aku menewaskannya.”

Usamah bin Zaid m melanjutkan ceritanya, “Ketika kami tiba di Madinah, berita tersebut sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Maka beliau bertanya kepadaku, ‘Wahai Usamah, apakah Engkau tetap membunuhnya setelah ia mengucapkan ‘La Ilaha Illallah’?’

Aku (Usamah) menjawab, “Wahai Rasulullah, ia mengucapkannya sekadar untuk melindungi dirinya.”

Namun beliau tetap bertanya, “Apakah Engkau tetap mcmbunuhnya setelah ia mengucapkan ‘La Ilaha Illallah’?’

Saya ( Usamah) berkata, “Beliau SAW masih terus mengulang-ulang pertanyaan itu, sehingga aku berangan-angan, andai saja aku belum masuk Islam sebelum hari itu.

Dalam riwayat Muslim, Rasulullah SAW. bertanya kepada Usamah bin Zaid, “Apakah ia sudah mengucapkan ‘La Ilaha Illallah’, namun engkau tetap saja membunuhnya?”

Maka Usamah bin Zaid menjawab, “Wahai Rasulullah, dia mengucapkannya karena takut kepada senjata kami.”

Namun Rasulullah SAW bersabda, “Kenapa Engkau tidak membelah dadanya, sehingga engkau mengetahui apakah hatinya mengucapkan ‘La ilaha illallah’ karena ikhlas ataukah karena alasan lainnya?”

Usamah berkata, “Beliau terus-menerus mengulang pertanyaan itu kepadaku, sehingga, aku berharap andai saja aku baru masuk Islam pada hari itu.” Dikarenakan Islam akan menghapus dosa yang telah lalu.

Wallahua’lam.

BERSAMA DAKWAH