Ibadiyah: Khawarij Moderat yang Eksis

Ibadiyah adalah sempalan khawarij modern, sempalan minoritas dalam Islam yang sampai sekarang masih eksis. Bagaimana sejarahnya?

SEKTE Ibadiyah adalah sempalan dari Khawarij yang muncul di masa Khalifah Utsman bin Affan RA. Pendirinya bernama Jabir bin Zaid, murid Abdullah bin Abbas RA dan ‘Aisyah RA, istri Nabi Muhammad ﷺ.

Namanya mengacu kepada Abdullah bin Ibad, penerus Jabir. Pada masa itu, Jabir termasuk orang yang menolak Utsman karena dianggap telah melakukan kesalahan besar.

Namun penolakannya berbeda dengan kelompok Khawarij lainnya yang sampai taraf menghalalkan darah Utsman. Jabir tidak setuju dengan sikap seperti itu.

Secara umum, Khawarij menyebut dirinya sebagai ahl al-istiqama (orang-orang yang tetap berada di jalan lurus). Penamaan ini muncul akibat ketidaksetujuan terhadap perjanjian damai antara Khalifah Ali bin Abi Thalib RA dan Muawiyyah.

Mereka menyingkir dari konflik keduanya, sehingga mengklaim sebagai satu-satunya kelompok yang lurus. Sementara pihak Ali dan Muawiyyah dinilai sesat.

Meski menolak kedua Sahabat itu, sekte Ibadiyah masih memandang keduanya sebagai Muslim. Ini berbeda dengan Khawarij lainnya seperti al-Muhakkimat yang memvonis keduanya kafir.

Pada masa Umayyah, Ibadi mendapat dukungan penuh karena dianggap sebagai kelompok Khawarij moderat. Pemikirannya dapat digunakan untuk meng-counter Khawarij garis keras. (Imam as-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal, hal 120).

Pada masa itu, penganut Ibadi leluasa mengamalkan praktik keagamaannya. Namun setelah Jabir meninggal, tidak ada tokoh Ibadi yang dianggap pro terhadap Dinasti Umayyah.

Penerus Jabir, Abdullah bin Ibad, malah memberontak kepada Khalifah Abdul Malik bin Marwan, khalifah kelima Dinasti Umayyah. Akibatnya, mereka diusir dan lari ke Oman, Hadramaut (Yaman), Zanzibar (Afrika), dan Khurasan.

Beberapa Pandangan

Dalam masalah teologi, aliran Ibadi banyak dipengaruhi Mu’tazilah. Mereka berpendapat bahwa Allah SWT tidak dapat dilihat di akhirat.

Ini berbeda dengan pemahaman mayoritas umat Islam (Sunni) bahwa Allah bisa dilihat di akhirat. Pengaruh Mu’tazilah yang lain dalam Ibadi yaitu keyakinan bahwa  seseorang akan kekal di neraka, meski dia Muslim. (Adil Salahi, Pioneer of Islamic Scholarship, hal 147).

Sedangkan Sunni berpendapat bahwa orang Muslim yang masuk neraka, dengan izin Allah SWT bisa dipindah ke surga.

Namun ada hal yang membedakan Ibadi dan Mu’tazilah, yaitu tentang kehendak Allah SWT. Mu’tazilah berpendapat bahwa kehendak manusia bersifat bebas, sedangkan Ibadi berpendapat Allah adalah Pencipta dan Pengatur semua tindakan manusia. Ini sama dengan pendapat Sunni.

Berkaitan dengan dosa besar, Ibadi berbeda dengan kelompok Khawarij pada umumnya. Khawarij memandang pelaku dosa besar menyebabkannya keluar dari Islam, sedangkan Ibadi membagi manusia ke dalam dua golongan yaitu kufur nikmat dan kufur syirik.

Kufur nikmat yaitu orang Muslim yang tidak mengikuti aliran Ibadi. Mereka dianggap mengingkari nikmat.

Dengan kata lain, orang Islam yang menyalahi ajaran Ibadi dihukumi kafir, tapi bukan kafir musyrik. Karena itu masih diperbolehkan mengawini wanita kelompoknya, boleh saling mewarisi, dan tidak boleh diperangi.

Sedangkan kufur syirik ditujukan kepada kaum non-Muslim yang tidak beriman dan berislam.

Ibadi juga tidak mewajibkan shalat Jumat. Kewajiban tersebut dinilai hanya berlaku di kota-kota besar yang terjamin nilai-nilai keadilan.

Selain itu, tidak adanya imam dari Ibadi yang memimpin shalat Jumat juga menjadi alasan. Imam dari kelompok lain yang menyampaikan khutbah Jumat dianggap sebagai Muslim kaki tangan penguasa tiran.

Dalam masalah sumber hukum, Ibadi memiliki perbedaan dengan Sunni. Sumber hukum Sunni ada empat, yaitu al-Qur’an, hadits, ijma’, dan qiyas. Sementara Ibadi hanya menggunakan tiga sumber pertama, sedangkan qiyas dianggap bid’ah.

Kitab hadits Ibadi banyak diambil dari periwayatan Jabir bin Zaid yang juga diakui oleh para perawi Sunni. Kitab haditsnya yang terkenal adalah Musnad ar-Rabi ibn Habib, sebagaimana yang disusun kembali oleh Abu Ya’qub Yusuf bin Ibrahim al-Warijlani.

Isi kitab tersebut sebagian besar sama dengan kitab hadits Sunni. Namun ada beberapa isinya yang tidak dikenal oleh ulama Sunni, kemungkinan besar karena penisbatan secara khusus kepada jalur Ibadi.

Metode menentukan keshahihan Hadits secara umum sama dengan metode ulama Sunni. Hanya saja mereka berpendapat bahwa beberapa hadits diubah setelah masa kekuasaan dua khalifah pertama.

Dalam istinbath hukum, kaum Ibadi agak longgar. Misalnya tidak menerapkan hukuman rajam, karena hukum tersebut tidak tercantum dalam al-Qur’an.

Ini berbeda dengan Sunni dan Syiah yang mengakui dan memberlakukan hukum rajam.

Perkembangan

Secara resmi, aliran ini digunakan oleh Pemerintah Oman. Sultan Qaboos bin Said al-Said yang menjadi penguasa Oman sejak tahun 1970 dan menjadi pemimpin pemerintahan terlama di Timur Tengah, adalah pengikut sekte Ibadiyah.

Penganut Ibadi di Oman mencapai 75%. Selebihnya ada di Zanzibar, Tanzania, pegunungan Nafusa di Libya, Mzab di Aljazair, dan Pulau Djerba di Tunisia.

Ibadiyah dewasa ini punya cukup banyak tokoh yang popular. Misalnya Ahmad bin Hamad al-Halili, Moufdi Zakaria, Sulaiman al-Barouni, dan Nouri Abusahmain.

Meski berasal dari Khawarij yang senang mengkafirkan kelompok lain, kaum Ibadi mementingkan ukhuwah Islamiyah daripada bermusuhan karena perbedaan mahzab atau aliran. Ini tidak lepas dari keyakinan mereka bahwa kebenaran sebuah hukum hanya Allah SWT yang menentukan.

Hasilnya, Oman diakui sebagai negara yang sangat kuat dalam memelihara hubungan harmonis antar mazhab. Oman juga dikenal toleran dalam hubungan Muslim dengan non-Muslim.

Meski Ibadiyah menjadi mazhab resmi Kesultanan Oman, ada banyak kelompok Islam dan agama yang hidup di negeri tersebut. Karena itu tidak mengherankan jika Global Peace Index menempatkan Oman sebagai salah satu negara yang damai, toleran, dan ramah dengan aneka ragam aliran dan agama.*/Bahrul Ulum, artikel pernah dimuat di Suara Hidayatullah

HIDAYATULLAH

Mengenal Pokok-Pokok Aqidah Kaum Khawarij (Bag. 1)

Kelompok khawarij dikenal dengan ciri khas mereka, yaitu: (1) berlebih-lebihan dalam memvonis kafir sesama kaum muslimin; (2) keluar memberontak dari penguasa kaum muslimin yang sah; dan (3) menghalalkan tumpahnya darah kaum muslimin yang menyelisihi aqidah mereka.

Bibit-bibit kaum khawarij sudah muncul sejak zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, mereka benar-benar muncul dan eksis ketika zaman khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu [1]Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengenal siapakah khawarij dan bagaimanakah aqidah mereka yang rusak, untuk kita jauhi sejauh-jauhnya.

Dalam tulisan ini, akan kami sebutkan pokok-pokok (ushul) ‘aqidah kaum khawarij dan kami mulai dengan menyebutkan julukan-julukan bagi kaum khawarij yang secara sekilas sudah menggambarkan bagaimanakah ushul ‘aqidah mereka.

Julukan bagi Kaum Khawarij

Kelompok khawarij disebut oleh para ulama dengan banyak sebutan, di antaranya adalah berikut ini.

Khawarij

Disebut khawarij karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mensifati mereka dengan,

يَخْرُجُونَ عَلَى حِينِ فُرْقَةٍ مِنَ النَّاسِ

“Mereka keluar (khuruj) (muncul) ketika terjadi perpecahan di tengah-tengah kaum muslimin.” (HR. Bukhari no. 3414, 5810, 6534 dan Muslim no. 1064)

Yaitu, ketika adanya perselisihan antara dua sahabat yang mulia, khalifah ‘Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu Ta’ala ‘anhuma, karena adanya provokator yang sengaja ingin menciptakan kerusuhan. Pada awalnya, kelompok khawarij memihak khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu.

Disebut khawarij karena mereka juga keluar (khuruj) dari pemimpin (pemerintah atau penguasa) kaum muslimin yang sah dan keluar dari jamaah kaum muslimin bersama penguasanya (yaitu khalifah ‘Albi bin Abi Thalib). Mereka keluar (memberontak) dengan pedang didorong oleh aqidah mereka yang rusak dan batil.

Ini adalah ciri yang umum bagi siapa saja yang mengikuti jejak mereka sampai hari kiamat.

Al-Muhakkimah

Disebut al-muhakkimah karena mereka keluar dari kepemimpinan khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu dan jamaah kaum muslimin di bawah kepemimpinan ‘Ali disebabkan karena masalah tahkim (usaha perdamaian). Ketika itu, mereka menuduh khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu menyerahkan urusan perdamaian kepada utusan (negoisator), bukan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mereka pun meneriakkan,

لاحكم الا لله

“Laa hukma illa lillaah (Tidak ada hukum kecuali milik Allah).”

Mereka pun memvonis kafir sahabat yang mulia, khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu, dua orang negoisator dari dua belah pihak (yaitu Abu Musa Al-‘Asyari radhiyallahu Ta’ala ‘anhu dari pihak ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu dan ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu Ta’ala ‘anhu dari pihak Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu Ta’ala ‘anhu) dan memvonis kafir siapa saja yang menyetujui keputusan ‘Ali bin Abi Thalib dan ridha dengannya.

Al-Muhakkimah adalah julukan bagi kelompok khawarij generasi awal.

Al-Haruriyyah

Disebut Haruriyyah, karena ketika mereka keluar memberontak khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu, mereka berkumpul di suatu tempat (daerah) bernama Haruraa’, yang berada di Irak. Al-Haruriyyah juga merupakan julukan bagi kelompok khawarij generasi awal.

Ahlu Nahrawan

Khawarij generasi awal juga disebut dengan “ahlu nahrawan”, merujuk pada suatu tempat (Nahrawan) dimana khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu akhirnya memerangi mereka (yaitu kaum khawarij al-muhakkimah) dalam suatu pertempuran yang sangat besar.

Asy-Syuraah

Khawarij disebut juga dengan asy-syuraah, karena mereka menganggap dan menyangka bahwa tindakan mereka membunuh kaum muslimin mereka tukar (شَرَى) dengan keridhaan Allah Ta’ala. Mereka menyangka bahwa pembunuhan kaum muslimin tersebut bisa membeli atau mendatangkan ridha Allah Ta’ala. Sehingga julukan ini pun menjadi julukan yang disenangi oleh kaum khawarij.

Mereka menyangka bahwa tindakan mereka itu termasuk dalam firman Allah Ta’ala,

إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka, dengan memberikan surga untuk mereka.” (QS. At-Taubah [9]: 111)

Padahal, Allah Ta’ala dan Rasul-Nya berlepas diri dari tindakan keji yang mereka lakukan.

Al-Maariqah

Ini adalah penamaan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mensifati khawarij dengan sebutan “al-maariqah”, yaitu orang yang keluar (memberontak). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ مُرُوقَ السَّهْمِ مِنَ الرَّمِيَّةِ

“Mereka keluar dari agama (Islam) sebagaimana keluarnya anak panah dari sasaran anak panah tersebut.“ (HR. Bukhari no. 3414, 4771, 5811, 6532 dan Muslim no. 1063)

Rasulullah gambarkan keluarnya mereka dari agama seperti anak panah yang mampu menembus tubuh hewan sasaran panah karena begitu kuatnya anak panah tersebut melesat.

Al-Mukaffirah

Disebut al-mukaffirah karena mereka hobi mengkafirkan (mukaffir) sesama kaum muslimin yang terjatuh dalam dosa besar (yang bukan termasuk dosa kekafiran kufur akbar). Mereka juga memvonis kafir kaum muslimin yang menyelisihi keyakinan dan manhaj mereka.

As-Sabaiyyah

Disebut as-sabaiyyah karena awal kemunculan mereka berasal dari fitnah (kerusakan) yang ditimbulkan oleh ide ‘Abdullah bin Saba’ Al-Yahudi. ‘Abdullah bin Saba’ memimpin orang-orang Kufah menuju Madinah dalam rangka membunuh khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu Ta’ala ‘anhu. Akhirnya, khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu Ta’ala ‘anhu pun meninggal dunia di tangan kaum khawarij.

As-Sabaiyyah adalah nama (julukan) bagi generasi khawarij awal dan tokoh-tokoh pembesar mereka di kala itu.

An-Naashibah

Karena mereka memasang (naashaba) khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu dan keluarganya sebagai musuh yang harus diperangi, mereka terang-terangan membenci khalifah ‘Ali bin Abi Thalib. Ucapan (perkataan) khawarij tentang “vonis kafir bagi pelaku dosa besar” adalah ucapan mereka pertama kali yang memecah belah kaum muslimin. Ini adalah di antara pokok (ushul) ‘aqidah kaum khawarij.

Semua ini kembali lagi ke syiar ‘aqidah kaum khawarij, yang dengannya mereka keluar memberontak dari jamaah kaum muslimin di bawah penguasa yang sah (khalifah’Ali bin Abi Thalib), dengan meneriakkan,

لاحكم الا لله

“Laa hukma illa lillaah (Tidak ada hukum kecuali milik Allah).”

Dengan teriakan dan semboyan itu, kaum muslimin menurut pandangan mereka adalah sama dengan orang-orang kafir.

Oleh karena itu, kaum khawarij pun mengangkat pemimpin (khalifah) bagi kelompok mereka sendiri. Karena mereka menganggap bahwa kelompok merekalah yang masih beriman, sedangkan selain mereka (khalifah ‘Ali dan kaum muslimin yang bersamanya) adalah orang-orang kafir.

Orang yang mereka angkat dan mereka baiat sebagai khalifah adalah ‘Abdullah bin Wahb Ar-Rasibi pada hari ke sepuluh bulan Syawwal tahun 37 hijriyah.

‘Abdullah bin Wahb Ar-Rasibi adalah tokoh pembesar kaum khawarij, dia sesat dan menyesatkan.  ‘Abdullah bin Wahb Ar-Rasibi berasal dari kabilah (suku) Bani Rasib, sebuah suku yang terkenal. ‘Abdullah bin Wahb Ar-Rasibi memimpin pasukan khawarij ketika berperang melawan khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu di perang Nahrawan. Dia pun berhasil dibunuh dalam peperangan tersebut oleh pasukan khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu.

[Bersambung]

***

Diselesaikan di pagi hari berkabut, Rotterdam NL, 26 Sya’ban 1439/ 13 Mei 2018

Penulis: M. Saifudin Hakim

Catatan kaki:

[1]Sejarah kemunculan kaum khawarij secara lebih detil akan kami sampaikan dalam tulisan tersendiri.

[2]Disarikan dari kitab Diraasaatun fil Bid’ati wal Mubtadi’in, karya Syaikh Dr. Muhammad bin Sa’id Raslan, penerbit Daarul Minhaj, cetakan pertama tahun 1436, hal. 147-149.

Sumber: https://muslim.or.id/39878-mengenal-pokok-pokok-aqidah-kaum-khawarij-bag-1.html

Hati-Hati, Ini Tiga Karakter Berpikir Kelompok Khawarij

Pasca perdamaian antara kubu Imam Ali  dan Sayyidina Muawiyah muncul kelompok yang menolak dari keputusan Imam Ali untuk menerima tahkim (arbitrase) dari pihak Sayyidina Muawiyah bin Abi Sufyan. Pada awalnya kelompok ini berpihak pada Imam Ali, namun karena keputusan Imam Ali untuk menerima perdamaian melalui proses arbitrase dengan pihak Sayyidina Muawiyah, keputusan itu dipandang sebagai langkah mundur dari menegakkan agama dan keraguan dalam iman serta mengambil hukum bukan dari hukum yang telah ditetapkan Allah Ta’ala.

Kelompok itu kemudian dikenal dengan sebutan khawarij – yang bermakna orang-orang yang keluar dari kelompok Imam Ali. Khawarij beranggapan bahwa siapa saja yang mengikuti dan menerima proses tahkim , maka telah keluar dari ajaran dan syariat Islam dan halal darahnya untuk dibunuh. Terbunuhnya Imam Ali oleh tokoh khawarij yang bernama Abdurrahman bin Muljam, ialah salah satu bentuk kebengisan dan kekejaman kelompok ini.

Khawarij inilah yang menjadi biang kerok perpecahan umat Islam di era awal kejayaan Islam. Pemikirannya yang ekstrim dengan mengkafirkan dan menghalalkan darah orang yang diluar golongannya adalah awal dari perpecahan umat Islam.

Walaupun sebagai golongan, kaum khawarij telah lama punah berkat kekhalifahan Dinasti Umayyah dengan menghentikkan gerakan ekstrim ini, namun karakteristik pemikiran khawarijisme masih ada sampai saat ini. Karakarteristik pemikiran khawarij masih dapat kita jumpai disekitar lingkungan kita. Berikut ini karakteristik kaum khawarij:

Pertama, cara berpikir yang formalistis. Maknanya ialah mereka sangat ketat berpegang pada peraturan dan tata cara yang berlaku dalam agama atau ajaran yang mereka anut. Pemahaman ini dapat dilihat dari pendapat mereka mengenai pelaku dosa besar, bahwasanya pelaku dosa besar – seperti orang yang berzina, meninggalkan sholat, lari dari peperangan, dan lain sebagainya, telah kafir atau keluar dari agama Islam dan halal darah dan hartanya, serta harus diusir dari kekuasaan wilayah umat Islam.

Khawarij juga berpendapat siapa saja yang mengikuti perang Jamal (perang antara kubu Imam Ali dan kubu Ummul Mu’minin Sayyidah Aisyah, Sayyidina Thalhah dan Zubair) dan menerima dan mengikuti keputusan hasil tahkim antara Imam Ali dan Muawiyah, mereka semua itu telah kafir dikarenakan mereka tidak berhukum atau berpegang teguh dengan syariat Islam.

Kedua, pemahaman tekstualitas terhadap ayat-ayat suci. Khawarij sangat patuh dengan ayat-ayat formal dari Al Qur’an, sehingga mereka tidak mau dan mampu menemukan makna yang tersirat dari tiap ayat yang terkandung di dalamnya. Jargon mereka ketika menfatwakan bahwasanya Imam Ali As. telah kafir yakni tidak ada hukum selain hukum Allah yang mereka ambil dari makna yang terdapat dalam surah Al Maidah ayat 44

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.

Mereka tidak melihat sebab-sebab turunnya ayat dan makna yang tersirat dari ayat tersebut, padahal Mufasir di era Sahabat Nabi Saw. yakni Sayyidina Abdullah bin Abbas menafsirkan bahwa kafir disitu bukanlah kafir akidah, melainkan kekufuran dibawah kekufuran.

Ketiga, sempurna dalam ibadah, kurang dalam ukhuwah. Khawarij sangat bersemangat jika diserukan untuk melakukan ibadah ritual keagamaan – seperti sholat, puasa, membaca Al Qur’an, dan lain-lain. Namun, kurang bersemangat jika diajak untuk kegiatan sosial kemasyarakatan. Kekakuan dalam bersosialisasi di tengah masyarakat itu disebabkan karena mereka sulit menerima dan menghormati pemikiran kelompok lain.

Karakteristik kaum Khawarij yang telah dijelaskan di atas sebaiknya dijauhkan dari pemikiran dan perilaku diri dan keluarga kita. Sehingga, kita ikut andil dalam mengurangi sebab-sebab perpecahan umat Islam saat ini.

Wallaahu a’lam.

ISLAM.co

Penjelasan Tentang Khawarij

Assalamu Alaikum

Bukankah munculnya Khawarij ada setelah rasul wafat, namun mengapa banyak hadits yang mencela kaum khawarij. Apakah rasul mengetahui keadaan khawarij ini padahal kaum khawarij belum ada pada saat nabi masih hidup.

Wasalam

Waalaikumussalam Wr Wb

Saudara E Bayang yang dimuliakan Allah swt

Khawarij adalah kelompok yang muncul pada waktu Perang Shiffin ketika Ali dan Muawiyah menyetujui penunjukan dua orang hakim penengah guna menyelesaikan pertikaian diantara keduanya. Sebenarnya sampai saat itu mereka adalah para pendukung Ali namun kemudian secara tiba-tiba mereka berbalik ketika berlangsungnya tahkim, dan berkata kepada kedua kelompok tersebut,”Kalian semuanya telah menjadi kafir dengan memperhakimkan manusia sebagai ganti memperhakimkan Allah diantara kalian.”

Beberapa waktu kemudian mereka makin menjadi orang-orang yang sangat ekstrim dalam pendapat-pendapat mereka dan sangat jauh melewati batas. Dan karena watak mereka itu lebih cenderung kepada kekerasan, maka mereka menyerukan memerangi setiap orang yang berlawanan dengan mereka dan melakukan pemberontakan bersenjata terhadap pemerintahan yang zhalim (tidak sah). Oleh sebab itu, untuk waktu yang lama sekali mereka telah membangkitkan keonaran dimana-mana dan lebih cenderung membunuh dan menumpahkan darah sampai saat mereka dapat dimusnahkan di zaman kekuasaan Bani Abbas.

Adapun intisari pendapat-pendapat mereka adalah :

1. Mereka mengakui keabsahan kekhilafahan Abu Bakar dan Umar. Adapun Utsman menurut pendapat mereka telah menyimpang pada akhir masa kekhilafahannya dari keadilan dan kebenaran karena itu ia selayaknya dibunuh atau dimakzulkan. Dan bahwasanya Ali juga telah melakukan dosa besar dengan mentahkimkan selain Allah. Sesungguhnya kedua hakim penengah, yaitu Amr bin ‘Ash dan Abu Musa al Asy’ari dan orang-orang yang menyetujui pentahkiman maka mereka semua adalah orang-orang berdosa dan semua orang yang ikut dalam Perang Onta termasuk Thalhah, Zubeir dan Aisyah Ummul Mukminin telah melakukan dosa yang amat besar.

2. Dosa dalam pandangan mereka, sama dengan kekufuran. Mereka mengkafirkan setiap pelaku dosa besar apabila ia tidak bertaubat. Atas dasar inilah mereka secara terang-terangan mengkafirkan semua sahabat Nabi saw yang disebutkan tadi bahkan mereka tidak segan-segan mengumpat dan melaknat mereka. Selain dari itu, mereka mengkafirkan kaum muslimin secara keseluruhan karena : pertama, mereka tidak suci dari dosa-dosa dan kedua, karena mereka tidak hanya menganggap para sahabat Nabi saw itu sebagai orang-orang mukmin saja bahkan telah menjadikan mereka sebagai imam-imam mereka serta menetapkan hukum-hukum syariat dengan hadits-hadits yang diriwayatkan dari orang-orang itu.

3. Khalifah tidak sah kecuali dengan adanya pemilihan bebas antara kaum muslimin dan tidak dengan cara apa pun selain itu.

4. Mereka sama sekali tidak menyetujui pendapat yang menyatakan bahwa seorang khalifah haruslah dari suku Quraisy. Mereka mengatakan bahwa setiap orang laki-laki yang shaleh dipilih oleh kaum muslimin dapat menjadi seorang khalifah yang sah bagi mereka terlepas dari kenyataan apakah dia seorang dari suku Quraisy apa bukan.

5. Ketaatan kepada khalifah adalah sesuatu yang wajib hukumnya selama ia masih berada di jalan keadilan dan kebaikan. Apabila ia menyimpang maka wajib memerangi, memakzulkan atau membunuhnya.

6. Mereka menerima Al Qur’an sebagai salah satu sumber diantara sumber-sumber hukum islam. Adapun tentang hadits dan ijma’ maka mereka memiliki cara yang berbeda dari cara kaum muslimin lainnya. Diantara mereka ada satu kelompok besar bernama an Najadat yang berpendapat bahwa tegaknya khilafah (yakni negara) adalah sesuatu yang tidak merupakan kewajiban secara mutlak. Kaum muslimin, secara kolektif, seyogyanya dapat bekerja demi kebenaran tapi boleh juga mereka itu memilih seorang khalifah apabila dianggap perlu.

Adapun kaum Azariqoh, yakni kelompok terbesar kaum khawarij, mereka beranggapan bahwa seluruh kaum muslimin selain mereka adalah musyrikin. Oleh sebab itu, orang-orang dari kalangan mereka, yakni kaum khawarij, tidak dibolehkan pergi mengerjakan shalat di suatu tempat jika yang menyerukan azan di sana bukan dari kalangan mereka sendiri.

Kelompok-kelompok khawarij yang paling moderat adalah kaum ibadhiyah yang mengkafirkan seluruh kaum muslimin namun tidak menyatakan mereka sebagai kaum musyrikin. Menurut pandangan mereka, orang-orang muslim selain mereka adalah “bukan mukmin” tapi diterima syahadat mereka, boleh kawin dan dikawinkan dengan mereka, mewarisi dan mewariskan pula. (Khilafah dan Kerajaan, hal 275 – 277)

Sebenarnya pokok ajaran kelompok khawarij ini telah muncul pada masa Nabi saw, sebagaimana disebutkan didalam “ash Shahihain” didalam kisah al Khuwaishirah at Tamimiy yang mengatakan kepada kepada Nabi saw,”Wahai Muhammad berbuat adillah , sesungguhnya engkau tidak berbuat adil.” Lalu Nabi saw pun marah sambil mencela dengan mengatakan,”Celaka kau, bukankah aku adalah orang yang paling bertakwa kepada Allah di bumi.” Tatkala orang itu berpaling maka Khalid bin Walid berkata,”Wahai Rasulullah apakah (boleh) aku memenggal lehernya?” Beliau saw menjawab,”Jangan, bisa jadi dia adalah orang yang melakukan shalat.” Khalid berkata,”Betapa banyak orang yang melaksanakan shalat mengatakan dengan lisannya apa yang tidak terkandung didalam hatinya.” Beliau saw menjawab,”Sesungguhnya aku tidaklah diperintahkan untuk meneliti hati manusia dan tidak pula membedah perut mereka.” Kemudian beliau saw menatap kepadanya (al Khuwaishirah) saat dia pergi dan bersabda,”Sesungguhnya akan datang suatu kaum dari keturunannya (para pengikutnya, pen) yang membaca Kitabullah dengan lisannya yang tidak melewati kerongkongan mereka, mereka keluar dari agama sebagaimana lepasnya anak panah dari busurnya dan seandainya aku bertemu mereka pasti aku akan membunuh mereka sebagaimana pembunuhan terhadap kaum Tsamud.”

Wallahu A’lam

-Ustadz Sigit Pranowo Lc-

 

ERA MUSLIM

Kaum Khawarij Masa Kini

Secara harfiah, khawarij berarti ‘mereka yang keluar’. Khawarij bentuk jamak dari kharij, yang artinya ‘orang yang keluar’.  Istilah khawarij muncul pertama kali dalam sejarah Islam pada abad ke-1 H (pertengahan abad ke-7 M), dilatarbelakangi oleh pertikaian politik antara Khalifah Ali bin Abi Thalib RA dan Muawiyah bin Abi Sofyan.

Setelah Khalifah Usman bin Affan dibunuh, kaum muslimin — melalui lembaga Ahlul Hilli wal ‘Aqdi yang terdiri dari para sahabat terpandang — mengangkat Sayyidina Ali RA sebagai khalifah. Namun, Muawiyah — saat itu menjabat sebagai Gubernur Syam (Suriah) — menolak membaiat Ali. Muawiyah yang masih berkerabat dengan Usman, meminta balas atas kematian Usman RA.

Muawiyah menuntut semua orang yang terlibat dalam pembunuhan Sayyidina Usman RA harus dibunuh. Sedangkan Ali RA berpandangan yang dibunuh hanya yang membunuh Usman RA. Perbedaan ini kemudian memunculkan konflik antar-keduanya. Sayyidina Ali mengerahkan bala tentaranya untuk menyerang Muawiyah. Sebaliknya, Muawiyah juga mempersiapkan pasukannya untuk menghadapi Ali RA.

Pertempuran dahsyat tidak bisa dielakkan, dan ada tanda-tanda pasukan Sayyidina Ali akan memenangkan pertempuran. Di saat itulah, Amr bin Ash, panglima perang Muawiyah, mengusulkan kepada Muawiyah agar mengangkat mushaf (kumpulan lembaran) Alquran dengan ujung tombak sebagai tanda minta damai.

Kedua belah pihak lalu mengirim utusan. Abu Musa al Asy’ari mewakili Khalifah Ali dan Amr bin Ash mewakili Muawiyah. Keduanya sepakat menerima arbitrasi (tahkim) untuk mengakhiri persengketaan. Arbitrasi ini ternyata membuat sekelompok kecil orang kecewa. Mereka lantas keluar dari dua kelompok mainstream ini, yang kemudian disebut sebagai kaum khawarij. Mereka merencanakan membunuh Muawiyyah dan Sayyidina Ali, namun yang berhasil mereka bunuh hanya Sayyidina Ali RA.

Meskipun pada awal kemunculan kaum khawarij karena alasan politik, namun pada perkembangannya kelompok ini lebih bercorak teologis. Sebagai misal, mereka keluar dari kelompok mainstream lantaran tidak setuju terhadap arbitrasi atau tahkim yang dilakukan Khalifah Ali dalam menyelesaikan masalah dengan Muawiyah. Menurut mereka, semua persoalan seharusnya diselesaikan dengan merujuk kepada hukum-hukum yang diturunkan  Allah SWT. Arbitrasi mereka nilai tidak berdasarkan pada Alquran.

Pada perkembangannya kemudian, kaum khawarij terbagi dalam sekte-sekte atau kelompok. Ada yang mengatakan lebih dari 20 sekte, ada yang menyebut 12 sekte, 10 sekte, atau bahkan hanya empat sekte. Namun, hampir semua sekte memperbolehkan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan. Termasuk membunuh seperti yang mereka lakukan terhadap Khalifah Ali RA.

Di sinilah letak perbedaan antara kaum khawarij dan kelompok-kelompok Islam mainstream atau kelompok mayoritas. Bagi kelompok mainstream, terutama Ahlus  Sunnah wal Jamaah (Sunni), tujuan tidak boleh menghalalkan segala cara. Tujuan baik harus dilakukan dengan cara yang baik pula.

Munculnya kelompok-kelompok radikal sekarang ini tidak terlepas dari ideologi dan teologi kaum khawarij ini.  Ciri-cirinya antara lain,  pertama, mereka keluar (kharij) alias tidak mengakui pemerintah (ulul amri) yang sah. Sebab, ketaatan hanya kepada pemimpin mereka yang dinilai memerintah sesuai dengan syariat.

Kedua, siapa pun pihak yang berbeda pandangan dengan mereka dianggap sebagai musuh yang harus dilawan karena dipandang sebagai kafir. Ketiga, khalifah (pemerintah/ulul amri) wajib ditaati hanya bila mereka bersikap adil dan menjalankan syariat Islam. Tapi, bila mereka menyeleweng dari ajaran Islam, mereka musti dibunuh.

Dalam pandangan kaum khawarij, hanya Khalifah Abu Bakar as-Siddik dan Khalifah Umar bin Khattab yang dapat dikatakan adil dan tidak menyeleweng dari ajaran Islam. Sedangkan Usman bin Affan RA dan Ali bin Abi Thalib RA — yang merupakan dua dari empat Khulafa ar-Rasyidin –, mereka anggap tidak memerintah berdasarkan syariat.

Sepanjang perjalanan sejarah Islam boleh dikatakan kaum khawarij selalu muncul. Ada kalanya mereka tiarap, tapi di kala lain mereka siap melakukan perlawanan terhadap pihak-pihak, terutama ulul amri (pemerintah), yang dinilai telah melenceng dari ajaran Islam. Juga perlawanan terhadap pihak-pihak yang dinilai telah merugikan dan memusuhi kepentingan umat Islam.

Meskipun jumlah kelompok-kelompok khawarij kecil saja, namun lantaran ideologi radikal yang mereka anut, eksistensi mereka menjadi sangat berbahaya. Mereka juga susah ditumpas dengan kekuatan bersenjata. Contoh yang paling mutakhir barangkali bisa disebutkan nama al-Qaida.

Sebelum satu dasawarsa lalu kita hanya mengenal satu kelompok radikal (baca: teroris) yang bernama al-Qaida. Setelah organisasi garis keras ini dihantam Amerika Serikat dan koalisinya di Afghansitan, al-Qaida pun beranak-pinak dan menyebar ke berbagai negara seperti Irak, Suriah, Libia, Yaman, Somalia, Filipina, dan seterusnya. Termasuk ke Indonesia.

Nama-nama mereka pun bermacam-macam. Salah satunya adalah Tandzimu ad-Daulah al-Islamiyah fi al-Iraq wa as-Syam/Suriyah alias ISIS (Islamic State of Iraq and Syam/Syria). Kelompok-kelompok radikal anak cucu al-Qaida inilah yang kini sering disebut sebagai ‘kaum khawarij masa kini’.

Saya khawatir koalisi yang dipimpin AS sekarang ini hanya berhasil menghancurkan ISIS secara fisik, namun ideologi radikalnya akan tetap tumbuh subur. Bukan hanya di Irak dan Suriah, tapi juga akan menyebar ke berbagai negara seperti saat ini. Karena itu, koalisi militer yang didukung negara-negara Islam ini seharusnya dilengkapi dengan koalisi para ulama.

Koalisi ini bisa saja diprakarsai oleh Organisasi Kerja Sama Islam yang dulu bernama Organisasi Konferensi Islam (OKI). Koalisi ini bertugas membuat konsep secara teologis tentang Islam sebagai agama yang moderat dan rahmatan lil alamin sebagaimana dianut mayoritas umat Islam di seluruh dunia.

Di Indonesia sendiri, pembasmian terhadap terorisme mustinya bukan hanya tugas polisi dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Memerangi terorisme juga kewajiban para ulama, ustad, tokoh masyarakat, dan  seterusnya. Mereka tidak cukup memberi komentar di media massa.

Mereka harus membuat konsep atau blueprint secara ideologis dan teologis untuk memerangi idelogi radikal ini. Konsep ini kemudian dijabarkan secara rinci dalam bentuk buku misalnya, dan disebarkan kepada masyarakat. Termasuk dimasukkan sebagai kurikulum agama di sekolah-sekolah dan pesantren. Wallahu a’lam.

 

Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA ONLINE

Fitnah Kaum Khawarij di Akhir Zaman

Salah satu tanda kecil akan datangnya kiamat adalah munculnya berbagai macam fitnah (ujian) yang menghantam kaum Muslim dari berbagai sisi. Di antara fitnah akhir zaman itu ditimbulkan oleh kaum khawarij. Pertanyaannya, siapakah kaum khawarij itu?

Dalam satu kajian Islam yang digelar di Masjid al-Ikhlas Perum Grand Cibubur, Bekasi, Jawa Barat, Sabtu (6/5) lalu, Ustaz Muhtarom mencoba menjelaskan siapa orang-orang khawarij itu sebenarnya. Pada kesempatan tersebut, dia mengatakan, kaum khawarij adalah satu golongan dalam tubuh umat Islam. Mereka tidak sekadar pandai membaca Alquran, tetapi juga memahaminya. Sayangnya, mereka tidak mengamalkan isi Kitab Suci tersebut seperti yang diajarkan Nabi SAW.

“Orang-orang khawarij sangat luar biasa ibadahnya. Baik shalatnya, puasanya, juga bacaan Alqurannya. Begitu berlebihannya orang-orang khawarij itu dalam beribadah, sehingga Nabi SAW pun menyebut ibadah yang dilakukan para sahabat tidak ada apa-apanya jika dibandingkan mereka,” ujar Ustaz Muhtarom.

Jika dilihat dari penampilannya, orang-orang khawarij sulit dibedakan dengan kaum Muslim pada umumnya. Sebagian dari mereka ada yang sehari-harinya mengenakan celana //cingkrangseperti yang kerap dilakukan para pengikut sunah. Mereka juga mahir mengutip ayat-ayat Alquran dalam berbagai kajiannya.

“Sayangnya, mereka itu suka mengafirkan para Muslim yang melakukan dosa besar. Di sinilah letak kesalahan kaum khawarij itu. Menurut akidah mereka, Muslim yang berbohong adalah kafir, Muslim yang mencuri pun adalah kafir. Begitu pula dengan Muslim yang berzina, juga disebut kafir dan keluar dari Islam oleh mereka,” kata Ustaz Muhtarom.

Ciri lain dari kaum kahwarij adalah mereka menyatakan diri keluar dari pemerintahan yang sah yang dipimpin oleh kaum Muslim. Tidak hanya itu, mereka juga tidak segan-segan menghalalkan darah kaum Muslim yang tidak sepemahaman dengan mereka.

Dalam satu hadis sahih, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya di antara umatku ada orang-orang yang membaca Alquran, tapi tidak melampaui tenggorokan mereka. Mereka membunuh orang Islam dan membiarkan penyembah berhala. Mereka keluar dari Islam secepat anak panah melesat dari busurnya. Sungguh, jika aku mendapati mereka, pasti aku akan bunuh mereka seperti (Nabi Hud) membunuh kaum Aad,” (HR Muslim No 1.762).

Ustaz Muhtarom mengatakan, kemunculan kaum khawarij sendiri bermula sejak wafatnya Khalifah Umar bin Khattab RA. Ketika itu, mereka berhasil memecah belah umat Islam menjadi dua golongan, yaitu kelompok mereka sendiri dan kelompok salaf (orang-orang yang mengikuti sunah Nabi SAW). Mereka selanjutnya memiliki andil besar dalam peristiwa pembunuhan Khalifah Usman bin Affan RA.

Di zaman pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib RA, tentara Muslim pernah menghancurkan pasukan khawarij dengan telak. Namun, sepeninggalnya Ali RA, generasi dari sisa-sisa kelompok khawarij itu kembali menunjukkan eksistensinya.

Ustaz Muhtarom menjelaskan, kemunculan kaum khawarij akan terus berlangsung hingga akhir zaman. Di dalam hadis lain dijelaskan, kaum khawarij generasi terakhir kelak akan menjadi pengikut Dajjal. “Akan muncul sekelompok manusia dari arah timur, yang membaca Alquran, tapi tidak melewati tenggorokan mereka. Tiap kali generasi mereka putus, muncul generasi berikutnya hingga generasi akhir mereka akan bersama Dajjal,” (HR Thabrani dan Ahmad).

Ustaz Muhtarom mengingatkan, umat Islam harus mewaspadai fitnah yang ditimbulkan oleh kelompok khawarij. Pasalnya, kajian-kajian agama yang mereka sampaikan nyaris sulit sekali dibedakan dengan dakwah yang disampaikan oleh para ulama salaf. “Ketika membahas kitab-kitab tauhid atau pun kitab fikih dalam pengajiannya, materi yang disampaikan orang-orang khawarij hampir sama dengan yang dipakai oleh kelompok salaf. Namun, mereka pada akhirnya akan menggiring dan mengajak kita untuk mengafirkan sesama saudara Muslim,” ujar dia.

Di Indonesia sendiri, kata Muhtarom, pernah muncul satu aliran yang suka mengafirkan sesama Muslim. Aliran itu dicetuskan oleh seorang tokoh bernama Nur Hasan Ubaidah pada dekade 1960-an silam. Dalam berbagai kajiannya, Nur Hasan Ubaidah menyatakan, orang-orang Islam yang berada di luar kelompoknya sebagai golongan kafir.

Tidak hanya itu, para pengikut Hasan Ubaidah pun mengganggap umat Islam di luar kelompok mereka sebagai najis sehingga mereka pun tidak mau shalat di masjid-masjid selain dari masjid mereka sendiri. “Dulu, kelompok ini tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia.”

 

REPUBLIKA ONLINE

 

 

Baca juga:

Awas! Kamu Cela Pemimpin? Itu Ciri Khas Khawarij!

Awas! Kamu Cela Pemimpin? Itu Ciri Khas Khawarij!

MENCELA pemimpin merupakan ciri khas manhaj yang ditempuh oleh kaum khawarij. Awalnya hanya sekedar mengkritik dan membeberkan aib pemimpin di atas mimbar, seminar, koran dan medsos tetapi membengkak hingga tiada lain terminal akhirnya kecuali memberontak pemimpin. Jelas kiranya, metode ini menyelisihi petunjuk Nabi dalam mengingkari penguasa dan merupakan sumber segala fitnah/kerusakan sepanjang sejarah sebagaimana dikatakan imam Ibnu Qayyim dalam Ilam Muwaqqiin (3/7).

Sebagai bukti bahwa metode seperti itu adalah metode yang diterapkan kaum khawarij adalah riwayat imam Tirmidzi dan selainnya dari Ziyad bin Kusaib Al-Adawi, katanya: “Saya pernah bersama Abu Bakrah di bawah mimbar Ibnu Amir yang sedang berkhutbah sambil mengenakan pakaian tipis. Abu Bilal berkata: Lihatlah pemimipin kita, dia mengenakan pakaian orang-orang fasiq. Abu Bakrah menegurnya seraya berkata: Diamlah, saya mendengar Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang menghina pemimpin di muka bumi, niscaya Allah akan menghinakannya”” (Lihat Shahih Sunan Tirmdzi: 1812 oleh Al-Albani).

Imam Dzahabi berkata: “Abu Bilal namanya adalah Mirdas bin Udiyyah, seorang khawarj tulen. Karena kejahilannya, maka dia menganggap pakaian tipis bagi kaum pria adalah pakaiannya orang fasiq” (Siyar Alam Nubala 14/508 oleh imam Dzahabi). Demikianlah khawarij sepanjang zaman, mereka salah kaprah dalam metode mengingkari dan jahil akan hal yang diingkari.

Satu hal lagi yang perlu sekali saya sampaikan di sini bahwa hanya sekedar menghujat pemimpin muslim -sekalipun fasiq- merupakan ciri khas manhaj khawarij, sebab manusia tidak akan memberontak pemimipin tanpa ada yang menyalakan api kebencian di hati mereka walau dengan dalih menegakkan pilar amar maruf nahi mungkar. Oleh karenanya, para ulama menilai bahwa para penggerak pemberontakan, pengkritik dan pencela pemimpin adalah khawarij sekalipun sepanjang sejarah mereka tidak pernah memberontak. Dalam kitab sejarah dan firaq (kelompok dan golongan) mereka disebut Al-Qaadiyyah.

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata mensifati sebagian jenis khawarij: “Dan kaum Al-Qaadiyyah yaitu kelompok yang melicinkan pemberontakan terhadap pemerintah sekalipun tidak langsung memberontak”. Bahkan, kadang-kadang orang yang mengompori untuk berontak lebih jelek daripada yang langsung memberontak sebagaimana diriwayatkan Abu Dawud dalam Masail Ahmad hal. 271 dar Abdullah bin Muhammad berkata: “Khawarij jenis Al-Qaadiyyah adalah sejelek-jeleknya kelompok khawarij!”. Para ulama masa kini juga telah membendung dan memerangi pemikiran-pemikiran khawarij model Al-Qaadiyyah ini.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata tatkala menjelaskan hadits Dzil Huwaishiroh: “Hadits ini merupakan dalil yang sangat mendasar bahwa berontak pada pemimpin bukan hanya dengan pedang semata tapi bisa juga dengan perkataan dan ucapan. Perhatikanlah, orang ini (Dzul Huwaishrah), dia tidak mengangkat pedang guna membunuh Nabi tapi dia hanya mengingkarinya (dengan terang-terangan). Apabila dijumpai dalam sebagian kitab ahli sunnah yang menyatakan bahwa berontak itu adalah dengan pedang, maka maksudnya adalah puncak pemberontakan”.

(Lihat Fatawa Ulama Al-Akabir hal. 94-96 dan Madarik An Nadhar hal. 272-275 oleh Syaikh Abdul Malik Ramadhani). [Ust. Abu Ubaidah As Sidawi]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2364883/awas-kamu-cela-pemimpin-itu-ciri-khas-khawarij#sthash.RueGCBnF.dpuf