Kiai Buntet: Perkosaan Bukti Kerusakan Sosial Semakin Akut

Pimpinan Pondok Pesantren Buntet Cirebon KH Ayip yang akrab disapa Kiai Buntet Cirebon mengajak para alim ulama untuk kembali ke khittahnya membenahi tatanan masyarakat. Semakin hari bangsa ini makin diterpa kerendahan  akhlak dan moral. 

“Adanya perkosaan dan pembunuhan anak di bawah umur, menjamurnya LGBT, merebaknya simbol-simbol komunis menjadi serpihan kerusakan sosial yang semakin akut. Semua ini perlu dituntaskan dengan nilai-nilai kemanusiaan,” katanya dalam siaran persnya, Ahad, (8/5).

Di sinilah peran ulama untuk kembali ke khittahnya menjadi sangat vital. “Tidak cukup dengan imbauan, aturan atau segudang wacana tapi perlu turun langsung terjun ke lapangan.”

Kondisi bangsa ini, ujar Kiai Buntet, sudah mengalami titik nadir krisis akidah, akhlak dan moral. Dia menjelaskan, kerusakan sosial semakin tidak terbendung. Karena itu, dia menilai para ulama harus menapak jejak kehidupan alim ulama terdahulu.

Salah satunya tidak lelah bekerja keras membenahi tauhid dan akhlak masyarakat tanpa membonceng kepentingan apapun. “Kita perlu bercermin kembali pada ulama-ulama terdahulu, mereka tulus membenahi dan melayani seluruh elemen masyarakat dengan ketulusan hati.”

Ia berharap agar ulama bisa saling menghargai dan menghormati siapa saja serta mampu merangkul seluruh elemen dengan tidak meninggalkan prinsip agama. Ia juga menganjurkan agar rajin mengkaji sejarah dan belajar dari putaran sejarah.”Perluas wawasan, bersama belajar membersihkan jiwa-jiwa kita,” kata Kiai Buntet.

sumber: Republika Online

Jika Hukum Islam Diterapkan, Ini yang akan Diterima Pemerkosa Y

Banyak orang takut dan menilai stereotip hukum Islam (syariah). Beragam komentar publik muncul mengenai hukum Islam, baik itu darii Muslim atau non-Muslim.

Ada yang mengatakan hukum Islam bar-bar, tidak berprikemanusian, melangar hak asasi manusia (HAM), dan sebagainya. Bahkan, banyak umat Islam di negeri ini sendiri antipati dan enggan dengan hukum Islam (syariah).

Pembicara kajian Islam tadabbur Alquran Parwis L Palembani mengajak masyarakat belajar rasa keadilan lewat kasus yang menimpa siswi SMP korban pemerkosaan dan pembunuhan di Bengkulu, Y (14). Kasus kekerasan pembunuhan dan disertai pemerkosaan yang dialami Y sontak menyita perhatian publik. 

“Kasus ini sangat membuat geram masyarakat, bahkan banyak menyeruak ke permukaan kemarahan masyarakat,” ujarnya, baru-baru ini. Alhasil, muncul wacana tentang hukuman mati atau kebiri, atau paling minim dihukum penjara seumur hidup bagi pelaku pemerkosaan yang disertai pembunuhan oleh belasan pelaku kejahatan.

Parwis yakin dengan kasus yang menimpa Y, pasti publik sepakat apapun agama dan sukunya jika pelaku pemerkosaan dan pembunuhan untuk dihukum mati. Di sini banyak yang menyuarakan hukuman berat bagi pelaku kekerasan tersebut, termasuk tindak pidana lainnya. “Tahukah Anda, hukum Islam sudah jauh-jauh hari memberikan hukum keras bagi pelaku seperti ini, mulai dari cambukan, rajam atau bahkan paling dahsyat dengan hukuman salib dengan cara menyilang,” kata Parwis.

Hal ini telah tertuang sebagaimana firman Allah SWT, ‘Hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di bumi hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau diasingkan dari tempat kediamannya. Yang demikian itu kehinaan bagi mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat azab yang besar’ (QS.5:33).

Yang mengherankan, kata Parwis, adalah mengapa banyak orang membenci dan antipati dengan hukum Islam diterapkan, tapi berharap hukuman berat bagi pelaku tindak pidana. Dia mengajak publik untuk menimbang keadilan seakan Anda adalah korban atau keluarga korban. “Dengan cara ini Anda akan tahu betapa adilnya hukum Allah lewat hukum syariah,” ujarnya.

Hampir setiap keluarga korban menilai, apapun putusan hakim, mereka selalu berharap agar pelaku dihukum seberat-beratnya baik hukuman mati, atau minimal penjara seumur hidup. Dengan demikian Anda pasti menyimpulkan bahwa hukum Allah adalah adil.

Parwis mengatakan hukum Islam menimbang keadilan lewat rasa yang ada pada diri keluarga korban, karena keluarga korban tidak mungkin bisa disogok karena mereka yang kehilangan. Sehingga adil baru tegak menurut mereka jika pelaku dihukum seberat-beratnya.

Keluarga korban diberikan beberapa pilihan, yakni menuntut hukum mati, meminta uang tebusan (diyat), atau memaafkan. Jika keluarga korban memilih opsi ketiga, maka di sana akan terlihat betapa indahnya hukum Islam, tapi jika yang dipilih opsi 1 atau 2, maka itu sangat wajar. 

Namun hukum positif sepenuhnya merupakan kewenangan hakim. Hakim, kata Parwis, tidak merasakan kepedihan seperti yang dirasakan korban. Alhasil, tidak sedikit para hakim memutuskan perkara jauh dari harapan keluarga korban.

sumber: Republika Online

Ahli Psikologi: Hukuman Mati Bagi Pemerkosa Yuyun Berikan Efek Jera

Ahli neuropsikologi saraf (psikologi saraf otak) Ihshan Gumilar menilai penerapan hukuman mati pada pelaku pemerkosaan dan pembunuhan Yuyun dapat memberikan efek jera secara psikologis.

Menurutnya, tuntutan hukuman yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) selama 10 tahun terlalu ringan. “Hukuman mati memberikan efek jera secar psikologis,” tegas Ihshan di Jakarta, Sabtu (7/5).

Menurut Ihshan, kedewasaan seseorang dari sudut pandang umur dinilai menjadi bias. Sebab, batasan usia anak-anak secara psikologis zaman dulu sangat berbeda dengan anak-anak era sekarang. Kalau hanya menggunakan angka umur tanpa memerhatikan kondisi psikologi pelaku, memang didapatkan mereka masih berusia anak-anak.

Seharusnya kedewasaan juga ditimbang dari sisi psikologi yang bersangkutan. “Pelaku (pemerkosa Yuyun) memang masih usia anak-anak, tapi mungkin secara psikologis sudah bukan anak-anak,” tegas Ihshan.

Ihshan mengatakan, sistem pembinaan di penjara juga dinilai tidak bakal membuat pelaku jera. Sebab, para pelaku kejahatan seksual tidak mendapat terapi untuk menyembuhkan mereka dari adiksi terpapar pornografi.

Dengan menerapkan hukuman mati, imbuh dia, setidaknya membuat fungsi kontrol otak menjadi lebih tinggi untuk melakukan kejahatan serupa. Ihshan membandingkan penerapan hukuman mati di Arab Saudi dengan di Indonesia.

Menurutnya, penerapan hukuman mati di Arab mampu menekan tingginya angka kejahatan. “Sebab, orang berpikir ulang untuk melakukan kejahatan serupa pelaku yang dihukum mati,” ujar dia.

 

 

sumber: Republika Online