Darimana Budaya “Menyembah Penguasa” Dimulai?

Salah satu ambisi para penguasa adalah menciptakan kesan dalam diri masyarakat bahwa mereka lah penguasa sejati yang berkuasa atas segalanya. Dengan kekuatan dan keagungan yang mereka miliki seakan mampu menentukan nasib orang lain dan mampu merealisasikan semua yang mereka inginkan. Sehingga masyarakat menjadi buta dan tak bisa melihat realitas yang sesungguhnya.

Allah Swt menceritakan tentang Fir’aun dalam Firman-Nya :

وَنَادَىٰ فِرۡعَوۡنُ فِي قَوۡمِهِۦ قَالَ يَٰقَوۡمِ أَلَيۡسَ لِي مُلۡكُ مِصۡرَ وَهَٰذِهِ ٱلۡأَنۡهَٰرُ تَجۡرِي مِن تَحۡتِيٓۚ أَفَلَا تُبۡصِرُونَ

Dan Fir‘aun berseru kepada kaumnya (seraya) berkata, “Wahai kaumku! Bukankah kerajaan Mesir itu milikku dan (bukankah) sungai-sungai ini mengalir di bawahku; apakah kamu tidak melihat?” (QS.Az-Zukhruf:51)

Dalam ayat lain Al-Qur’an menyebutkan :

وَقَالَ فِرۡعَوۡنُ يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡمَلَأُ مَا عَلِمۡتُ لَكُم مِّنۡ إِلَٰهٍ غَيۡرِي

Dan Fir‘aun berkata, “Wahai para pembesar kaumku! Aku tidak mengetahui ada Tuhan bagimu selain aku.” (QS.Al-Qashash:38)

Dan Allah Swt menceritakan raja di zaman Nabi Ibrahim as.

أَلَمۡ تَرَ إِلَى ٱلَّذِي حَآجَّ إِبۡرَٰهِـۧمَ فِي رَبِّهِۦٓ أَنۡ ءَاتَىٰهُ ٱللَّهُ ٱلۡمُلۡكَ إِذۡ قَالَ إِبۡرَٰهِـۧمُ رَبِّيَ ٱلَّذِي يُحۡيِۦ وَيُمِيتُ قَالَ أَنَا۠ أُحۡيِۦ وَأُمِيتُۖ

Tidakkah kamu memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim mengenai Tuhannya, karena Allah telah memberinya kerajaan (kekuasaan). Ketika Ibrahim berkata, “Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan,” dia berkata, “Aku pun dapat menghidupkan dan mematikan.” (QS.Al-Baqarah:258)

Para Toghut ini memiliki peran yang sangat besar dalam melemahkan akal manusia. Mereka mewajibkan masyarakat untuk taklid buta dalam mengikuti kehendak penguasa dan mengesampingkan pandangan serta kehendak mereka. Masyarakat tidak diberi kesempatan untuk memilih mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah. Kebebasan mereka telah di rampas dan akal mereka telah di cabut.

فَٱسۡتَخَفَّ قَوۡمَهُۥ فَأَطَاعُوهُۚ إِنَّهُمۡ كَانُواْ قَوۡمٗا فَٰسِقِينَ

“Maka (Fir‘aun) dengan perkataan itu telah mempengaruhi kaumnya, sehingga mereka patuh kepadanya. Sungguh, mereka adalah kaum yang fasik.” (QS.Az-Zukhruf:54)

Itulah upaya penguasa dzalim untuk mendominasi masyarakatnya sehingga ia tidak cukup di sebut raja, tapi ia ingin menjadi tuhan yang berkuasa atas segala sesuatu.

Semoga Bermanfaat….

KHAZANAH ALQURAN

Kampanye Demi Jabatan, Ujung-Ujungnya?

Sobat, saat saat ini, kemanapun anda pergi di negeri kita ini, niscaya anda mendapatkan berbagai poster besar bergambarkan pria tampan atau wanita cantik. Uniknya, gambar lelaki tampan atau wanita cantik, dilengkapi dengan gambar paku yang menghujam atau menusuk.

Anda pasti tahu, apa maksud dari gambar gambar tersebut; “kampanye” agar dicoblos atau dipilih. Bahkan betapa banyak dari mereka yang rela bagi-bagi uang agar anda memilihnya sebagai caleg. Mereka semua berjanji bila terpilih akan bersikap jujur, memperjuangkan kepentingan rakyat, bekerja keras dan slogan slogan indah lainnya. Percayakah anda dengan slogan mereka? Percayakah anda bahwa bila mereka terpilih mereka benar benar menjalankan janjinya?

Sobat, metode pemilihan pejabat semacam ini sarat dengan permainan dan manipulasi, alias praktek “dagang sapi”. Dalam Islam, jabatan diberikan kepada orang yang paling pantas menjabat karena kredibilitasnya bukan faktor terdahulu, atau tertua atau terbanyak dukungannya. Percayalah banyaknya dukungan bila tidak diimbangi dengan kemampuan maka akan berujung kepada kehancuran. Terlebih lagi bila disertai adanya ambisi jabatan yang menggebu-gebu.

Dahulu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

إنا والله لا نولي على هذا العمل أحدا سأله، ولا أحدا حرص عليه

Sejatinya kami tidak memberikan jabatan kepada orang yang meminta agar ditunjuk sebagai penjabatnya, dan tidak pula orang yang berambisi mendapatkannya” (Muttafaqun alaih)

Namun sebaliknya minimnya dukungan asalkan memiliki kredibilitas tinggi, dan amanah alias dapat dipercaya niscaya dengan izin Allah menghasilkan kerja yang memuaskan. Allah berfirman:

إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ

Sebaik baik orang yang engkau jadikan pegawai ( dipekerjakan ) ialah orang yang tangguh / kredibel lagi amanah” (QS. Al Qashas 26).

Penulis: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Baderi, Lc., MA.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/20453-kampanye-demi-jabatan-ujung-ujungnya.html

Bolehkah Meminta Kekuasaan?

Dalam syari’at kita, tidak boleh kekuasaan dan kepemimpinan diserahkan pada orang yang tamak kecuali jika dia menawarkan diri dan menganggap ada maslahat dan bisa mendatangkan kebaikan.

Abu Musa Al Asy’ari berkata, “Aku pernah masuk menemui Nabi bersama dengan dua orang dari keluarga pamanku. Maka salah seorang dari mereka berdua berkata, “Wahai Rasulullah, angkatlah kami untuk mengurusi sebagian yang telah Allah kuasakan kepadamu.” Dan yang satu lagi berkata seperti itu pula. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda,

إِنَّا وَاللَّهِ لاَ نُوَلِّى عَلَى هَذَا الْعَمَلِ أَحَدًا سَأَلَهُ وَلاَ أَحَدًا حَرَصَ عَلَيْهِ

Sesungguhnya kami, demi Allah tidak akan menyerahkan pekerjaan ini kepada seorang pun yang memintanya, atau seorang pun yang sangat menginginkannya.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 7149 dan Muslim no. 1733).

Imam Nawawi membuat judul bab dalam Shahih Muslim, “Larangan meminta kekuasaan dan tamak kepadanya.” Dalam kitab Riyadhis Sholihin, Imam Nawawi menyampaikan judul Bab “Larangan menyerahkan kekuasaan, jabatan hakim dan kekuasaan lainnya pada orang yang memintanya atau sangat tamak terhadapnya kecuali jika ia menawarkan diri (untuk menciptakan maslahat).”

Dalam hadits sebelumnya yang pernah diposting di Muslim.Or.Id sudah disebutkan hal yang sama, yaitu Abu Sa’id ‘Abdurrahman bin Samurah berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padaku,

يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ لاَ تَسْأَلِ الإِمَارَةَ ، فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا ، وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا

Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kekuasaan karena sesungguhnya jika engkau diberi kekuasaan tanpa memintanya, engkau akan ditolong untuk menjalankannya. Namun, jika engkau diberi kekuasaan karena memintanya, engkau akan dibebani dalam menjalankan kekuasaan tersebut.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 7146 dan Muslim no. 1652)

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa tidak sepantasnya pemimpin menyerahkan suatu kekuasaan kepada orang yang memintanya untuk memimpin suatu wilayah atau sebagian kecil wilayah, walaupun yang memintanya adalah orang yang punya kemampuan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Musa ini melarang menyerahkannya kepada orang yang tamak kekuasaan. Orang yang tamak pada kekuasaan boleh jadi tujuannya adalah untuk mencari kedudukan tinggi semata, bukan untuk mendatangkan maslahat bagi rakyatnya. Jika tujuannya seperti itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya.

Jika ada yang menyampaikan bahwa bukankah Nabi Yusuf ‘alaihis salam dahulu juga meminta kekuasaan? Sebagaimana dapat dilihat dalam ayat,

قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ

Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” (QS. Yusuf: 55).

Kata Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin, ada dua hal yang mesti dipahami untuk memahami hal di atas:

1- Kita bisa katakan bahwa syari’at umat sebelum kita bisa ditolak jika bertolak belakang dengan syari’at kita. Yang seharusnya jadi patokan adalah syari’at kita. Kaedah ushuliyah yang telah ma’ruf menyatakan,

شرع من قبلنا شرع لنا ما لم يرد شرعنا بخلافه

“Syari’at sebelum kita bisa menjadi syari’at kita ketika tidak bertolak belakang.” Dalam syari’at kita dijelaskan bahwa orang yang meminta kekuasaan tidak diberi.

2- Bisa juga kita katakan bahwa Nabi Yusuf ‘alaihis salam melihat bahwa sungguh amanah harta biasa diremehkan. Banyak yang diberi harta, namun tidak menjalankan amanah tersebut dengan baik. Maka Yusuf ingin menjalankan amanat tersebut dengan semestinya, supaya tidak timbul kerusakan terhadap harta milik negara.

Ada hadits yang menjadi pendukung bahwa apa yang dilakukan Yusuf masih dibolehkan.

عَنْ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي الْعَاصِ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ اجْعَلْنِي إِمَامَ قَوْمِي فَقَالَ أَنْتَ إِمَامُهُمْ وَاقْتَدِ بِأَضْعَفِهِمْ وَاتَّخِذْ مُؤَذِّنًا لَا يَأْخُذُ عَلَى أَذَانِهِ أَجْرًا

Dari ‘Utsman bin Abi Al ‘Ash berkata bahwa ia berkata pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jadikanlah aku imam bagi kaumku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Engkau kuangkat jadi imam mereka. Namun perhatikanlah saat shalat orang-orang yang lemah. Dan pilihlah muazin dari orang yang tidak mencari upah dengan azannya.” (HR. An Nasai no. 673 dan Abu Daud no. 531. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

Jadi jika seorang pemimpin melihat ada yang meminta kekuasaan dengan maksud ingin mendatangkan maslahat, maka tidaklah masalah. Wallahul muwaffiq. (Lihat bahasan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Syarh Riyadhis Sholihin, 4: 20-22)

Semoga bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/20600-bolehkah-meminta-kekuasaan.html

Andai Anda Jadi Presiden

Demo lagi demo lagi. Celaan demi celaan, tuntutan demi tuntutan, hingga bermuara pada rencana melengserkan sang presiden. Itulah secuil dari kerusakan yang sangat banyak akibat sistem demokrasi ala barat. Tidakkah kita berpikir sejenak “Andai kita jadi presiden”, mampukah kita menunaikan amanah berat jabatan presiden?

Inilah sebagian ciri-ciri kepala negara yang baik dalam syari’at Islam yang perlu Anda miliki seandainya Anda menjadi kepala negara:

Menjadi Imam Yang Adil

Jika anda berhasil menjadi imam yang adil, di antara balasannya Anda mendapat naungan Allah di hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya, namun tahukah Anda adil itu bagaimana?

Ulama telah menjelaskan tentang ciri pokok keadilan seorang imam adalah berhukum dengan Syariat Islam, maka barangsiapa yang tidak berhukum dengan syari’at Islam ia bukanlah imam yang adil. Iitulah tafsiran imam adil yang terbaik.

Artinya, jika Anda menjadi presiden, maka perlu memiliki ilmu syari’at Islam yang dalam dan keberanian untuk berhukum dengannya di tengah-tengah arus hukum yang batil.

Berat? Jika Anda merasa tidak mampu menjadi kepala negara yang baik, maka do’akanlah presiden Anda!

Doakan semoga Allah memberi petunjuk kepadanya, berilah nasihat dengan adab Islami dan  jangan cela beliau di hadapan publik.

Memilih penasihat, menteri, dan pejabat sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiallahu ‘anhum contohkan.

Contohlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam bermusyawarah dengan dua sosok sahabatnya yang berilmu dan bertakwa, yaitu Ali dan Usamah radhiyallahu ‘anhuma dalam masalah berita dusta yang disebarkan oleh ahlul ifki (para penebar isu) tentang ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.

Contohlah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu,

وكان القراء أصحاب مشورة عمر كهولا كانوا أو شبانا، وكان وقّافا عند كتاب الله عز وجل.

Dahulu orang-orang yang diajak musyawarah Umar radhiyallahu ‘anhu adalah Al-Qurra`, baik tua maupun muda dan mereka benar-benar berpegang teguh dengan Al-Qur`an“.

Dijelaskan oleh Ibnu Hajar rahimahullah bahwa makna Al-Qurra` adalah Ulama Ahli Al-Qur`an dan As-Sunnah serta Ahli Ibadah . Berat? Jika Anda merasa tidak mampu menjadi kepala negara yang baik, maka do’akanlah presiden Anda!

Mampu mengendalikan nafsu dengan memilih apa yang Allah ridhai

Presiden, beliau memiliki kekuasaan dan harta yang besar yang seandainya keduanya itu menjadi milik kita belum tentu kita mampu mengendalikan nafsu arogansi & kezaliman dengan  kekuasaan, harta, atau wanita. Pantaslah jika ia berhasil mengendalikan nafsu, ta’at kepada Rabbnya, dan adil maka akan ditempatkan di atas mimbar dari cahaya.

Berat? Jika Anda merasa tidak mampu menjadi kepala negara yang baik, maka do’akanlah presiden Anda!

Hindari menggibah (menggunjing) beliau lewat WA, facebook, twiter, dan yang lainnya. Bagaimana jika Anda merasa memiliki saran yang membangun untuknya? Tentu bukan disampaikan dengan cara demo sebagai jalan keluarnya, bukan pula statement yang memanaskan suasana, bahkan menjatuhkan martabatnya. Namun,

Ambillah secarik kertas dan tulislah

Dengan tulus ikhlas yang mendalam & mutaba’ah (evaluasi) yang baik dan goresan tinta kasih sayang diiringi pilihan kata yang diberkahi dari ucapan-ucapan Salafus Shalih, maka tuliskanlah untuknya (baca: untuk presiden Anda) perkataan yang lembut dan menyentuh hati.

Kepada yang kami hormati Bapak Presiden -semoga Allah membimbing dan menjaga Anda-,

Ingatlah,bahwa Imam yang adil adalah sosok pemimpin yang berada di antara Allah dan hamba-hamba-Nya (baca: rakyat). Ia ta’at kepada-Nya dan menuntun mereka/masyarakat, untuk ta’at pula kepada-Nya seperti dirinya,

ia suka mengingat-Nya dan menuntun mereka suka mengingat-Nya seperti dirinya.

Wahai Bapak Presiden -semoga Allah memasukkan Anda sekeluarga dalam surga-Nya-,

Sesungguhnya sosok imam yang adil adalah figur pemimpin yang siap meluruskan penyimpangan rakyatnya, melindungi mereka dari kezaliman, memperbaiki setiap kerusakan, menguatkan yang lemah serta menolong orang yang butuh bantuan.

Imam yang adil,wahai Bapak Presiden, adalah seperti sosok bapak yang sangat mencintai anak-anaknya, mencukupi mereka saat kecil, memberi bekal hidup saat mereka dewasa, mempersiapkan bekal akhirat untuk kehidupan sesudah kematian mereka.

Imam yang adil, wahai Bapak Presiden, adalah seperti sosok ibu yang sangat menyayangi buah hatinya, ia rela susah payah mengandungnya, susah payah melahirkannya, susah payah mendidiknya, ikut sedih saat anaknya sedih, bahkan ikut “demam” saat anaknya demam, terkadang disusuinya anak itu, walau  kelak harus tega menyapihnya.

Wahai Bapak Kepala Negara,

bahwa sesungguhnya Anda kelak akan memiliki tempat kedudukan yang bukan seperti kedudukan Anda sekarang,

yaitu sebuah tempat kedudukan yang memisahkan Anda dengan orang yang Anda cintai dan pendukung setia Anda di dunia, mereka akan mengantarkan Anda hanya sampai ke dalam lubang sempit, setelah itu mereka pun meninggalkan Anda sendirian, maka carilah bekal untuk hidup di suatu hari yang ketika itu seseorang akan lari dari tuntutan saudara, ibu, bapak, istri, dan anaknya.

Dan hati-hatilah terhadap sekelompok manusia yang tega menjerumuskan Anda menikmati kelezatan hidup di dunia yang sementara, namun dengan konsekuensi hilangnya kelezatan hidup Anda selamanya di Akherat.

Wahai Presiden, Pemimpin kaum muslimin,

Janganlah Anda tertipu dengan derajat Anda sekarang, namun perhatikanlah derajat Anda kelak ketika Anda harus mempertanggungjawabkan perbuatan Anda di hadapan Rabbul ‘Alamin.

Terakhir, satu permohonan kami, yaitu posisikanlah surat kami ini selayaknya surat yang datang dari seorang sahabat akrab yang paling mencintai Anda, ikhlas lillahi Ta’ala dengan harapan Anda sudi menerima risalah ini.

Wassalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.

***

[Digubah dan dipetik dari surat yang ditulis oleh Al-Hasan Al-Bashri kepada Kepala Negara Umar bin Abdul Aziz  rahimahumallah Ta’ala, diambil dari Al-`Aqdul Fariid, Ibnu Abdi Rabbihi Al-Andalusi 1/33 Maktabah Syamilah]

Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/24049-andai-anda-jadi-presiden.html