Pemikiran Sukarno Tentang Islam Saat Diasingkan

Sudah berkali-kali Sukarno diasingkan. Salah satu yang menjadi tempat pembuangannya adalah Endeh, Flores (1934-1941). Selama dalam pengasingan, ia rutin menyurati Ustaz A Hasan, pemimpin Persatuan Islam (Persis) di Bandung, yang bersimpati kepada dia.

Surat-surat yang ditulis Sukarno itu menjadi pengobat kesepian dalam pengasingan lantaran ia hanya ditemani istrinya Inggit Ganarsih (setelah ia menceraikan Utari, putri Haji Oemar Said Tjokroaminoto), anak angkatnya, dan mertuanya.

Pada 18 Agustus 1936, dari Endeh Sukarno menuangkan pemikirannya tentang Islam, ”….Tetapi apa jang kita ‘tjutat’ dari Kalam Allah dan Sunnah Rasul itu? Bukan apinja, bukan njalanja, bukan flamenja, tetapi abunja, debunja, asbesnja. Abunja jang berupa tjelak mata dan sorban, abunja yang yang mentjintai kemenjan dan tunggangan onta, abunja jang bersifat Islam mulut dan Islam-ibadat —zonder taqwa, abunja jang cuma tahu batja Fatihah dan tahlil sahaja— tetapi bukan apinja jang menjala-njala dari udjung zaman jang satu ke udjung zaman jang lain ….”

Dalam 12 pucuk suratnya, Sukarno memperlihatkan keresahan, kerisauan, dan keprihatinan melihat umat Islam yang dihinggapi penyakit kekolotan, kejumudan. Islam, menurut dia, agama yang tidak pernah membedakan harkat dan derajat manusia.

Ia mengkritik keras kaum sayid, yang disebutnya sebagai pengeramatan atas manusia dan telah menghampiri kemusyrikan. “Tersesatlah orang yang mengira bahwa Islam mengenal suatu ‘aristokrasi Islam’. Tiada satu agama yang menghendaki kesamarataan lebih daripada Islam. Pengeramatan manusia adalah salah satu sebab yang mematahkan jiwanya suatu agama dan umat, oleh karena pengeramatan manusia itu melanggar tauhid. Kalau tauhid rapuh, datanglah kebencanaan,” tulis Sukarno.

 

Kritik Mubaligh

Dalam suratnya yang lain, Sukarno menulis: Demi Allah, Islam science bukan hanya pengetahuan Alquran dan hadis saja. Islam science adalah pengetahuan Alquran-hadis plus pengetahuan umum! Orang tidak akan dapat memahami betul Alquran dan hadis kalau tidak berpengetahuan umum.

Walau tafsir-tafsir Alquran yang masyhur dari zaman dulu —yang orang sudah beri titel ‘keramat’, seperti tafsir Al-Baghowi, tafsir Al-Baidhowi, tafsir Al-Mashari— masih bercacat sekali; cacat-cacat yang saya maksudkan ialah, misalnya bagaimanakah orang bisa mengerti betul-betul firman Tuhan, bahwa segala sesuatu itu dibikin oleh-Nya, berjodoh-jodohan, kalau tidak mengetahui biologi, tak mengetahui elektron, tak mengetahui positif negatif, tak mengetahui aksi reaksi? Bagaimanakah mengerti ayat-ayat yang yang meriwayatkan Iskandar Zulkarnain, kalau tak mengetahui sedikit history dan archaeologi.

Sukarno berharap mubaligh-mubaligh berilmu tinggi. Ia memuji M Natsir —salah seorang murid Hassan— yang pada hari kemudian berpolemik keras dengannya tentang Islam dan politik. Sebaliknya, Sukarno secara keras mengkritik mubaligh-mubaligh yang tidak bisa memadukan pengajaran Islam dengan pengetahuan modern itu.

Ia menulis surat kepada Ustaz Hassan: Tanyalah kepada itu ribuan orang Eropa yang masuk Islam di dalam abad ke-20 ini. Dengan cara apa dan dari siapa mereka mendapat tahu, baik tidaknya Islam dan mereka akan menjawab bukan dari guru-guru yang hanya menyuruh muridnya ‘beriman’ dan ‘percaya’ saja. Bukan dari mubaligh-mubaligh yang tarik muka angker dan hanya tahu putarkan tasbih saja, tetapi dari mubaligh yang memakai cara penerangan yang masuk akal —karena berpengetahuan umum.

Mereka masuk Islam karena mubaligh-mubaligh yang menghela mereka itu ialah mubaligh-mubaligh modern dan scientific dan bukan mubaligh ‘ala Hadramaut’ atau ‘ala kiai bersorban’. Percayalah bila Islam dipropagandakan dengan cara yang masuk akal dan up to date, seluruh dunia akan sadar kepada kebenaran Islam.

 

Ingin Dimakamkan Membawa Nama Muhammadiyah

Sukarno dilahirkan 6 Juni 1901 di Surabaya. Ayahnya, Raden Sukemi Sastrodihardjo, seorang guru. Ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai masuk Islam setelah menikah dengan Sukemi. Kusno —nama kecil Sukarno— tidak mendapatkan pendidikan yang cukup tentang Islam.

”Ibu adalah meskipun beragama Islam asal daripada agama lain, orang Bali. Bapak, meskipun beragama Islam, beliau adalah beragama, jikalau boleh dinamakan agama, teosofi. Jadi kedua kedua orang tua saya ini yang saya cintai dengan segenap jiwa saya, sebenarnya tidak dapat memberikan pengajaran kepada saya tentang agama Islam,” ujar Sukarno ketika berpidato di hadapan Muktamar ke-32 Muhammadiyah di Gelora Sukarno, Jakarta, 25 November 1962.

Sukarno wafat di RSPAD Jakarta pada 21 Juni 1970 pukul 03.30 WIB dalam keadaan merana, setelah tiga tahun menjalani karantina politik. Semasa hidup, Sukarno meminta dikubur dengan membawa nama Muhammadiyah atas kain kafannya.

Ia juga meminta dimakamkan di suatu tempat di Kebun Raya Bogor. Pada wasiat lain, ia meminta dimakamkan di Batutulis, Bogor. Tetapi Sang Proklamator akhirnya dimakamkan di Blitar.

 

Sukarno Kagumi KH Ahmad Dahlan

Perkenalan Sukarno dengan Islam tidak diawali dari surat menyurat dengan Hasan. Setelah tamat dari sekolah dasar Ropa (Europese Lagera School), 1915, Sukarno memperoleh kesempatan melanjutkan studinya di Hogere Burger School (HBS) di Surabaya.

Selama di Surabaya, Sukarno menumpang di rumah Haji Oemar Said Tjokroaminoto, tokoh Islam pimpinan kharismatik Serikat Islam (SI). Di sinilah ia mulai ikut dalam pergerakan Islam dan di sini pula ia lebih mengenal Islam melalui ceramah-ceramah pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan.

Perkenalannya dengan Dahlan ketika Dahlan berceramah di dekat rumah Tjokroaminoto di Penilih. Setelah itu, setiap Dahlan ceramah, ia selalu ikut.

”Sejak umur 15 tahun, saat saya berdiam di rumah Tjokroaminoto, saya telah terpukau dengan KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dan saya sering mengikuti ceramah-ceramahnya,” kata Sukarno di Muktamar Muhammadiyah.

”Saya sudah menjadi anggota resmi Muhammadiyah dalam tahun 1938…. Tahun 46 ini saya berkata, moga-moga jikalau saya diberi umur panjang oleh Allah, saja dikubur dengan membawa nama Muhammadiyah atas kain kafan saya.”

 

sumber: Republika Online