Hukum Berdoa Mengharapkan Kematian

Larangan mengharapkan kematian karena musibah yang menimpa

Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَتَمَنَّيَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمُ المَوْتَ لِضُرٍّ نَزَلَ بِهِ، فَإِنْ كَانَ لاَ بُدَّ مُتَمَنِّيًا لِلْمَوْتِ فَلْيَقُلْ: اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مَا كَانَتِ الحَيَاةُ خَيْرًا لِي، وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتِ الوَفَاةُ خَيْرًا لِي

“Janganlah salah seorang di antara kalian berangan-angan untuk mati karena musibah yang menimpanya. Kalau memang harus berangan-angan, hendaknya dia mengatakan, “Ya Allah, hidupkanlah aku jika kehidupan itu baik untukku. Dan matikanlah aku jika kematian itu baik bagiku.” (HR. Bukhari no. 6351, 5671 dan Muslim no. 2680)

Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang berangan-angan agar mati. Dalam riwayat dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَتَمَنَّى أَحَدُكُمُ الْمَوْتَ، وَلَا يَدْعُ بِهِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَهُ

“Janganlah seseorang mengharapkan kematian dan janganlah berdoa meminta mati sebelum datang waktunya.” (HR. Muslim no. 2682)

Dari dua hadits di atas dapat dipahami bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berangan-angan mati dalam pikiran dan juga berdoa (dengan diucapkan) meminta kematian.

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,

لَوْلاَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَانَا أَنْ نَدْعُوَ بِالْمَوْتِ لَدَعَوْتُ بِهِ

“Jika bukan karena aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita untuk berdoa meminta kematian, niscaya aku akan memintanya.” (HR. Bukhari no. 7234)

Dua alasan mengapa dilarang berangan-angan meminta kematian

Dalam hadits di atas terkandung larangan bagi setiap muslim untuk berangan-angan atau meminta kematian karena musibah yang dia alami, baik berupa kemiskinan, kehilangan sesuatu yang berharga, penyakit tertentu yang parah, luka secara fisik, atau musibah-musibah lainnya. Larangan ini karena dua alasan:

Alasan pertama, perbuatan tersebut menunjukkan keluh kesah terhadap musibah yang menimpa, tidak ridha dengan takdir Allah Ta’ala dan menentang takdir yang telah Allah Ta’ala tetapkan.

Yang menjadi kewajiban bagi seorang muslim adalah bersabar dalam menghadapi musibah. Kewajiban sabar ini berdasarkan ijma’ ulama. Yang lebih utama dari sabar adalah bersikap ridha terhadap musibah atau takdir dari Allah Ta’ala tersebut. Ridha terhadap musibah hukumnya sunnah, tidak sampai derajat wajib, menurut pendapat yang paling kuat.

Alasan kedua, berdoa meminta kematian tidaklah mendatangkan maslahat, namun di dalamnya justru terdapat mafsadah (keburukan), yaitu meminta hilangnya nikmat kehidupan dan berbagai turunannya yang bermanfaat.

Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَا يَتَمَنَّى أَحَدُكُمُ الْمَوْتَ، وَلَا يَدْعُ بِهِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَهُ، إِنَّهُ إِذَا مَاتَ أَحَدُكُمُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ، وَإِنَّهُ لَا يَزِيدُ الْمُؤْمِنَ عُمْرُهُ إِلَّا خَيْرًا

“Janganlah seseorang mengharapkan kematian dan janganlah meminta mati sebelum datang waktunya. Karena orang mati itu amalnya akan terputus, sedangkan umur seorang mukmin tidaklah bertambah melainkan akan menambah kebaikan.” (HR. Muslim no. 2682)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

وَلاَ يَتَمَنَّيَنَّ أَحَدُكُمُ المَوْتَ: إِمَّا مُحْسِنًا فَلَعَلَّهُ أَنْ يَزْدَادَ خَيْرًا، وَإِمَّا مُسِيئًا فَلَعَلَّهُ أَنْ يَسْتَعْتِبَ

“Janganlah salah seorang di antara kalian mengharapkan kematian. Jika dia orang baik, semoga saja bisa menambah amal kebaikannya. Dan jika dia orang yang buruk (akhlaknya), semoga bisa menjadikannya bertaubat.” (HR. Bukhari no. 5673)

Bagaimana jika musibah tersebut menimpa agama seseorang?

Dzahir hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa “musibah” tersebut bersifat umum, baik musibah yang terkait dengan dunia atau yang terkait dengan agama. Akan tetapi, sejumlah ulama salaf memaknai larangan tersebut jika musibah tersebut berkaitan dengan dunia. Maksudnya, jika musibah tersebut berkaitan dengan agama seseorang, di mana seseorang mengkhawatirkan akan adanya fitnah atau kerusakan pada agamanya, maka hal ini tidak termasuk dalam larangan di atas.

Dalam riwayat An-Nasa’i, terdapat hadits di atas dengan lafadz,

لَا يَتَمَنَّيَنَّ أَحَدُكُمُ الْمَوْتَ لِضُرٍّ نَزَلَ بِهِ فِي الدُّنْيَا

“Janganlah salah seorang di antara kalian berharap mati karena musibah duniawi yang menimpanya.” (HR. An-Nasa’i no. 1820, shahih)

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah menjelaskan,

على أن في في هذا الحديث سببية أي بسبب أمر من الدنيا

“Bahwa kata “fii” dalam hadits tersebut menunjukkan “sebab”. Maksudnya, dengan sebab suatu perkara (musibah) duniawi.” (Fathul Baari, 10: 128)

Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَمُرَّ الرَّجُلُ بِقَبْرِ الرَّجُلِ فَيَقُولُ: يَا لَيْتَنِي مَكَانَهُ

“Kiamat tidak akan terjadi sampai seseorang melewati makam orang lain dan mengatakan, “Duhai, seandainya aku menempati posisinya.” (HR. Bukhari no. 7115 dan Muslim no. 157)

Juga dalam hadits panjang yang diriwayatkan dari sahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, di dalamya diceritakan kalau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ فِعْلَ الخَيْرَاتِ، وَتَرْكَ المُنْكَرَاتِ، وَحُبَّ المَسَاكِينِ، وَأَنْ تَغْفِرَ لِي وَتَرْحَمَنِي، وَإِذَا أَرَدْتَ فِتْنَةً فِي قَوْمٍ فَتَوَفَّنِي غَيْرَ مَفْتُونٍ

“Ya Allah, sesungguhnya aku memintamu berbuat kebaikan, meninggalkan kemungkaran, mencintai orang-orang miskin, ampunilah aku dan rahmatilah aku, dan bila Engkau menghendaki fitnah pada hamba-hamba-Mu, wafatkanlah aku dalam keadaan tidak terkena fitnah.” (HR. Tirmidzi no. 3235, shahih)

Jika harus berangan-angan kematian

Dalam hadits pertama di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kalau memang harus berangan-angan, hendaknya dia mengatakan, “Ya Allah, hidupkanlah aku jika kehidupan itu baik untukku. Dan matikanlah aku jika kematian itu baik bagiku.”

Artinya, jika tidak boleh tidak dia ingin berangan-angan kematian karena keinginan kuat dari jiwa dan hawa nafsunya, sehingga mencegahnya untuk menjauhi larangan, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan solusi untuk berdoa dengan lafadz di atas.

Dari kalimat doa yang diajarkan dan diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut, terkandung makna pasrah dan tunduk terhadap ketentuan Allah Ta’ala, memasrahkan semua urusan kepada Allah Ta’ala yang Maha Mengetahui semua urusan dan hasil akhirnya. Yaitu, seseorang menggantungkan urusannya kepada ilmu Allah Ta’ala.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berdoa dengan lafadz tersebut dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu,

اللهُمَّ بِعِلْمِكَ الْغَيْبَ، وَقُدْرَتِكَ عَلَى الْخَلْقِ، أَحْيِنِي مَا عَلِمْتَ الْحَيَاةَ خَيْرًا لِي، وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتِ الْوَفَاةُ خَيْرًا لِي

“Ya Allah, dengan ilmu ghaib-Mu dan kekuasaanmu atas seluruh makhluk, hidupkanlah aku jika Engkau mengetahui bahwa kehidupan itu lebih baik untukku, dan wafatkanlah aku jika kematian itu lebih baik untukku … “ (HR. Ahmad 30: 265, shahih)

Demikian pembahasan ini, semoga bermanfaat.

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/43190-hukum-berdoa-mengharapkan-kematian.html

Isyarat Kematian

Nabi Ya’qub AS biasa berbincang dengan Malaikat Maut, salah satunya soal kematian.

 

Dalam kitab Irsyadul Ibad dikisahkan, Nabi Ya’qub AS biasa berbincang dengan Malaikat Maut. Di antara perbincangan itu membahas mengenai kematian.

Nabi Ya’qub berkata, “Aku tahu tugasmu sebagai pencabut nyawa. Alangkah baiknya, jika engkau mengabari aku terlebih dahulu sebelum menjemput ajalku nanti.” Malaikat Maut pun berkata, “Baiklah, nanti akan kukirimkan kepadamu dua atau tiga utusan.”

Selang beberapa lama, datanglah Malaikat Maut menemui Nabi Ya’qub AS. Bertanyalah Nabi Ya’kub, “Apa kedatangan Saudara sekadar bertamu seperti biasanya?” Malaikat Maut menjawab, “Tidak, aku mau mencabut nyawamu.”

Nabi Ya’qub berkata, “Bukankah aku pernah berpesan padamu agar mengingatkan aku sebelum kau mencabut nyawaku?” Malaikat Maut menjawab, “Aku sudah kirimkan kepadamu pesan itu, tidak hanya satu bahkan tiga: pertama, rambutmu yang mulai memutih; kedua, badanmu yang mulai melemah; dan ketiga badanmu yang mulai membungkuk. Itulah pesan yang kukirimkan kepada semua manusia sebelum aku mendatangi mereka.”

Begitulah sejatinya Allah SWT telah memberikan peringatan kepada segenap manusia akan datangnya kematian. Karena, tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati (QS al-Anbiya’ [21] :35). Akan tetapi, manusia lebih suka berpura-pura melupakannya.

Manusia itu sering kali mengakui tiga hal, tetapi sesering itu pula mereka menyalahinya dengan perbuatannya. Mereka mengaku sebagai hamba Allah, tetapi kelakukannya sangat tercela. Mereka berkata bahwa Allahlah yang mencukupi kehidupannya, tetapi perhatian dan hati mereka terborgol dengan keduniawian. Mereka mengetahui bahwa kematian itu pasti, tetapi mereka beramal seolah-olah tidak akan pernah mati.

Betapa banyak orang yang mengaku bahwa ia adalah hamba Allah, tetapi perbuatannya justru mencerminkan bahwa dirinya adalah hamba dunia, hamba harta, hamba jabatan, dan sebagainya. Lisannya bisa saja berkata, “Aku adalah hamba Allah,” tetapi tangannya masih saja mengambil yang bukan haknya, melakukan tindakan korupsi yang merugikan orang banyak, atau menerima sesuatu yang tidak seharusnya.

Oleh karena itu, semoga kita memiliki komitmen yang kuat untuk menata kembali kehidupan kita dengan lebih baik sehingga sisa-sisa umur kita ini dapat kita gunakan dengan sebaik-baiknya, sesuai tuntunan Allah dan Rasulullah SAW.

Dengan bertambahnya umur, semoga bertambah pula ketaatan dan ibadah kita kepada Allah dan bukan justru bertambah dosa-dosa kita kepada-Nya. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh berbahagia bagi orang yang panjang usianya dan baik amal perbuatannya.” (HR Thabrani). Wallahu’alam.

 

Oleh: Ahmad Agus Fitriawan

KHAZANAH REPUBLIKA

Bekal Ilmu Menuju Kematian

Renungan Menghadapi Kematian

 

“Seandainya kematian merupakan tempat peristirahatan yang tenang dari seluruh keluh kesah hidup manusia di dunia… niscaya kematian merupakan suatu kabar gembira yang dinanti-natikan bagi setiap insan… Akan tetapi kenyataannya berbeda… setelah kematian itu ada pertanggung jawaban dan ada kehidupan…”

Kematian Adalah Kepastian

Betapa banyak berita kematian yang sampai di telinga kita, mungkin mengkhabarkan bahwa tetangga kita, kerabat kita, saudara kita atau teman kita telah meninggal dunia, menghadap Allah Ta’ala. Akan tetapi betapa sedikit dari diri kita yang mampu mengambil pelajaran dari kenyataan tersebut. Saudaraku, kita tidak memungkiri bahwa datangnya kematian itu adalah pasti. Tidak ada manusia yang hidup abadi. Realita telah membuktikannya. Allah Ta’ala telah berfirman.

“Setiap jiwa pasti akan mengalami kematian, dan kelak pada hari kiamat saja lah balasan atas pahalamu akan disempurnakan, barang siapa yang dijauhkan oleh Allah Ta’ala dari neraka dan dimasukkan oleh Allah Ta’ala ke dalam surga, sungguh dia adalah orang yang beruntung (sukses).” (QS. Ali Imran : 185)

Allah Ta’ala juga telah berfirman,

“Katakanlah (wahai Muhammad) sesungguhnya kematian yang kalian lari darinya pasti akan mendatangi kalian, kemudian kalian akan dikembalikan kepada Dzat Yang Maha Mengetahui apa yang tersembunyi dan apa yang nampak, kemudian Allah Ta’ala akan memberitahukan kepada kalian setiap amalan yang dahulu kalian pernah kerjakan.” (QS. Al Jumu’ah : 8)

Saudaraku, kematian itu milik setiap manusia. Semuanya akan menjumpai kematian pada saatnya. Entah di belahan bumi mana kah manusia itu berada, entah bagaimanapun keadaanya, laki-laki atau perempuan kah, kaya atau miskin kah, tua atau muda kah, semuanya akan mati jika sudah tiba saatnya. Allah Ta’ala berfirman,

“Dan bagi tiap-tiap jiwa sudah ditetapkan waktu (kematiannya), jika telah tiba waktu kematian, tidak akan bisa mereka mengundurkannya ataupun mempercepat, meskipun hanya sesaat” (QS. Al A’raf :34)

Saudaraku, silakan berlindung di tempat manapun, tempat yang sekiranya adalah tempat paling aman menjadi persembunyian. Mungkin kita bisa lari dari kejaran musuh, selamat dari kejaran binatang buas, lolos dari kepungan bencana alam. Namun, kematian itu tetap akan menjemput diri kita, jika Allah Ta’ala sudah menetapkan. Allah Ta’ala berfirman,

“Dan dimanapun kalian berada, niscaya kematian itu akan mendatangi kalian, meskipun kalian berlindung di balik benteng yang sangat kokoh.” (QS. An Nisa : 78)

Kematian Adalah Rahasia Sang Pencipta

Kematian manusia sudah Allah Ta’ala tetapkan atas setiap hamba-Nya sejak awal penciptaan manusia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya proses penciptaan manusia di dalam perut ibu, berlangsung selama 40 hari dalam bentuk air mani, kemudian menjadi segumpal darah yang menggantung selama 40 hari, kemudian menjadi segumpal daging  selama 40 hari juga. Kemudian Allah mengutus seorang malaikat untuk meniupkan ruh pada janin tersebut, dan diperintahkan untuk mencatat empat ketetapan : rezekinya, kematiannya, amalannya, dan akhir kehidupannya, menjadi orang bahagia ataukah orang yang celaka….” (HR. Bukhari dan Muslim)

Allah Ta’ala telah berfirman,

“Sesungguhnya di sisi Allah sajalah pengetahuan tentang (kapankah) datangnya hari kiamat, dan Dia-lah yang menurunkan air hujan, dan Dia lah yang mengetahui tentang apa yang ada di dalam rahim, dan tidak ada seorang pun yang mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dia kerjakan esok haridan tidak ada seorang pun yang mengetahui di bumi manakah dia akan mati..” (QS. Luqman : 34)

Saudaraku, jika kita tidak tahu di bumi manakah kita akan mati, di waktu kapan kah kita akan meninggal, dan dengan cara apakah kita akan mengakhiri kehidupan dunia ini, masih kah kita merasa aman dari intaian kematian…? Siapa yang bisa menjamin bahwa kita bisa menghirup segarnya udara pagi esok hari…? Siapa yang bisa menjamin kita bisa tertawa esok hari…? Atau…. siapa tahu sebentar lagi giliran kematian Anda wahai Saudaraku…

Di manakah saudara-saudara kita yang telah meninggal saat ini…? Yang beberapa waktu silam masih sempat tertawa dan bercanda bersama kita… Saat ini mereka sendiri di tengah gelapnya himpitan kuburan… Berbahagialah mereka yang meninggal dengan membawa amalan sholeh… dan sungguh celaka mereka yang meninggal dengan membawa dosa dan kemaksiatan…

Faidah Mengingat Kematian

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perbanyaklah kalian mengingat pemutus kelezatan dunia”. Kemudian para shahabat bertanya. “Wahai Rasulullah apakah itu pemutus kelezatan dunia?” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Kematian” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, hadits dari shahabat Abu Hurairah)

Ad Daqaaq rahimahullahu mengatakan, “Barangsiapa yang banyak mengingat kematian, maka akan dianugerahi oleh Allah tiga keutamaan, [1] bersegera dalam bertaubat, [2] giat dan semangat dalam beribadah kepada Allah, [3] rasa qana’ah dalam hati (menerima setiap pemberian Allah)” (Al Qiyamah Ash Shugra, Syaikh Dr. Umar Sulaiman Al Asyqar)

Bersegera dalam Bertaubat

Sudah dapat dipastikan bahwa manusia adalah makhluk yang banyak dosa dan kemaksiatan. Seorang manusia yang banyak mengingat kematian, dirinya sadar bahwa kematian senantiasa mengintai. Dia tidak ingin menghadap Allah Ta’ala dengan membawa setumpuk dosa yang akan mendatangkan kemurkaan Allah Ta’ala. Dia akan sesegera mungkin bertaubat atas dosa dan kesalahannya, kembali kepada Allah Ta’ala. Allah telah berfirman,

“Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah bagi orang-orang yang mengerjakan keburukan dikarenakan kebodohannya, kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima taubatnya oleh Allah, dan Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana” (QS. An Nisa : 17)

Maksud dari berbuat keburukan karena kebodohan dalam ayat di atas, bukanlah kebodohan seorang yang tidak mengetahui sama sekali bahwa apa yang dia kerjakan merupakan sebuah keburukan. Orang yang berbuat buruk dan tidak mengetahui sama sekali tidak akan dihukum oleh Allah. Akan tetapi yang dimaksud kebodohan di sini adalah seseorang yang mengetahui bahwa apa yang dia lakukan adalah keburukan, namun dia tetap saja melakukannya lantaran dirinya dikuasai oleh hawa nafsu. Inilah makna kebodohan dalam ayat di atas. (Syarah Qowaidul Arba’ Syaikh Sholeh Fauzan).

Allah Ta’ala berfirman, “Dan bersegeralah menuju ampunan dari Rabb kalian dan menuju surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang telah dipersiapkan (oleh Allah) bagi orang-orang ynag bertaqwa” (QS. Ali Imran : 133)

Giat dan Semangat dalam Beribadah kepada Allah

Seorang yang banyak mengingat kematian, akan senantiasa memanfaatkan waktunya untuk beribadah kepada Allah Ta’ala. Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Abdullah Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, “Jadilah engkau di dunia ini bagaikan seorang yang asing atau seorang yang sedang menempuh perjalanan yang jauh”, mendengar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, lantas Abdullah ibnu Umar berkata, “Jika engkau berada di sore hari jangan engkau tunggu datangnya pagi hari, jika engkau berada di pagi hari jangan engkau tunggu datangnya sore hari, pergunakanlah waktu sehatmu (dalam ketaatan kepada Allah) sebelum datangnya waktu sakitmu, dan pergunakanlah waktu hidupmu sebelum kematian datang menjemputmu.” (HR. Bukhari)

Rasa Qana’ah di Dalam Hati

Allah Ta’ala akan menanamkan rasa qana’ah di dalam hati seseorang yang banyak mengingat kematian. Rasa qana’ah yang membuat seseorang merasa cukup terhadap setiap pemberian Allah Ta’ala, bagaimanapun dan berapa pun pemberian Allah. Suatu saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan nasehat kepada Abu Dzar. Abu Dzar berkata,

“Kekasihku yakni Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah tujuh perkara padaku, (di antaranya): Beliau memerintahkanku agar mencintai orang miskin dan dekat dengan mereka, dan beliau memerintahkan aku agar melihat orang yang berada di bawahku (dalam masalah harta dan dunia), juga supaya aku tidak memperhatikan orang yang berada di atasku. …” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Seseorang yang banyak mengingat kematian, meyakini bahwa segala pemberian Allah dari perbendaharaan dunia adalah titipan dari Allah. Seluruhnya akan diambil kembali oleh Allah, dan akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah Ta’ala atas seluruh pemberian tersebut. Nas’alullaha al afiyah.

Kehidupan setelah Kematian

“Saudaraku, seandainya kematian merupakan tempat peristirahatan yang tenang dari seluruh keluh kesah hidup manusia di dunia… niscaya kematian merupakan suatu kabar gembira yang dinanti-natikan bagi setiap manusia… Akan tetapi kenyataannya berbeda… setelah kematian itu ada pertanggung jawaban dan ada kehidupan… kehidupan yang sebenarnya…”

Diantara keimanan kepada hari kiamat adalah meyakini bahwa setelah kematian ini ada kehidupan. Semuanya akan berlanjut ke alam kubur kemudian ke alam akhirat. Di sana ada pengadilan Allah Ta’alayang Maha Adil. Semua manusia akan diadili, mempertanggungjawabkan setiap amalan yang dia perbuat. Allah Ta’ala berfirman,

“Barangsiapa yang berbuat kebaikan meskipun sekecil biji dzarah, niscaya dia akan melihat hasilnya, dan barang siapa yang berbuat keburukan meskipun sekecil biji dzarah, niscaya dia akan melihat akibatnya” (QS. Al Zalzalah: 7-8)

Terakhir Saudaraku, jadilah orang yang cerdas. Orang yang cerdas dalam memandang hakikat kehidupan di dunia ini. Abdullah Ibnu Umar dia pernah berkata‘Aku bersama Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu seorang laki-laki Anshar datang kepada beliau, kemudian mengucapkan salam kepada beliau, lalu dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, manakah di antara kaum mukminin yang paling utama?’. Beliau menjawab, ‘Yang paling baik akhlaknya di antara mereka.’ Dia berkata lagi, ‘Manakah di antara kaum mukminin yang paling cerdas?’. Beliau menjawab, ‘Yang paling banyak mengingat kematian di antara mereka, dan yang paling baik persiapannya setelah kematian. Mereka itu orang-orang yang cerdas.’” (HR. Ibnu Majah)

Semoga bermanfaat. Allahul Muwaffiq ila Aqwamit Thariq

[Oleh : Hanif Nur Fauzi]

Sumber : https://buletin.muslim.or.id/tazkiyatun-nufus/renungan-menghadapi-kematian

Ayo Mengingat Kematian!

SAKARATUL maut dan kematian pasti akan datang. Kematian karena usia senja, penyakit kritis, musibah, dan sebagainya, tidak bisa ditolak kehadirannya oleh semua orang. Waktu dan tempat kematian juga tidak dapat diketahui oleh siapa pun. Tidak ada yang bisa mendebatkan kenyataan ini. Tentang kematian, Allah berfirman,

“Sesungguhnya, kematian adalah haq, pasti terjadi, tidak dapat disangkal lagi. Itulah yang kamu selalu lari dari padanya.” (QS. Qaaf [50]:19)

Seseorang yang mengira bahwa kematian itu hanya kefanaan dan ketidakadaan secara total yang tidak ada kehidupan, perhitungan amal, hari dikumpulkan, kebangkitan, surga atau neraka setelah itu adalah salah.

Sebab, andai kata demikian, tentu tidak ada hikmah dari penciptaan dan wujud kita. Manusia semua sama saja setelah kematian, mukmin dan kafir sama, pembunuh dan terbunuh sama, si penganiaya dan yang teraniaya sam, pelaku ketaatan dan maksiat sama, pezina dan si rajin salat sama, pelaku perbuatan keji dan ahli takwa sama.

Kematian adalah terputusnya hubungan ruh dengan badan. Kemudian, ruh berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dan seluruh lembaran amal ditutup, pintu tobat dan pemberian tempo pun terputus. Rasulullah saw bersabda:

“Sesungguhnya Allah menerima tobat seorang hamba selama belum sekarat.” (HR. At-Tarmidzi)

Kematian merupakan musibah yang paling besar. Karena itu, Allah menamakannya dengan ‘musibah maut’. Allah berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah) dengan nama Allah, jika kamu ragu-ragu, (demi Allah) kami tidak akan membeli dengan sumpah ini haraga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah, sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa.” (QS. Al-Maidah [6]:106). [Ushfuriyah]/Chairunnisa Dhiee

 

 

Hadapi Dua Malaikat Kubur, Ini Beda Muslim dan Non-Muslim

Di antara perbedaan antara orang yang beriman dan kufur adalah kemampuan menjawab pertanyaan dua malaikat ketika berada di alam barzakh. Abu Bakar Ahmad bin al-Husain bin Ali bin Musa al-Khasrujaradi al-Baihaqi as-Syafi’I dalam kitabnya yang berjudul Itsbat ‘Adzab al-Qabr wa Sual al-Malakain menjelaskan kemudahan bagi orang yang beriman saat menjawab semua pertanyaan yang diajukan dua malaikat, Munkar dan Nakir.

Penegasan itu termaktub dalam ayat, “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS Ibrahim [14]: 27).

Peneguhan iman yang dimaksud dalam ayat tersebut juga berlaku kelak di akhirat. Faktor apakah yang dapat meneguhkan keimanan seseorang itu? Salah satunya ialah kesaksian atau syahadat.

Menurut hadis riwayat al-Barra’ bin ‘Azib, Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa seorang Mukmin adalah mereka yang ketika berada dalam kuburnya mampu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan ber ikrar sebagai pengikut Muhammad SAW.

Riwayat lain dari Abdullah bin Mas’ud mengatakan, orang-orang yang beriman, sebagaimana disebutkan ayat di atas, bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan malaikat tentang siapakah Tuhan yang ia sembah, agama yang ia peluk, dan siapakah nabi yang ia taati.

Soal-soal itu pun dengan mudah dijawab. Allahlah Tuhannya, Islam agamanya, dan Muhammad nabinya. Lalu, kuburnya dilapangkan hingga ia beristirahat dengan tenang.

Sebaliknya, deretan pertanyaan serupa juga disodorkan kepada orang-orang kafir. Jawaban yang keluar dari lisan mereka hanyalah ketidaktahuan dan kebodohan. Akibatnya, kubur yang ia huni pun akan sempit dan ia akan disiksa.

Terkait fakta ini, Abdullah bin Mas’ud membaca ayat, “Dan, barang siapa berpaling dari peringatan-Ku maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS Thaahaa [20]: 124).

Baik pertanyaan, siksa, maupun nikmat kubur, pasti akan terjadi. Ketika jasad telah dikubur, lalu saudara, kerabat, dan para kolega beranjak pergi meninggalkan makamnya maka orang mukmin ataupun kafir akan mendapat disodori pertanyaan-pertanyaan itu.

Hukum Allah berlaku di sana. Seperti dalil-dalil sebelumnya, umat yang beriman menjawabnya dengan enteng. Sedangkan, kaum kafir tak kunjung bisa mencerna soal-soal itu secara baik. Siksa dan nerakalah balasannya. Hal ini sebagaimana tergambar dalam riwayat Anas bin Malik.

Peninggalan Rasulullah: Dua Penasihat Kematian

ADAKALANYA manusia membutuhkan nasihat dalam kehidupannya, agar hatinya tidak keras membatu, pikirannya tidak lalai, dan tidak tertipu kenikmatan dunia apalagi tergoda rayuan setan untuk berbuat keburukan.

Dalam hal ini Rasulullah meninggalkan dua jenis penasihat kematian, ialah yang bersuara dan tidak bersuara. Kedua penasihat ini tidak hentinya memberikan nasihat.

Penasihat kematian yang pertama adalah Alquran. Ia selalu menasihati kita dengan memperdengarkan ayat-ayat Allah. Alquran mengingatkan manusia dan menyadarkan orang-orang yang lalai, juga untuk menambah keimanan orang-orang mukmin.

“Maka berilah peringatan dengan Alquran orang yang takut dengan ancaman-Ku.” (QS Qaf [50]: 45)

Penasihat yang tidak bersuara adalah kematian. Dan kematian merupakan penasihat paling berharga. Selalu mengintai setiap saat tanpa mengenal waktu. Namun kita manusia terlalu sering menutup telinga tidak mendengarnya. Kita disibukkan dengan urusan dunia. Menjadikan kita lupa bahwa kematian mengancam jiwa setiap hari, setiap jam, menit, dan detik kehidupan.

Adakah kita rasa penasihat yang lebih berharga dari ini:

“Jika suatu waktu kita dihadapkan dengan seseorang yang hidup, dengan wajah yang berseri-seri, lisannya berbicara, dan memiliki keinginan terhadap dunia, tetapi dengan seketika orang tersebut kaku tak bergerak, wajah yang berseri-seri berubah menjadi pucat, lisan yang fasih berbicara berubah bungkam seribu bahasa. Dan seseorang yang tadinya sangat nyaman untuk kita pandang, ternyata telah terkubur dalam liang lahat. Kalau sudah begitu, adakah penasihat yang lebih berharga dari kematian?”

Penasihat yang tidak bersuara itu lebih dekat daripada kedipan mata kita. Jangan pernah mengira bahwa ia begitu jauh. Saat kematian datang, kita berandai-andai supaya Allah menundanya. Sungguh disayangkan, kita tidak akan menemukan kesempatan itu lagi. Harapan itu percuma.

Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang merugi. (QS, Al-Munafiqun [63]:9)

Dan belanjakanlah (infaqkanlah) sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: “Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian) ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?” (QS, Al-Munafiqun [63]:10)

Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS, Al-Munafiqun [63]:11) []

 

 

Tabiat Kematian

Kematian itu suatu kepastian bagi setiap jiwa (QS 3:185).Namun, mayoritas manusia takut mati atau dengan ungkapan lain, belum siap menghadapinya.Masih banyak mimpi yang belum tercapai, masih segudang harapan hidup yang belum terwujud. Ada juga yang merasa belum waktunya bertobat! Nanti setelah tua baru mende kat ke masjid dan mushala!

Sekarang waktunya menikmati hidup dahulu! Ini prinsip hidup sebagian manusia! Mengingat kematian dengan mengenal tabiat dan karekte ristiknya adalah bagian upaya menghadapinya. Rasulullah SAW bersabda: Perbanyaklah mengingat kematian, sebab yang demikian itu akan menghapuskan dosa, dan menyebabkan timbulnya kezuhudan di dunia.

Dengan mengenali tabiat kematian akan mendorong seseorang untuk mempersiapkan bekal kematian, menghindari perbuatan-perbuatan yang menjurus kepada kemaksiatan dan mendorong berlaku takwa.

Pertama, kematian adalah puncak setiap makhluk di muka bumi. Kematian merupakan penghujung bagi setiap yang bernyawa di dunia ini (QS 55:26-27).

Kedua, kematian adalah garis finis perjalanan kehidupan dunia, dan merupakan garis awal kehidupan alam akhirat.

Ketiga, kematian merupakan tanda kebesaran Allah yang menunjukkan kemahakuasaan-Nya dan keperkasaan-Nya terhadap semua makhluk-Nya (QS 6:61).

Keempat, kematian mencerminkan keadilan Allah SWT kepada makhluknya, tidak pandang bulu dalam menimpakan kematian ini (QS 29:57). Kelima, kematian merupakan pemutus segala kelezatan hidup, menghentikan total gerakan badan, menceraikan seseorang dari komunitasnya, menghalanginya dari segala yang (semula menjadi) kebiasaannya (QS 23:80).

Keenam, kematian tidak dapat dicegah oleh petugas penjaga pintu, tidak bisa dicegat oleh bodyguard, tidak bisa diha langi oleh harta benda, anak, dan kawan serta teman.

Ketujuh, Kematian datang tiba-tiba dalam waktu yang telah ditentukan (QS 63:11). Kedatangannya tanpa meminta izin terlebih dahulu kecuali kepada para nabi, mengingat kedudukan mereka yang mulia di sisi Allah SWT karena itulah kematian meminta izin kepada setiap para nabi.

Kedelapan, sakitnya kematian tidak ada seorangpun yang dapat melukiskannya karena kedahsyatannya.

Cukuplah kematian sebagai nasihat bagi kita, cukuplah kematian menjadikan hati bersedih akan bekal kita yang masih kurang, cukuplah kematian menjadikan air mata berlinang. Penyebab perpisahan dengan saudara tercinta. Penghalang segala kenikmatan dan pemutus segala cita-cita. Cukuplah kematian sebagai pelajaran, kita akan mengalaminya.Wallahu a’lam.

 

OLEH AHMAD AGUS FITRIAWAN

REPUBLIKA

Renungkanlah Kematian Anda

NABI Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sering merenungkan kematiannya sendiri. Latihan ini meluaskan pemahaman beliau tentang misteri kehidupan dan memperdalam pengalaman kasih sayangnya.

Beliau pernah bersabda, “Satu-satunya penasihat yang kau butuhkan adalah kematianmu.”

Dalam proses mencapai keputusan penting, renungkanlah kematian Anda. Latihan ini dengan cepat menyusun ulang prioritas dan nilai.

Latihan spiritual lain Rasulullah adalah melakukan ziarah kubur dan berdoa di sana. Beliau kerap melakukan ini di tengah malam.

Dalam salah satu kegiatan beliau sebelum wafat, Rasul berdoa semalam suntuk di sebuah makam seraya memohon rahmat dari Allah untuk para orang yang sudah wafat.

Praktik ini, ujar Rasul, membangun sifat rendah hati, lembut hati, dan keberanian di dalam diri kita. [Wajah Sejuk Agama]

INILAH MOZAIK

Jangan Berpakaian Hitam Saat Kematian

KITA sering menyaksikan hampir setiap ada kematian, banyak orang-orang yang melayat atau keluarga yang tengah berduka, menggunakan pakaian serba hitam. Apakah syariat Islam mengajarkan hal itu?

Ternyata, tengenakan pakaian hitam saat tertimpa musibah, terutama karena kematian anggota keluarga, merupakan simbol yang tidak ada asalnya.

Seharusnya ketika seseorang yang tertimpa musibah melaksanakan hal-hal yang telah diajarkan syariat, yaitu mengucapkan innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Allahumma ajirni fi mushibati wa akhlifli khoiron minha (Sesungguhnya kami milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nya kami dikembalikan. Ya Allah berilah aku pahala dalam musibahku ini dan berilah aku pengganti yang lebih baik).

Jika ia mengucapkannya dengan penuh keimanan dan mengharap pahala, Allah Subhanahu wa Taala akan membalasnya dengan pahala dan memberikan pengganti yang lebih baik.

Adapun menggunakan pakaian tertentu, misalnya pakaian hitam atau lainnya, tidak ada asalnya, bahkan ini merupakan perkara batil dan tercela. []

Sumber : Fatawa al-Marah, Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 65 dan Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 2, Darul Haq Cetakan VI 2010