[Khutbah Jumat] Waspadai Empat Penjajahan setelah Kemerdekaan

Hari Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia di bulan Agustus penanda bangsa kita sudah merdeka, tapi apakah benar kita sudah terbebas dari penjajahan?

Oleh: Ali Akbar bin Muhammad bin Aqil

Khutbah Jumat Pertama

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى سيدنا مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن

عِبَادَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ قَالَ اللهُ تَعَالَى: يَاأَيّهَا النَاسُ اتّقُوْا رَبّكُمُ الّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتّقُوا اللهَ الَذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَام َ إِنّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah

Tujuh puluh tujuh tahun silam, bulan ini untuk pertama kalinya menjadi bulan yang spesial yang dikenang dalam sejarah perjuangan kemerdekaan. Hari Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terjadi di bulan Agustus menjadi penanda bangsa kita terbebas dari penjajahan.

Seiring bergulirnya waktu, makna kemerdekaan mengalami perluasan. Tidak sebatas merdeka dari sistem kolonial. Namun yang lebih luas lagi kemerdekaan dapat kita artikan sebagai sikap untuk menjadi pribadi yang merdeka dari kebiasaan-kebiasaan yang buruk, tidak disiplin, menunda pekerjaan, menghindar dari tanggung jawab, tidak produktif, dan masih banyak lainnya.

Oleh karena perluasan makna kemerdekaan inilah, kita ingin menyampaikan sejumlah hal yang di dalamnya masih banyak di antara kita, belum merdeka sepenuhnya.

Pertama, merdeka dari kebodohan

Berapa banyak dari saudara kita umat Islam yang belum bisa baca Al-Quran apalagi memahami kandungannya, lebih-lebih mengamalkan isinya. Berapa banyak dari umat Islam yang masih sangat awam tentang syariat Islam.

Tidak hanya awam, tapi sebagian ada yang menuding syariat Islam adalah ajaran yang melanggar hak asasi manusia.  Kenyataan demikian menandakan bahwa kita belum merdeka, masih melangami ‘penjajahan’ dari kebodohan tentang agama yang kita anut sendiri.

Sehingga jika kita ingin merdeka, kita harus memerdekakan diri dari kebodohan dan ‘penjajahan’ ini. Masihkah kita ingat bahwa ayat pertama yang turun adalah Iqra’ yang artinya bacalah.

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ، خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ، اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ، الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ، عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-A’laq : 01-05).

Apa yang kita baca? Ayat-ayat Allahﷻ yang tersurat maupun tersirat. Pesan moralnya adalah Allahﷻ memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya agar menjauhi kebodohan dan ‘penjajahan’ yang dapat mengantarkan kepada kemiskinan, dan kemiskinan bisa menyebabkan kekufuran. Selama kebodohan masih menyelimuti diri kita, berarti kita belum merdeka sepenuhnya.

Kaum Muslimin yang berbahagia

Kedua, kita belum merdeka dari kemiskinan. Allahﷻ menegaskan dalam firman-Nya agar kita jangan sampai meninggalkan generasi yang lemah. Lemah dalam banyak aspek. Lemah dalam ekonomi, ilmu pengetahuan, fisik, mental, dan sebagainya.

Kebodohan yang berkolaborasi dengan kemiskinan mampu merusak keimanan. Allahﷻ berfirman :

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS. An-Nisaa’ : 09).

Karenanya, jangan sampai belenggu kemiskinan kita biarkan begitu saja. Orang-orang yang kaya, bebaskanlah saudara-saudara kalian yang miskin dengan harta yang kalian miliki.

Kita tingkatkan taraf perekonomian umat dan bangsa sehingga menjadi generasi yang kuat dalam berbagai bidang kehidupan. Jangan kita biarkan kemiskinan terus terjadi secara turun temurun, menjadi penjajahan yang membelenggu.

Hal ketiga yang tidak kalah mengkhawatirkan adalah kita belum merdeka dari ketidakadilan hukum.

Sudah tujuh puluh tujuh tahun bangsa ini diberi rahmat oleh Allahﷻ berupa kemerdekaan. Namun, kita masih sering korban ‘penjajahan’ dengan model penegakan hukum yang berat sebelah, timpang, dan jauh dari rasa keadilan.

Coba lihatlah, bagaimana hukum ditegakkan seperti pisau, yang tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Penghinaan kepada kepala negara bisa langsung ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara, sementara yang melakukan penistaan agama, menghina Al-Quran, atau menyebarkan berita hoak, ada yang tidak diproses meski sudah dilaporkan berkali-kali. Padahal kepala negara saja disumpah dan dilantik dengan Al-Quran.

Contoh lainnya si pencuri ayam atau kayu yang tidak seberapa, terkadang dihukum sangat tegas dan berat daripada koruptor maling uang rakyat. Rasulﷺ yang merupakan teladan bagi kita semua telah memberikan sikap adil dalam hukum tanpa pandang bulu,

 وإني، والذي نفسي بيدِه، لو أنَّ فاطمةَ بنتَ محمدٍ سرقت لقطعتُ يدَها

“Adapun aku, demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, jika Fatimah putri Muhammad mencuri maka akan aku potong tangannya.” (HR. Bukhari-Muslim)

Jemaah shalat Jumat yang berbahagia

Keempat, kita masih belum merdeka dari kesenjangan dalam kesejahteraan. Jarak antara orang kaya dan orang miskin masih menganga. Orang kaya menjadi semakin kaya, orang miskin semakin miskin.

Ini adalah hal yang menunjukkan kita belum merdeka. Karenanya, menjadi tanggung jawab besar di pundak setiap pemimpin yang diamanahi oleh rakyat, untuk menciptakan pemerataan dalam kesejahteraan, sehingga ketimpangan yang tengah terjadi dapat dikurangi bahkan dihilangkan.

Semoga menginjak usia ketujuh puluh tujuh tahun kemerdekaan Indonesia, bangsa ini bisa meraih kebebasan dan kemerdekaan yang sesungguhnya. Bagi umat Islam, kemerdekaan yang hakiki adalah sebuah perjuangan tiada henti.

Jangan sampai kita menyerah tanpa perlawanan akibat tergiur godaan dunia dan lalai dalam menjalankan kewajiban kita sebagai seorang hamba. Mari kita memerdekakan diri kita dari ‘penjajahan’, kebodohan, kemiskinan, ketidakadilan, dan ketimpangan dalam kesejahteraan.

بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فيِ القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنيِ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآياَتِ وَالذِّكْرِ الحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنيِّ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ َإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْليِ هذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ ليِ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

Khutbah Jumlat kedua

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى سيدنا مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن. اَمَّا بَعْدُ :

فَيَا اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ تَعَالىَ وَذَرُوا الْفَوَاحِشَ مَاظَهَرَ وَمَا بَطَنْ، وَحَافِظُوْاعَلىَ الطَّاعَةِ وَحُضُوْرِ الْجُمْعَةِ وَالْجَمَاعَةِ.

وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهَ اَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَنَّى بِمَلاَئِكَةِ قُدْسِهِ، فَقَالَ تَعَالىَ وَلَمْ يَزَلْ قَائِلاً عَلِيْمًا: اِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِىْ يَاَ يُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سيدنا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سيدنا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سيدنا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سيدنا إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى سيدنا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سيدنا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سيدنا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سيدنا إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالمسْلِمَاتِ وَالمؤْمِنِيْنَ وَالمؤْمِنَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ،

اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوذُ بِكَ مِنَ البَرَصِ وَالجُنُونِ والجُذَامِ وَسَيِّيءِ الأسْقَامِ

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا, اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى والتُّقَى والعَفَافَ والغِنَى، رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ و َمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

Arsip naskah khutbah Jumat yang lain bisa dibaca di www.hidayatullah.com, atau klik di SINI

Kemerdekaan yang Hakiki Menjadi Hamba Allah

Merdeka adalah lawan dari perbudakan, tentu kita semua ingin merdeka dan merasa bebas, nyaman dan bahagia dalam menjalani hidup. Kita tidak ingin juga terkekang, serta terbatas dan tidak bebas dalam menjalani kehidupan atau ada sesuatu yang memperbudak kita

Bagi seorang muslim kemerdekaan & kebahagiaan sejati adalah menjadi hamba Allah sepenuhnya dan merasa bahagia dengan menunaikan hak Allah dalam tauhid. Merasa bahagia melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Merasa bahagia berakhlak mulia, membantu sesama serta memudahkan urusan orang lain.

Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menjelaskan mengenai hal ini, beliau berkata,

العبودية لله هي حقيقة الحرية، فمن لم يتعبد له، كان عابدا لغيره

“Menjadi hamba Allah adalah kemerdekaan yang hakiki, Barang siapa yang tidak menghamba kepada Allah, dia akan menjadi hamba kepada selain-Nya”. [Al-Majmu’ Al-Fatawa 8/306]

Menjadi budak dunia & budak hawa nafsu itu belumlah merdeka.

Dalam hadis disebutkan bahwa manusia bisa menjadi budak dunia & budak harta.  Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda,

ﺗَﻌِﺲَ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟﺪِّﻳْﻨَﺎﺭِ ﺗَﻌِﺲَ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟﺪِّﺭْﻫَﻢِ، ﺗَﻌِﺲَ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟْﺨَﻤِﻴْﺼَﺔِ ﺗَﻌِﺲَ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟْﺨَﻤِﻴْﻠَﺔِ ﺇِﻥْ ﺃُﻋْﻄِﻲَ ﺭَﺿِﻲَ ﻭَﺇِﻥْ ﻟَﻢْ ﻳُﻌْﻂَ ﺳَﺨِﻂَ

“Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba khamisah dan khamilah (sejenis pakaian yang terbuat dari wool/sutera). Jika diberi ia senang, tetapi jika tidak diberi ia marah” (HR. Bukhari).

Bagaimana dunia dan harta memperbudak manusia? Yaitu dengan mendorong manusia menjadi tamak dan tidak pernah puas. Misalnya, dunia dan harta yang telah memperbudak dengan seolah-olah mengatakan

“Carilah harta yang banyak”

“Cari lagi harta tersebut, kalau perlu lembur”

“Cari lagi harta tersebut, kalau perlu halalkan segala cara”

Kita pun melakukannya semua perintah harta dan dunia tersebut, seolah-olah harta dan dunia memperbudak kita dan kita ikuti semua perintahnya.

Ketamakan atas dunia karena kita juga diperbudak oleh hawa nafsu kita, hawa nafsu inilah yang banyak menjadikan manusia tersesat.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ثَلَاثٌ مُهْلِكَاتٌ وَ ثَلَاثٌ مُنْجِيَاتٌ فَأَمَّا ثَلَاثٌ مُهْلِكَاتٌ: شُحٌّ مُطَاعٌ وَ هَوًى مُتَّبَعٌ وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ و ثَلَاثٌ مُنْجِيَاتٌ : خَشْيَةُ اللَّهِ فِي السِّرِّ والعلانيةِ وَالْقَصْدُ فِي الْفَقْرِ وَالْغِنَى وَالْعَدْلُ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَا

“Tiga perkara yang membinasakan dan tiga perkara yang menyelamatkan. Adapun tiga perkara yang membinasakan adalah: kebakhilan dan kerakusan yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan  seseorang yang membanggakan diri sendiri. Sedangkan tiga perkara yang menyelamatkan adalah takut kepada Allâh di waktu sendirian dan dilihat orang banyak, sederhana di waktu kekurangan dan kecukupan, dan (berkata/berbuat) adil di waktu marah dan rida” (Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, no. 1802).

Hawa nafsu juga banyak menyesatkan manusia. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِنَّ كَثِيرًا لَيُضِلُّونَ بِأَهْوَائِهِمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِالْمُعْتَدِينَ

“Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Rabbmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas” (QS. Al-An’am: 119).

Hawa nafsu yang tidak terkendali akan membawa kita ke arah keburukan yang terus menerus.

Allah Ta’ala berfirman dalam surat Yusuf,

وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang” (QS. Yusuf: 53).

Apabila masih diperbudak harta dan dunia, kita belum merdeka sepenuhnya

Masih banyak manusia yang terjebak dalam hal ini. Alih-alih menghamba kepada Allah, malah menghamba kepada hawa nafsu dan setan.

Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata dalam Nuniyyah-nya,

هَربوا من الرق الذي خُلقوا له  فبُلُوا برِقِّ النفس والشيطان

“Mereka lari dari penghambaan (mejadi budak Allah) di mana mereka diciptakan untuk itu, lalu mereka dihukum dengan penghambaan kepada hawa nafsu dan setan” (At-Ta’liqaat Al-Fatawa Al-Hamawiyah Syaikh Al-Fauzan hal. 59).

Dengan menjadi Hamba Allah sejati yang menunaikan hak Allah itulah kemerdekaan yang mengantarkan kepada kebahagiaan

Karena hakikat kehidupan adalah beribadah kepada Allah semata dan melaksanakan perintah-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu” (QS. Adz Dzariyat: 56).

Menjadi hamba Allah, beribadah mentauhidkan Allah serta menjalankan perintah-Nya adalah sumber kebahagiaan. Hal ini dibahas dalam kitab tauhid agar kita benar-benar menghambakan Allah. Syekh Muhammad At-Tamimi Rahimahullah menjelaskan tanda hamba yang bertauhid, beliau berkata,

إذا أعطى شكر، وإذا ابتلي صبر، وإذ أذنب استغفر، فإن هؤلاء الثلاث عنوان السعادة

“(1) jika diberi kenikmatan, dia bersyukur, (2) jika diuji dengan ditimpa musibah, dia bersabar, (3) dan jika melakukan dosa, dia beristighfar (bertaubat), tiga hal ini adalah tanda kebahagiaan” (Matan Al-Qawa’idul Arba’).

Semoga kita bisa menjadi hamba yang senantiasa beribadah kepada-Nya dan tidak menjadi budak dunia dan hawa nafsu. Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata dalam Nuniyyah-nya,

وَعِبَادَةُ الرَّحْمٰنِ غَايَةُ حُبِّــهِ           مَعَ ذُلِّ عَابِـدِهِ هُمَـا قُـطْبَـانِ

وَعَلَيْهِمَا فَلَكُ الْعِبَادَةِ دَائِرٌ          مَا دَارَ حَتَّى قَامَتِ الْقُـطْبَـانِ وَمَدَارُهُ بِالْأَمْرِ أَمْرِ رَسُوْلِـهِ           لَا بِالْهَوَى وَالنَّفْسِ وَالشَّيْطَانِ

“Ibadah kepada Allah adalah puncak cinta  kepada-Nya

Disertai ketundukan hati orang yang beribadah kepada-Nya, keduanya adalah poros ibadah

Di atas kedua poros tersebutlah garis ibadah berputar

Dia tidak akan berputar sampai dua poros tersebut tegak

Dengan melaksanakan agama yang merupakan perintah  Rasul-Nya

Bukan mengikuti hawa nafsu, dorongan hati, dan mengikuti setan” (Syarh Qasidah Ibnil Qayyim 1/253).

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

Sumber: https://muslim.or.id/68193-kemerdekaan-yang-hakiki-menjadi-hamba-allah.html

Aku Cinta Negeriku sebagaimana Rasulullah Mencintai Negerinya

Sejak kecil saya diajarkan untuk mencintai negeri ini. Dari sekedar menghafal lagu kebangsaan, mengikuti upacara hingga menghafalkan nama-nama para pahlawan. Didikan itu membekas sampai saat ini sebagai sebuah kesadaran bahwa saya orang Indonesia yang wajib menjaga negeri ini.

Kecintaan saya terhadap negara ini tetap kokoh hingga pada akhirnya ada yang membuat saya untuk cinta kepada negeri ini. Bukan karena ada negeri lain yang harus saya cintai. Namun, ada istilah yang menggetarkan iman saya bahwa mencintai negeri ini adalah perbuatan yang bertentangan dengan keyakinan saya.

Banyak gangguan dalam diri saya akibat perkataan yang mengatakan mencintai negeri ini adalah bagian dari perbuatan salah. Cukuplah saya mencintai agama saya, tidak perlu mencintai negeri ini. Mulailah saya meragukan berbagai hal yang membanggakan seperti menghormati bendera merah putih. Itu perbuatan syirik dan haram dalam pikiran dan keyakinan saya.

Namun, rasanya tidak bisa hidup seperti ini. Berada dalam lingkungan besar yang saya dibesarkan dalam sebuah negeri, tetapi saya merasa sendiri dan tidak merasa membanggakan negeri ini. Saya mulai mencari keresahan saya dengan menanyakan hal itu kepada orang yang alim.

Saya berusaha menemukan jawaban kepada orang yang menguasai keagamaan, bukan kepada orang yang menguasai emosi keagamaan. Sampailah pada suatu ketika saya mendapatkan penerangan bahwa Rasulullah pun mencintai negerinya. Rasul pembawa risalah pun mencintai tanah kelahirannya.

Mencintai Tanah Kelahiran adalah Sunnah

Dalam sebuah hadist :

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ فَنَظَرَ إِلَى جُدُرَاتِ الْمَدِينَةِ أَوْضَعَ نَاقَتَهُ وَإِنْ كَانَ عَلَى دَابَّةٍ حَرَّكَهَا مِنْ حُبِّهَا ……. وَفِي الْحَدِيثِ دَلَالَةٌ عَلَى فَضْلِ الْمَدِينَةِ وَعَلَى مَشْرُوعِيَّة حُبِّ الوَطَنِ والحَنِينِ إِلَيْهِ .

Artinya: “Diriwayatkan dari sahabat Anas; bahwa Nabi SAW ketika kembali dari bepergian, dan melihat dinding-dinding Madinah beliau mempercepat laju untanya. Apabila beliau menunggangi unta maka beliau menggerakkanya (untuk mempercepat) karena kecintaan beliau pada Madinah. (HR. Bukhari, Ibnu Hibban, dan Tirmidzi).

Cinta terhadap negeri adalah fitrah manusia yang tidak bisa dinafikan sebagaimana Rasulullah mencintai tanah kelahiran dan masyarakat Madinah yang dibangun bersama. Mencintai negeri yang kita tinggali bukan bagian dari hal buruk bahkan bertentangan dengan syariat. Justru mencintai negeri dan tanah kelahiran adalah bagian dari teladan Nabi.

Menjadi cukup terang bagi saya bahwa sesungguhnya mencintai negeri bukan hal yang bertentangan dengan mencintai agama. Justru mencintai negeri ini adalah bagian mencintai agama ini. Ketika kita menjaga negeri ini sesungguhnya kita sedang menjaga agama kita. Tidak ada hal yang perlu dirisaukan dari mencintai sebuah negeri dan menjaganya.

Tidakkah Nabi mengajarkan kecintaan terhadap tanah air dan merindukan tempat yang kita tinggali sebagai tempat berlindung?

ISLAM KAFFAH

Islam dan Kebebasan

Banyak manusia yang hidup di dunia ini menginginkan kehidupan yang bebas dan tidak terkekang dengan berbagai aturan. Sampai-sampai karena kuatnya keinginan ini mereka tidak lagi mengindahkan norma-norma agama, sebab mereka menganggap agama sebagai belenggu semata.

Meskipun faktanya, kebebasan yang tanpa batas mustahil terwujud di dunia ini. Karena perbuatan yang dilakukan oleh manusia sering dipengaruhi oleh dorongan hawa nafsu, sehingga ketika seseorang meninggalkan norma-norma agama otomatis dia akan terjerumus mengikuti aturan hawa nafsunya yang dikendalikan oleh setan, dan ini merupakan sumber malapetaka terbesar bagi dirinya. Karena hawa nafsu manusia selalu menggiring kepada keburukan dan kerusakan, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

{إِنَّ النَّفْسَ لأمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلا مَا رَحِمَ رَبِّي}

Sesungguhnya nafsu (manusia) itu selalu menyuruh kepada keburukan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabbku” (QS Yuusuf:53).

Dan firman-Nya,

{وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَوَاتُ وَالأرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُعْرِضُونَ}

Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu manusia, maka pasti binasalah langit dan bumi serta semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka peringatan (untuk) mereka (al-Qur’an) akan tetapi mereka berpaling dari peringatan tersebuat” (QS al-Mu’minuun:71).

Juga firman-Nya,

{وَلا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطاً}

Dan janganlah kamu mengikuti orang yang telah kami lalaikan hatinya dari mengingat Kami, serta menuruti hawa (nafsu)nya, dan (semua) urusannya menjadi rusak/buruk” (QS al-Kahfi:28).

Arti Kebebasan yang Hakiki

Berdasarkan keterangan di atas, maka kebebasan hakiki yang mendatangkan kebahagiaan dan kesenangan hidup bagi manusia tidak mungkin dicapai dengan meninggalkan norma-norma agama, bahkan sebaliknya ini merupakan kesempitan hidup dan belenggu yang sebenarnya, sebagaimana yang terungkap dalam firman-Nya:

{وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى}

Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya dia (akan merasakan) kehidupan yang sempit (di dunia)[1], dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta” (QS Thaaha:124).

Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Makna ayat ini: Sesungguhnya Allah Ta’ala menjadikan (memberikan balasan) bagi orang yang mengikuti petunjuk-Nya dan berkomitmen dengan agama-Nya dengan kehidupan yang (penuh) kenikmatan di dunia, tanpa ada kesedihan, kegundahan dan kesusahan (dalam) dirinya…Dan Dia menjadikan (memberikan balasan) bagi orang yang enggan mengikuti petunjuk-Nya dan berpaling dari agama-Nya dengan kehidupan yang sempit serta (penuh dengan) kepayahan dan penderitaan (di dunia). Bersamaan dengan semua penderitaan yang menimpanya di dunia, di akhirat (kelak) dia akan (merasakan) penderitaan, kepayahan dan kesempitan hidup yang lebih berat lagi”[2].

Sebaliknya, Allah Ta’ala menegaskan bahwa kebahagiaan hidup yang hakiki hanyalah akan dirasakan oleh orang yang berkomitmen dengan agama-Nya dan tunduk kepada hukum-hukum syariat-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

{مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia), dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka (di akhirat) dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS. an-Nahl:97).

Para ulama salaf menafsirkan makna “kehidupan yang baik (di dunia)” dalam ayat di atas dengan “kebahagiaan (hidup)” atau “rezki yang halal dan baik” dan kebaikan-kebaikan lainnya yang mencakup semua kesenangan hidup yang hakiki[3].

Sebagaimana Allah Ta’ala menjadikan kelapangan dada dan ketenangan jiwa dalam menerima syariat Islam merupakan ciri orang yang mendapat petunjuk dari-Nya, dan kesempitan serta terbelenggunya jiwa merupakan pertanda orang yang tersesat dari jalan-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

{فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإسْلامِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ كَذَلِكَ يَجْعَلُ اللَّهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ}

Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (menerima agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki kelangit. Begitulah Allah menimpakan keburukan/siksa kepada orang-orang yang tidak beriman” (QS al-An’aam:125).

Maka melepaskan diri dari aturan-aturan agama Islam dengan dalih kebebasan berarti justru menjebloskan diri kedalam penjara hawa nafsu dan belenggu setan yang akan mengakibatkan kesengsaraan dan penderitaan berkepanjangan di dunia dan akhirat.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengungkapkan hal ini dengan bahasa yang indah dalam ucapan beliau,

“المحبوسُ مَنْ حُبِسَ قَلْبُه عن رَبِّهِ تعالى والمأسورُ مَنْ أَسِرَه هواه”

“Orang yang dipenjara adalah orang yang terpenjara (terhalangi) hatinya dari Rabb-nya (Allah) Ta’ala, dan orang yang tertawan (terbelenggu) adalah orang yang ditawan oleh hawa nafsunya”[4].

Dalam hal ini, para ulama mengumpamakan kebutuhan manusia terhadap petunjuk Allah Ta’ala dalam agama-Nya adalah seperti kebutuhan ikan terhadap air[5]. Maka jika demikian apakah mungkin dikatakan kebebasan hidup bagi ikan adalah jika terlepas dari air, padahal sudah diketahui bahwa tidak mungkin ikan akan bertahan hidup tanpa air?.

Tauhid Membebaskan Manusia dari Penghambaan Diri kepada Makhluk

Landasan utama Islam, tauhid, yang berarti pemurnian ibadah dan penghambaan diri kepada Allah Ta’ala semata dan berpaling dari penghambaan diri kepada selain-Nya, adalah bukti terbesar yang menunjukkan adanya kebebasan yang hakiki dalam Islam.

Betapa tidak, orang yang benar-benar meyakini dan mengamalkan tauhid dalam hidupnya, maka dia akan terlepas dari semua belenggu penghambaan diri kepada makhluk yang tidak punya kemampuan untuk memberikan manfaat maupun bahaya kepada dirinya, untuk menuju kepada penghambaan diri kepada Allah Ta’ala, yang di tangan-Nyalah segala kebaikan, dan Dialah satu-satunya pencipta, pemberi rezki dan pengatur alam semesta ini.

Inilah makna ucapan sahabat yang mulia Rib’iy bin ‘Amir ketika ditanya oleh salah seorang pembesar kafir, “(Seruan dakwah) apakah yang kalian bawa?”. Maka beliau menjawab: “Allah yang mengutus kami untuk mengeluarkan (membebaskan) siapa yang dikehendaki-Nya dari penghambaan diri kepada makhluk kepada penghambaan diri kepada-Nya (semata), dan dari kesempitan (belenggu) dunia kepada kelapangannya, serta dari kezhaliman (aturan) agama-agama (lain) kepada keadilan Islam”[6].

Di samping itu, setiap manusia terlahir dengan kecenderungan untuk menghambakan diri dan tunduk kepada sesuatu, maka jika kecenderungan ini tidak diarahkan kepada penghambaaan diri yang benar, yaitu kepada Allah Ta’ala, maka dengan sendirinya setanlah yang akan menggiringnya menjadi hamba bagi hawa nafsunya. Allah Ta’ala berfirman,

{أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلا تَذَكَّرُونَ}

Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai sembahannya dan Allah menjadikannya tersesat berdasarkan ilmu-Nya, dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya. Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat)?. Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran” (QS al-Jaatsiyah:23).

Makna ayat ini: pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan agamanya (apa yang sesuai) dengan hawa nafsunya, sehingga tidaklah dia menyukai sesuatu (menurut hawa nafsunya) kecuali dia akan mengikutinya. Karena dia tidak beriman kepada Allah, tidak mengharamkan apa yang diharamkan-Nya dan tidak menghalalkan apa yang dihalalkan-Nya. (Cara) beragamanya adalah apa yang diinginkan oleh hawa nafsunya maka itulah yang dikerjakannya[7].

Kerancuan dan Jawabannya

Orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berusaha mencari-cari dalih untuk mendiskreditkan Islam dan mengesankan bahwa aturan-aturan syariat Islam adalah belenggu yang mengekang kebebasan manusia. Padahal kalau diperhatikan dengan seksama semua dalih yang mereka kemukakan justru membantah pemahaman mereka dan bukan mendukungnya[8].

Di antara dalih yang mereka kemukakan adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mereka pahami dengan keliru:

– “Dunia ini adalah penjara (bagi) orang yang beriman dan surga (bagi) orang kafir”[9].

Jawab: Penafsiran yang benar dari hadits ini ada dua – seperti kata Ibnul Qayyim dalam kitab beliau “Badaai’ul fawaaid” (3/696) –, yaitu:

1- Orang yang beriman di dunia ini, keimanannya yang kuat menghalangi dia untuk memperturutkan nafsu syahwat yang diharamkan oleh Allah Ta’ala, sehingga dengan keadaan ini seolah-olah dia hidup dalam penjara. Atau dengan kata lain: dunia ini adalah tempat orang yang beriman memenjarakan hawa nafsunya dari perbuatan-perbuatan yang diharamkan oleh Allah Ta’ala, berbeda dengan orang kafir yang hidup bebas memperturutkan nafsu syahwatnya[10].

2- Makna: “Dunia ini adalah penjara (bagi) orang yang beriman dan surga (bagi) orang kafir”, adalah jika dibandingkan dengan keadaan/balasan orang yang beriman dan orang kafir di akhirat nanti, karena orang yang beriman itu meskipun hidupnya di dunia paling senang dan bahagia, tetap saja keadaan tersebut seperti penjara jika dibandingkan dengan besarnya balasan kebaikan dan kenikmatan yang Allah Ta’ala sediakan baginya di surga di akhirat kelak. Dan orang kafir meskipun hidupnya di dunia paling sengsara dan menderita, tetap saja keadaan tersebut seperti surga jika dibandingkan dengan pedihnya balasan keburukan dan siksaan yang Allah Ta’ala akan timpakan kepadanya di neraka di akhirat nanti[11].

Maka jelaslah hadits ini sama sekali tidak menunjukkan apa yang mereka tuduhkan terhadap Islam, bahkan sebaliknya hadits ini menjelaskan dengan gamblang keindahan syariat Islam.

– Mereka juga berdalih dengan beberapa hukum dalam syariat Islam, seperti kewajiban memakai jilbab (pakaian yang menutupi semua aurat secara sempurna[12]) bagi perempuan muslimah ketika berada di luar rumah. Mereka mengatakan bahwa jilbab merupakan belenggu yang mengekang kebebasan kaum perempuan.

Jawab: Hikmah besar diwajibkannya hijab bagi perempuan adalah justru untuk membebaskan dan menyelamatkan mereka dari gangguan dan kejahatan orang-orang yang mempunyai keinginan buruk, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

{يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا}

Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin agar hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, sehingga mereka tidak diganggu/disakiti. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS al-Ahzaab:59).

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Ini menunjukkan bahwa gangguan (bagi wanita dari orang-orang yang berakhlak buruk) akan timbul jika wanita itu tidak mengenakan jilbab (yang sesuai dengan syariat). Hal ini dikarenakan jika wanita tidak memakai jilbab, boleh jadi orang akan menyangka bahwa dia bukan wanita yang ‘afifah (terjaga kehormatannya), sehingga orang yang ada penyakit (syahwat) dalam hatiya akan mengganggu dan menyakiti wanita tersebut, atau bahkan merendahkan/melecehkannya… Maka dengan memakai jilbab (yang sesuai dengan syariat) akan mencegah (timbulnya) keinginan-keinginan (buruk) terhadap diri wanita dari orang-orang yang mempunyai niat buruk”[13].

– Dalih lain yang mereka gunakan adalah kewajiban memasang hijab/tabir untuk melindungi perempuan dari pandangan laki-laki yang bukan mahramnya. Mereka mengatakan bahwa ini semua merupakan belenggu yang mengekang kebebasan kaum perempuan.

Jawab: Hikmah agung kewajiban memasang hijab/tabir adalah justru untuk membebaskan laki-laki dan perempuan yang beriman dari kekotoran hati dan fitnah (kerusakan) yang mungkin timbul tanpa adanya hijab/tabir. Maka adanya hijab/tabir antara laki-laki dan perempuan bertujuan untuk menjaga kesucian hati mereka.

Allah Ta’ala berfirman,

{وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ}

Dan apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka” (QS al-Ahzaab:53).

Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu syaikh berkata, “(Dalam ayat ini) Allah menyifati hijab/tabir sebagai kesucian bagi hatinya orang-orang yang beriman, laki-laki maupun perempuan, karena mata manusia kalau tidak melihat (sesuatu yang mengundang syahwat, karena terhalangi hijab/tabir) maka hatinya tidak akan berhasrat (buruk). Oleh karena itu, dalam kondisi ini hati manusia akan lebih suci, sehingga (peluang) tidak timbulnya fitnah (kerusakan) pun lebih besar, karena hijab/tabir benar-benar mencegah (timbulnya) keinginan-keinginan (buruk) dari orang-orang yang ada penyakit (dalam) hatinya”[14].

Penutup

Tulisan ringkas ini semoga bermanfaat bagi kaum muslimin untuk menyadarkan mereka hakekat keindahan ajaran Islam yang diturunkan untuk kemaslahatan hidup manusia, sedangkan semua ajakan yang menyimpang dari ajaran Islam pada akhirnya akan menjerumuskan ke dalam lembah kesengsaraan dan penderitaan berkepanjangan di dunia dan akhirat.

Ya Allah, jadikanlah kami cinta kepada keimanan

dan jadikanlah iman itu indah dalam hati kami

serta jadikanlah kam benci kepada kekefiran, kefasikan dan kemaksiatan

dan jadikanlah kami termasuk orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/3878-islam-dan-kebebasan.html

Imam Ghazali: Umat Islam, Kemerdekaan Milik Kita

INDONESIA memasuki usianya yang ke-72 tahun. Waktu yang cukup panjang dalam perjalanan sebuah bangsa yang merdeka. Meski banyak kalangan menilai bahwa di usianya yang ke-72 tahun ini, Indonesia belum maju dan rakyatnya belum sejahtera, namun semangat nasionalisme haruslah tetap tertanam dalam jiwa rakyat.

Pemerintah tengah menggalakkan bela negara. Antusiasme rakyat untuk ikut bela negara terlihat dengan banyaknya peserta yang mendapatkan pelatihan dari Kementerian Pertahanan dan Keamanan.

Hal itu barangkali karena kesadaran dan pemahaman tentang semangat nasionalisme yang memang diajarkan dan dianjurkan dalam Islam. Ada dalil dalam Alquran dan hadis yang menyebut keharusan setiap muslim memiliki sikap nasionalisme.

Imam Al Ghazali menjelaskan, dalam Alquran surah Ali Imran ayat 200 dikatakan “Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.”

Juga diriwayatkan dalam hadis sahih Al Bukhari, Rasulullah menegaskan, “Wahai manusia, janganlah kalian mengharapkan mencari musuh, mintalah kepada Allah keselamatan. Tetapi jika bertemu dengan mereka, bersabarlah dan ketahuilah bahwa surga di bawah naungan pedang.”

Kemudian beliau berdoa, “Ya Allah, yang menurunkan Al Kitab, yang menggerakkan awan, yang mengalahkan musuh yang berkomplot, kalahkanlah mereka dan tolonglah kami atas mereka.”

Ghazali juga menyebut banyak ayat di Alquran dan hadis secara menyatakan jika bumi adalah milik Allah dan negara milik Allah, sehingga, manusia khususnya umat muslim punya kewajiban dalam menjaganya. Selain itu, Islam merupakan agama yang menentang penjajahan dengan alasan apapun.

Karena itu, Ghazali menyarankan agar umat muslim memperingati hari besar nasional, dengan penuh khidmat. “Umat Islam jangan berada di pinggir saja karena kemerdekaan milik kita,” tegasnya.

 

INILAHCOM

Arti, Makna dan Hikmah Kemerdekaan RI Menurut Islam

Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) pada tanggal 17 Agustus 1945 memiliki arti, makna dan hikmah bila ditarik dalam kajian studi Islam.

Menurut Islam, kemerdekaan yang sesungguhnya adalah bebas untuk bertindak karena manusia adalah makhluk yang diberikan otonomi dan kepercayaan sebagai khalifah fil ardh, pemimpin di bumi. Namun, kemerdekaan itu dibatasi dengan hukum-hukum dalam syariat Islam.

Semua syariat Islam bisa ditemukan dalam Al Quran sebagai sumber utama hukum Islam. Ada pula hadits yang menjadi sumber hukum Islam kedua. Kemerdekaan itu jelas ada batasnya, karena sudah ada aturan yang menjadi petunjuk supaya manusia bisa hidup dengan baik di dunia.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kemerdekaan adalah suatu keadaan di mana seseorang atau negara bisa berdiri sendiri, bebas dan tidak terjajah lagi. Sedangkan merdeka artinya adalah bebas dari segala penjajahan atau penghambaan.

Dalam konteks kemerdekaan Republik Indonesia, kemerdekaan berarti manusia Indonesia bebas dari segala penjajahan bangsa asing, terutama kolonialisme Belanda yang selama 3,5 abad telah menduduki dan menjajah bangsa Nusantara dengan segala sumber daya alamnya yang melimpah.

Bangsa-bangsa asing yang menjajah Nusantara, di antaranya Portugis meski tidak terlalu berhasil, Belanda yang telak menguasai Indonesia seutuhnya, Jepang hanya beberapa tahun, dan Inggris juga tidak lama.

Dengan proklamasi kemerdekaan, bangsa Indonesia menyatakan bebas dari imperalisme, kolonialisme dan penjajahan bangsa asing. Dengan demikian, manusia Indonesia saat ini bebas menentukan hidupnya secara mandiri tanpa dicampuri bangsa asing.

Dalam sejarah Islam, Nabi Muhammad Saw juga mengalami penjajahan dari bangsanya sendiri, yaitu kaum Kafir Quraisy. Beliau tidak bisa menyuarakan pikiran, ide-idenya, dan ajaran tentang Islam.

Umat Rasulullah Saw disiksa tanpa ampun. Bahkan, Nabi Muhammad beserta dengan para pengikutnya diusir dari bumi kelahiran, bumi pertiwinya sendiri. Inilah masa-masa di mana Nabi Muhammad sebagai pembawa Islam dijajah tanpa ampun.

Sampai suatu ketika, Rasulullah Saw memutuskan untuk hijrah, pindah dari Mekah menuju Madinah. Di sana, beliau dari rombongannya disambut warga Madinah dan memiliki kekuatan baru, lengkap dengan persenjataan dan keterampilan perang.

Mereka kemudian kembali ke Mekah sebagai bumi pertiwi. Setelah melakukan perjuangan yang sangat keras, Nabi Muhammad Saw akhirnya berhasil mengalahkan kaum kafir quraisy dan merdeka untuk selamanya. Merdeka untuk menjalankan ibadah dalam Islam, termasuk merdeka mengajarkan ajaran Islam.

Agama Islam akhirnya menyebar ke seluruh pelosok dunia di mana Indonesia adalah negara dengan penduduk mayoritas Muslim. 90 persen warga Indonesia adalah Muslim. Itu tidak lepas dari perjuangan Nabi Muhammad Saw dan para penyebarnya di wilayah Nusantara.

Kemerdekaan RI dalam Islam
Melihat fakta sejarah, Nabi Muhammad dan pengikutnya benar-benar merdeka tanpa ada tekanan dari suku lain setelah berjuang sekian lama. Umat Islam otonom, bebas, dan terlepas dari penjajahan suku lain.

Pertanyaannya kemudian, apakah Indonesia benar-benar merdeka dari segala pengaruh bangsa asing? Baik kebijakan-kebijakan pemerintahan?

Banyak sumber daya alam (SDA) Indonesia yang sangat kaya raya dikelola pihak asing. Hasilnya dibawa ke negara lain, sedangkan Indonesia mendapatkan sangat sedikit bagian. Itu atas nama investasi, padahal tidak! Itu bagian dari penjajahan jenis baru bernama proxy war.

Tambang emas, kilang minyak, gas alam, semen, dan segala sumber daya alam yang melimpah diserahkan asing. Penduduk Indonesia sendiri hanya bisa gigit jari. Meski Indonesia sudah merdeka secara fisik pada 17 Agustus 1945, tetapi tidak merdeka secara substansial, hakikat, dan sejati.

Indonesia masih dijajah dengan konsesi-konsesi politik, kapitalisme atas nama investasi, setting kurikulum pendidikan yang membodohkan seluruh pelajar Indonesia, dan lainnya. Mirisnya, hampir tidak bisa membedakan siapa yang menjajah, karena sebagian manusia Indonesia juga menjajah sesama manusia Indonesia lainnya.

Sebab, arti dan makna kemerdekaan RI seharusnya bebas dan lepas dari segala bentuk penjajahan, baik itu penjajahan langsung maupun proxy war.

Namun, ada hikmah di balik kemerdekaan RI pada 17 Agustus. Bangsa Indonesia memiliki kesempatan baru untuk melakukan pembangunan dan bebas dari pendudukan bangsa asing. Tugas generasi penerus bangsa adalah melakukan pembangunan, membenahi sistem, dan mewujudkan kesejahteraan bersama.

Dalam konsep Islam, kemerdekaan adalah hak setiap manusia, tetapi ada batasnya, yakni syariat Islam itu sendiri. Dalam Al Quran Surat An Naazi ayat 37: “Orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, sesungguhnya neraka adalah tempat tinggalnya.”

Menurut pandangan Islam pula, kemerdekaan beragama juga dijamin. Jadi, Anda bebas memilih agama tanpa ada paksaan. Sebab, mana yang benar dan salah sudah sangat jelas. Tinggal manusia sendiri yang bisa memilih.

“Tidak ada paksaan untuk masuk agama (Islam). Sesungguhnya, jelas jalan yang benar daripada yang sesat…” begitu dalam Al Quran Al Baqarah 256. Dalam sejarah Islam, Nabi Muhammad juga tidak memaksa orang lain untuk masuk Islam.

Nabi hanya mengajarkan, tidak ada paksaan. Sebab, manusia memang merdeka. Indahnya Islam membuat banyak orang tertarik dan masuk agama Islam. Berhubung banyak yang menentang, bahkan sampai menyiksa umat Muslim, akhirnya jihad dan perang adalah jalan untuk menegakkan Islam. (*)

Hakikat Kemerdekaan Sejati dalam Ajaran Islam

Hakikat kemerdekaan dalam agama Islam adalah kebebasan yang dimiliki seseorang untuk dapat melakukan sesuatu, namun tidak menjadi ancaman bagi orang lain.

Sementara jika membicarakan kemerdekaan dalam sebuah negara bermakna warga negara bisa melakukan apa-apa yang menjadi haknya yang masih diatur oleh negara.

“Misalnya, kebebasan ibadah dan mendapatkan pendidik‎,” kata Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) DKI Jakarta ‎KH Zulfa Mustafa, akhir pekan lalu.

Sementara itu, ujarnya,  jika seseorang sudah mengakui tiada tuhan selain Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW utusan Allah maka seseorang itu harus memerdekakan dirinya dari ketergantungan selain Allah SWT.

“Bebas dari hukum-hukum selain Allah SWT, artinya hanya bergantung kepada hukum Allah,” ujarnya.

Kiai Zulfa mengatakan, seseorang dikatakan belum merdeka‎ ketika apa-apa yang menjadi haknya belum bisa dilaksanakan karena terbelenggu sebagai manusia dan warga negara.

“Misalnya, dia tidak bebas mencari nafkah untuk kehidupannya, misalnya kesetaraan hukum belum memenuhi rasa ketidak adilannya, Jika dia tidak bisa melakukan itu Berarti dia belum merdeka,” katanya.

Menurut Kiai Zulfa, secara umum kondisi bangsa Indonesia sudah bagus. Meski Islam sebagai penduduk mayoritas, namun terkadang di beberapa daerah tertentu masih ada kesulitan untuk melakukan ibadah.

Misalnya, insiden antarumat beragama  di Tolikara, Papua hingga larangan berjilbab di tempat kerja dan sekolah.

“Kalau masih seperti itu berarti belum disebut merdeka,” katanya.

 

 

sumber: Republika ONline

Tiga Kriteria Dasar Kemerdekaan Sejati

Oleh: A Ilyas Ismail

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Dalam ungkapan Arab terdapat adagium yang berbunyi, “La Syay’a atsman min al-hurriyah” (tak ada sesuatu yang lebih mahal [berharga] ketimbang kemerdekaan).

Dari ungkapan ini, kemerdekaan dianggap sebagai penentu mati dan hidupnya manusia. Apabila seorang kehilangan kemerdekaan, sesungguhnya ia sudah mati meski ia masih bernapas, makan-minum, dan berjalan-jalan.

Khalifah Umar bin Khathab mengingatkan kita semua agar menjaga kemerdekaan itu serta tidak boleh yang satu memperbudak yang lain karena setiap orang dilahirkan oleh Allah SWT dalam keadaan bebas dan merdeka.

Hal sama diingatkan pula oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib, “Jangan pernah mau diperbudak oleh siapa pun karena Allah SWT menciptakanmu bebas dan merdeka,” ujarnya. Dalam perspektif Islam, kemerdekaan itu sendiri dimaknai sebagai kemampuan (al-qudrah) yang membuat seorang bisa melakukan atau tidak melakukan sesutau atas dasar kehendak dan pilihan (bebas)-nya sendiri.

Setiap manusia dianugerahi oleh Allah SWT kehendak bebas, iradah, atau masyi’ah. Manusia dapat memilih dan melakukan sesuatu atas kehendak dan pilihan bebasnya serta atas kehendak bebasnya itu pula ia dimintai pertanggungjawaban.

Kebebasan pertama dan utama yang diberikan Islam adalah kebebasan agama, Hurriyat al-Din (QS al-Baqarah [2]: 256), lalu kebebasan berpikir (hurriyat al-fikriyyah), dan kebebasan menyatakan peendapat (hurriyat al-qaul). Kebebasan yang terakhir ini diwaujudkan, antara lain, dalam bentuk keharusan melakukan amar makruf dan nahi munkar (QS Ali Imran [3]: 110).

Kebebasan yang diajarkan Islam adalah kebebasan yang bertanggung jawab, adil, dan berkeadaban, yaitu suatu kebebasan yang menurut Syekh Yusuf al-Qardhawi mesti memenuhi tiga kriteria dasar yang tak boleh dilampaui sebagai berikut.

Pertama, kriteria kebenaran (al-haqq) bukan kejahatan (al-fusuq). Islam memberi kebebasan kepada setiap orang untuk memilih agama, berpikir dan berilmu, serta menyampaikan pendapat karena semua ini merupakan sesuatu yang hak. Sebailknya, atas nama kebebasan, seeorang tidak serta merta dibolehkan melakukan tindak kejahatan atau keburukan, seperti mencuri, korupsi, dan mabuk-mabukan, lantaran semua ini merupakan keburukan, bukan kebenaran.

Kedua, kriteria tidak menimbulkan bahaya atau madharat baik bagi dirinya maupun orang lain. Dalam Islam, setiap tindakan yang merugikan diri sendiri dan orang lain, haram hukumnya. Ini sejalan dengan kaidah hukum Islam, “La Dharara wa la dhirar” (dilarang mendapat bahaya dan membahayakan orang lain).

Ketiga, kriteria keadaban (akhlak) atau kepatutan. Kriteria yang terakhir ini menjadi penyempurna dari dua kriteria sebelumnya yang membuat kebebasan menjadi bernilai tinggi. Sebagai contoh, dalam berlalu lintas, kita bebas dan boleh memilih jalan mana saja yang akan dilalui. Akan tetapi, setiap kita dilarang merusak dan melawan rambu-rambu jalan karena rambu-rambu itu dipasang untuk menjaga dan mewujudkan ketertiban dan kepentingan umum.

Sistem politik dan demokrasi apa pun yang dipilih oleh suatu bangsa, demikian Syekh al-Qardhawi, ketiga keriteria di atas mesti diperhatikan dan tidak boleh dilanggar atau dilampaui. Setelah 70 tahun merdeka, kita sebagai bangsa, diharapkan sudah mampu membedakan antara kebebasan dan kebablasan, antara demokrasi dan anarki, dan antara ketuhanan dan kesetanan.