Ketentuan Baik dari Allah

SEGOLONGAN orang bertanya kepada Rasul Shalallaahu ‘Alahi Wasallam ketika beliau bersabda: “Allah Subhanahu Wa Ta’alatidak akan menetapkan suatu ketentuan kepada seorang mukmin kecuali hal itu menjadi kebaikan bagi orang mukmin tersebut.” Padahal Allah juga telah menetapkan ketentuan yang buruk baginya, yang menyebabkan adanya sanksi. Lalu bagaimana hal itu menjadi kebaikan?

Jika seseorang memperoleh kebaikan, kemudian bersyukur maka itu baik baginya. Jika ditimpa keburukan, kemudian bersabar maka itu baik baginya.

Mengenai hal itu, ada dua jawaban:

Pertama, bahwa perbuatan hamba tidak termasuk ke dalam makna hadist tersebut. Yang termasuk ke dalam makna hadist tersebut adalah sesuatu yang menimpa manusia, berupa kenikmatan dan musibah. Sebagaimana firman-Nya: “Apa pun kebaikan yang menimpamu maka itu berasal dari Allah dan apa pun keburukan yang menimpamu maka itu berasal dari dirinya sendiri.” (An-Nisaa’: 79). Oleh karena itu, Rasulullah bersabda: “Jika dia memperoleh kebaikan, dia bersyukur maka itu baik baginya. Jika dia ditimpa keburukan, dia bersabar maka itu baik baginya.”

Dengan demikian, Allah menjadikan ketentuan itu adalah sesuatu yang menimpa manusia berupa kesenangan dan kesusahan. Ini adalah lafaz perkataan yang sangat jelas dan tidak ada kontradiksi dengan firman Allah tersebut.

Kedua, jika Allah menetapkan bahwa perbuatan itu termasuk ke dalam hadist tersebut, maka Rasulullah telah bersabda: “Siapa saja yang perbuatan baiknya membuat dia gembira dan perbuatan buruknya membuat dia cemas, maka dia mukmin.”

Jika ditetapkan baginya untuk berbuat baik dan itu membuatnya gembira, maka dia bersyukur kepada Allah atas hal itu.

Jika ditetapkan baginya keburukan, maka keburukan itu hanya mengakibatkan sanksi jika dia tidak bertobat. Jika dia bertobat maka keburukan itu akan diganti dengan kebaikan sehingga dia akan bersyukur kepada Allah.

Jika dia tidak bertobat maka dia akan ditimpa bencana. Bencana itu adalah kafarat (penebus) perbuatan buruk tersebut. Apabila dia bersabar atas bencana itu maka itu baik baginya.

Rasulullah bersabda: “Allah tidak akan menetapkan ketentuan untuk seorang mukmin, yang dimaksud mukmin itu adalah orang yang tidak terus-menerus dalam dosanya dan bertobat dari dosa tersebut, maka itu menjadi kebaikan, sebagaimana terdapat dalam sejumlah ayat bahwa seorang hamba yang melakukan perbuatan dosa ternyata dia dimasukkan ke dalam surga karena perbuatannya itu. Hal itu karena dia terus menerus bertobat dari perbuatan dosanya itu hingga dia dimasukkan ke dalam surga karena tobatnya itu.”

Dosa itu menyebabkan seorang hamba untuk merendahkan dan menundukkan dirinya kepada Allah, berdoa kepada-Nya, memohon ampun hanya kepada-Nya, mengakui kefakiran dirinya dan mengakui kebutuhannya kepada Allah. Tidak ada yang akan mengampuni dosa kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

 

Berkaitan dengan dosa-dosanya itu, manusia mempunyai dua pilihan: pertama, bisa jadi dia bertobat maka Allah akan mengampuninya sehingga dia termasuk ke dalam golongan orang-orang yang bertobat yang akan dicintai Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Kedua, bisa saja dosa itu terhapus dengan adanya musibah. Dia ditimpa kesusahan, maka dia bersabar atas musibah itu. Dengan demikian, keburukan itu akan terhapus oleh musibah tersebut. Dan dengan kesabaran itu, derajatnya menjadi naik.

Dalam beberapa hadist qudsi terdapat firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala: “Orang yang suka mengingat-Ku adalah orang-orang yang suka hadir di majelis-Ku. Orang yang bersyukur kepada-Ku adalah orang yang suka mengunjungi-Ku. Orang yang taat kepada-Ku adalah orang yang memuliakan-Ku. Orang-orang yang senang bermaksiat kepada-Ku, tidak akan menghentikan rahmat-Ku untuk mereka. Jika mereka bertobat maka Aku akan mencintai mereka.” Maksudnya, akan menjadi kekasih mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang membersihkan diri. “Jika mereka tidak bertobat maka Aku adalah dokter bagi mereka. Aku akan menimpakan musibah kepada mereka agar Aku jadikan musibah itu sebagai penebus dosa mereka.“*/Syaikh Ibn Taimiyyah, terangkum dalam bukunya Misteri Kebaikan & Keburukan.

 

sumber: Hidayatullah