Ekonomi Syariah dan Masalah Ketimpangan Sosial

Tujuh puluh dua tahun yang lampau, tepatnya hari jumat legi jam 10 pagi tanggal 17 Agustus tahun 1945, Presiden Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dari cengkraman kolonialisme. Pak Karno menyebut fajar baru telah tiba, ketika suatu abad penindasan telah berakhir.

Mulai dari detik itu, negara baru ini mengarungi kehidupan yang penuh dengan eksperimen yang menakjubkan dalam mengatur dirinya sendiri hingga hari ini. Suatu eksperimen yang menurut Winston Churchill adalah suatu kemustahilan.

Menurut Dia, Indonesia, yang dahulu namanya Hindia Belanda, hanyalah semata-mata suatu ekspresi geografi. Bukan suatu negara tunggal yang membentang di katulistiwa yang merupakan satu kesatuan negara daulat di muka bumi ini.

Churchill seperti bekas gubernur Hindia Belanda terakhir Jhr AWL Tjarda van Starkenborgh Stachouwer, jarang benar tentang Indonesia. Tapi satu hal yang benar adalah Indonesia sangat beragam laksana pelangi, baik dalam hal kelompok etnis, suku, ragam bahasa, budaya, topografi, cuaca, agama dan kepercayaan serta disparitas perkembangan perekonomiannya.

Berdasar pada latar belakang tersebut, Bapak Proklamator Soekarno menyatakan bahwa negara baru, yang namanya Indonesia, harus mampu berdiri tegak yang dilandasi oleh kokohnya persatuan antarpenduduknya. Juga, terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang diabadikan dalam dasar negara Pancasila.

Namun setelah berjalan sekitar tujuh dekade, realiasi falsafah keadilan sosial tersebut semakin memudar, yang ditunjukkan oleh semakin menganganya jurang ketimpangan ekonomi dalam struktur perekonomian nasional. Kalau Indonesia ingin tetap berkembang sebagai kekuatan ekonomi yang tangguh di Asia, maka arah kebijakan pembangunan ekonomi kedepan harus lebih memfokuskan menutup kesenjangan ekonomi.

Dan kebijakan ekonomi harus lebih menekankan pro pemerataan sehingga kesenjangan ekonomi yang terjadi antar etnis, antarwilayah dan antarkelas sosial semakin tereduksi.

Selama 1970-an dan 1980-an, di Indonesia, ketimpangan pendapatan yang rendah telah membantu meningkatkan standar hidup. Juga, mengurangi tingkat kemiskinan absolut maupun kemiskinan relatif antar penduduknya.

Pada 1970, tepat 25 tahun setelah kemerdekaan, Indonesia berhasil membangun ekonomi dengan distribusi pendapatan yang relatif merata di antara penduduknya yang heterogen, yang ditunjukkan oleh angka koefisien gini sebesar 0,35 (dengan angka nol mewakili sangat merata).

Sebagai pembanding, negara jiran Malaysia pada waktu itu angka koefisien gininya 0,50. Jadi distribusi pendatapan Indonesia pada tahun 1970 jauh lebih baik dari Malaysia.

Dan dalam perjalanannya, Indonesia hampir tidak menunjukkan perkembangan yang signifikan. Bahkan sejak krisis keuangan Asia pada 1997, kesenjangan pendapatan semakin melebar baik yang terjadi antaretnis, antarregional maupun antarkelas sosial. Dan tahun ini koefisien gini Indonesia sekitar 0,39 lebih buruk dibandingkan dengan 1970 yang hanya 0,35.

Bagi siapapun apalagi bagi para cendekia, perkembangan ini mengirim sinyal kekawatiran yang semakin dalam, yang suatu saat akan memicu gesekan sosial yang mengancam stabilitas ketahanan NKRI.

Karena ketimpangan ekonomi yang meningkat akan berdampak pada stabilitas politik dan mengoyak kesatuan sosial, dan ini menuntut penanganan yang memadai, serius dan segera agar dampak negatif tersebut dapat diminimalisir.

Mengacu pada penelitian Akhmad Affandi dkk, ada beberapa faktor yang menyebabkan kemiskinan sehingga ketimpangan semakin melebar. Menurut Ibnu Khaldun (salah satu bapak ekonom Islam ternama), kemiskinan bukan semata-mata dimensi ekonomi tapi ada beberapa aspek nonekonomi yang mempengaruhi secara signifikan.

Ibnu Khaldun memformulasikan faktor-faktor yang mempengaruhi kemisikinan, yang dapat dirumuskan sebagai berikut, (kemiskinan) P=f(W,G,N,S,g,J). P adalah fungsi dari kekayaan suatu bangsa (W), rezim pemerintahannya (G), sumber daya manusianya (N), Syariah (S), pertumbuhan ekonomi (g) dan keadilan (J). Dengan demikian untuk memberantas ketimpangan ekonomi perlu memperhatikan indikator-indikator di atas.

Solusi strategis
Bulan lalu dalam pertemuan “Indonesian Development Forum”, para pakar, praktisi dan pemangku kebijakan publik dari seluruh dunia mencoba mengeksplorasi tentang ketidakmerataan yang terjadi di Indonesia dewasa ini. Tantangannya sangat komplek dan diskusinya fokus pada kebutuhan adanya solusi multi aspek.

Menurut pakar ekonomi dari Columbia University, Jeffrey D Sachs, peningkatan investasi di pendidikan serta strategi distribusi kekayaan yang lebih efektif merupakan dua tugas utama pemerintah yang harus segera ditindaklanjuti.

Masih dalam forum tersebut, dibahas juga tentang pentingnya suatu konsep pembangunan yang berkelanjutan. Salah satu solusi di antaranya adalah akses ke pendidikan yang lebih besar untuk anak-anak dari kelompok tertinggal, agar mereka dapat lebih produktif dan mampu keluar dari jurang kemiskinan.

Sayangnya, sekolah-sekolah di Indonesia timur menghadapi masalah ketidakhadiran para guru yang memprihatinkan. Anak-anak yang punya keinginan belajar terkendala oleh kapasitas pengajar.

Karena itu, perluasan akses ke pendidikan bukan hanya semata-mata meningkatkan tingkat partisipasi belajar siswa, namun lebih pada adanya jaminan rasa tanggung jawab para pengajar serta peningkatan kualitas jasa pendidikan.

Reformasi sektor pendidikan saja tidak akan cukup menutup kesenjangan kekayaan di Indonesia. Karena itu, pemerintah diminta untuk mensinergikan strategi lain yang mampu meningkatkan perbaikan ketidakmerataan, yang meliputi perluasan proteksi sosial, penciptaan program pelatihan teknis, dan perbaikan sistem perpajakan.

Di Negara-negara OECD, kebijakan redistribusi pendapatan seperti penghapusan pajak dan perluasan bantuan kesejahteraan sosial mampu mengurangi ketidakmerataan distribusi pendapatan. Kalau Indonesia berusaha mengurangi ketidakmerataan sosial sebagaimana diamanatkan oleh United Nations’ Sustainable Development Goals pada tahun 2030, maka sudah seharusnya Indonesia mengikuti langkah negara-negara maju tersebut.

Dan yang terpenting dari semua strategi di atas adalah adanya kemauan politik penyelenggara negara yang berkelanjutan. Lainnya, adanya implementasi program tidak hanya pada tataran politis tetapi lebih pada tataran praktis. Artinya, program ini dijalankan tidak hangat-hangat tahi ayam, yaitu hanya dilakukan tatkala membutuhkan dukungan publik pada waktu dan menjelang pemilu, namun dilakukan secara ajek, strategis, dan fokus.

 

Oleh: Tri Winarno, Ekonom Senior Bank Indonesia (BI).

REPUBLIKA

 

 

—————————————————————-
Artikel keislaman di atas bisa Anda nikmati setiap hari melalui smartphone Android Anda. Download aplikasinya, di sini!