KH. Ghazali Ahmadi: Pendidik Umat Yang Tidak Kenal Lelah

Bagi masyarakat Kangean, Kiai Ghazali tidak sekadar dikenal sebagai seorang kiai, ulama, pendidik, intelektual dan tokoh masyarakat. Tetapi juga dikenal sebagai sosok yang sederhana, santun, toleran dan egaliter sekaligus panutan/teladan bagi masyarakat. Sebab dalam kesehariannya, Kiai Ghazali tidak menampakkan sifat “ketokohannya” melainkan menunjukkan kebiasaan beliau, yakni gemar bekerja, membantu masyarakat, membersihkan halaman rumahnya hingga ruas jalan, dan lain-lain.

Meskipun demikian, kapasitas serta kepakarannya di bidang ilmu agama tidak ada seorang pun yang meragukannya. Dari saking “alimnya” di bidang ilmu agama, Kiai Ghazali menjadi rujukan utama bagi masyarakat Kangean tak terkecuali para da’i, pejabat dan lain-lain. Terbukti, dalem (rumah) beliau tak pernah sepi didatangi para tamu, mulai dari tamu kelas papan atas hingga akar rumput (masyarakat kelas bawah) dengan maksud dan tujuan yang berbeda-beda.

Yang menarik dari Kiai Ghazali dalam mempelajari ilmu, beliau tidak sekadar mendalami ilmu agama melainkan juga ilmu-ilmu umum, seperti; ilmu politik, pemikiran Islam kontemporer, sejarah Indonesia, kajian orientalis, dan lain sebagainya. Maka tidaklah berlebihan, jika Kiai Ghazali dijuluki sebagai “raksasa genius” dari Pulau Kangean. Bahkan lebih dari itu, beliau adalah seorang filosof dan intelektual Islam kontemporer.

Selain itu, Kiai Ghazali juga termasuk ulama yang produktif dalam menghasilkan karya. Di antara karya yang lahir dari jari-jemari beliau, kurang lebih 10 kitab. Salah satunya adalah; Sabilul Jannah, kitab fiqih ibadah praktis dan mudah untuk dipahami. Menariknya, kitab ini ditulis berbentuk Arab pegon meskipun bahasanya menggunakan bahasa Madura. Tentu, tujuannya tidak lain dan tidak bukan; untuk mempermudah bagi para pemula yang hendak belajar kitab kuning, khususnya masalah ibadah. Dalam kolofonnya, kitab ini dianggit pada waktu Kiai Ghazali berada di Pondok Pesantren Sukorejo, Situbondo bersanding dengan karya K.H.R. As’ad Syamsul Arifin, bertajuk Isra’ Mi’raj.

Sebagai seorang yang alim khususnya di bidang ilmu agama, tentu Kiai Ghazali memahami betul bahwa ilmu yang dimilikinya bukan sekadar untuk pribadinya (tidak disebarkan). Tetapi, bagaimana bermanfaat terhadap orang lain. Karena, hakikat dari ilmu sendiri adalah untuk diamalkan dan disebar-luaskan kepada seluruh umat manusia.

Pun dalam menyebarkan ilmu (memberikan pendidikan) kepada masyarakat, tentu memerlukan suatu metode atau strategi yang tepat agar tujuan yang dikehendaki bisa tercapai. Begitu pula dengan Kiai Ghazali, beliau mencoba merumuskan metode yang layak digunakan sebagai strategi untuk menyebarkan ilmu disesuaikan dengan kehidupan masyarakat. Di antara metode tersebut adalah; ceramah (Bil Lisan) dan keteladanan atau praktik (Bil Hal).

Dengan Bil Lisan, Kiai Ghazali memberikan pengajian kitab kuning (karya-karya ulama klasik) terhadap masyarakat. Di antara kitab yang diajarkan adalah; Safinatu an-Najah, Sulamu al-Taufik, Syarah al-Hikam, dan lain sebagainya. Selain melalui pengajian, beliau juga menempuh jalur “ceramah” dalam menyebarkan ilmu.

Yang tak kala menariknya dalam menyebarkan ilmu, Kiai Ghazali tidak melulu sekadar menempuh jalur “ceramah” dan “pengajian kitab kuning”. Tetapi, beliau juga memberikan keteladanan atau praktik konkret (Bil Hal) kepada masyarakat. Bahkan, Kiai Ghazali mengaksentuasikan praktik daripada ucapan. Sebab, menurut beliau, praktik lebih efektif dan mudah diterima ketimbang ucapan. Apalagi, objeknya masyarakat Kangean yang notabene masyarakatnya adalah pekerja-keras.

Namun, dalam menyebarkan ilmu tentu seseorang akan menemui pelbagai rintangan, ancaman dan cacian dari masyarakat begitu-pun dengan Kiai Ghazali. Bagi beliau, rintangan, ancaman dan cacian tersebut sudah menjadi “makan setiap harinya”. Bukan sedakar fisik melainkan juga psikis dan bahkan tak jarang beliau diserang melalui ilmu gaib. Sebagaimana Nabi Muhammad Saw. dalam mendakwakan agama Islam kepada Masyarakat Arab.

Akan tetapi, hal tersebut tidak menggoyahkan sedikit-pun girah Kiai Ghazali untuk menyebarkan ilmu. Karena, beliau memahami betul bahwa; mendidik umat bukanlah sesuatu hal yang mudah; tetapi memerlukan keteguhan, kesabaran, pengorbanan, dan ketabahan dengan disertai konsistensi yang kuat dalam diri seseorang.

Kegigihan yang kuat dengan ditopang sifat kesabaran dan ketabahannya, lambat laun masyarakat Kangean sudah mulai menerima kehadiran Kiai Ghazali. Alhasil, masyarakat yang awalnya ‘jahiliyah’ berubah menjadi masyarakat yang beradab, berakhlak serta menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan bahkan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-harinya hingga saat ini.

ISLAM KAFFAH