Urgensi Takwa

Dalam kitabnya, Kifayat al-Atqiya’ Wa Minhaj al-Ashfiya karya Sayid Bakari al-Makki bin Sayid Muhammad Syatho ad-Dimyathi menyatakan hal terpenting yang mesti dipahami sebelum memasuki ranah pengertian ‘trilogi piramida’ tasawuf adalah memperjelas arti takwa. Tampaknya, baik sang penulis syair sendiri, Sayid Zainuddin, ataupun pensyarah Sayid Bakari sepakat akan hal itu.

Alhasil, bahasan pertama kali yang diuraikan penulis dalam kitab ini ialah bab tentang takwa. Sebelumnya, Sayid Bakari membahas makna basmalah, hamdalah, dan shalawat di mukadimah syair.

Sayid Bakari menjelaskan, bagi  para salik yang hendak meniti tangga menuju akhirat maka takwa adalah titian pertama dan paling mendasar. Uraian ini dipergunakan untuk memperjelas syair yang berbunyi:

“Taqwa al ilahi madaru kulli saadatin tiba’u ahwa ra’su syarrin habaila.” (Takwa kepada Allah pusat segala kebahagiaan dan mengikuti hawa nafsu pangkal keburukan).

Takwa merupakan dasar terpenting yang mengumpulkan semua kebaikan baik dunia ataupun akhirat. Tak pelak, sejumlah kalangan pun lantas mencoba memberikan definisi yang komprehensif tentang pengertian takwa.

Namun, kata takwa sendiri secara umum sering diartikan sebagai bentuk ketaatan atas perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya secara lahir dan batin. Sikap tersebut mesti disertai pula rasa pengagungan, tunduk, dan takut terhadap Allah.

Terdapat pula pengertian takwa yang menurut sejumlah kalangan cukup disederhanakan dengan definisi menghindari apa pun selain ridha Allah. Ada juga yang memahami takwa dengan menjauhi tiap tindakan dosa yang dilarang agama.

Mengutip perkataan an-Nashr Abadzi, Sayid Bakari menjelaskan, siapa pun yang membumikan sikap takwa maka kecenderungan yang ada di hadapannya tak lain hanyalah keinginan menjauhi dunia yang fana. Hal ini disebabkan oleh keyakinan yang amat mendalam akan janji Allah.

Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka, tidakkah kamu memahaminya? (QS al-An’am [6]: 32). Wasiat senantasia bertakwa tak terbatas pada umat Islam saja, tetapi juga pernah ditujukan kepada para umat terdahulu.

Sayid Bakari mengemukakan, takwa menuntut seseorang untuk menjauhi hawa nafsu yang kerap dipenuhi oleh tipu daya setan. Akibatnya, kepatuhan terhadap nafsu berakibat pada kebinasaan. Bahkan, Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan Al-Baihaqi dalam Sya’b al-Iman, pernah mengingatkan umatnya agar tidak teperdaya oleh nafsu setan.

 

REPUBLIKA

Dua Perkara yang Dikhawatirkan Rasulullah

Dalam kitab Kifayat al-Atqiya’ Wa Minhaj al-Ashfiya, Sayid Bakari al-Makki bin Sayid Muhammad Syatho ad-Dimyathi menilai, takwa menuntut seseorang untuk menjauhi hawa nafsu yang kerap dipenuhi oleh tipu daya setan.

Akibatnya, kepatuhan terhadap nafsu berakibat pada kebinasaan. Bahkan, Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan Al-Baihaqi dalam Sya’b al-Iman, pernah mengingatkan umatnya agar tidak teperdaya oleh nafsu setan.

Ada dua perkara yang paling dikhawatirkan Rasulullah akan menghinggapi pribadi Muslim, yaitu mengikuti hawa nafsu dan thul al-amal (banyak angan-angan). Hawa nafsu dapat mengarahkan seorang Muslim jauh dari kebenaran. Sedangkan, pengharapan berlebihan (banyak angan-angan), mengakibatkan lalai akan kehidupan akhirat. Apalagi, setan akan terus melakukan tipu daya dan menebarkan bisikan jahat kepada anak Adam.

Alkisah, iblis pernah menampakkan diri di hadapan Nabi Yahya AS dengan membawa rantai yang dikalungkan di tubuhnya. Nabi Yahya pun bertanya, ihwal benda tersebut. Iblis menjawab, Ini adalah syahwat yang dibelenggukan kepada anak Adam.

Dari sinilah maka dapat disimpulkan, kata Sayid Bakari, kunci menggapai kebahagiaan dan kebaikan adalah melawan kedua perkara yang diperingatkan Rasulullah tersebut. Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. (QS an-Naziaat [79]: 40).

 

REPUBLIKA