Kisah Difabel Netra Naik Haji: Izinkan Saya Menangis di Depan Ka’bah

Haji kerap menjadi momentum yang mengguratkan tinta sejarah pada perjalanan hidup seseorang. Tidak terkecuali bagi Ajini bin Senen bin Hasan (55 tahun), seorang penyandang disabilitas netra yang mendapat hadiah terbesar untuk pergi ke Tanah Suci pada musim haji tahun ini.

Pria asal Kabupaten Bangka Barat, Bangka Belitung ini mendapatkan hadiah berhaji dari mantan Bupati Bangka Belitung Zuhri M Syazali pada 2011. Bukan tanpa sebab Ajini mendapat durian runtuh untuk berhaji gratis.  Sehari-hari, ayah dua anak ini mengajarkan anak-anak untuk mengaji berupa hafalan Alquran juz 30.  

Rutinitas itu dilalui sejak tahun 1990. Ajini yang juga merupakan penasihat sebuah Taman Pendidikan Alquran (TPA) di Desa Pelangas itu membimbing mereka dibantu oleh istri dan anaknya.  “Cuma ngajar hafalan Quran juz 30,”ujar Ajni saat berbincang dengan Tim MCH di Hotel Barra Taibah, Madinah, Arab Saudi, Kamis (4/7) lalu. 

Ajini lantas didaftarkan haji oleh sang bupati. Setelah menunggu sebelas tahun, Ajini berangkat ke Tanah Suci bersama Kloter Palembang (PLM-4) pada 28 Juni lalu. Ajini merupakan bagian dari gelombang dua yang diberangkatkan langsung ke Jeddah untuk tinggal di Makkah Al-Mukaraamah. Setibanya di Bandara King Abdul Aziz International Airport (KAIA), Jeddah, Ajini merasakan sesuatu yang berbeda. “Saat sampai di Jeddah pertama kali terasa seperti siang di Indonesia, panas,”jelas dia. 

Ajini yang sudah berbalut kain ihram mengambil miqat di bandara. Setelah beristirahat sejenak di hotel yang berlokasi di Sektor 4, Ajini melanjutkan perjalanan ke Masjidil Haram. Layaknya jamaah Indonesia yang datang sebelum prosesi haji dimulai, Ajini berangkat sebagai jamaah haji tamattu. Dia pun melaksanakan umrah wajib setelah berada di Tanah Suci.  

Dia melaksanakan tawaf dengan kursi roda. Seorang petugas mendorong kursi yang menjadi fasilitas bagi kaum disabilitas tersebut untuk berputar mengelilingi Rumah Allah. Berada di depan Ka’bah, Ajini pun terharu. Dia menangis tersedu hingga putaran keempat. “Izinkan saya menangis, jadi pertama sampai puturan empat itu menangis terus,”kata dia. 

Ajini menangis karena tak terbayang sebelumnya bisa menginjakkan kaki di Masjidil Haram. Terlebih,  dia sempat mendapatkan informasi dari petugas kantor Kementerian Agama setempat jika harus menunggu delapan tahun lagi untuk berangkat ke Tanah Suci. Hingga pada 2018, dia bertemu kembali dengan pejabat Kemenag. “Saya tanya, saya bisa enggak pak penyandang disabilitas.Katanya enggak masalah yang penting ambil wajib-wajib saja. Setelah itu tinggal di hotel. Jadi saya semangat lagi,”ujar dia. 

Saat menjalani prosesi puncak haji di Arafah, Muzdalifah dan MIna (Armuzna),  Ajini beberapa kali  jatuh sakit. Dia sempat diinfus saat berada di Arafah. Kondisi fisiknya yang belum pulih benar membuat Ajini harus dibadalkan untuk lontar jumrah di jamarat ketika di Mina. Meski harus berjuang dengan segala keterbatasannya, Ajini yang sudah 38 tahun menjadi tunanetra itu berhasil melalui ibadah hajinya. Kini, Ajini masih berada di Madinah untuk menunggu waktu pulang pada Sabtu (6/8) lewat Bandara Prince Mohamed bin Abdul Aziz (AMAA). “Saya ke Nabawi hanya sholat sunah waktu Dhuha karena kalau duduk sakit,”jelas dia. 

Kepada penyandang disabilitas yang hendak berhaji, Ajini berpesan agar tak perlu khawatir dengan pelayanan selama di Tanah Suci. Selama di Makkah dan Madinah, dia mengaku dilayani dengan baik oleh petugas PPIH. Perlakuan istimewa pun didapatkan dari kawan satu rombongan bahkan satu kamar. “Yang penting ikhlas sama Allah, bertawakal,”jelas dia. 

IHRAM