Refleksi Cinta Nabi

Seberapa besar cinta kita kepada Nabi Muhammad SAW, pemilik syafaatul udzma?

Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad SAW berkata, “Di hari kiamat, kudatangi pintu surga, lalu kuminta dibukakan. Malaikat penjaga surga bertanya, ‘Siapakah engkau?’ Lalu, kujawab, ‘Muhammad.’ Dia berkata, ‘Karena engkaulah aku diperintahkan agar tidak membuka pintu surga bagi seorang pun sebelummu.’”

Hadis tersebut menggambarkan keistimewaan Nabi Muhammad SAW dibanding makhluk yang lain di sisi Allah SWT. Maka, berbahagialah manusia yang menjadi umatnya, terlebih umat yang pernah hidup di zamannya, yaitu para sahabat yang mencintainya.

Dalam hadis lain, dikisahkan bahwa Nabi Muhammad SAW pun adalah satu-satunya Nabi yang diberikan kesempatan untuk memberikan syafaatul udzma pada hari kiamat. Pada saat itu, manusia dikumpulkan di sebuah tempat yang begitu panas. Mereka menjadi sangat cemas, lelah, dan tersiksa diliputi ketidakpastian.

Mereka ingin segera masuk pada fase selanjutnya, yaitu hari perhitungan amal (yaumul hisaab), namun mereka bingung kepada siapa harus mengadu meminta bantuan (syafaat) agar segera terlepas dari kondisi yang tidak menyenangkan itu.

Mereka mendatangi Nabi Adam AS, namun Nabi Adam pun tidak bisa memberikan syafaat, Nabi Adam berkata “Nafsi, nafsi, nafsi” (masing-masing) sambil merekomendasikan untuk mendatangi Nabi Nuh AS.

Saat menyampaikan permintaan yang sama, ternyata Nabi Nuh AS pun memberikan jawaban yang sama pula. Nabi Nuh AS kemudian merekomendasikan untuk mendatangi Nabi Ibrahim AS, selanjutnya ke Nabi Musa, lalu kepada Nabi Isa AS.

Permintaan yang sama mereka ajukan, namun semua nabi yang direkomendasikan memberikan jawab yang sama. Masing-masing sedang berjuang untuk keluar dari impitan kesusahan yang dirasakan.

Akhirnya, Nabi Isa AS merekomendasikan mereka untuk mendatangi Nabi Muhammad SAW. Lalu, Nabi Muhammad SAW bersujud di bawah Arsy. Allah SWT berfirman, “Angkatlah kepalamu, mintalah maka akan Aku beri, mintalah syafaat maka akan Aku beri syafaat.” Lalu Nabi Muhammad SAW meminta syafaat untuk umatnya dengan mengatakan, “ummatii, ummatii, ummatii.”

Subhanallah walhamdulillah, betapa besar cinta Rasulullah SAW kepada umatnya. Kalaulah Rasul begitu cinta pada umatnya, lalu alasan apa yang menghalangi umatnya untuk mencintai Rasul? Bukankah syafaat itu pun hanya diberikan kepada umat yang mencintainya?

Lalu, seberapa besar cinta kita kepada Nabi Muhammad SAW, pemilik syafaatul udzma? Mari refleksi dan evaluasi sebelum kita menyesal nanti. Mari perbanyak shalawat dan mengikuti sunah serta ajaran-ajarannya seraya meninggalkan apa-apa yang tidak disukainya sebagai salah satu bentuk rasa cinta kepadanya. Allahumma shalli wasallim alaih.

Wallahu a’lam.

OLEH ADE ZAENUDIN

KHAZANAH REPUBLIKA

Kisah Maulid: Sejarah Muhammad Muda Jadi Delegasi Damai

Kisah maulid Nabi Muhammad SAW masa muda

Selain pernah ikut terlibat  dalam pertempuran Fijar, kisah hidup Nabi Muhammad muda juga sempat menjadi delegasi damai. Atas anjuran Zubair bin ‘Abdul-Muttalib di rumah Abdullah bin Jud’an diadakan pertemuan dengan mengadakan jamuan makan acara itu yang dihadiri oleh keluarga-keluarga Hasyim, Zuhra dan Taym.

“Mereka sepakat dan berjanji atas nama Tuhan Maha Pembalas, bahwa Tuhan akan berada di pihakyang teraniaya sampai orang itu tertolong,” tulis Husen Haekal dalam bukunya Sejarah Muhammad. 

Husen Haekal menuturkan, Muhammad muda  menghadiri pertemuan itu yang oleh mereka disebut Hilf’l-Fudzul. Ia mengatakan, “Aku tidak suka mengganti fakta yang kuhadiri di rumah Ibn Jud’an itu dengan jenis unta yang baik. Kalau sekarang aku diajak pasti kukabulkan.” 

Seperti kita lihat, Perang Fijar itu berlangsung hanya beberapa hari saja tiap tahun. Sedang selebihnya masyarakat Arab kembali ke pekerjaannya masing-masing. 

Pahit getirnya peperangan yang tergores dalam hati mereka tidak akan menghalangi mereka dari kegiatan perdagangan, menjalankan riba, minum-minuman keras serta pelbagai macam kesenangan dan hiburan sepuas-puasnya.  

Pertanyannya, adakah juga Muhammad ikut serta dengan mereka dalam hal ini? Ataukah sebaliknya perasaannya yang halus, kemampuannya yang terbatas serta asuhan pamannya membuatnya jadi menjauhi semua itu, dan melihat segala kemewahan dengan mata bernafsu tapi tidak mampu? 

“Bahwasanya dia telah menjauhi semua itu, sejarah cukup menjadi saksi,” katanya. 

Yang terang ia menjauhi itu bukan karena tidak mampu mencapainya. Mereka yang tinggal di pinggiran Makkah, yang tidak mempunyai mata pencarian, hidup dalam kemiskinan dan kekurangan, ikut hanyut juga dalam hiburan itu. Bahkan di antaranya lebih gila lagi dari pemuka-pemuka Makkah dan bangsawan-bangsawan Quraisy dalam menghanyutkan diri ke dalam kesenangan demikian itu.

“Akan tetapi jiwa Muhammad adalah jiwa yang ingin melihat, ingin mendengar, ingin mengetahui,” katanya.

KHAZANAH REPUBLIKA