Mualaf Juan, Risiko Berat Berjuang Sembunyikan Islamnya

Mualaf Juan menghadapi beragam dilema selama sembunyikan Islamnya

Juan Dovandi (19 tahun) masih terus berproses sebagai mualaf. Karena hingga saat ini dia masih merahasiakan keislamannya dari keluarga.  

Juan Dovandi merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Kisah hidupnya cukup pelik, karena sejak balita telah ditinggal oleh ibunya pergi tanpa kabar. 

Tak hanya ibu, ayahnya pun dua tahun kemudian pergi meninggalkan dia dan adiknya. Semula dia hendak dititipkan di panti asuhan, namun saudari ayahnya iba sehingga merawat keduanya hingga saat ini. 

Juan saat ini duduk di kelas tiga SMA, karena tantenya seorang non-Muslim, sehingga sejak kecil dia diajarkan agama tantenya hingga saat ini. Kemudian ketika menginjak kelas empat SD, Juan daftar ulang dan tidak sengaja melihat kartu keluarga milik keluarganya. Saat itu, Juan belum terdaftar di kartu keluarga tantenya.  

“Saya melihat ada nama ibu saya dan beragama Islam dan juga nama saya dan adik saya yang Islam namun ayah saya Buddha,” ujar dia kepada Republika.co.id, belum lama ini. 

Saat itu Juan bertanya-tanya dalam hati karena agama yang dianutnya saat itu berbeda dengan yang ada di kartu keluarganya. Namun dia tak berpikir panjang sampai satu ketika hidayah sampai kepadanya. 

Ketika kelas empat SD, sebagai non-Muslim biasanya saat belajar agama Islam, siswa diperbolehkan keluar kelas. Tetapi hal tersebut tidak dilakukan Juan yang saat itu bersekolah di sekolah negeri. 

Juan merasa penasaran dengan hal yang dipelajari Muslim. Juan yang keturunan Tionghoa kental dengan adat budaya dalam kesehariannya kemudian rutin ikut dalam pelajaran agama Islam. 

Dia tertarik dengan kisah Nabi Ibrahim tentang pencarian Tuhan. Bahwa dalam mencari Tuhan, Ibrahim AS pernah bertanya tentang patung yang disembah ayah dan masyarakatnya saat itu.  

Tetapi anehnya patung tersebut bisa dirusak. Ibrahim pun kemudian melakukan perjalanan dalam mencari Tuhan. Dia pernah bertanya tentang bintang yang bersinar apakah Tuhan tetapi keindahannya kalah dengan bulan. Demikin juga dengan bulan yang ternyata tenggelam saat matahari terbit dengan cahayanya yang lebih terang. 

Kemudian hingga akhir, Ibrahim yakin bahwa Tuhan adalah yang menciptakan semua hal yang telah dilihatnya. Kisah tersebut terdapat dalam Alquran, surat Al Anam ayat 76-79.   

Juan kemudian terus mempelajari Islam hingga kelas enam SD dan wali kelasnga tahu keinginan dia untuk memeluk Islam. Wali kelasnya menguatkan keyakinannya, dia sempat ragu karena keluarga yang telah membesarkan pasti melarangnya.  

Sejak mempelajari Islam, Juan tidak pernah lagi ikut ibadah tantenya. Ada saja alasan yang dia buat untuk menghindari ajakannya namun tetap saja terkadang dia terpaksa ikut.  

Hingga kelas delapan SMP, Juan semakin bertekad ingin membahas masalah agamanya. Benar saja, tantenya marah besar dan hendak mengusirnya. 

“Sejak saat itu saya tidak lagi membahas masalah agama dengan bibi saya, dan akan terang-terangan dengan keislaman saya jika telah bekerja dan mandiri,”ujar dia  

Karena dia merasa masih bergantung dengan keluarga bibinya maka dia menuruti kehendak bibinya. Namun diam-diam, Juan telah bersyahadat tanpa sepengetahuan bibinya. 

Dia juga diam-diam belajar sholat dan menyembunyikan buku-buku Islam termasuk juz “amma” di kamarnya. Hanya adik yang berbeda tiga tahun darinya yang mengetahui hal ini. 

Sejak SD dan SMP, Juan diberikan kemudahan mempelajari Islam di sekolah karena bersekolah di negeri. Setiap hari ada kajian di sekolah kemudian setiap Jumat ada mengaji yasin. Itu semua dia ikuti di sekolah. 

Namun saat menginjak SMA, tantenya yang selama ini tinggal bersamanya memiliki kesulitan ekonomi.  

Sehingga saat itu Juan terlambat untuk mendaftar sekolah negeri. Bibinya yang lain kemudian mendaftarkannya di sekolah swasta non-Muslim di SMK. 

Meski dia kesulitan untuk belajar Islam, dia bersyukur masih bisa bersekolah dan tetap belajar Islam meski seorang diri.  

Juan tidak berani untuk terang-terangan ibadah ke masjid. Karena keluarganya cukup dikenal di lingkungan rumah dan khawatir akan diadukan jika ketahuan sholat. Pernah dia ke masjid itupun saat SMP, di masjid sekolah, selain dari itu dia tidak berani.  

Jangankan untuk sholat dan mengaju keluar, untuk sekadar kegiatan sekolah pun memang keluarganya sangat ketat. Itu semata-mata bibinya khawatir dengannya.  

Untuk tetap mendalami Islam, selain belajar dari buku Juan mengikuti kajian online melalui internet dan ikut komunitas Islam online untuk bertukar pikiran.  

Ujian berat pernah terasa, saat keimananya goyah ketika ayahnya dikabarkan meninggal dunia. Dia juga sempat terpengaruh dengan lingkungan sekolahnya. 

Dia kemudian beristighfar dan kembali kepada Islam. Tantangan kedua juga adalah ketika keluarganya menyajikan makanan yang tidak halal. 

Dia merasa kesulitan karena belum memiliki uang sendiri untuk membeli makanan halal. Dia akan berpuasa jika memang makanan yang disajikan adalah makanan yang tidak halal. 

Juan sering berpuasa Senin-Kamis, meskipun belum rutin. Tahun lalu, dia bisa berpuasa Ramadhan meskipun belum penuh selama 30 hari. Karena khawatir ketahuan, Juan biasanya tidak sahur dan saat berbuka harus lewat dari magrib karena makan bersama keluarga sekitar pukul tujuh malam.  

Juan berharap dan berdoa keluarga yang telah membesarkannya bisa menerima keislamannya. Dia akan tetap menjalin silaturahim, jika suatu saat nanti secara terbuka telah menyatakan sebagai Muslim.”Saya terus berdoa agar tetap dikuatkan iman Islam saya,” tutur dia.  

Setelah lulus SMK, Juan memberanikan diri untuk meminta di khitan oleh bibinya. Setelah dikhitan, bibinya kemudian menanyakan alasan Juan. 

Juan kembali jujur bahwa dia masih menganut Islam dan tetap yakin dengan agama yang dibawa Rasulullah ini. Setelah keluarga di rumah mengetahui, keluarga besarnya pun berkumpul dan meminta Juan untuk kembali ke agama lamanya.  

Bahkan keluarganya pun akan menerima Juan jika memilih agama lain asalkan bukan Islam. Namun Juan tetap teguh, dia pun diancam untuk pergi dari rumah dan tidak boleh berhubungan dengan keluarga maupun adik kandungnya.  

“KTP dan ijazah saya tidak diberikan karena khawatir saya akan membuat masalah dan mendatangi mereka, sehingga saat ini saya belum bisa melamar kerja,”ujar dia.  

Juan memilih keluar dari rumah dan kini ditampung DKM Masjid Al Iman, Cipondoh, Tangerang. Dia diberikan sebuah ruangan untuk tempat tinggal.

Sembari menunggu pondok pesantren yang buka untuk dia mendalami Islam. Saat ini untuk hidup sehari-hari dia masih mengandalkan zakat dan infak kepadanya sebagai seorang mualaf.   

KHAZANAH REPUBLIKA

Leena Brookes Jatuh Cinta pada Islam

Leena Brookes, yang berasal dari Sheffield, South Yorks, Inggris, menjadi seorang Muslim ketika dia baru berusia 13 tahun. Ayah Leena, Stuart Brookes, yang awal tidak suka dengan keputusan putrinya itu, kini mulai menerimanya.

Selama bertahun-tahun sebelumnya, Leena dan ayahnya tidak saling bicara. Brookes khawatir anaknya telah dicuci otak setelah membaca tentang ISIS di berbagai pemberitaan. Namun ia akhirnya sadar, perpindahan agama tersebut tidak mengubah sikap putrinya, apalagi setelah mengenal keluarga calon suaminya, Jamal Eldeen Saeed.

Leena yang berusia 19 tahun sekarang memiliki hubungan yang lebih dekat dengannya dan keduanya membuat video lucu yang mengolok-olok perbedaan mereka untuk dibagikan kepada hampir 50 ribu pengikut TikTok mereka, yang ditonton jutaan kali.

Dalam sebuah video yang dibagikan, Brookes tampak sedang santai sambil minum bir sedangkan di dalam video itu juga ada putrinya yang sedang mengenakan jilbab. Keduanya berdiri dalam keheningan yang canggung saat mereka menyadari bahwa mereka sekarang tidak memiliki apa pun untuk diperdebatkan lagi.

Brookes telah belajar banyak dari agama putrinya dan dia berharap dengan membagikan video tersebut menunjukkan kepada orang lain bahwa siapapun tidak pernah terlalu tua untuk mengubah pandangan Anda, dalam hal ini tentang Islam.

“Saya sangat bangga dengan putri saya karena saya pikir dia bisa melakukan hal-hal yang jauh lebih buruk pada usianya. Dia adalah ibu yang luar biasa dan saya merasa agama ini tidak hanya mengajarinya tetapi mengajarkan banyak hal kepada saya,” kata Brookes.

“Ini telah menjadi berkah tersembunyi dan telah membawakan saya cucu perempuan saya yang cantik dan hubungan yang luar biasa dengan putri saya. Pada awalnya banyak TikToks-nya diposting tanpa saya sadari. Namun, itu telah menunjukkan kepada orang lain bagaimana bahkan pada usia saya orang dapat mengubah pandangan mereka,” kata Brookes menambahkan.

Bagi Leena, yang dibesarkan oleh ayah Inggris dan ibu Thailand, masuk Islam bukanlah sesuatu yang dia perkirakan akan terjadi padanya. “Ketika saya masih muda, saya pergi ke sekolah Gereja Inggris yang didominasi kulit putih,” tuturnya.

“Karena ibuku orang Thailand dan bahasa Inggris ayahku, aku mendapat sedikit intimidasi saat tumbuh dewasa karena tidak bisa berbahasa Inggris sepenuhnya. Tapi daerah saya penuh dengan Muslim. Sahabatku yang tumbuh dewasa adalah Muslim, jadi pergi ke sekolah selalu membuatku merasa tidak pada tempatnya,” kata Leena.

Pada saat Leena masuk sekolah menengah, ia berada di lingkungan multikultural. Islam benar-benar mulai menggelitik dirinya karena semua temannya Muslim. Hal itu membuat dia bertanya-tanya mengapa mereka tidak boleh makan daging babi, mengapa mereka shalat lima waktu, dan mereka menjelaskannya kepada Leena.

“Semakin banyak agama dijelaskan kepada saya, saya jatuh cinta padanya. Itu adalah proses bertahap. Saya mempelajarinya selama sekitar dua tahun sebelum saya benar-benar memutuskan untuk memeluk Islam,” ujarnya.

IHRAM

Peter Oudenes: Islam Agama Sempurna

Mualaf asal Negeri Belanda ini menemukan hidayah Islam saat berada di Indonesia.

Mualaf ini lahir di Negeri Belanda, tepatnya Kota Schoonhoven, sekira 34 tahun lalu. Peter Oudenes, demikian namanya, menemukan hidayah Ilahi ketika berada di Indonesia. Perantauannya pertama kali ke negara Asia Tenggara ini terjadi beberapa tahun lalu, sewaktu dirinya mendapatkan pekerjaan selepas kuliah.

Mungkin, pada waktu dahulu tak pernah terlintas dalam pikirannya untuk memilih Islam. Bagaimanapun, Allah Mahaberkehendak. Cahaya petunjuk-Nya menyinari siapa saja yang dikehendaki-Nya. Bila mengingat hal ini, tidak ada kata terucap dari lisan Peter selain hamdalah, bersykur ke hadirat-Nya.

Lelaki berperawakan tinggi ini menuturkan kisah hidupnya. Ia tumbuh besar tidak jauh berbeda dengan kebanyakan anak-anak Belanda. Begitu lulus dari SMA, dia meneruskan studi pendidikan tinggi.

Sukses meraih gelar, pria berambut pirang ini lantas memutuskan untuk segera mencari pekerjaan. Dalam bayangannya, alangkah menyenangkan hidup mandiri, dapat mengandalkan pemasukan dari kerja sendiri.

Tuntutan profesi membuatnya harus melanglang buana. Pihak kantor menugaskannya bekerja di Indonesia. Saat itu, Peter cukup antusias dengan keputusan tersebut. Apalagi, Bali menjadi tempat tujuannya. Kepindahannya ke Pulau Dewata itu terjadi sekitar 10 tahun silam.

Nasib orang siapa yang tahu. Berada di negara asing tidak membuatnya serba terbatas. Justru, Peter mempunyai banyak kawan, tempatnya berbagi suka dan duka. Di antara mereka, ada seorang perempuan yang membuatnya jatuh hati. Dialah Rika Kartika. Perempuan asal Cianjur, Jawa Barat, itu sedang berada di Bali sembari bekerja. Waktu itu, Muslimah ini merupakan seorang ibu tunggal dengan dua orang anak.

Antara Peter dan Rika pun terjalin perasaan saling suka. Keduanya lantas ingin melangkah ke taraf hubungan yang lebih berkomitmen. Maka mereka memutuskan untuk menikah. Itu terjadi sejak kira-kira satu tahun usai pertama kali berkenalan. Peter mengenang, saat itu perbedaan iman belum menjadi sesuatu yang digubrisnya.  

Peter mengenang, saat itu perbedaan iman belum menjadi sesuatu yang digubrisnya. Apalagi, katanya, Rika saat itu pun tidak mempersoalkan agamanya yang non-Islam. Bagaimanapun, pembicaraan tentang ini tetaplah ada.

Setelah berdiskusi, disepakatilah bahwa sang calon suami-lah yang kemudian memeluk Islam. Peter melakukannya dengan ikhlas. Kalau dipikir-pikir lagi sekarang, menurut dia, keputusannya saat itu tidak disebabkan adanya pernikahan.

Sebab, sejak pertama kali menginjakkan kaki di Indonesia, dia sudah ingin mengenal Islam lebih dekat. Sebelum bertemu Rika, keinginan itu hanya didasari rasa penasaran—tidak kurang, tidak lebih. Akan tetapi, saat menjalin hubungan dengan perempuan tersebut, kehendaknya untuk mempelajari agama ini kian kuat.

Pada Mei 2012, Peter mengucapkan dua kalimat syahadat di Masjid Denpasar. Prosesi itu disaksikan oleh ulama setempat, beberapa jamaah, dan tentu saja Rika sang calon istri. Beberapa hari sesudahnya, pernikahan antara keduanya pun dilangsungkan. Resmi sudah mereka mulai membina rumah tangga.

Niat Peter untuk serius mendalami Islam tidak berhenti pada ujaran lisan. Setiap hari, dirinya selalu meluangkan waktu untuk membaca banyak buku dan menonton video tentang agama ini. Tidak hanya konten-konten mengenai ibadah harian. Lebih lanjut, ia sungguh-sungguh mengkaji dasar agama ini—Alquran dan hadis—serta sosok mulia yang membawanya, yakni Nabi Muhammad SAW. Pernikahan hanyalah jalan, bukan alasan, Peter untuk menjadi seorang Muslim.  SHARE

Semula, Rika agak terkejut dengan antusiasme suaminya dalam mempelajari Islam. Pernikahan hanyalah jalan, bukan alasan, Peter untuk menjadi seorang Muslim. Berdasarkan pengajian yang disimaknya, ia mendapati bahwa kewajiban seorang Muslim setelah bersyahadat ialah shalat lima waktu. Dan, dalam budaya Indonesia “pakaian shalat” adalah peci, baju koko, serta sarung. Peter langsung meminta istrinya untuk membeli semua perlengkapan tersebut.

Melihat semangat ini, Rika pun ikut mendukungnya. Tidak hanya membelikan apa-apa yang diminta. Wanita tersebut juga memajang poster tuntunan gerakan shalat di dinding kamar. Dengan begitu, suaminya bisa setiap waktu menghafalkan dasar-dasar ibadah tersebut.

Bertobat

Sebagai pasangan, mereka berdua saat itu belum lepas dari kebiasaan buruk. Ya, walaupun secara resmi sudah berislam, beberapa hal masih dilakukannya. Misalnya, meminum minuman keras.

Peter menuturkan, memang istrinya waktu itu belum terlalu taat beribadah. Shalat masih sering bolong-bolong. Sebagai mualaf, keteguhan iman dalam diri Peter pun masih sarat ujian. Karenanya, sering juga dirinya terbawa suasana, hingga mabuk-mabukan atau berpesta sampai pagi.

Hingga suatu saat, Peter memutuskan untuk kembali ke Belanda. Sebab, di tanah airnya itu ada sebuah perusahaan yang menjanjikan karier lebih baik untuknya. Sambil memboyong istri dan anak-anak, ia pun mengurus seluruh dokumen kepulangan di Jakarta.

Setelah semua urusan administrasi selesai, keduanya kembali beristirahat. Di sela-sela waktu luang, pasangan suami-istri ini menikmati minuman beralkohol di salah satu klub malam. Namun insiden pun terjadi. Seorang pengunjung berperilaku tidak sopan kepada Rika.

Peter seketika marah. Ia mengajak pengganggu istrinya itu untuk berkelahi. Kejadian ini begitu memalukan, baik untuk Peter maupun Rika. Beberapa hari kemudian, keduanya saling mengobrol dari hati ke hati. Mereka memutuskan untuk meninggalkan kebiasaan buruk: menenggak khamar. Kita tidak perlu lagi minum minuman keras dan mencari tempat seperti ini lagi (klub malam) ke depannya.  

“Kita tidak perlu lagi minum minuman keras dan mencari tempat seperti ini lagi (klub malam) ke depannya,” ujar Peter menirukan perkataannya kepada sang istri saat itu.

“Untuk apa? Lagipula, kami berdua sudah suami-istri. Lebih baik menghabiskan waktu di rumah,” lanjutnya saat dihubungi Republika baru-baru ini.

Sejak saat itu mereka meninggalkan minuman haram dan gaya hidup bebas di malam hari. Setelah Peter selesai mengurus dokumen, Peter segera berangkat ke Belanda. Tetapi istrinya tetap di Bali karena masih memiliki pekerjaan.

Di Negeri Kincir Angin

Sepasang suami istri ini pun untuk sementara tinggal berjauhan. Yang satu di Belanda, sedangkan yang lain di Indonesia, tepatnya Bali. Rika kemudian, atas saran Peter, memilih menetap di kampung halamannya, Cianjur—dengan meninggalkan Bali.

Selama jauh di negeri Eropa, Peter ternyata kian serius mendalami Islam. Ia berkeinginan kuat untuk menjadi seorang Muslim yang sejati sekuat upaya. Berbagai pengajian diikutinya di Belanda, baik yang offline maupun daring.

Ia menyadari, tidak mudah untuk berubah menjadi lebih baik. Namun, dia bersyukur kepada Allah SWT. Salah satu karunia besar yang dirasakannya ialah memiliki istri dan anak-anak yang penurut.Peter Oudenes (ketiga dari kanan) bersama dengan keluarga. Pernikahan menjadi jalan baginya untuk mendalami dan menerapkan ajaran Islam secara sungguh-sungguh. – (DOK IST)SHARE 

Sebagai contoh, saat itu Peter mulai mengetahui bahwa Islam mewajibkan kaum Muslimin untuk menutup aurat secara benar. Adapun perempuan diharuskan menutupi kepala, tangan, dan kaki. Hanya kepada keluarga dan suami, aurat itu bisa ditampakkan.

Waktu itu, tutur Peter, Rika belum mengenakan hijab. Maka ketika istrinya itu ada kesempatan untuk mengunjunginya di Belanda, keinginan tersebut diutarakannya. Ia ingin, Rika mulai konsisten berbusana islami.

Memang, sempat ada riak-riak kecil. Misalnya, sewaktu hendak menghadiri pesta pernikahan seorang kerabat Peter. Rika justru menyiapkan gaun yang—kalau dipakai—bisa menampakkan auratnya. Melihat baju itu, Peter pun menunjukkan wajah tidak suka. Alhamdulillah, sang istri mau memiliki busana Muslimah yang telah disiapkannya. Bahkan, sejak saat itulah perempuan Indonesia ini konsisten berhijab.

Kini, Peter merasa sangat bahagia. Ia, istri, dan anak-anaknya hidup tenteram di Negeri Kincir Angin. Kepada mereka, dia selalu memberikan teladan dan bimbingan agar menjalani keseharian secara islami.

Memang, diakuinya, menjadi Muslim berarti menjadi minoritas di Belanda. Dan, ini agak sulit. Misalnya, tatkala dihadapkan pada dunia kerja. Syukurlah, Peter bekerja di luar kantor (work from home) sehingga dengan leluasa menunaikan ibadah harian. Karena hidayah datang dari Allah. Hanya Allah yang memutuskan, siapa-siapa saja yang hatinya tersentuh cahaya Islam, agama yang sempurna ini.  SHARE

Meski terkadang dia mendapat sindiran, Peter tidak terlalu peduli. Ia kini lebih senang berdakwah kepada teman-temannya. Tak masalah jika perkataannya didengar atau tidak. Yang terpenting baginya, kewajiban tabligh sebagai seorang Muslim sudah dilaksanakannya.

“Karena hidayah datang dari Allah. Hanya Allah yang memutuskan, siapa-siapa saja yang hatinya tersentuh cahaya Islam, agama yang sempurna ini,” ucapnya dengan penuh keyakinan.

Selain umrah dan haji yang kini menjadi cita-citanya, dia berharap kenikmatan Iman dan Islam ini tidak akan pernah hilang. Dan, tentu saja harapannya adalah melihat anak-anaknya tumbuh besar sebagai insan yang beriman dan bertakwa.

OLEH RATNA AJENG TEJOMUKTI

KHAZANAH REPUBLIKA

Mualaf Aziz, Akhir Perjalanan 3 Tahun Sembunyikan Islam

Mualaf Muhammad Abdul Aziz menyembunyikan keislamannya selama tiga tahun

 Dalam hidup, perkara yang sangat disyukurinya ialah berislam. Loe Kwang Ik, demikian nama aslinya, mulai mengenal agama ini dari seseorang yang dekat dengannya. Pada akhirnya, lelaki kelahiran Jakarta itu mantap mengimani tauhid. Sejak menjadi Muslim, dirinya memilih nama baru yaitu Muhammad Abdul Aziz.

Pria yang akrab disapa Koh Aziz itu kini mendedikasikan waktunya untuk syiar Islam. Menurut sosok berdarah Tionghoa tersebut, dakwah adalah jalan hidup yang ideal bagi seorang Muslim. 

Dengannya, pesan rahmat bagi semesta (rahmatan lil `alamin) yang juga merupakan karakteristik agama ini dapat disampaikan kepada seluas-luasnya khalayak.

Ketertarikannya pada Islam bermula dari keluarga. Memang, kedua orang tuanya adalah non-Muslim. Namun, kakaknya menjadi mualaf ketika Aziz masih berusia kanak-kanak. Kesan yang didapatnya terus membekas dalam benak pikiran.

Ayah dan bundanya sangat menentang keputusan abangnya itu. Alhasil, suasana di rumah sempat menjadi kurang harmonis. Apalagi, keduanya menganggap budaya mereka tidak akan sesuai dengan Islam. 

Kaum Muslimin dipandangnya sebelah mata. Kebanyakan orang Islam distigmakan sebagai bukan kaum kaya, berpakaian tidak bersih dan rapi, serta pelbagai perilaku negatif lainnya.

Saat itu, Aziz adalah bocah berumur 11 tahun. Namun, nalarnya sudah mencoba mengurai ketidakharmonisan dalam rumah. Ia tidak ikut-ikutan menghakimi kakaknya, sebagaimana yang ditunjukkan bapak dan ibunya. Yang di lakukannya ialah berdialog dengan abangnya itu.

Dari obrolan tersebut, Aziz kecil mulai mengenal sedikit tentang dasar-dasar Islam. Misalnya, bagaimana konsep ketuhanan menurut agama ini. Selain itu, diceritakan pula tentang Nabi Muhammad SAW, sosok yang menyebarkan risalah tersebut.

“Saya ditanya mengenai keyakinan akan Tuhan dan koko (kakak) saya menjelaskan tentang konsep ketuhanan dalam Islam. Itu dikaitkannya dengan fakta yang ada. Akhirnya, saya semakin ragu dengan konsep ketuhanan yang saya yakini selama itu (di agama lama),” ujar Muhammad Abdul Aziz mengenang.

Seharian itu, ia bertukar wawasan dengan kakaknya. Sang abang tiap memasuki waktu adzan, selalu pamit untuk mendirikan sholat. Begitu seterusnya hingga tak terasa, malam pun tiba. 

Keesokan harinya, Aziz menemui kakaknya. Dalam hatinya, tidak ada keraguan sama sekali. Ia meyakini bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Terlebih lagi, tauhid sangat mudah dipahami. Hanya ada satu Tuhan. Dialah Allah Yang Maha-Esa. Dia Yang tidak beranak, tidak pula diperanakkan. Bagi Aziz, dalil tersebut begitu masuk akal. 

Waktu itu, suatu hari pada 1991, ia pun menyatakan diri masuk Islam. Oleh abangnya, lelaki kelahiran 23 Agustus 1980 itu dibimbing untuk melafalkan dua kalimat syahadat. Pelan-pelan, meski terbata-bata, akhirnya meluncurlah ikrar ini dari lisannya: Asyhaduan Laa Ilaaha illa Allah, wa asyhadu anna Muhammad Rasulullah, `saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang patut disembah selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah. 

Sesudah itu, Aziz mulai merasakan kekhawatiran. Sebabnya, tidak ada selain bahwa kedua orang tuanya dapat mengetahui keislaman nya. Karena itu, ia memutuskan untuk menyembunyikan iman tersebut untuk sementara waktu. Perkara ibadah dan lain-lain tetap dijalaninya. Bahkan, kadang-kadang dirinya terpaksa sholat di tempat ibadah agama sebelumnya. 

Semua dijalaninya dengan penuh kesabaran. Syukurlah, kakaknya dengan setia membimbing dan mendampinginya. Abangnya itu pun membimbing dengan arahan seorang ustaz. Ada lagi mentornya, yakni seorang kawannya, mantan mahasiswa universitas Islam yang pernah kuliah kerja nyata (KKN) di kantor orang tuanya. 

Tahun demi tahun berganti. Aziz berhasil melalui satu per satu jenjang pendidikan.Setelah lulus SMP, ia berpisah dengan kedua orang tuanya. Mereka kembali ke Jakarta, sedangkan Aziz tetap di Jawa Timur, tepatnya Jember. Karena jauh dari keduanya, ia merasa lebih bebas untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya sekarang: Islam. 

“Tiga tahun saya menjadi Muslim dan beribadah secara sembunyi-sembunyi. Sejak hidup mandiri, saya bertekad untuk serius menjalani dan mendalami ajaran Islam,” katanya.

Dalam hal ini, tentu saja belajar agama tidak bisa sendirian. Ia pun mulai mencari seorang dai atau ustadz yang bersedia mengajarinya. Pemuda itu berkunjung dari satu masjid ke masjid lainnya. 

Bersyukur ke hadirat Allah Ta’ala. Saat itu, dirinya biasa mengadakan perjalanan hingga ke Yogyakarta. Di Kota Pelajar, baru lah ada seorang ahli agama Islam yang bisa membimbing kalangan mualaf, seperti dirinya.

Terlebih lagi, di sana cukup banyak mualaf yang berusia sebaya dengannya. Aziz pun kian bersemangat untuk mempelajari Islam, terutama mengaji Alquran dan melancarkan bacaan-bacaan sholat. Salah seorang pengajar yang cukup berkesan baginya kala itu ialah Ustadz Nuke Anugrah Lesmana. 

Banyak hal yang diajarkan Ustadz Nuke kepadanya. Tidak hanya ilmu-ilmu agama, motivasi pun kerap disampaikannya. Pesan yang berkali-kali ditekankannya: seorang Muslim harus terus istiqamah di jalan takwa. Sebagai seorang mualaf, Aziz mengenang, saat itu dirinya merasakan cobaan yang cukup berat. Tiga tahun lamanya sempat menyembunyikan keimanan. Rasanya, tidak mudah untuk menerapkan hidup islami dengan baik, semisal perkara makanan dan sebagainya. 

Karena itu, perantauannya selama di Jawa Timur dan juga Yogyakarta adalah blessing in disguise. Mulai saat itu, konsistensi bisa dipupuknya tahap demi tahap.

Pada akhirnya, Aziz mengungkapkan jati dirinya sebagai Muslim. Sebelum itu, ia terlebih dahulu curhatke Ustadz Nuke dan sahabat-sahabat terdekat. Semuanya mendukung keputusannya untuk mulai terbuka dengan kedua orang tuanya mengenai iman.Kalaupun nanti, umpamanya, Aziz diusir dari rumah, beberapa kawan bersedia memberikan tempat untuk bernaung.

Hari yang dinanti-nanti tiba. Tentu saja, ayah dan ibunya terkejut dengan pengakuan putranya itu. Dalam bayangan mereka, terulang lagi perkara yang pernah terjadi pada si sulung, kakaknya Aziz. Karena itu, diputuskanlah bahwa tidak ada pengusiran.

Menurut keduanya, percuma diusir karena nanti seisi rumah hanya menjadi sasaran cibiran tetangga. Belum lagi, di luar sana anaknya itu bisa saja mendapatkan lebih banyak dukungan. 

Alhasil, Aziz dibiarkan untuk tinggal di rumah. Namun, perlakuan terhadapnya kian terasa berubah. Sering kali ia dibujuk rayu atau disindir agar kembali ke agama lama. 

Sampai di sini, Aziz teringat pesan Ustaz Nuke: perlakukanlah kedua orang tua dengan penuh cinta, hormat, dan sopan santun. Sebab, itulah yang diajarkan Islam. Jangan sampai perbedaan iman menjadi penyebab kedurhakaan seorang anak terhadap ayah dan ibu. 

Maka, Aziz terus menunjukkan baktinya kepada mereka. Harapannya, Allah membukakan pintu hidayah bagi kedua orang tuanya. Atau, setidaknya, suasana harmonis dapat kembali hidup di dalam rumah. 

“Di keluarga, saya adalah anak paling muda. Sikap saya, ingin tetap takzim, menghormati mereka. Dengan begitu, harapannya, mereka menyadari bahwa akhlak seorang Muslim adalah (anak) tetap menghormati orang tua,” ucapnya.

Tibalah masanya Aziz lulus SMA. Dengan komitmen ingin hidup mandiri, yakni tidak terus-menerus membebani orang tua, ia memutuskan untuk menikah. Waktu itu, dirinya sudah memperoleh pekerjaan tetap walau dengan gaji tidak begitu banyak.

Ia pun melamar seorang perempuan Muslimah. Setelah lamaran, Aziz kemudian berbicara bahwa dia akan menikah. Tentu kedua orang tuanya terkejut. Sebab, semua itu seperti tanpa persiapan. Waktu akad hanya selang dua hari sejak lamaran.

Usai menikah, Aziz dan istrinya menyewa sebuah rumah. Pasangan ini beberapa tahun kemudian dikaruniai seorang anak. Meski dengan keterbatasan ekonomi, keluarga kecil ini tak patah semangat. Istri Aziz pun kerap menyemangatinya agar selalu memiliki waktu untuk terus belajar agama.

Pada 2000, Aziz mendaftar kuliah pada jurusan tarbiyah di sebuah kampus. Sembari itu, ia tetap meneruskan usahanya sendiri.Allah berkehendak, lambat laun usahanya itu membuahkan hasil. Keadaan ekonominya meningkat. Enam tahun kemudian, ia bisa membangun rumah sendiri.

Aziz kini memiliki lima orang anak. Sementara itu, usahanya kian maju walaupun sem pat terimbas pandemi akhir-akhir ini.Bis nisnya tidak menjadi alasan untuk berpaling dari dunia dakwah.

Pada 2014 lalu, ia membentuk komunitas Tionghoa Muslim Indonesia (TMI). Organisasi itu bertujuan mempererat silaturahim dan menyebarluaskan dakwah Islam, khu susnya di kalangan keturunan Tiongha. Si fatnya terbuka, baik untuk Muslimin, mualaf, atau siapa pun yang tertarik mengenal agama Islam.

Hingga saat ini, TMI terus berkembang. Di Semarang, Jawa Tengah, komunitas tersebut berhasil mendirikan sebuah sekolah mualaf. Pelbagai kajian keislaman digelar rutin di sana, dengan mengundang sejumlah mubaligh.

Ia dan keluarga berniat pula untuk membangun sebuah pondok pesantren khusus penghafal Alquran di Ibu Kota. Rencananya, para santri itu tak hanya dibekali pendidikan agama dan umum, tetapi juga keterampilan berkuda. “Masih proses. Nantinya santri, selain belajar agama, juga akan diberikan homeschooling dan fasilitas maksimal lainnya,” tutur Aziz.     

KHAZANAH REPUBLIKA

Kisah Mualaf Donna Latief: Tak Terpikirkan Masuk Islam

Donna Latief mengakui ada kebahagian saat belajar dan membaca Alquran

Donna Latief menjadi salah satu sosok pembawa berita yang cukup populer di era 2000-an. Rupanya, istri Abdul Latief ini mengaku menjadi mualaf usai menikah dan akhirnya merasa bahagia untuk mendalami islam. Bagaimana kisahnya?

Abdul Latief merupakan pengusaha dan mantan Menteri Tenaga Kerja (Menaker) pada era Soeharto. Donna dipertemukan dengan Abdul Latief saat ia bekerja di perusahaan televisi nasional dan akhirnya dipinang hingga menjadi mualaf.

“Nama asli saya itu sebelum saya mualaf, namanya Donna Luisa Maria. Setelah saya mualaf, suami saya memberikan nama Islam kepada saya. Namanya (jadi) Aina Haq Donna Abdul Latief,” ujar mantan mertua Nikita Mirzani itu, dalam kanal YouTube Venna Melinda.

Diakui Donna, tak pernah terpikirkan sebelumnya untuk memeluk agama Islam karena semasa hidupnya dibesarkan dengan agama Katolik yang kuat. Bahkan, seluruh kegiatan dan pendidikannya pun berlatar agama Katolik.

“Saya dibesarkan di keluarga Katolik, dari kecil, saya ambil S2 pun saya semuanya itu background-nya semua Katolik,” kata Donna Latief.

Usai menempuh pendidikan dan meraih gelar magister, Donna mencapai cita-citanya untuk menjadi seorang jurnalis. Di sini, Donna dipertemukan dengan suaminya yang kala itu menjabat sebagai atasannya.

Tak disangka, perbedaan usia yang terpaut 35 tahun dan agama, tetap membuat Donna dan Abdul Latief yakin untuk menikah. Hidayah Islam yang ditemui Donna, dirasakan pasca menikah karena sosok Abdul Latief yang memegang kuat prinsip agama Islam.

“Saya memang cari suami yang penting tuh agamanya kuat, memang cari yang itu. Dan memang ini juga jalannya, menjawab hidayah saya jauh sebelum bertemu dengan Pak Latief,” kata Donna.

“Jadi, ketika mendapat panggilan ini, bertemu dengan beliau. Beliau membimbing saya untuk Islam saya. Dan Alhamdulillah.. itu lah.. amazing aja gitu,” imbuh Donna Latief.

Setelah menikah selama 18 tahun dan menjadi mualaf, Donna Latief mengaku mendalami agama Islam dengan belajar membaca Al Quran. Ada kebahagiaan yang dirasakannya saat membaca Al Quran.

“Saya benar-benar mendalami sampai insya Allah saya fasih baca kaligrafinya itu. Karena saya memang senang saja,” ucapnya.

Lebih dalam, Donna menyebut tak masalah apabila iman yang dirasakan tengah turun. Kuncinya, kata Donna, dengan istiqomah sehingga mata hati akan lebih terjaga. Selain itu, Donna menegaskan pentingnya mendalami Al Quran agar lebih istiqomah.

“Saya akhirnya baca bisa kaligrafi Arab karena saya belajar 6 bulan, intens sih,” kata Donna.

“Saya juga sudah khatam, tapi saya juga khatam (tulisan) Arabnya. Tapi benar deh Venna, jangan baca Latinnya harus baca Arabnya. Beda rasanya, beneran deh. Aku juga belajar itu, fokus itu. Tapi aku bahagia akhirnya aku bisa khatam dengan Bahasa Arab. Aku pengen teruskan, aku juga ambil kajian studi Islam,” tambah Donna Latief.

KHAZANAH REPUBLIKA

Loe Kwang Ik, Syahadat Usai Diskusi Empat Mata

Pendiri komunitas Tionghoa Muslim Indonesia ini menjadi mualaf sejak masih anak-anak.

Dalam hidup, perkara yang sangat disyukurinya ialah berislam. Loe Kwang Ik, demikian nama aslinya, mulai mengenal agama ini dari seseorang yang dekat dengannya. Pada akhirnya, lelaki kelahiran Jakarta itu mantap mengimani tauhid. Sejak menjadi Muslim, dirinya memilih nama baru: Muhammad Abdul Aziz.

Pria yang akrab disapa Koh Aziz itu kini mendedikasikan waktunya untuk syiar Islam. Menurut sosok berdarah Tionghoa tersebut, dakwah adalah jalan hidup yang ideal bagi seorang Muslim. Dengannya, pesan rahmat bagi semesta (rahmatan lil ‘alamin) yang juga merupakan karakteristik agama ini dapat disampaikan kepada seluas-luasnya khalayak.

Ketertarikannya pada Islam bermula dari keluarga. Memang, kedua orang tuanya adalah non-Muslim. Namun, kakaknya menjadi mualaf ketika Aziz masih berusia kanak-kanak. Kesan yang didapatnya terus membekas dalam benak pikiran.

Ayah dan bundanya sangat menentang keputusan abangnya itu. Alhasil, suasana di rumah sempat menjadi kurang harmonis. Apalagi, keduanya menganggap budaya mereka tidak akan sesuai dengan Islam. Kaum Muslimin dipandangnya sebelah mata. Kebanyakan orang Islam distigmakan sebagai bukan kaum kaya, berpakaian tidak bersih dan rapi, serta pelbagai perilaku negatif lainnya.  

Saat itu, Aziz adalah bocah berumur 11 tahun. Namun, nalarnya sudah mencoba mengurai ketidakharmonisan dalam rumah. Ia tidak ikut-ikutan menghakimi kakaknya, sebagaimana yang ditunjukkan bapak dan ibunya. Yang dilakukannya ialah berdialog dengan abangnya itu.

Dari obrolan tersebut, Aziz kecil mulai mengenal sedikit tentang dasar-dasar Islam. Misalnya, bagaimana konsep ketuhanan menurut agama ini. Selain itu, diceritakan pula tentang Nabi Muhammad SAW, sosok yang menyebarkan risalah tersebut.

“Saya ditanya mengenai keyakinan akan Tuhan dan koko (kakak) saya menjelaskan tentang konsep ketuhanan dalam Islam. Itu dikaitkannya dengan fakta yang ada. Akhirnya, saya semakin ragu dengan konsep ketuhanan yang saya yakini selama itu (di agama lama),” ujar Muhammad Abdul Aziz mengenang.

Seharian itu, ia bertukar wawasan dengan kakaknya. Sang abang tiap memasuki waktu azan, selalu pamit untuk mendirikan shalat. Begitu seterusnya hingga tak terasa, malam pun tiba.

Keesokan harinya, Aziz menemui kakaknya. Dalam hatinya, tidak ada keraguan sama sekali. Ia meyakini bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Terlebih lagi, tauhid sangat mudah dipahami. Hanya ada satu Tuhan. Dialah Allah Yang Maha Esa. Dia Yang tidak beranak, tidak pula diperanakkan. Bagi Aziz, dalil tersebut begitu masuk akal.

Waktu itu, suatu hari pada tahun 1991, ia pun menyatakan diri masuk Islam. Oleh abangnya, lelaki kelahiran 23 Agustus 1980 itu dibimbing untuk melafalkan dua kalimat syahadat. Pelan-pelan, meski terbata-bata, akhirnya meluncurlah ikrar ini dari lisannya: “Asyhaduan Laa Ilaaha illa Allah, wa asyhadu anna Muhammad Rasulullah”, ‘saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang patut disembah selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah.’

Sesudah itu, Aziz mulai merasakan kekhawatiran. Sebabnya tidak ada selain bahwa kedua orang tuanya dapat mengetahui keislamannya. Karena itu, ia memutuskan untuk menyembunyikan iman tersebut untuk sementara waktu. Perkara ibadah dan lain-lain tetap dijalaninya. Bahkan, kadang-kadang dirinya terpaksa shalat di tempat ibadah agama sebelumnya.

Semua dijalaninya dengan penuh kesabaran. Syukurlah, kakaknya dengan setia membimbing dan mendampinginya. Abangnya itu pun membimbing dengan arahan seorang ustaz. Ada lagi mentornya, yakni seorang kawannya, mantan mahasiswa universitas Islam yang pernah kuliah kerja nyata (KKN) di kantor orang tuanya.

Tahun demi tahun berganti. Aziz berhasil melalui satu per satu jenjang pendidikan. Setelah lulus SMP, ia berpisah dengan kedua orang tuanya. Mereka kembali ke Jakarta, sedangkan Aziz tetap di Jawa Timur, tepatnya Jember. Karena jauh dari keduanya, ia merasa lebih bebas untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya sekarang: Islam.

“Tiga tahun saya menjadi Muslim dan beribadah secara sembunyi-sembunyi. Sejak hidup mandiri, saya bertekad untuk serius menjalani dan mendalami ajaran Islam,” katanya.

Dalam hal ini, tentu saja belajar agama tidak bisa sendirian. Ia pun mulai mencari seorang dai atau ustaz yang bersedia mengajarinya. Pemuda itu berkunjung dari satu masjid ke masjid lainnya.

Bersyukur ke hadirat Allah Ta’ala. Saat itu, dia biasa mengadakan perjalanan hingga ke Yogyakarta. Di Kota Pelajar, barulah ada seorang ahli agama Islam yang bisa membimbing kalangan mualaf, seperti dirinya.

Terlebih lagi, di sana cukup banyak mualaf yang berusia sebaya dengannya. Aziz pun kian bersemangat untuk mempelajari Islam, terutama mengaji Alquran dan melancarkan bacaan-bacaan shalat. Salah seorang pengajar yang cukup berkesan baginya kala itu ialah Ustaz Nuke Anugrah Lesmana.

Banyak hal yang diajarkan Ustaz Nuke kepadanya. Tidak hanya ilmu-ilmu agama, motivasi pun kerap disampaikannya. Pesan yang berulang kali ditekankannya: seorang Muslim harus terus istikamah di jalan takwa.

Sebagai seorang mualaf, Aziz mengenang, saat itu dirinya merasakan cobaan yang cukup berat. Tiga tahun lamanya sempat menyembunyikan keimanan. Rasanya, tidak mudah untuk menerapkan hidup islami dengan baik, semisal perkara makanan dan sebagainya. Karena itu, perantauannya selama di Jawa Timur dan juga Yogyakarta adalah blessing in disguise. Mulai saat itu, konsistensi bisa dipupuknya tahap demi tahap.

Memilih takzim

Pada akhirnya, Aziz mengungkapkan jati dirinya sebagai Muslim. Sebelum itu, ia terlebih dahulu curhat ke Ustaz Nuke dan sahabat-sahabat terdekat. Semuanya mendukung keputusannya untuk mulai terbuka dengan kedua orang tuanya mengenai iman. Kalaupun nanti, umpamanya, Aziz diusir dari rumah, beberapa kawan bersedia memberikan tempat untuk bernaung.

Hari yang dinanti-nanti tiba. Tentu saja, ayah dan ibunya terkejut dengan pengakuan putranya itu. Dalam bayangan mereka, terulang lagi perkara yang pernah terjadi pada si sulung—kakaknya Aziz.

Karena itu, diputuskanlah bahwa tidak ada “pengusiran”. Menurut keduanya, percuma diusir karena nanti seisi rumah hanya menjadi sasaran cibiran tetangga. Belum lagi, di luar sana anaknya itu bisa saja mendapatkan lebih banyak dukungan.

Alhasil, Aziz dibiarkan untuk tinggal di rumah. Namun, perlakuan terhadapnya kian terasa berubah. Sering kali ia dibujuk rayu atau disindir agar kembali ke agama lama.

Sampai di sini, Aziz teringat pesan Ustaz Nuke: perlakukanlah kedua orang tua dengan penuh cinta, hormat, dan sopan santun. Sebab, itulah yang diajarkan Islam. Jangan sampai perbedaan iman menjadi penyebab kedurhakaan seorang anak terhadap ayah dan ibu.

Maka, Aziz terus menunjukkan baktinya kepada mereka. Harapannya, Allah membukakan pintu hidayah bagi kedua orang tuanya. Atau, setidaknya, suasana harmonis dapat kembali hidup di dalam rumah.

“Di keluarga, saya adalah anak paling muda. Sikap saya, ingin tetap takzim, menghormati mereka. Dengan begitu, harapannya, mereka menyadari bahwa akhlak seorang Muslim adalah (anak) tetap menghormati orang tua,” ucapnya.

Tibalah masanya Aziz lulus SMA. Dengan komitmen ingin hidup mandiri, yakni tidak terus-menerus membebani orang tua, ia memutuskan untuk menikah. Waktu itu, dia sudah memperoleh pekerjaan tetap walau dengan gaji tidak begitu banyak.

Ia pun melamar seorang perempuan Muslimah. Setelah lamaran, Aziz kemudian berbicara bahwa dia akan menikah. Tentu kedua orang tuanya terkejut. Sebab, semua itu seperti tanpa persiapan. Waktu akad hanya selang dua hari sejak lamaran.

Usai menikah, Aziz dan istrinya menyewa sebuah rumah. Pasangan ini beberapa tahun kemudian dikaruniai seorang anak. Meski dengan keterbatasan ekonomi, keluarga kecil ini tak patah semangat. Istri Aziz pun kerap menyemangatinya agar selalu memiliki waktu untuk terus belajar agama.

Pada 2000, Aziz mendaftar kuliah pada jurusan tarbiyah di sebuah kampus. Sembari itu, ia tetap meneruskan usahanya sendiri. Allah berkehendak, lambat laun usahanya itu membuahkan hasil. Keadaan ekonominya meningkat. Enam tahun kemudian, ia bisa membangun rumah sendiri.

Aziz kini memiliki lima orang anak. Sementara itu, usahanya kian maju walaupun sempat terimbas pandemi akhir-akhir ini. Bisnisnya tidak menjadi alasan untuk berpaling dari dunia dakwah.

Pada 2014 lalu, ia membentuk komunitas Tionghoa Muslim Indonesia (TMI). Organisasi itu bertujuan mempererat silaturahim dan menyebarluaskan dakwah Islam, khususnya di kalangan keturunan Tiongha. Sifatnya terbuka, baik untuk Muslimin, mualaf, atau siapapun yang tertarik mengenal agama Islam.

Hingga saat ini, TMI terus berkembang. Di Semarang, Jawa Tengah, komunitas tersebut berhasil mendirikan sebuah sekolah mualaf. Pelbagai kajian keislaman digelar rutin di sana, dengan mengundang sejumlah mubaligh.

Ia dan keluarga berniat pula untuk membangun sebuah pondok pesantren khusus penghafal Alquran di Ibu Kota. Rencananya, para santri itu tak hanya dibekali pendidikan agama dan umum, tetapi juga keterampilan berkuda. “Masih proses. Nantinya santri, selain belajar agama, juga akan diberikan homeschooling dan fasilitas maksimal lainnya,” tutur Aziz.

OLEH RATNA AJENG TEJOMUKTI

KHAZANAH REPUBLIKA

Menggegerkan! Model Majalah Play Boy Masuk Islam

Menjadi model majalah tersohor di dunia tentu membanggakan. Bayarannya menggiurkan. Bergaya hidup glamor, dan didambakan banyak lelaki. Tetapi model majalah Play Boy ini memilih masuk Islam dan meninggalkan semuanya. Majalah ini suka menampilkan foto-foto model cantik nan seksi. Siapakan model itu dan mengapa hijrah?

Lengkapnya tonton videonya di sini

HIDAYATULLAH.com

Kisah Mualaf Wang Sun Hwa, Berawal dari ‘Puasa’ Ramadhan

Puasa Ramadhan yang diikuti secara coba-coba menjadi jalan hidayah untuk mualaf ini.

Selama empat tahun Rahmat menempuh pendidikan di Kota Nabi. Banyak ilmu dan keberkahan di sana.

Rahmat Hidayat merupakan seorang mualaf yang kini aktif di dunia dakwah. Lelaki berusia 29 tahun itu mengaku bersyukur, Allah SWT telah memberikan hidayah kepadanya untuk menjadi Muslim. Menurutnya, iman dan Islam merupakan anugerah terbesar yang pernah dirasakannya.

Pria keturunan Tionghoa ini lahir dengan nama Wang Sun Hwa, di Medan, Sumatra Utara. Sejak 2004 lalu, dia memeluk Islam. Adapun nama Rahmat Hidayat yang kini disandangnya merupakan pemberian dari ibu angkatnya. Perempuan itulah yang menjadi jalan petunjuk Allah sampai kepadanya.

Sebelum memeluk Islam, Rahmat tidaklah begitu tertarik pada hal-hal yang meningkatkan kesadaran spiritual. Ia menduga, kecenderungan itu bertolak belakang dengan pola pendidikan yang diterimanya sejak dini. Seisi rumah tidak pernah absen dalam melaksanakan ibadah tiap akhir pekan. Bahkan, ada tempat ibadah di kediamannya.

Rahmat agak berbeda dari kakak-kakaknya. Anak bungsu dari lima bersaudara itu tidak terlalu mementingkan ibadah. Sesekali, ia memang mengikuti orang tuanya ke tempat ibadah. Namun, ritual tersebut dianggapnya rutinitas belaka.  

“Kakak-kakak saya itu termasuk orang yang aktif (beribadah). Ya tidak tahu mengapa saya agak berbeda. Mungkin inilah awal mulanya hidayah sampai kepada saya,” tuturnya dalam video yang diunggah di platform YouTube, seperti dilihat Republika, beberapa waktu lalu.

Walaupun usianya masih anak-anak, Rahmat sering mengajukan pertanyaan yang sesungguhnya filosofis. Ia saat itu pun kerap heran dengan kepercayaan yang dipeluk kedua orang tua dan saudara-saudaranya. Ia seolah-olah menemukan alasan untuk tidak taat beribadah karena memang sudah ragu menyembah apa yang mereka sembah.

Meskipun jarang terlihat beribadah, Rahmat jarang mendapatkan teguran. Keluarganya seakan-akan tidak terlalu memedulikannya. Keadaan itu terus bertahan hingga ia berumur remaja.

Tidak seperti sebelumnya, Rahmat muda mulai membuka wawasannya. Sebab, saat masih berusia anak-anak dirinya tinggal di lingkungan “monoton”. Dalam arti, tetangga dan kawan-kawannya tidak berbeda agama dengan keluarganya.

Kini, ia sudah memiliki cukup banyak teman dari kalangan Muslim. Sepanjang pergaulannya dengan mereka, Rahmat mulai mengetahui dan mengenal beberapa ajaran Islam. Lama kelamaan, ia pun tertarik mempelajari agama yang mengajarkan bahwa Tuhan hanyalah satu, yakni Allah Subhanahu wa Ta’ala, itu.

Waktu silih berganti. Tibalah bulan suci Ramadhan. Rahmat muda memperhatikan, kawan-kawannya yang Muslim mengamalkan puasa. Mereka tidak makan dan minum sejak pagi hingga azan maghrib berkumandang. Selain itu, teman-temannya itu tampak semakin rajin beribadah di masjid.

Waktu itu, Rahmat sangat tertarik untuk mengetahui seluk-beluk puasa Ramadhan. Tiap ada kesempatan, dia pun bertanya kepada seorang atau dua temannya. Ia kerap heran, mengapa Islam mengharuskan umatnya untuk menahan lapar dan dahaga seharian, selama sebulan penuh pula.

Puasa memang bukan perkara asing untuk Rahmat saat itu. Di agamanya (yang lama), sudah ada ketentuan untuk berpuasa. Namun, ajaran itu tidak diharuskan untuk pemeluk agama tersebut. Sifatnya semata-mata anjuran, bukan kewajiban.

“Saya pernah tanya ke kawan-kawan (yang Muslim), mengapa kok kalian itu setiap hari berpuasa gitu setiap bulan Ramadhan, tiap tahun pula,” ujarnya.

Keterarikan Rahmat terhadap Islam ternyata belum ditanggapi serius oleh teman-temannya saat itu. Mereka hanya menjawab sekenanya saja, seperti “kewajiban orang Islam memang berpuasa saat Ramadhan” atau sekadar “ya memang begitu”.

Untuk menunjukkan kesungguhannya, Rahmat akhirnya memilih untuk ikut berpuasa. Ia pun mengungkapkan niatnya itu kepada kawan-kawannya yang Muslim. Akan tetapi, maksud tersebut justru menjadi semacam bahan candaan mereka.

“Bagaimana bisa orang non-Muslim ikut-ikutan puasa?” ucap Rahmat meniru perkataan teman-temannya saat itu.

Akhirnya, seorang sahabatnya memberikan saran. Sebaiknya, Rahmat bertanya kepada orang yang lebih tua. Rahmat pun meminta teman dekatnya itu memberi tahu kepada ibunya. Di kemudian hari ketika akhirnya ia menjadi mualaf, sang ibu tersebut menjadi ibu angkatnya.

Ya, walaupun belum resmi menjadi Muslim, Rahmat saat itu sudah belajar berpuasa. Satu bulan penuh ia menjalankan ibadah Islam tersebut. “Boleh saya berpuasa, saya ‘diizinkan’ ikut puasa, sahur, dan buka puasa. Iftharnya disajikan ibu sahabat saya itu, yang akhirnya jadi ibu angkat saya. Tapi ya waktu itu sifatnya hanya ikut-ikutan saja,” tutur dia.

Itulah pengalaman pertamanya berpuasa Ramadhan. Memasuki tahun berikutnya, ia justru ingin kembali berpuasa. Ibu sahabatnya itu membaca keinginan Rahmat itu sebagai tanda bahwa memang dirinya ingin mendalami Islam.

Maka, Rahmat pun diperkenalkan dengan dasar-dasar ajaran Islam. Namun, jelas Rahmat, ibu angkatnya tidak pernah memaksa atau sengaja mempengaruhinya agar memeluk Islam. Sepenuhnya diserahkan kepada keputusannya sendiri. Apabila benar-benar bertekad kuat untuk mengkaji Islam, maka lebih baik bila menjadi Muslim.

Mulai saat itu, ia berkali-kali ke masjid. Hal itu dilakukannya terutama menjelang kumandang azan. Baginya, suara panggilan shalat itu membuat hatinya tenang.

Rahmat pun memeluk Islam. Waktu itu, usianya cukup belia, 13 tahun. Momennya mengucapkan dua kalimat syahadat terjadi beberapa hari sesudah lulus SMP. Prosesi itu dilangsungkan di Masjid Muhammadiyah, Jalan Pasundan, Medan.

Setelah bersyahadat, ibu angkatnya pun pernah berjanji, akan membantu Rahmat untuk mencari pesantren sehingga dia mendapatkan bimbingan dengan baik. Bagaimanapun, yang masih dipikirkannya adalah pertentangan dari orang tua.

Sesuai janji, ibu angkatnya pun mencarikan sebuah pesantren untuknya. Ternyata, lembaga itu memiliki syarat, tiap santri mesti lancar membaca Alquran dalam dua bulan. Hal itu sempat membuat Rahmat meragukan kemampuannya.

“Tapi, alhamdulillah, saya bisa membaca Alquran. Waktu itu, ibu angkat saya juga ikut membimbing,” kenangnya.

Pertentangan dari keluarga pun mampu dia hadapi. Baginya, iman dan Islam adalah perkara yang utama. Terusir dari rumah dan putus sekolah adalah risiko, tetapi tidak menjadi alasan untuk berpaling dari agama tauhid.  

Saat itu keluarganya mengetahui tentang keislaman Rahmat. Tanpa pikir panjang mereka mendatangi ibu angkat Rahmat.

Kedua orang tuanya saat itu berpikir bahwa keislaman Rahmat adalah hasil hasutan ibu angkatnya. Setelah dijelaskan duduk perkaranya, keduanya tetap bergeming. Maka, komunikasi antara orang tua dan anak itu sempat terputus.

Sampai Tanah Suci

Begitu lulus dari SMP, Rahmat melanjutkan pendidikan di pondok pesantren yang didirikan seorang mualaf Tionghoa di Deli Serdang. Syukurlah, waktu dua bulan cukup baginya untuk mengasah kemampuan tadarus Alquran. Ia merasa sangat berterima kasih dengan para ustaz setempat dan juga ibu angkatnya.

Setelah lulus pondok pesantren, Rahmat berniat untuk melanjutkan pendidikan. Namun, dia sempat ragu karena tidak memiliki biaya kuliah. Dia pun tak ingin membebani ibu angkatnya yang sudah cukup banyak membantunya.

Rahmat kemudian menemui kakak perempuannya yang pertama-tama menawarkannya ongkos kuliah. Tawaran itu bagaikan oasis di tengah padang sahara. Sayangnya, sang kakak menyimpan pamrih. Rahmat memang ditawari beasiswa, tetapi dengan syarat, dia harus kembali ke agama lama. Dengan tegas, Rahmat menolak hal itu.

Rahmat kemudian mencoba untuk mengikuti audisi dai muda di salah satu stasiun televisi swasta. Setelah lolos audisi untuk wilayah Medan, dia pun lolos hingga ke Jakarta. Namun, perjalanannya dalam proses tersebut hanya sampai pada delapan besar. Ia pun kembali ke daerah asal.

Karena tak juga menemukan kesempatan beasiswa, Rahmat dan seorang temannya mencoba peruntungan. Mereka merantau ke Jakarta. Pada 2014, berbekal kemampuan yang ada ia mendaftar beasiswa S-1 ke Madinah, Arab Saudi.

Setahun lebih dirinya menunggu, ternyata doanya dikabulkan Allah SWT. Rahmat dinyatakan lolos seleksi. Ia pun berangkat ke Tanah Suci bersama 90 peserta lainnya.

Ia saat itu merasa, kemampuannya tidaklah setara dengan rekan-rekannya yang hafiz 30 juz Alquran. Bagaimanapun, Rahmat tetap optimistis karena pada faktanya ia pun ikut terpilih. Selama empat tahun Rahmat menempuh pendidikan di Kota Nabi.

Banyak ilmu dan keberkahan di sana. Setiap tahun, Rahmat bisa menjalan ibadah umrah dan haji tanpa biaya. Ia juga berhasil menyelesaikan pendidikannya tepat waktu.

Begitu lulus dari kampusnya, ia kembali ke Tanah Air. Selama dirinya menempuh studi di luar negeri, ternyata hati kedua orang tuanya mulai luluh. Bahkan, mereka merasa bangga dengan prestasi yang dicapai Rahmat. Itu tentu saja membuatnya bahagia.

Sayangnya, orang tuanya wafat dalam keadaan tak kunjung mendapatkan hidayah dari Allah. Meski demikian, Rahmat tetap bersyukur karena silaturahim terjalin kembali. Bahkan, ada seorang kakaknya yang kemudian tergerak hati untuk memeluk Islam.

Setelah lulus kuliah 2019 lalu, Rahmat menetap di Jakarta dan telah menikah. Kini Rahmat menghabiskan waktunya untuk berdakwah di jalan Allah.

OLEH RATNA AJENG TEJOMUKTI

KHAZANAH REPUBLIKA

6 Langkah untuk Mempertahankan Iman Bagi Mualaf

Iman bagi setiap Muslim terkadang naik dan turun tak terkecuali mualaf

Bagi seorang mualaf, momen menemukan Islam adalah agama yang benar dan jalan hidup terbaik terkadang menjadi fase yang sulit. Namun mempertahankan keimanan dan keyakinan kepada Allah SWT juga menjadi fase yang lebih sulit.

Kondisi keimanan yang lemah ini tidak bisa dihindari dan tidak berarti bahwa seorang yang sedang  merasakannya adalah seorang Muslim yang buruk. Karena mempertahankan keimanan dengan banyak jug dirasakan oleh Muslim yang telah lama memeluk Islam. Hal ini karena Iman itu surut dan mengalir seperti sungai yang mengoceh di tengah padang rumput yang berumput. Nabi Muhammad SAW bersabda:

إن الإيمان ليخلق في جوف أحدكم كما يخلق الثوب، فاسألوا الله أن يجدد الإيمان في قلوبكم  “Iman di dalam hati salah seorang di antara kalian sudah aus (terkikis) sebagaimana usangnya pakaian, maka mintalah kepada Allah untuk memperbarui iman di dalam hati kalian.”  (HR Al Haakim)

Ada beberapa alasan mengapa iman berkurang setelah syahadat, seperti terlibat dalam kegiatan yang melanggar hukum hingga melakukan dosa besar dan kecil.  Kabar baiknya adalah bahwa ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mempertahankan tingkat iman seperti dilansir dari About Islam sebagai berikut:

1. Meminta pertolongan Allah SWT

Ketika seseorang merasa imannya melemah atau hatinya sedang sakit, kembalilah kepada Tuhan dalam doa dengan permohonan yang tulus. Ketika hati seorang Muslim dipenuhi dengan ketaatan, cinta dan rasa syukur kepada Tuhan, Setan meningkatkan usahanya untuk membawa Muslim yang beriman menjauh dari Penciptanya. 

Dia melakukannya dengan was-was (bisikan) yang membuat seorang Muslim mempertanyakan imannya, merasa gugup tentang pilihannya atau bahkan menyebabkan dia lupa untuk melakukan ibadah tertentu seperti sholat wajib.

Cara lainnya adalah memperbanyak amal shaleh dan memperbanyak amal ibadah lainnya.  Lakukan dzikir (mengingat Allah), sesering mungkin dan membaca Alquran setiap hari.  Bersedekahlah semampumu, meski hanya senyuman atau uluran tangan kepada orang yang membutuhkan.  Yang terpenting, ingatlah bahwa Anda tidak sendirian menderita karena lemahnya iman, hal ini bisa terjadi pada setiap muslim.

2. Jalankan rukun Islam

Tuhan telah memberi kita resep sempurna untuk sukacita dan kesuksesan di dunia ini dan di akhirat.  Bagian pertama dari resep itu adalah dengan anugerah Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.  Bagian kedua adalah rukun Islam yang lima, yakni syahadat, sholat, zakat, puasa Ramadhan dan Haji.

Dalam arsitektur, pilar digunakan untuk menstabilkan bangunan dan memberinya kekuatan.  Demikian juga lima rukun Islam memberikan kekuatan bagi seorang Muslim.  

Dengan mengikuti lima rukun Islam, Anda menciptakan landasan yang kokoh bagi kehidupan sebagai seorang Muslim.  Sama seperti sebuah bangunan dengan pilar-pilar lemah yang terancam roboh, tidak mengikuti lima rukun Islam akan memiliki efek yang sama pada iman.

Sebagai seorang Muslim yang baru, mungkin para Mualaf membutuhkan waktu untuk mempelajari rukun Islam dengan sempurna.  Maka dibutuhkan juga beragam buku atau bacaan yang sejalan. Namun, memperdalam ilmu agama harus disegerakan agar bisa melakukan setiap rukun dalam lima pilar Islam.

3. Renungkan ciptaan Allah SWT

Keindahan bunga mawar saat kelopaknya berkembang dengan baik, kecerahan matahari saat terbit setiap fajar, tawa riang bayi untuk pertama kalinya, ini hanya beberapa dari tanda-tanda Tuhan yang nyata dalam ciptaan-Nya.  Yang harus Anda lakukan hanyalah membuka mata, melihat, dan merenung.  Allah SWT mengungkapkan dalam Alquran:

وَفِي الْأَرْضِ آيَاتٌ لِلْمُوقِنِينَ وَفِي أَنْفُسِكُمْ ۚ أَفَلَا تُبْصِرُونَ

“Dan di bumi terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang beriman dengan pasti.  Dan juga dalam diri Anda sendiri.  Apakah kamu tidak akan melihat?.” (QS Az Zariyat 20-21)

4. Pelajari sifat-sifat Allah SWT

Ada 99 nama-nama indah Allah SWT dan mempelajarinya dengan sempurna adalah salah satu kunci surga menurut sebuah hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Abu Hurairah RA:

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال أنَّ رَسولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ قالَ: إنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وتِسْعِينَ اسْمًا مِئَةً إلَّا واحِدًا، مَن أحْصَاهَا دَخَلَ الجَنَّةَ

“Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama (seratus dikurangi satu), siapa yang menghafalnya akan masuk Jannah.”  (HR Al-Bukhari)

Beberapa nama tersebut adalah: Ar Razzaq (Yang Maha Memberi), Al Sami’ (Yang Maha Mendengar) dan Al Ghafur (Yang Maha Pemaaf).  Dengan mempelajari nama dan sifat Pencipta kita, kita dapat lebih mengenal Tuhan kita. 

Cobalah untuk mempelajari setidaknya tiga nama sehari beserta artinya.  Pada akhir tiga puluh tiga hari, Anda akan mempelajari semua sembilan puluh sembilan nama Allah SWT.

5. Ketaatan 

Tidak ada yang bisa menghentikan seorang Muslim untuk mendengarkan lagu hit terbaru di pemutar lagu daring atau sekedar dari radio atau bahkan menyalakan TV untuk mendengarkan drama atau sitkom terbaru dari Hollywood.  Itulah sebabnya manusia memiliki kehendak bebas.

Namun, sebagai Muslim, kita tahu bahwa sebagian besar musik dan sebagian besar aspek televisi tidak menambah keimanan.  Kata-kata yang dirangkai menjadi sebuah lagu atau gambar-gambar kegiatan haram yang diputar di TV memiliki efek langsung pada hati manusia. 

Ini adalah kesalahpahaman besar jika Anda percaya bahwa melakukan kegiatan yang sia-sia ini tidak akan merugikan. Kebiasaan ini tidak hanya akan menyebabkan kerusakan, tetapi juga akan menghitamkan hati dan menyebabkan iman berkurang.

Dengan mentaati apa yang telah Allah tetapkan dalam Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad, dalam setiap aspek kehidupan. Umat Islam dapat memetik manfaat dari iman yang teguh dan tidak pernah goyah.

6. Bersahabat dengan orang saleh

Ingatlah bahwa sebagai seorang Muslim baru, Anda harus mengelilingi diri dengan orang-orang yang akan meningkatkan iman dan tidak sebaliknya.  Bertemanlah dengan seorang Muslim yang baik atau hubungi Imam di masjid setempat untuk mendapatkan bimbingan dan nasihat lebih lanjut.   

KHAZANAH REPUBLIKA

Terpikat Tauhid, Mualaf Aldilo: Islam Agama Masuk Akal

Mualaf Aldilo mendalami kalimat tauhid yang kerap dilantunkan dalam adzan

Hidayah merupakan karunia Allah SWT untuk siapa pun yang dikehendaki-Nya. Cahaya petunjuk Ilahi pun bisa datang melalui siapa saja, termasuk orang-orang terdekat. Itulah yang dialami Aldilo Wongso Jureh, beberapa waktu sebelum dirinya memeluk Islam. 

Lelaki asal Semarang, Jawa Tengah, ini sejak kecil dididik dalam ajaran Kristiani. Begitu pula dengan keempat saudaranya. Di antara mereka, Dilo begitu dirinya akrab disapabisa disebut sebagai yang paling dekat dengan ibunda. 

Menurutnya, sang ibu selalu mengajarkannya untuk menjadi pribadi yang taat beragama. Ia pun diarahkan untuk rutin beribadah. Tidak ada hari terlewatkan tanpa ditutup dengan doa, memohon kebaikan. 

Pria kelahiran 1998 melewati masa kecil hingga remaja sebagai anak yang baik-baik. Ia pun aktif di gereja dan memiliki banyak kawan. Baru lah, saat berusia 17 tahun, dirinya mulai mendapatkan perspektif berbeda tentang umat agama lain. Pada 2015, seorang saudaranya, Delfano Charies, membuka usaha biro perjalanan umroh dan haji. 

Fano, begitu sang kakak disapa, waktu itu masih sebagai non-Muslim. Pilihannya untuk menjalankan usaha travel tersebut murni atas dasar bisnis. Ya, cukup banyak profit dihasilkan dari biro perjalanan tersebut yang sesungguhnya bernilai ibadah dalam konteks Islam.  

Empat tahun kemudian, abangnya itu mengambil keputusan besar. Fano menyatakan diri telah memeluk Islam dan meninggalkan agama lamanya. Saat ditanya, kakak Dilo tersebut merasa tersentuh dengan kesungguhan hati jamaah haji dan umroh yang disaksikannya selama ini. 

Bahkan, bukan hanya Fano. Berturut-turut, satu per satu saudaranya yang lain ikut menjadi Muslim. Melihat keadaan itu, Dilo mulai tertarik untuk mengenal agama ini lebih dekat.

“Saya memeluk Islam tidak dipaksa mas-mas saya, walaupun mereka lebih dulu menjadi mualaf, katanya mengenang, seperti dilansir dari akun Youtube @delfanocharies,” baru-baru ini. 

Ia memang tidak mau sekadar ikut-ikutan kedua kakak laki-lakinya yang memeluk Islam. Menurutnya, agama adalah hal yang esensial dalam hidup. Tidak bisa dan tidak mungkin memilih beriman atas dasar bujukan, apalagi paksaan siapa pun. Sebab, setiap individu berhak untuk menentukan jalan hidupnya masing-masing. 

Sebelumnya, Dilo telah mendengar berbagai rumor tentang Islam. Bahkan, Fano sendiri yang pernah mengutarakan berbagai stigma mengenai agama ini kepadanya. Akan tetapi, kini sang kakak sudah menyatakan diri masuk Islam. 

Ia pun terheran-heran, mengapa ada orang yang dahulunya sangat memusuhi Islam, sekarang justru memeluk agama ini. Masih teringat jelas di memorinya, Fano sering kali mencaci-maki suara adzan. Kumandang panggilan sholat itu memang rutin berkumandang dari masjid di dekat rumahnya, setidaknya lima kali dalam sehari.

Dilo pun mengobrol dengan kakaknya itu. Fano pun menuturkan bagaimana hatinya tersentuh dengan kesungguhan jamaah haji dan umroh saat hendak berangkat dan pulang dari Tanah Suci. Sang kakak pun mengungkapkan, kebenciannya terhadap adzan justru membuatnya bertanya-tanya tentang apa maksud dan tujuan suara tersebut. Setelah mempelajari isinya, Fano pun mulai mengenal konsep tauhid seperti tergambar dalam kalimat Laa ilaaha illa Allah.

Setelah diskusi itu, Dilo mulai mempertanyakan keyakinannya sendiri. Enam bulan sesudahnya, ia pun berhenti ke tempat ibadah. Bagaimanapun, kebiasaan berdoa tetap dilakukannya. Pada titik ini dirinya merasa perlu untuk menelaah ajaran agama yang dipeluknya saat itu dan Islam. 

Apa saja yang membedakan keduanya dan manakah yang paling diterima akal, pikiran, dan nuraninya. Dilo menangkap kesan, tidak mungkin Fano menerima Islam kalau agama ini bertentangan dengan logika. Sebab, kakaknya itu adalah seorang yang kritis dalam menilai sesuatu.

Dilo kemudian mulai mengkaji konsep tauhid dalam Islam. Ia menemukan, makna kalimat, Tidak ada Tuhan selain Allah, begitu logis. Konsep kenabian menurut agama ini juga dipelajarinya dari buku-buku dan video-video kajian di internet.

Pemuda ini pun memahami, ajaran Islam ternyata masuk akal. Bahkan, seperti ditunjukkan dalam banyak ayat dalam Alquran yang dibacanya melalui terjemahan, Tuhan pun berulang kali menyeru manusia agar menggunakan akal pikiran dalam menimbang-nimbang sesuatu.

Dilo merasa puas karena menemukan jawaban-jawaban yang logis tentang Islam. Kalau masih ada beberapa hal yang perlu di telusurinya, ia tidak hanya mencari solusinya seorang diri.  

Ia pun sering berdiskusi dengan kawan-kawannya yang Muslim. Setelah terpuaskan dengan jawaban yang didapatkan, Dilo mulai mempelajari kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan seorang penganut Islam.

Salah satunya adalah puasa. Pada Ramadhan 2020, ia bahkan mulai belajar berpuasa. Ini dilakukannya sembari menemani sang kakak yang juga baru pertama kali menjalani puasa Ramadhan.

Dilo mengatakan, waktu itu dirinya batal tiga kali. Dalam hari-hari itu, ia merasa tidak kuat menahan haus karena harus bekerja di kantor. Lagi pula, cuaca kota saat itu cukup terik dan panas.

“Ada cerita lucu sebenarnya, tapi juga tidak boleh ditiru. Waktu itu, aku bosan sahur dengan mi (instan) dan telur saja. Aku pun cari bahan makanan di kulkas, ternyata ada daging yang lalu aku makan,” katanya bercerita.

“Nah, setelah itu Mama tahu dan langsung marah-marah. Barulah aku tahu, itu sebenarnya daging babi. Tapi, tetapku lanjut puasanya karena saat itu belum bersyahadat. Pikirku, tidak masalah,” sambungnya. 

Sebelum Dilo bersyahadat, mamanya sebenarnya sudah menduga ia akan mengikuti jejak kedua kakaknya. Hanya saja, itu tidak dibahas terbuka. Dilo mengatakan, sang ibu sepertinya mengetahui ketertarikannya pada Islam dari kakak perempuannya. Akhirnya, pada suatu hari ibunya mengajak bicara dan memberikan nasihat. 

“Kalau kamu mau sholat, sholat yang benar. Kalau puasa, puasa yang benar. Yang penting, jadi orang baik,” kata Dilo menirukan perkataan ibundanya saat itu. Perkataan Mama diartikannya sebagai sinyal baik. Artinya, sang ibu membiarkannya untuk terus mempelajari Islam atau bahkan mengimani agama ini. 

Setelah itu, Dilo kembali mengutarakan keyakinannya untuk memeluk Islam. Namun kakaknya, Delfano, lebih dahulu menyarankannya untuk belajar sholat. Awalnya, Dilo ragu. Dari kelima shalat, Subuh menjadi yang paling merepotkan. Bangun pada waktu sebelum fajar bukanlah kebiasaanya sejak kecil. 

Bagaimanapun, ia akhirnya lulus dari ujian ini. Usai melaksanakan sholat Subuh pertamanya, ada perasaan haru dalam hatinya. Seluruh beban yang selama ini dirasakannya seperti terangkat. 

Delfano kemudian mengajak Dilo untuk bersyahadat pada hari itu juga. Namun, ia masih dilanda keraguan, apakah sanggup menjadi seorang Muslim.      

Kedua kakaknya kemudian meyakinkannya. Jika sudah ada niat untuk bersyahadat maka segerakanlah. Sebab, tidak ada yang tahu batas umur seseorang. Khawatirnya, ia tidak bersyahadat saat itu juga. 

Apalagi, meninggal dalam keadaan masih kafir. Tepat pada malam Idul Fitri 2020 M, Dilo bersama kedua kakaknya mendatangi markas komunitas Cah Hijrah di Semarang. Disaksikan seorang ustadz dan kakak-kakaknya, Dilo pun mengucapkan dua kalimat persaksian. Asyhaduan Laa Ilaaha illa Allah, wa asyhadu anna Muhammad Rasululllah. 

Setelah mendapatkan beberapa bimbingan dan pertanyaan, Dilo pulang dan mendapatkan bingkisan seperangkat alat sholat serta buku Iqra untuk belajar mengaji. Usai bersyahadat, Dilo dinasihati untuk selalu menjalankan sholat lima waktu dan tidak boleh menunda atau sengaja tidak melaksanakannya.

Dilo harus ingat dengan syahadat yang telah dilakukannya di hari itu. Ikrar yang diucapkannya adalah janji untuk terus berupaya menaati perintah-Nya. Benar saja, bagi Dilo, azan adalah waktu yang selalu dinanti-nanti karena ia bisa melaksanakan sholat fardhu. Tak hanya sholat fardhu, Ramadhan juga adalah waktu yang sangat dirindukannya, sebuah momen istimewa untuk terus menguatkan imannya. 

“Ramadhan tahun ini adalah puasa pertama aku setelah bersyahadat selain itu, Ramadhan tahun ini juga pertama kali aku bisa sholat Tarawih di masjid,” ujarnya. Jika di Ramadhan sebelumnya dia masih pada taraf belajar dan lagi belum berstatus Muslim. Tahun ini, keadaannya berbeda. Sebagai seorang Muslim, dirinya merasa termotivasi untuk bisa tuntas berpuasa satu bulan penuh. 

Sholat Tarawih juga menjadi shalat pertama bagi dia. Dalam pandangannya, Ramadhan menjadi bulan yang sangat berharga. Ramadhan adalah bulan untuk belajar di 11 bulan ke depan. “Biasanya, kita bisa berpuasa Ramadhan selama satu bulan, tentu selama 11 bulan ke depan puasa sunah yang dua hari sepekan atau puasa Nabi Daud yang berseling akan terasa lebih mudah,” ucapnya. 

KHAZANAH REPUBLIKA