Suami Istri Meksiko Masuk Islam Berkat Drama Serial Turki

Suami istri masuk Islam disaksikan pemain langsung drama Turki itu.

Sepasang suami istri asal Meksiko terinspirasi untuk masuk Islam setelah menonton serial televisi Turki yang terkenal, ‘Resurrection: Ertugrul’, Selasa (3/12). Keduanya juga telah bertemu dengan salah satu aktornya dalam sebuah acara di Los Angeles, Amerika Serikat. 

“Kami terpengaruh oleh serial TV Turki ‘Resurrection: Ertugrul’ dan aktivitas kemanusiaan Turki di seluruh dunia, dan kemudian memutuskan untuk menjadi Muslim,” kata pasangan Meksiko itu, dilansir dari laman Yenisafak, Rabu (4/12). 

Celal Al, yang memerankan Abdulrahman Alp dalam drama tersebut menghadiri pertemuan tahunan ke-22 Muslim American Society (MAS). Adalah sebuah organisasi Muslim, dan ia turut memberikan pidato tentang serial tersebut dan Turki. 

Al yang merupakan tamu Zakat Foundation, disambut dengan penuh hangat di acara tersebut. Sebuah acara yang memungkinkan umat Islam dari seluruh AS untuk bertemu. Di akhir pertemuan, pasangan Meksiko itu masuk Islam dengan membaca syahadat dibantu Al.  

Setelah menjadi Muslim, Al menghadiahi pasangan itu dua Alquran, satu dalam bahasa Inggris dan satu lagi dalam bahasa Spanyol, serta bendera Turki. “Sangat menyenangkan bagi kami untuk melihat bahwa orang-orang di seluruh dunia sangat tertarik dengan kegiatan kemanusiaan Turki. Saya sangat senang melihat contoh ini di Los Angeles,” kata Al. 

Berlangsung di Anatolia abad ke-13, ‘Resurrection: Ertugrul’, bercerita tentang periode sebelum berdirinya Kekaisaran Ottoman sekitar kehidupan Ertugrul Gazi, ayah dari pemimpin pertama kekaisaran. Serial ini menggambarkan perjuangan Ertugrul, dan prajuritnya melawan sejumlah besar musuh dari Ksatria Templar hingga penjajah Mongol.  

Adapun Turki merupakan salah satu dari lima negara pengekspor serial terbesar di dunia, negara tersebut memikat penonton dari Amerika Latin ke Asia Tengah. Menurut Kementerian Kebudayaan Turki, puluhan serial Turki diikuti lebih dari 500 juta pemirsa di lebih dari 150 negara. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Alicia Brown: Islam Menyelamatkanku dari Dunia Gelap

“Aku bagai lahir kembali, bebas dari segala sesuatu. Segala dosa yang menjerat dan semua hal yang telah terjadi di dalam hidupku, tak penting lagi,” ucap Alicia, tepat sehari setelah ia memeluk Islam. Berjilbab rapi, wajahnya cerah bak mentari terbit.

Senyumnya pun mengembang laksana bunga mekar di pagi hari. Melihat binar wajahnya, tak akan ada yang menyangka bahwa ia memiliki sederet catatan hitam dalam hidupnya.

Alicia Brown, wanita asal Texas, AS, tersebut menemukan cahaya hidayah setelah bertahun-tahun kekacauan melanda hidupnya. Ia terjerumus dalam kubangan dosa. Alkohol, narkoba, hingga seks bebas menjadi teman hidupnya. Mengapa ia lakukan semua itu? Alicia memang ingin merusak hidup yang sangat ia benci. Ia sangat membenci dirinya, membenci segala sesuatu di sekitarnya.

Dunia gelap membelenggu Alicia setelah musibah melanda keluarganya. Orang tuan Alicia bercerai. Saat itu, usianya baru 10 tahun. Terpaksa, Alicia tinggal dengan ayah yang sangat membencinya dan sangat ia benci. Caci-maki menjadi kalimat rutin yang ia dengar dari sang ayah setiap hari selama enam tahun.

“Ayah sangat kejam kepadaku dan adik laki-lakiku. Dia tak terlalu kejam pada adik perempuanku, tapi dia benar-benar kejam padaku, sangat kejam. Mungkin karena aku mengingatkannya pada ibuku,” tutur Alicia.

Di usia 16 tahun, Alicia pindah ke rumah kakek neneknya. Namun terlambat, karena didikan kejam sang ayah, saat itu Alicia telah benar-benar diselimuti kebencian. Ia pun mulai merusak hidupnya dengan kesenangan semu. Ia memulai gaya hidup merusak diri.

“Aku membenci diriku dan semua yang ada di sekitarku.  Aku ingin melakukan apapun yang bisa untuk menyakiti diri sendiri. Aku coba narkoba, alkoho, dan seks bebas.”

Setahun dengan gaya hidup itu, Alicia tak merasa batinnya terpuaskan. Ketika usianya 17 tahun, ia tinggal dengan sang ibu. Alicia sempat berpikir, tinggal dengan ibu mungkin bisa membuatnya berbenah diri. Tapi rupanya, Alicia telah terjatuh sangat dalam pada jerat dunia hitam. Ia tak bisa lepas bahkan terus memburuk dari hari ke hari.

Di sekolah menengah atas, ia bertemu dengan seorang pria. Ia lalu tinggal bersama pria itu selama bertahun-tahun tanpa ikatan pernikahan. Lagi-lagi Alicia berharap itu menjadi kehidupan baru yang membentangkannya kesempatan untuk berubah. Celakanya, pasangan Alicia pun memiliki kebiasaan sama. Ia peminum dan pecandu.

Masalah pun kian rumit ketika Alicia hamil. “Awalnya, itu tak terlalu masalah. Setidaknya, kami memiliki seseorang untuk saling dimiliki. Tapi, saat bayiku lahir, ketika itulah pacarku dan ayahnya benar-benar menjadi pecandu berat,” kisahnya.

Hari demi hari, keuangan keluarga ini kian menipis digerogoti alkohol dan narkoba. Beruntung, kehadiran si jabang bayi membuat Alicia tersadar bahwa ia harus menghentikan kecanduannya demi tumbuh kembang sang buah hati. Sementara, kekasihnya tak mau peduli. Dia tetap saja menjadi pecandu narkoba. Karena kesal, Alicia pun meninggalkan kekasihnya yang juga ayah biologis putrinya.

Hari-hari pertemuan Alicia dengan hidayah Islam kian dekat. Hal itu bermula ketika putri kecilnya divonis menderita sindroma Guillain-Barre, suatu kelainan berupa sistem kekebalan tubuh yang menyerang saraf pusat. Akibatnya, penderita mengalami pelemahan otot dan tak mampu bergerak.  Tak pelak, anaknya harus dirawat di rumah sakit.

Saat di rumah sakit menemani putrinya itulah, Alicia berkenalan dengan beberapa Muslimin, salah satunya bernama Hayat. Dari Hayat, ia mulai mengenal agama Islam. Alicia pun banyak mengajukan pertanyaan tentang Islam pada kenalan barunya ini.

Ketika kondisi putrinya membaik dan boleh dirawat di rumah, Alicia tetap menjaga kontak dengan Hayat. Jelas sekali, Alicia mulai tertarik dengan Islam. Ia pun menyadari bahwa banyak orang mendapat informasi yang salah tentang Islam. “Aku pikir banyak orang mengira bahwa itu (Islam) seperti agama Hindu. Aku pun tadinya berpikir, Islam merupakan agamanya orang Timur Tengah.”

Alicia memang buta sama sekali tentang Islam. Sejak kecil ia dibesarkan di tengah keluarga yang jauh dari agama. Meski mengaku sebagai Kristen, keluarga Alicia sangat jarang ke gereja. “Mereka Kristen Baptis, tapi kami tipe keluarga yang tidak pergi ke gereja secara teratur,” ujarnya.

Sejak bertemu Hayat, Alicia baru mengetahui bahwa Islam berasal dari akar yang sama dengan agama yang dianutnya. Namun, berangkat dari perenungan dan diskusi panjangnya dengan beberapa Muslimin, Alicia mulai mendapat kejelasan arah yang harus ia tuju. Ya, arah yang jelas itu adalah Islam.

Namun Alicia tak serta-merta berislam. Alicia sangat takut karena selama ini ia meyakini bahwa mengatakan Yesus bukan anak Allah merupakan sebuah penghujatan. Sementara, penghujatan merupakan dosa tak terampuni. “Artinya, Anda akan masuk neraka,” tuturnya.

Diakui Alicia, selama ini pun ia telah bergelimang dosa. Hanya saja, dalam keyakinannya, itu bukan dosa yang tak terampuni. Dicekam kebingungan dan ketakutan, Alicia setiap malam senantiasa menengadahkan tangan, berdoa meminta petunjuk. “Ya Allah, tolong beri petunjuk. Petunjuk yang jelas untuk mengetahui bahwa inilah jalan yang harus hamba tuju.’”

Suatu hari, Alicia bertemu ibunda Hayat, Hana. Ia membacakan ayat Alquran. Alicia tak ingat ayat apa yang dibaca saat itu. Yang pasti, di ayat tersebut Yesus berkata, “Saya bukan anak Tuhan.”

Kemudian, di akhir ayat, kata Alicia, disebutkan, “Untuk setiap pencari petunjuk, terdapat petunjuk dari dirinya sendiri. Bagiku ini sungguh luar biasa. Aku pun menangis karena merasa ini merupakan petunjuk untukku.”

Setelah mendapat petunjuk yang jelas dari ayat Alquran itu, Alicia tak ragu lagi untuk memeluk Islam. Jalan hidup baru sebagai Muslimah pun terbentang.

Islam membuka lembaran hidup baru bagi Alicia. Ia benar-benar meninggalkan dunia hitamnya, bertobat, dan memperbaiki diri. Tak pernah ia merasakan kebahagiaan, kecuali setelah memeluk Islam. “Aku benar-benar merasakan kasih dan dukungan.”

Selama ini, Alicia hidup dalam suramnya dunia. Ia yang sebelumnya senantiasa berselimut dosa, kini merasakan iman yang begitu menyegarkan. Belenggu ketakutan dan kecemasan pun serta-merta lenyap. Ia bagai terlahir kembali.

“Aku benar-benar merasa jauh lebih baik. Aku merasa beban berat telah diangkat. Aku pun bisa bernapas lebih lega dari sebelumnya,” ungkapnya.

Jika sebelum berislam teman setianya adalah alkohol, narkoba, dan seks bebas, kini Alicia hanya bersandar kepada Allah. Alquranlah yang menjadi teman setianya sehari-hari. Ia sangat suka membaca Alquran. Baginya, kitab suci umat Islam ini sangat memesona.

“Alquran terasa begitu asli dan mudah dipahami,” katanya

KHAZANAH REPUBLIKA

Cerita Tere Soal Hidayah

Perjalanan menemukan hidayah cukup panjang bagi penyanyi, Tere Pardede. Tere lahir dan tumbuh dalam keluarga non-Muslim.

Hanya sebagian kecil keluarga jauhnya beragama Islam. Keluarga inti menyebut mereka sebagai saudara yang tersesat.

“Itu yang ditanamkan sejak kecil pada saya, mereka (keluarga yang beragama Islam) adalah domba tersesat,” kata dia dalam acara Hijrah Fest 2018 di Senayan JCC, Jakarta, Ahad (11/11).

Muslimah bernama bernama lengkap Theresia Ebenna Ezeria Pardede ini mulai terbuka ketika duduk di jenjang SMA. Dia tidak lagi menempuh pendidikan di sekolah homogen. “Pas SMA saya lihat manusia macem-macam. Ada pelajaran Islam, dan yang non-Muslim dipersilahkan keluar,” kata Tere.

Saat duduk di bangku kuliah, dia berada di masa kebebasan berpendapat mulai menjadi hal awam. Dia berbincang dengan nenek teman dekatnya, yang mana seorang mualaf. Pembahasan berbagai topik dilakukan mulai dari ideologi hingga agama.

Dari pembahasan itu, dia mengetahui bahwa Islam juga mengenal Isa Al-Masih. Namun, Islam menganggapnya bukan Tuhan, melainkan nabi. Kemudian, Tere mulai tertarik membaca Alquran.

Tere mengaku beruntung karena mengambil jurusan komunikasi. Salah satu mata pelajarannya, yakni ilmu cek info sebagai hoaks atau bukan. Dia mempertanyakan ihwal adanya tiga agama yang mengaku pewaris Ibrahim AS.

Menurur Tere, tidak mungkin ada tiga, pasti ada satu yang paling utama. Kemudian Tere kembali mempelajar Alkitab dan Alquran lagi. Hingga akhirnya menemukan hidayah dari Alquran.

“Saya sempat agnostik 1,5 tahun. Banyak info yang saya pertanyakan tentang ajaran agama saya sebelumnya. Tapi kalau tanya dibilang kurang beriman. Namun jelas sekali tak ada keraguan di Alquran,” tutur dia.

Menurur Tere proses mendapatkan hidayah tidaklah mudah. Sebab, Tere harus berjihad dengan diri sendiri dari keraguan menjadi tak ada keraguan sama sekali.

“Proses hanya proses kalau tak ada effort (upaya). Jangan berubah. Tetap istiqamah dengan kalimat tauhid,” kata Tere.

Prof Dr Tagatat Tejasen: Alquran adalah Keajaiban

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS an-Nisa:56).

Bagi sebagian besar umat Islam, ayat di atas terdengar seperti ayat-ayat serupa dalam Alquran yang menjelaskan pedihnya siksa neraka bagi orang-orang yang tidak beriman. Tetapi, tidak demikian bagi Prof Dr Tagatat Tejasen, seorang ilmuwan Thailand di bidang anatomi. Baginya, ayat itu adalah sebuah keajaiban.

Konferensi Kedokteran Saudi ke-6 di Jeddah yang diikuti Tejasen pada Maret 1981 menjadi awal kisah pertemuannya dengan keajaiban itu. Dalam konfe rensi yang berlangsung selama lima hari itu, sejumlah ilmuwan Muslim menyodori Tejasen beberapa ayat Alquran yang berhubungan dengan anatomi.

Tejasen yang beragama Buddha kemudian menga takan bahwa agamanya juga memiliki bukti-bukti serupa yang secara akurat menjelaskan tahap-tahap perkembangan embrio. Para ilmuwan Muslim yang tertarik mempelajarinya meminta profesor asal Thailand itu untuk menunjukkan ayat-ayat tersebut kepada mereka.

Setahun kemudian, pada Mei 1982, Tejasen mengha diri konferensi kedokteran yang sama di Dammam, Arab Saudi. Saat ditanya tentang ayat-ayat anatomi yang pernah dijanjikannya, Tejasen justru meminta maaf dan mengatakan bahwa ia telah menyampaikan pernyataan tersebut sebelum mempelajarinya. Ia telah memeriksa kitabnya dan memastikan bahwa tidak ada referensi darinya yang dapat dijadikan bahan penelitian.

Ia kemudian menerima saran para ilmuwan Muslim untuk membaca sebuah makalah penelitian karya Keith Moore, seorang profesor bidang anatomi asal Kanada. Makalah itu berbicara tentang kecocokan antara embriologi modern dan apa yang disebutkan dalam Alquran.

Tejasen tercengang saat membacanya. Sebagai ilmuwan di bidang anatomi, ia menguasai dermatologi (ilmu tentang kulit). Dalam tinjauan anatomi, lapisan kulit manusia terdiri atas tiga lapisan global, yakni epidermis, dermis, dan subcutis. Pada lapisan yang terakhirlah, yakni subcutis, terdapat ujung-ujung pembuluh darah dan syaraf.

Penemuan modern di bidang anatomi menunjukkan bahwa luka bakar yang terlalu dalam akan mematikan syaraf-syaraf yang mengatur sensasi. Saat terjadi combustio grade III (luka bakar yang telah menembus subcutis), seseorang tidak akan merasakan nyeri. Hal itu disebabkan oleh tidak berfungsinya ujung-ujung serabut syaraf afferent. Makalah itu tidak saja menunjukkan keberhasilan teknologi kedokteran dan perkembangan ilmu anatomi, tetapi juga membuktikan kebenaran Alquran.

Ayat 56 surah an-Nisa mengatakan bahwa Allah akan memasukkan orang-orang kafir ke dalam neraka dan mengganti kulit mereka dengan kulit yang baru setiap kali kulit itu hangus terbakar agar mereka merasakan pedihnya azab Allah.

Jantung Tejasen berdebar. “Bagaimana mungkin Alquran yang diturunkan 14 abad yang lalu telah mengetahui fakta kedokteran ini?”

Sebelum berhasil mengatasi keterkejutannya, Tejasen disodori pertanyaan oleh para ilmuwan Muslim yang mendampinginya, “Mungkinkah ayat Alquran ini bersumber dari manusia?”

Ketua Jurusan Anatomi Universitas Chiang Mai Thailand itu sontak menjawab, “Tidak, kitab itu tidak mungkin berasal dari manusia. Ia kemudian termangu dan melanjutkan responsnya, “Lalu, dari mana kiranya Muhammad menerimanya?”

Mereka memberi tahu Tejasen bahwa Tuhan itu adalah Allah. Kemudian, Tejasen semakin ingin tahu. “Lalu, siapakah Allah itu?” tanyanya.

Dari para ilmuwan Muslim tersebut, Tejasen mendapatkan keterangan tentang Allah, Sang Pencipta yang dari-Nya bersumber segala kebenaran dan kesempurnaan. Dan, Tejasen tak membantah semua jawaban yang diterimanya. Ia membenarkannya.

Tejasen yang pernah menjadi dekan Fakultas Kedokteran Universitas Chiang Mai itu kembali ke negaranya, di mana ia menyampaikan sejumlah kuliah tentang pengetahuan dan penemuan barunya itu. Informasi yang dikutip oleh laman special.worldofislam. infomenyebutkan bahwa kuliah-kuliah profesor yang masih beragama Buddha itu di luar dugaan, telah mengislamkan lima mahasiswanya.

Hingga akhirnya, pada Konferensi ke-8 Kedokteran Saudi yang diselenggarakan di Riyadh, Tejasen kembali hadir dan mengikuti serangkaian pidato tentang bukti-bukti Qurani yang berhubungan dengan ilmu medis. Dalam konferensi yang berlangsung selama lima hari itu, Tejasen banyak mendiskusikan dalil-dalil tersebut bersama para sarjana Muslim dan non-Muslim.

Pada akhir konferensi, 3 November 1983, Tejasen maju dan berdiri di podium. Di hadapan seluruh peserta konfe rensi, ia menceritakan awal ketertarikannya pada Alquran, juga ke kagumannya pada maka lah Keith Moore yang membuatnya me yakini kebenaran Islam.

“Segala yang terekam dalam Alquran 1.400 tahun yang lalu pastilah kebenaran yang bisa dibuktikan oleh sains. Nabi Muhammad yang tidak bisa membaca dan menulis pastilah menerimanya sebagai cahaya yang diwahyukan oleh Yang Mahapencipta,” katanya. Tejasen lalu menutup pidatonya dengan meng ucap dua kalimat syahadat, “ Laa ilaaha illallaah, Muhammadur rasuulullaah.”

Roger Danuarta Kini Jadi Muslim

Artis Roger Danuarta menjadi mualaf setelah mengucapkan kalimat syahadat pada Senin (29/10) malam. Hal itu dikonfirmasi Ketua Mualaf Center Indonesia (MCI) Steven Indra Wibowo yang mengatakan, pencatatan syahadat Roger dilakukan di MCI Bekasi.

“Alhamdulillah, Roger Danuarta sudah bersyahadat. Pencatatan saya wakilkan ke MCI Bekasi dengan Pak Sudjangi,” ujar Steven saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (30/10).

Steven mengungkapkan, ia telah dihubungi sahabat Roger bahwa Roger ingin bersyahadat dari beberapa bulan yang lalu. Akhirnya, pada Senin malam kemarin, Roger Danuarta mengucapkan dua kalimat syahadat dengan didampingi Ustaz Insan Mokoginta.

Steven juga mengunggah video ketika Roger Danuarta mengucapkan kalimat syahadat di akun Instagram pribadinya. Sebelumnya, video Roger bersyahadat juga telah beredar di media sosial.

Dalam video tersebut tampak Roger Danuarta mengenakan kemeja dan kopiah. Ia berjabat tangan dengan Ustaz Insan Mokoginta yang menuntunnya mengucapkan kalimat syahadat.

Bismillaahirrahmaanirrahiim. Asyhadu an La Ilaha Illa Allah wa Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah. Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah,” ucap Roger secara perlahan-lahan mengikuti bimbingan Ustaz Insan. “Sah ya,” kata Ustaz Insan Mokoginta seusai lafaz syahadat diucapkan Roger.

Mike, selaku manajer Roger Danuarta, telah berusaha dihubungi untuk mengonfirmasi lebih lanjut. Akan tetapi, saat berita ini diturunkan, Mike belum menanggapi perihal Roger Danuarta mengucapkan kalimat syahadat.

REPUBLIKA

Jadi Mualaf, Sinead O’Connor Disambut Hangat Muslim Dunia

Penyanyi asal Irlandia Sinead O’Connor yang terkenal dengan lagunya “Nothing Compares 2U” pada era 1990-an menyatakan diri masuk Islam. Ia masuk Islam dengan penuh kesadaraan setelah mempelajari beragam teologi.

Beralihnya O’Connor memulai kepercayaan baru, Islam, menuai pujian dan dukungan dari warganet. Mereka berondong-bondong memberikan ucapan dukungan dan saran kepada Davitt.

“Selamat datang Sinead O’Connor aka Shuhada! Damai dan Cinta Selalu! Apa yang akan Steve katakan, 2 dari anak perempuannya sekarang shalat 5 waktu sehari,” tulis Kristiane Backer dengan akun @KristianeBecker.

Seorang netizen lain mendoakan agar Connor selalu mendapatkan kemudaan dan bimbingan dari Allah SWT.

“Semoga Allah memberikan kemudahan kepadamu dan melanjutkan membimbing menuju kesuksesanmu. Amin,” ujar Imraan Siddiqi lewat @Imraan Siddiqi.

“Kamu berada di jalan yang benar, Alhamduliah,” tulis netizen dengan akun @kasheeq8.

“Kami akan menuntunmu dalam doa kami, sehingga kamu tidak dapat menemukan kekerasan dalam Islam, Islam merupakan satu-satunya agama yang dapat membebaskan jiwa dan memberikan kebahagiaan sejati. Semoga Allah membimbingmu kepada jalan yang benar, selamat pulang ke rumah baru, saudariku!,” ujar akun @SaedaMaru

Nama Sinead O’Connor sudah tak asing lagi dalam jagad permusikan dunia.  Penyanyi asal Islandia itu mencuat setelah menyanyikan lagu “Nothing Compares 2U” pada era 1990-an.

Pada 10 Juli 2017, lagu ini diunggah di Youtube dan kini telah diklik oleh 99,1 juta viewer. Video ini juga mendapat sambutan hangat dari para penggemarnya.  “The beautiful song is for my wife, she is in heaven, my love, my comrade, thank you for everything,” tulis salah satu netizen dalam komentarnya pada lagu tersebut enam bulan lalu.

Sinead O’Connor kini kembali menjadi perhatian internasional. Ia memiliki banyak penggemar baru. Bukan karena lagunya, namun karena keputusannya untuk memeluk Islam. Ia kini mengganti namanya menjadi Shuhada’ Davitt.

Menurut Connor, ia memilih Islam atas dasar kesadarannya setelah perjalanan panjang mempelajari beragam teologi.

“Ini untuk menunjukkan bahwa saya bangga menjadi seorang Muslim. Ini merupakan keputusan murni dari perjalanan ilmu teologi. Semua studi kitab menuju ke Islam dan membuat seluruh kitab yang lain tak lagi dibutuhkan. Saya akan mempunyai nama baru. Nama itu adalaha Shuhada,” ujar O’Connor lewat kicauan di Twitter pada 20 Oktober lalu.

REPUBLIKA

Sosok Kontroversial O’Connor Sebelum Jatuh ke Pelukan Islam

Nama Sinead O’Connor sudah tak asing lagi dalam jagad permusikan dunia.  Penyanyi asal Islandia itu mencuat setelah menyanyikan lagu “Nothing Compares 2U” pada era 1990-an.

Pada 10 Juli 2017, lagu ini diunggah di Youtube dan kini telah diklik oleh 99,1 juta viewer. Video ini juga mendapat sambutan hangat dari para penggemarnya.

“The beutiful song is for my wife, she is in heaven, my love, my comrade, thank you for everything,” tulis salah satu netizen dalam komentarnya pada lagu tersebut enam bulan lalu.

Sinead O’Connor kini kembali penjadi perhatian internasional. Ia memiliki banyak penggemar baru. Bukan karena lagunya, namun karena keputusannya untuk memeluk Islam. Ia kini mengganti namanya menjadi Shuhada’ Davitt.

Menurut Connor, ia memilih Islam atas dasar kesadarannya setelah perjalanan panjang mempelajari beragam teologi.

“Ini untuk menunjukkan bahwa saya bangga menjadi seorang Muslim. Ini merupakan keputusan murni dari perjalanan ilmu teologi. Semua studi kitab menuju ke Islam dan membuat seluruh kitab yang lain tak lagi dibutuhkan. Saya akan mempunyai nama baru. Nama itu adalaha Shuhada,” ujar O’Connor lewat kicauan di Twitter pada 20 Oktober lalu.

Pada Kamis (25/10), Imam Irlandia Syeikh Umar al-Qadri mengunggah video bagaimana O’Connor mengucapkan dua kalimat Syahadat.

Sebelum memeluk Islam, O’Connor diketahui sebagai sosok yang kontroversial. Dalam beberapa tahun terakhir ia pernah mengungkapkan tentang penyakit gangguan mentalnya.  Pada Agustus 2017, ia mengunggah video di Facebook di mana dia mengakui pikiran untuk bunuh diri.

“Saya adalah satu dari sejuta. Orang-orang yang menderita penyakit mental adalah orang yang paling rentan di dunia, kami tidak dapat mengurus diri sendiri, Anda harus menjaga kami. Sepanjang hidup saya, saya berusaha untuk tidak sekarat. Dan itu bukanlah hidup,” katanya dalam video dilansir di The Guardian.

Pada November 2015, 0’Connor mengaku mengalami overdosis. Kemudian pada Mei 2016, polisi mencarinya setelah dia secara singkat menghilang di Chicago, memicu ketakutan mengenai keadaannya.

Awal pekan ini, ia mengklaim di Twitter bahwa asisten kesehatan yang bekerja dengannya dipecat karena memberinya shabu kristal.

O’Connor juga pernah ditasbihkan sebagai pastur pada 1999 oleh Gereja Ortodoks Katolik dan Apostolik Irlandia. Kelompok tersebut tidak secara resmi berafiliasi dengan gereja Katolik yang tidak mengizinkan penasbihan perempuan sebagai pastur.

Dia menjadi kecewa dengan Katolik akibat skandal pelecehan anak di gereja, dan menggambarkan Vatikan sebagai sarang iblis dalam sebuah artikel surat kabar 2011.

Dalam sebuah surat terbuka yang diterbitkan pada Agustus tahun ini, dia meminta Paus Fransiskus untuk mengucilkannya. Ia mengaku telah membuat permohonan banding serupa yang sama kepada Paus Benediktus dan Yohanes Paulus II.

Dalam sebuah konser Saturday Night Live pada 1992, ia menyobek gambar Pope John Paul II. Aksi itu dilakukannya sebagai bentuk protes terhadap Gereja Katolik. Ia juga pernah mengaku lesbi dalam sebuah wawancara pada 2000, namun kemudian pernyataan itu dibantahnya.

Setelah memeluk islam, Davitt mendokumentasikan mengenai iman barunya dan menulis bahwa dia sangat bahagia setelah diberikan jilbab pertamanya.

“Terima kasih kepada semua saudara dan saudari Muslim yang telah begitu baik hati untuk menyambut saya kepada Ummah,” katanya. Dia juga memposting video Di YouTube saat dia melantunkan azan.

Pada keterangan di video, O’Connor menuliskan bahwa lantunan azan pertamanya itu memuat beberapa kesalahan pengucapan bahasa Arab karena dia merasa sangat emosional. Padahal, azan yang dia rekam itu sudah dilatih selama 30 kali. Dia pun meminta maaf kepada warganet yang menyimak video.

Awalnya Bogdan Kopanski Penasaran dengan Suara Azan

Kopanski muda tiba-tiba tergerak untuk mendatangi masjid tempat suara azan tersebut.

Sejak masih belia, Bogdan Kopanski tidak pernah puas dengan kehidupan spiritualnya. Ajaran Katolik yang ia peroleh semasa kecil ternyata tidak mampu menjawab kegundahan jiwanya yang tengah mencari-cari kebenaran tentang Tuhan.

Kopanski lahir di Polandia pada 1948. Keluarganya memiliki latar belakang etnik Silesia. Tumbuh sebagai anak yang cerdas, Kopanski kecil cukup kritis mencerna pelajaran agama yang ia dapatkan dari gereja. Ia tidak mau menerima doktrin-doktrin gereja begitu saja tanpa merenungkannya kembali dengan menggunakan akal sehat yang ia punya.

“Ketika masih berumur 12 tahun, saya akhirnya menolak konsep iman Kristiani karena ajaran tersebut tidak masuk akal bagi saya,” tutur Kopanski membuka kisah perjalanan rohaninya.

Tidak hanya dalam urusan agama, Kopanski juga menunjukkan sikap kritisnya dalam merespons situasi politik di negaranya. Saat menjalani pendidikan akademi militer di Katowice, ia aktif menentang rezim komunis Polandia. Sebagai hasilnya, ia pun dikeluarkan dari sekolah ketentaraan itu pada 1968 dan kemudian dijadikan sebagai tahanan politik oleh penguasa setempat.

Sekeluarnya dari penjara, Kopanski melanjutkan pendidikannya pada program sejarah di Universitas Silesia, Katowice. Setelah lulus, ia lalu bekerja sebagai dosen dan peneliti di perguruan tinggi tersebut. Di samping mengajar, Kopanski juga meneruskan studinya ke jenjang pascasarjana (S-2).

Selama berkutat di dunia kampus itulah ia mulai berkenalan dengan Islam. “Saya merasa tertarik untuk mendalami sejarah peradaban Muslim di Eropa. Ini menjadi titik awal saya mempelajari Islam dan Alquran,” ujarnya.

Penasaran

Beberapa waktu berikutnya, rasa penasaran Kopanski terhadap Islam kian besar. Ia pun lantas berusaha mencari lebih banyak lagi literatur tentang  agama samawi tersebut guna memuaskan rasa dahaga intelektualnya.

Pada 1974, Kopanski mendapat kesempatan mengikuti program pertukaran mahasiswa ke Turki. Kebetulan ketika itu ia tengah merampungkan tesis S2-nya tentang kebijakan Sulaiman al-Qanuni (Sultan Turki Ottoman yang hidup antara 1494-1566) terhadap Polandia. Oleh karenanya, kesempatan berkunjung ke Turki itu betul-betul ia manfaatkan untuk mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan dalam penelitiannya tersebut.

Selama berada di Turki, Kopanski memperoleh banyak pengalaman baru. Salah satu kenangan yang paling berkesan baginya sampai saat ini adalah ketika ia mendengar lantunan indah suara azan dari sebuah masjid tua di Istanbul. “Lafaz-lafaz azan yang menggema itu terasa sangat menyentuh jiwa. Sampai-sampai, bulu romaku berdiri saat mendengarkannya,” ungkapnya.

Seakan-akan ada kekuatan gaib yang menuntunnya, Kopanski muda tiba-tiba tergerak untuk mendatangi masjid tempat suara azan tersebut berasal. Sesampainya di masjid itu, ia bertemu seorang pria Turki yang sudah berusia lanjut. Lelaki itu pun tersenyum begitu mengetahui Kopanski merasa terpanggil oleh suara azan.

Setelah keduanya bercakap-cakap untuk beberapa saat lamanya, pria tua itu lantas mengajarkan Kopanski tata cara berwudhu. Ada pengalaman sangat spiritual yang dirasakan Kopanski tatkala anggota tubuhnya dibasahi oleh air wudhu. Tanpa disadari, air matanya pun jatuh bercucuran karena terharu. Pada waktu itulah Kopanski mengucapkan kalimat Syahadat dan resmi menjadi Muslim.

Setelah kalimat suci tersebut terlontar dari bibirnya, untuk pertama kalinya Kopanski merasakan pikirannya begitu tenang dan santai. Dia juga merasakan nikmat dan cinta Allah memenuhi seluruh relung hatinya kala itu. “Selanjutnya, saya melaksanakan shalat Maghrib berjamaah di masjid tersebut. Itu adalah shalat pertama yang saya lakukan sepanjang hidup saya,” kenangnya.

Karier akademis

Sejak menjadi Muslim, Kopanski menambahkan ‘Ataullah’ pada nama depannya-yang secara harfiah berarti ‘karunia Allah’. Ia lalu menikahi perempuan asal Palestina bernama Mariam binti Abdurrahman. Dari perempuan itu, Kopanski dikaruniai tiga orang anak, yakni Khalid, Tareq, dan Summaya.

Pada 1975, Kopanski meraih gelar masternya di bidang sejarah dari Universitas Silesia. Lima tahun berikutnya, ia berhasil pula menyandang gelar doktor (PhD) di bidang humaniora dari perguruan tinggi yang sama. Pada dekade 1980-an, ia melanjutkan karier akademisnya di berbagai universitas dan lembaga penelitian Islam di AS, Suriah, India, Pakistan, Bosnia, dan Afrika Selatan.

Pada 1995, ia dinobatkan sebagai guru besar sejarah di International Islamic University Malaysia. Sampai saat ini, ia masih aktif mengajar di perguruan tinggi milik Negeri Jiran tersebut. Sebagian hasil kajian dan penelitiannya lebih banyak membahas soal sejarah umat Islam di Eropa Tengah dan Eropa Timur.

REPUBLIKA

Mendengar Azan, Azizah Selalu Menangis

Saat azan berkumandang Claudia Azizah sedang duduk di dalam Masjid Universitas Is lam In ternasional di Malaysia. Air matanya mengalir membasahi pipi mengenang dirinya yang kini bisa bersujud kepada Allah lima waktu dalam sehari.

Rasa syukur tak pernah lepas dalam hatinya karena kebahagiaan menemukan keyakinan yang menenangkan hidup. Azizah pun mendoakan jamaah masjid agar selalu bisa melaksanakan shalat setiap azan berkumandang. “Kemudian, saya sujud kepada-Nya, pencipta saya, dia yang paling dekat dengan saya,” jelas dia.

Sepuluh tahun lalu, Allah telah menggerakkan hatinya untuk menerima Islam. Dia tidak tahu apa alasan Sang Pencipta me milihnya dan memberinya hidayah sehingga cahaya Islam masuk ke dalam hati. Padahal, dia berasal dari keluarga ateis di wi layah bekas Jerman Timur yang komunis. Sejak menjadi mualaf setiap hari dia berdoa agar tetap mengimani Islam.

Masa kecil

Sejak kecil Azizah memang tidak mengenal agama. Masyarakat di sekitar rumahnya tidak ada yang pernah menyebut kata Tuhan. Hidupnya terasa hampa, seperti anak yang kehilangan orang tua, berjalan seorang diri, gamang, dan penuh kegelisahan.

Ketika itu, Azizah dan keluarganya selalu merayakan natal, tetapi itu hanya tradisi. Rumahnya berhiaskan pohon natal, terang dengan nyala lilin dan lagu-lagu natal. Baginya, perayaan itu memang ber kesan karena penuh keramaian. Natal baginya adalah momentum untuk kumpul ke luar ga dan menghangatkan kebersamaan.

Kehidupan ateisnya berasal dari kedua orang tuanya yang didoktrin pada rezim komunis sosialis bekas Republik Demokratik Jerman. Bah kan, mereka dikirim ke Rusia untuk mempelajari bahasa dan komunisme selama lima tahun.

Kemudian, keduanya kembali ke Jerman dan bekerja di sebuah uni versitas. Mereka yakin tidak ada Tuhan di dunia ini karena agama adalah buat an manusia dan candu masyarakat, seperti yang ditulis Karl Marx.

Neneknya dari ibu adalah satu- satunya anggota keluarga yang masih memiliki keyakinan kepada Tuhan. Namun, dia tidak pernah mengungkapkannya secara terbuka. Azizah mengetahui itu karena neneknya sering mengatakan selalu berdoa untuk kebaikan anak cucunya.

Menurut Azizah, si nenek memiliki indra keenam yang sering dipercayai orang tua dahulu. Ketika tinggal bersa manya, Azizah selalu merasa nyaman dan bertemu dengannya meski dia bukan orang yang banyak bicara.

Mencari spiritualitas

Minimnya pendidikan agama di keluarga membuat hatinya merasa gelisah. Semakin bertambah usia, kegelisahan yang dimiliki makin berat dan berdampak pada kehidupan. “Saya men ca ri, terus mencari, menjerit, menangis ka rena kegelisahan yang terus dirasakan. Sa ya memberontak dan berperilaku buruk,” jelas dia.

Azizah kerap menghabiskan waktu dengan mengurung diri dalam kesendirian, berjalan tanpa alas kaki di bawah hujan es, berharap api dalam hatinya padam sambil menengadah ke langit. Selama masa terakhir mengenyam pendidikan di sekolah menengah, Azizah mulai bepergian dan menghabiskan satu tahun di AS kemudian melakukan perjalanan berkeliling negara tersebut. Dia menjadi pelancong backpackerke Asia Tenggara karena kegelisahan dan pencarian yang tak berujung.

Suatu malam dia berhenti sesaat dari perjalanannya di Laos. Kemudian, berbaring di atas tikar jerami dan mendongak ke langit yang gelap. Dia tidak pernah melihat begitu banyak bintang seperti saat itu. Ada banyak kelap-kelip di tengah kegelapan malam. Ada pula di antara banyak bintang yang bersinar terang, menunjukkan eksistensinya sebagai pembeda dari yang lain.

Ketika itu, Azizah merasakan bumi bergerak. “Aku sangat yakin, aku merasa jauh di dalam hatiku ada yang Mahatinggi, ada pencipta alam semesta. Saya merasa diawasi Sang Pencipta. Di tengah hutan Laos saya merasakan keberadaan Tuhan,”jelas dia.

Setelah menginap di hutan Laos, Azizah melanjutkan perjalanan ke Sungai Mekong, Laos Selatan. Dia kemudian duduk beristirahat di sebuah pondok bambu kecil dan melihat sungai yang begitu menakjubkan.

Baginya, ini sebuah garis kehidupan Asia Tenggara, induk sungai. Lebarnya lebih dari 20 kilometer dan memiliki kisah seluruh negeri. Azizah takjub dengan ciptaan Tuhan yang satu ini. Aliran deras sungai mengalir ke dalam hatinya kemudian mengguyur kegelisahan hatinya. Saat yang sama, dia merasakan ada pesan sang Pencipta yang disampaikan melalui hati. Dia makin yakin adanya keberadaan Tuhan.

Mencari Tuhan

Setelah kedua pengalamannya dalam perjalanan spiritual merasakan ciptaan Tuhan, Azizah mulai bersemangat untuk mencari Tuhan. Dia melanjutkan pengem- baraan spiritualnya ke Pagoda melalui ajaran Buddha di Thailand dan Kamboja.

Kemudian, dia menetap sementara untuk mempelajari ajaran Buddha di sebuah biara. Tak lama, Azizah kembali melakukan per- jalanan hingga ke Bali, dia mempelajari Hindu di pura Bali.

Azizah berusaha untuk mendekatkan diri pada Tuhan dengan meditasi di Yogyakarta. Lalu, dia bertemu dengan sekte Kristen yang berbeda-beda.

Namun, kegelisahan di hatinya makin panas dan tak menentu. Pada saat yang sama dia merasa lelah dan bosan bepergian. Dia merasa hidupnya tidak berarti dan tidak ada alasan untuk bekerja. “Entahlah, mengapa saya harus berjuang untuk apa pun. Saya merasa telah mencoba, menyelesaikan, dan melihat se- muanya, tetapi tidak ada yang memuaskan hati,” jelas dia.

Tahun 2008, dia mulai membaca terjemahan Alquran berbahasa Jerman. Ketika mem- baca Alquran, dia hanya memilih bagian ten tang isu-isu perempuan. Dari situ dia mulai mema hami pentingnya menutup aurat, menjadi ibu anak-anak yang sangat dimuliakan Allah.

Azizah makin mendalami ajaran Islam, yang dirasanya sangat memuliakan wanita. Ajaran seperti itu menurut dia, belum tentu ada dalam tradisi lain. Kemudian, suatu hari Allah sang Maha membolak-balikkan hati seketika memadamkan kegelisahan hatinya. Azizah duduk di atas sajadah dan menemukan keimanannya. Ketika itu, dia tidak tahu banyak tentang Islam, tidak tahu bagaimana cara shalat dan membaca Alquran.

Februari 2008, dia bersyahadat. Dua bulan setelah memeluk Islam dia kembali ke Indonesia. Ini karena masalah keuangan, mata uang Jerman di pasar valuta asing memburuk. Berbeda dengan Rupiah. “Saya mulai meminta bantuan dan pertolongan Allah SWT untuk me-nunjukkan cara untuk menyimpan tabungan dengan hemat,” jelas dia.

Allah telah menghilangkan kegelisahannya yang mengganggunya selama ini. Azizah akhir nya menemukan kehidupan baru. Kini Az- izah telah menikah dan memiliki dua anak. Dia bekerja sebagai penulis dan Asisten Profesor di Universitas Islam Internasional Malaysia.

Dia pindah ke Malaysia bersama keluarganya setelah menyelesaikan program dok- tornya di Jerman tentang Islam dan pendidikan Islam di Indonesia. Dia memper- oleh gelar sarjana dari Universitas Humboldt Berlin, Jerman dengan studi Asia dan Afrika dengan fokus Asia Tenggara.

Selain mengajar, dia secara teratur me nu lis untuk surat kabar Islam Jerman. Dia juga san- gat konsen terhadap spiritualitas dan seni Islam. Dia juga menerbitkan sebuah buku usaha mikro perempuan. Memang dia pernah tinggal dan bekerja di Yogyakarta. Nama asli nya adalah Claudia Seise kemudian setelah mua laf namanya menjadi Claudia Azizah.

Oleh Ratna Ajeng Tejomukti

 

REPUBLIKA

Lelaki Ini Masuk Islam Karena Lihat Muslim Shalat di Stasiun Kereta

HIDAYAH Allah bisa datang tanpa terduga. Seseorang mengatakan hidayah Allah itu mahal, karena tidak semua bisa dapat. Tapi jika Allah sudah berkehandak, maka siapapun dan kapanpun hidayah datang, langsung bisa diterima.

Sama halnya dengan pemuda berkulit cokelat asal Trinidad ini. Ia begitu terpana melihat pemandangan di depannya. Namanya Dion, lelaki berusia 26 tahun itu, tak henti-henti mengarah ke sekelompok Muslim yang sedang shalat dengan khusyu’nya di tengah ramainya stasiun kereta di sebuah kota di Belgia. Dion seperti tersambar petir. “Saya tidak tahu, tiba-tiba karena melihat mereka shalat di stasiun hati saya bergetar,” ujarnya.

Seusai mereka shalat, Dion memberanikan diri bertanya, siapa mereka dan apa gerangan yang mereka baru lakukan? Setelah mendapatkan jawaban dari mereka, pemuda yang bekerja sebagai akuntan di Stamford, Connecticut, itu tidak pernah habis berpikir. Ada pikiran yang berkecamuk keras, antara percaya dengan perasaannya sendiri dan apa yang dia kenal selama ini tentang Islam

Tiga minggu sesudah kejadian itu, Dion bertemu saya di Islamic Forum for non Muslim New York yang saya asuh. Rambutnya panjang. Gaya berpakaiannya membuat saya hampir tidak percaya jika hatinya begitu lembut menerima hidayah Ilahi. Biasanya ketika menerima pendatang baru di kelas ini, saya mulai menjelaskan dasar-dasar Islam sesuai kebutuhan dan pengetahuan masing-masing peserta. Tapi hari itu, tanpa kusia-siakan kesempatan, saya jelaskan makna shalat dalam kehidupan manusia, khususnya dalam konteks manusia modern yang telah mengalami kekosongan spiritualitas.

Hampir satu jam saya jelaskan hal itu kepada Dion dan pendatang baru lainnya. Hampir tidak ada pertanyaan serius, kecuali beberapa yang mempertanyakan tentang jumlah shalat yang menurut mereka terlalu banyak. “Apa lima kali sehari tidak terlalu berat?” tanya seseorang. “Sama sekali tidak. Bagi seorang Muslim, shalat 5 waktu bahkan lebih dari itu adalah rahmat Allah,” jawabku. Biasanya saya membandingkan dengan makan, minum, istirahat untuk kebutuhan fisik.

Setelah kelas bubar, Dion ingin berbicara berdua. Biasanya saya tergesa-gesa karena harus mengisi pengajian di salah satu masjid lainnya. “Saya rasa Islam lah yang benar-benar saya butuhkan. Apa yang harus saya lakukan untuk menjadi Muslim?” tanyanya tanpa tedeng aling-aling.

Saya diam sejenak, lalu saya bilang, “Saya bukannya mau menunda jika kamu benar-benar yakin bahwa ini jalan yang benar untuk kamu. Tapi coba pastikan, apakah keputusan ini datang dari dalam dirimu sendiri.”

Dengan bersemangat Dion kemudian menjawab, “Sejak dua minggu lalu, saya mencari-cari jalan untuk mengikuti agama ini. Beruntung saya kesini hari ini. Kasih tahu saya harus ngapain?” katanya lagi.

Alhamdulillah, siang itu juga Dion resmi menjadi Muslim setelah mengucapkan syahadat menjelang shalat Ashar. Diiringi gema “Allahu Akbar!” dia menerima ucapan selamat dari ratusan jama’ah yang shalat Ashar di Islamic Center of New York.

Saat itu Dion pernah mengikuti ceramah saya di Yale University dengan tema “Islam, Freedom and Democracy in Contemporary Indonesia”. Pada kesempatan itu saya perkenalkan dia kepada masyarakat Muslim yang ada di Connecticut, khususnya Stamford.

Sayang, belum ada tempat di daerahnya di mana dia bisa mendalami Islam lebih jauh. Hingga kini, dia masih bolak balik Stamford-New York yang memakan waktu sekitar 1 jam, untuk belajar Islam.

Semoga Dion dikuatkan dan selalu dijaga dalam lindunganNya! []

 

Sumber: pitidki

Oleh : M. Syamsi Ali, Imam Masjid Islamic Cultural Center New York

ERAMUSLIM