Vicky Purnama Sari Tenang Mendengar Suara Azan

Vicky Purnama Sari (26 Tahun) sudah lama ingin masuk Islam, tapi hati belum menentu karena kondisi yang tidak memungkinkan. Keyakinannya lamanya belum bisa membuatnya tenang dan bahagia, banyak keraguan selama ini.

Keinginan yang kuat tentang Islam, membuatnya sering bertanya- tanya pada teman-temannya yang Muslim. Melihat temannya yang shalat sungguh membuatnya ada sesuatu yang menentramkan apalagi saat dengar azan, rasanya membuat hatinya tenang penuh kedamaian.

Akhirnya keputusan masuk Islam semakin mantab dan menghubungi Mas Agung Heru Setiawan, ketua MCI Jatim, untuk dibimbing ajaran Islam. Hari ini setelah menyatakan telah paham akan Rukun Islam dan Rukun Iman, atas kesadaran sendiri tanpa ada paksaan siapapun Sdri Vicky Purnama Sari dituntun baca Syahadat oleh Bu Citra Widuri, pembina Mualaf MCI Jatim di Kantor LMI Pusat.

Vicky telah menyatakan akan istikomah belajar Islam dan secara bertahap hidup secara Islam. Semoga Allah SWT melindungi dan memberikan anugrah kebahagiaan pada Sdri Vicky Purnama Sari.

 

Sumber: Mualaf.com

Islam Sembuhkan Depresi Berat Jamillah Taha

Sekitar 23 tahun yang lalu, Jamillah Taha memutuskan untuk menikahi pria Muslim yang dia cintai. Kendati demikian, langkah tersebut tidak serta-merta membuat perempuan asal Australia itu meninggalkan keyakinannya sebagai pemeluk Kristen.

Hidup dalam perbedaan dia jalani bersama sang suami selama belasan tahun. Sampai pada 2009, barulah hidayah Islam mengantarkan dirinya menjadi mualaf.

Hidup berumah tangga dalam perbedaan keyakinan diakui Jamillah tidaklah mudah. Apalagi, ketika anak-anaknya mulai beranjak dewasa, mereka dibuat bingung sendiri lantaran tidak adanya kesatuan pandangan orang tua mereka soal pendidikan agama.

“Oleh karenanya, meski beberapa negara mengizinkan pernikahan beda agama, saya menyarankan sebaiknya hal itu dihindari karena bisa menimbulkan masalah serius di kemudian hari,” tutur Jamillah membuka kisah, seperti dikutip laman I Found Islam.

Korban Pelecehan Seksual

Jamillah dibesarkan dalam lingkungan keluarga Kristen di Australia. Semasa kecilnya, ia kerap menjadi bulan-bulanan murid lainnya di sekolah. Sementara di rumah, ia juga sering mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari kakak laki-lakinya, baik secara fisik maupun mental. Sayangnya, orang tuanya justru acuh tak acuh saja atas semua pengalaman buruk yang ia alami tersebut.

Yang lebih memiriskan lagi, ketika Jamillah berusia 13 tahun, ia sempat menjadi korban pelecehan seksual oleh sepupunya selama berbulan-bulan. “Saya benar-benar kehilangan rasa percaya diri sejak saat itu. Beban psikologis yang harus saya hadapi sungguh berat,” ujarnya.

Selepas remaja, Jamillah bertemu dengan seorang pria Muslim bernama Taha. Ia pun jatuh cinta kepada lelaki tersebut. Awalnya, ayah dan ibunya tidak merestui keinginannya untuk menikah dengan Taha. Akan tetapi, kegigihannya memperjuangkan hubungan dengan pria itu akhirnya mampu meluluhkan hati kedua orang tuanya.

“Ayah dan ibu akhirnya mau menerima Taha. Kami pun menikah,” kata Jamillah.

 

Mimpi Buruk

Setelah menikah, Jamillah mulai mengalami mimpi buruk selama bertahun-tahun. Mimpi yang menghantui tidurnya secara berulang-ulang itu selalu mengenai peristiwa yang sama, yakni perkosaan yang dialaminya ketika masih berumur 13 tahun dulu.

Seusai melakukan konseling ke psikolog dan psikiater, barulah Jamillah menyadari bahwa ia mengidap depresi berat. Begitu beratnya depresi yang dia derita sehingga sempat terlintas di pikirannya untuk mengakhiri hidup.

Jamillah merasa seperti ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya. Namun, dia tidak mengetahui apa yang hilang itu. Sampai akhirnya dia menonton kisah tentang para mualaf di laman YouTube. Tanpa disangka-sangka, kegiatan itu ternyata mampu membawa ketenangan bagi jiwanya. Seakan-akan dia kembali menemukan secercah harapan setelah mengikuti cerita mengenai pengalaman mereka mencari hidayah Islam.

“Saya pikir, Allah SWT memang sengaja mendorong saya kepada Islam. Saya mulai mengikuti cerita para mualaf di YouTube, sampai akhirnya saya ketagihan menontonnya,” kata Jamillah mengaku.

Semakin banyak menonton kisah para mualaf, ketertarikan Jamillah terhadap Islam pun kian meningkat. Dia akhirnya berkesimpulan, agama samawi tersebut adalah satu-satunya solusi bagi persoalan hidup yang dihadapinya selama ini.

Selanjutnya, Jamillah pun mulai mengikuti kuliah Islam setiap pekan. Sebagai hasilnya, ada semacam perubahan besar yang ia rasakan setiap kali menghadiri kuliah tersebut. Di dalam dirinya mulai tumbuh kembali sikap optimistis dan semangat untuk menjalani hidup dengan lebih baik. “Saya tidak tahu persis bagaimana perubahan itu bisa muncul di dalam diri saya. Tetapi saya yakin, semua itu berasal dari Allah SWT,” kata Jamillah.

Pada 2009, perempuan Australia itu akhirnya resmi mengikrarkan dua kalimat syahadat dan menjadi mualaf. Dia pun merasa sangat beruntung karena bisa memperoleh kembali bagian yang hilang dalam hidupnya selama ini. “Walaupun butuh waktu 40 tahun untuk menemukan Islam, namun sekarang aku benar-benar memahami betapa luas kasih sayang Allah itu,” ujarnya penuh haru.

Giat Beribadah

Selama lima tahun terakhir, hari-hari Jamillah lebih banyak diisi dengan ibadah. Ada perasaan spiritual yang sangat dalam ketika ia menunaikan shalat lima waktu, berdoa, dan berzikir kepada Allah. “Semua amalan itu benar-benar membawa ketenteraman bagi pikiran dan hati saya,” katanya.

Selain memperbanyak ibadah, Jamillah kini terlibat aktif dalam berbagai kegiatan sosial. Di antaranya, membantu para tunarungu berkomunikasi lewat bahasa isyarat. Di samping itu, dia juga giat membantu banyak orang di Facebook, terutama para Muslim dan mualaf.

“Saya ingin menggunakan sisa umur saya untuk membantu orang lain. Karena pada hakikatnya, membantu sesama manusia dalam kebajikan sama artinya dengan menyenangkan Allah SWT,” tuturnya.

sumber: Republika Online

Siapa yang Disebut Mualaf?

Istilah mualaf merujuk pada Alquran surah at-Taubah ayat 60, berlaku untuk umum. Kata mualaf, menurut Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yunahar Ilyas, tidak hanya diperuntukkan bagi Muslim yang baru memeluk Islam, tetapi juga dipakai untuk mendekati mereka yang non-Muslim.

“Konsepsi mualaf bersifat umum,” kata Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu. Berikut petikan perbincangan wartawan Republika, Nashih Nashrullah, dengan sosok yang juga menjabat ketua MUI Pusat tersebut:

Siapa yang disebut mualaf?

Mualaf artinya luas. Konsep mualaf umum, tidak hanya yang baru masuk Islam, bahkan mereka yang belum masuk Islam pun bisa dikategorikan mualaf, jika memang akan didekati hatinya, bahkan non-Muslim yang kita perlu dekati dia, untuk beri perlindungan ke umat Islam, bisa dianggap sebagai mualaf. Konsepsi mualaf yang bersifat umum, ini seperti juga ditegaskan dalam surah at-Taubah ayat 60. Zakat tidak hanya yang masuk Islam, tetapi siapa saja yang akan didekati hatinya untuk kepentingan Islam. Tapi, pemahaman yang jamak dipahami masyarakat kita, mualaf hanya baru masuk Islam. Karena itu, bagi saya Yusuf Islami, bukan mualaf.

Seperti apa potret mualaf di era awal dakwah?

Hampir semua mualaf, sahabat generasi awal mualaf, jadi seperti Abu Bakar, Umar bin Khatab, ketika itu bisa dikatakan semua mualaf. Jadi jika dicermati, mereka dirangkul dari segi perhatian. Rasulullah SAW mendidik mereka. Itu nomor satu. Yang kita kurang adalah sisi ini, yakni pembinaan. Memang ekonomi dan finansial perlu, tetapi jangan lupakan pendidikan dan pembinaan.

Apakah ada pembatasan ‘usia’ mualaf?

Pembatasan itu tidak ada. Karena itu, menurut saya, perlu ada pembatasan waktu disebut mualaf. Berpatokan dengan kebijakan Umar bin Khatab, tiga tahun tidak layak disebut mualaf. Seperti kebijakan Umar menghadapi dua sahabat yang tetap ingin dianggap mualaf. Mereka tidak lagi meminta hak zakatnya, kecuali karena alasan lain, misal atas pertimbangan kefakiran atau kemiskinan. Jika alasan mualaf dengan pengertian baru masuk Islam, tampaknya tidak. Saya tidak menemukan angka pembatasan memang. Bagi saya pribadi, berpikir tiga tahun cukup. Pertama masuk Islam mualaf, kalau sudah lewat tiga tahun saya kira tidak mualaf lagi. Di Indonesia, kadang 25 tahun pun berislam pun masih dianggap mualaf.

Kini, pembinaan mualaf menjadi tanggung jawab bersama?

Benar, semuanya bisa berkontribusi. Pertama, meminta lembaga dakwah, ormas, memberi perhatian kepada mualaf. Artinya, yang baru masuk Islam, dibimbing keislamannya. Kedua, dibantu problem hidup, karena masuk Islam, dapat masalah. Akan lebih baik lagi tugas ini dikerjakan oleh pemerintah, seperti Kementerian Agama. Ada Dirjen Bimas Islam, misalnya. Di AS, urusan mualaf diurus oleh Islamic Centre New York. Demikian juga di Jeddah, lembaga swasta atau pemerintah berbondong-bondong membina mualaf.

 

 

Sumber: Koran Republika

Kisah Kiai Jawa Bertemu Mualaf Eropa di Jabal Rahmah

Jabal Rahmah, sebuah bukit di padang Arafah yang menjadi saksi pertemuan Adam dan Hawa kembali mempertemukan dua anak manusia. Pada 9 Dzulhijjah  1366 Hijriyah atau 1947 Masehi,  seorang Kiai asal Jawa, Abdussalam, bertemu dengan seorang Eropa yang baru berganti nama.

Sesudah bersalaman, dia memperkenalkan diri sebagai Abdusyukur. “Saya mualaf. Baru lima bulan menganut agama Islam,”kata Abdusyukur seperti dituliskan Abdussalam dalam memoarnya di dalam buku Naik Haji di Masa Silam 1482-1964 karya Henri Chambert Loir.

Abdusyukur berkisah, sudah lama dia berkelana mencari Tuhan. Dia mendalami berbagai agama yang tak juga memuaskan hatinya. “Enam bulan berselang, saya tengah berjalan-jalan di Kota Paris yang permai itu. Terdengar oleh saya azan di menara masjid di kota itu. Bagaikan ada perintah halus ke dalam hati saya untuk menjadi orang Islam. Saya jumpai imam masjid itu. Di tangannyalah saya menjadi umat Islam. Sekarang ini, saudara..”katanya sambil menangis tersedu-sedu.

Pada awal abad ke-19, Islam bukan hal baru di Eropa, termasuk Prancis. Setelah Perang Dunia I, sebuah masjid raya didirikan di Paris sebagai rasa terima kasih kepadatirailleurs Muslim, sebutan bagi pasukan infrantri Prancis pada masa Napoleon Bonaparte berkuasa. Mereka direkrut dari wilayah-wilayah jajahan Prancis, salah satunya Aljazair. Negeri nenek moyang pelatih Real Madrid dan bekas pemain sepak bola terbaik dunia, Zinedine Zidane. Lewat masjid, pemerintah hendak memberi penghargaan kepada para 100 ribu tirailleurs yang tewas saat bertempur melawan Jerman.

Pada 1944, tercatat ada 550 ribu tentara Afrika-Prancis. Banyak di antara mereka direkrut, baik terpaksa maupun sukarela, dari koloni-koloni Prancis. Dari jumlah itu, sebanyak 134 ribu dari Aljazair, 73 ribu dari Maroko, 26 ribu asal Tunisia, dan 92 ribu dari koloni lain di Afrika.  Selain bertempur pada Perang Dunia 1, tentara multiras itu diterjunkan dalam pertempuran di Italia pada 1943 untuk mengusir Jerman dari Monte Cassino.

Masjid itu berdiri pada 1926. Mengikuti gaya Mudejar yang mewarisi arsitektur Andalusia, masjid ini memiliki sebuah menara setinggi 33 meter. Selama Perang Dunia ke-2, saat Prancis dicaplok Nazi, Jerman, imam masjid Si Kaddour Benghabrit pernah menjadikan masjid itu untuk melindungi pengungsi Aljazair dan Yahudi Eropa. Benghabrit menjamin akan menyediakan kamar, perjalanan yang aman hingga sertifikat kelahiran Muslim palsu untuk melindungi mereka dari eksekusi Jerman.

Meski demikian, Prancis tetaplah Prancis. Negara yang trauma dengan adanya kekuasaan di tangan kaum borjouis dan pemuka agama. Revolusi Prancis pada 1789 menghancurkan dominasi Gereja Katolik. Hingga sekarang, Prancis memberi contoh kepada banyak negara demokrasi di Eropa tentang praktik pemisahan kekuasaan antar agama dan negara alias sekularisme.

Hanya, sekularisme di negeri Menara Eifel tak berarti menutup hidayah bagi pencari Tuhan seperti Abdusyukur. Seperti dikisahkan oleh Abdussalam, Abdusyukur malah memeluk Islam usai mendengar lantunan azan di Paris. Hingga, mualaf itu pun berkesempatan untuk menunaikan rukun Islam kelima untuk berangkat haji.

Saat menjalankan wukuf di Arafah, Abdusyukur melihat ratusan ribu Muslim dibalut pakaian putih. Suara-suara zikir manusia bergema dari bukit tandus itu. Mereka menengadahkan tangan untuk menjadi sebenar-benarnya hamba.

“Kami memuji Allah yang Ia telah menjadikan kami umat kekasih-Nya Muhammad SAW. Dan dengan nikmat yang satu ini sudah padalah (cukuplah) bagi kami. Benar saudara, katanya. Biar saya tak mempunyai kapal udara, tidak punya mobil, tidak punya gedung yang permai, dengan kurnia-Nya saya menjadi umat Islam ini, sudah lebih dari dunia dengan isinya.”

 

sumber: Republika Online

Kisah Keislaman Adik Ipar PM Inggris

Ramadhan 1429 H. (2008), wartawan cantik BBC Lauren Booth pergi ke Gaza. Setelah melalui berbagai pemeriksaan dan hambatan oleh pasukan Israel, sampai juga ia di sebuah perkampungan Palestina.

Ia mengetuk pintu sebuah rumah. Pintu segera terbuka, seorang ibu Palestina keluar, dengan wajah berseri-seri, “Assalamu’alaikum, faddhal (silahkan masuk).”

Lauren bercerita: “Wajahnya berseri, matanya bersinar, dia mempersilahkan saya masuk ke rumahnya seperti mempersilahkan saya masuk ke istana Taj Mahal. Seakan-akan rumahnya adalah tempat terindah di dunia.”

Lauren memperhatikan rumahnya: Hanya dinding, atap, dan dua tikar terhampar. Satu tikar untuk tidur dan shalat, satu tikar untuk hidangan makanan. Tidak ada apa-apa selain itu. Lemari, kursi, apalagi televisi, tidak ada.

Tapi ungkapan wajah dan bahasa tubuhnya seperti orang yang sangat berbahagia, Lauren tak habis pikir.

Mereka pun duduk di tikar. Dan si ibu menyodorkan makanan, yang hanya terdiri dari roti, bumbu, dan selada. Melihat ‘menu prihatin’ itu, Lauren berulang-ulang menolak tawaran makanan itu, bukan tidak suka, tapi bagaimana mungkin ia memakan makanan orang miskin? Yang makanannya sangat terbatas? Hanya makanan itulah yang si ibu punya.

Tapi si ibu terus menyodorkan makanan. “Anda adalah tamu kami,” katanya. Akhirnya, untuk sekedar menghargai, dia memakan satu roti sembari bilang: “Mari makan bersama.”

Si Ibu menolak karena sedang puasa.

Seperti diceritakannya, ia marah kepada si ibu itu “Sudah prihatin, ada makanan, nahan-nahan makan.”

“Saya marah kepada Islam, yang mengharuskan orang berlapar-lapar selama 30 hari. Saya marah kepada Qur’an, yang mewajibkan ibu ini menahan lapar dan dahaga, padahal mereka butuh makan-minum, dan makanan minuman itu ada.”

“Saya jengkel. Maka saya tanya ibu itu: Mengapa ibu puasa? Untuk apa?”

Ibu itu menjawab: “Kami berpuasa untuk bersyukur kepada Tuhan, karena bisa merasakan apa yang dialami saudara-saudara kami yang miskin.”

Lauren bercerita lagi, dengan suara gemetar: “Mendengar jawaban itu, saya tak kuasa membendung air mata. Ibu ini tak punya apa-apa di dunia. Dia masih bersyukur dan berbagi rasa dengan orang yang lebih malang darinya.”

Ketika menuliskan ini, kulit saya pun merinding, malu pada ibu itu, ingat sudah punya ini-itu, masih ingin ini-itu, masih terus merasa kurang, dan sangat-sangat-sangat sedikit berkorban untuk orang lain.

Hening beberapa saat dalam diri Lauren. Lalu ia berkata kepada dirinya sendiri: “Jika ini Islam, Saya ingin jadi Muslim.”

Tahun 2010, Lauren muncul di saluran TV Islam dalam acara Global Peace and Unity, mengenakan busana Muslimah, dan memaklumkan: “My name is Lauren Booth, and I am a Muslim.”

(Catatan: Lauren Booth adalah adik ipar mantan Perdana Inggris Tony Blair yang mendukung Israel.)

 

Oleh: Kafil Yamin

sumber: Fimadani.com

Amira Ibrahim, Hidayah Allah SWT Menerangi Kalbuku

Mosman merupakan sebuah kota kecil di pinggiran utara Sidney, di negara bagian New South Wales, Australia. Populasi Muslim di kota itu terbilang tak terlalu banyak. Mayoritas penduduk kota itu adalah penganut Yahudi dan Kristen.

Pada 2005 lalu, sempat umat Islam di Kota Mosman berniat membeli gedung bekas gereja untuk dijadikan masjid, seperti diberitakan laman ABC Newsonline. Namun, rencana itu sempat ditentang anggota dewan Kota Mosman bernama Dominic Lopez.

”Mosman adalah wilayah Yahudi-Kristen dan tak akan mengizinkan orang-orang dengan keyakinan lain tinggal di sini,” ujar Lopez seperti dikutip ABC Newsonline. Namun, Wali Kota Mosman, Denise Wilton, tak sependapat dengan pemikiran Lopez.

Wali Kota Wilton menilai pendapat yang dilontarkan Lopez sangat mengerikan. Menurutnya, sangat tak berdasar jika seseorang didiskriminasi hanya karena alasan agama. ”Dalam demokrasi, Anda bisa berbeda pendapat. Saya sangat tak setuju dengan pendapatnya,” papar Wilton.

Masih banyaknya kesalahpahaman tentang Islam di Kota Mosman, tidak menyurutkan niat Amirah Ibrahim untuk menegakkan ajaran agama yang paling benar, yakni Islam. Sejatinya, Amirah merupakan warga asli Mosman. Ia terlahir dan dibesarkan di kota itu.

Keluarganya adalah pemeluk Kristen. Amirah Ibrahim bukanlah nama pemberian dari orang tuanya. Nama itu disandangnya setelah ia resmi memeluk Islam pada Agustus 2003 silam. Sejatinya, kedua orang tuanya memberi nama Lucie Thomson.

Amirah mulai mengenal dan mempelajari Islam pada 2001. Hidayah Allah SWT menerangi kalbu wanita yang awalnya bernama Lucie Thomson itu. Ia mengaku mulai tertarik untuk mengenal Islam. Keputusannya untuk mempelajari Islam diakuinya sebagai sebuah pilihan yang sangat bertentangan dengan orang-orang di sekelilingnya.

Hingga akhirnya, pada 2003, Lucie Thomson mengucap dua kalimat syahadat. Ia resmi memilih Islam sebagai keyakinan barunya. Setelah memeluk Islam, Amirah mengaku tidak memiliki keberanian untuk menyampaikan secara langsung perihal keyakinan barunya itu kepada kedua orang tuanya.

”Ketika itu, saya tidak berani untuk bertatap muka dengan mereka dan mengatakan langsung bahwa saya telah menjadi seorang Muslim. Yang bisa saya lakukan saat itu adalah menyampaikan kabar tersebut melalui surat,” ungkap Amirah seperti dilansir harian Sidney Morning Herald.

Kepada surat kabar Australia itu, Amirah mengisahkan pengalamannya dalam menemukan hidayah. Sebelum memeluk Islam, Amirah tergolong umat Kristiani yang taat. Dia tidak pernah meninggalkan acara keagamaan yang diselenggarakan oleh Gereja Anglikan di sekitar tempat tinggalnya. Ia adalah jemaat yang rajin.

”Saya selalu percaya, Tuhan itu ada, tetapi tidak pernah yakin mana iman agama yang tepat untuk saya, ujar Amirah. Terdorong oleh keinginan kuat untuk mencari keyakinan yang dirasakan sesuai dengan hatinya, Amirah pun memutuskan mempelajari kitab suci umat Islam, Alquran.

Keinginan untuk mempelajari Alquran juga dikarenakan pacarnya pada waktu itu mengikuti ajaran Druze, sebuah keyakinan agama yang banyak dianut oleh sejumlah kalangan di beberapa negara di Timur Tengah.

Para pengikut ajaran ini kebanyakan tinggal di Lebanon meskipun ada pula komunitas mereka dalam jumlah yang kecil di Israel, Suriah, dan Yordania.

Menurut laman Wikipedia, kelompok itu muncul dari Islam dan mendapat pengaruh dari agama-agama dan filsafat-filsafat lain, termasuk filsafat Yunani. Kaum Druze menganggap dirinya sebagai sebuah sekte di dalam Islam meskipun mereka tidak dianggap Muslim oleh kebanyakan Muslim di wilayah tersebut.

Seperti halnya pemeluk Islam, kaum Druze ini juga menggunakan Alquran sebagai sumber ajaran mereka. Bahkan, mereka juga berbicara dalam bahasa Arab, papar Amirah berkisah. Di tengah perjalanan membina hubungan, Amirah dan sang pacar memutuskan untuk berpisah.

Namun, berakhirnya hubungan asmara tersebut tidak membuat keinginan perempuan kelahiran 27 tahun silam itu untuk mempelajari Alquran dan Islam surut.

Berkat bantuan dari salah seorang kenalan Muslimnya, ia kemudian dipertemukan dengan seorang guru agama Islam. Dari guru tersebut, Amirah kemudian banyak mempelajari tentang Islam.

”Setelah banyak berdiskusi dengan orang ini, saya merasa ini (Islam–Red) adalah keimanan yang selama ini diinginkannya. Apa yang diajarkan di dalamnya rasanya benar. Saya pikir, saya tidak dapat menyangkalnya (lagi),” tutur Amirah.

Dengan bantuan seorang kenalannya di Asosiasi Muslim Australia (Australian New Muslims Association) cabang Lakemba, Amirah kemudian mengucapkan syahadat. Saat itu usianya masih terbilang remaja, 18 tahun. Setelahnya, kehidupanku menjadi lebih baik, ungkapnya.

Amirah yang dulu dikenal sangat pemarah dan kurang agresif ini kini mengaku memiliki tujuan hidup setelah menjadi seorang Muslimah. Saya ingin menjadi Muslimah yang lebih baik yang selalu menjalankan perintah Allah dan menjadi pelayan-Nya.

Keputusan Amirah menjadi seorang Muslimah begitu kokoh dan bulat. Pencariannya telah menemukan sebuah jawaban Islam adalah agama yang paling benar. Ia mencoba menjalankan syariat Islam dengan sebaik-baiknya, salah satunya mengenakan jilbab.

”Mungkin aku satu-satunya perempuan di Mosman yang mengenakan jilbab pada saat itu. Sebab, aku sendiri belum pernah melihat satu orang perempuan pun di Mosman yang mengenakannya,” ujar Amirah berkisah.

Tak hanya mengenakan jilbab. Amirah juga mengubah cara berpakaiannya dari yang sebelumnya serbaterbuka dan menampilkan lekuk tubuh berganti dengan mengenakan gamis longgar dan panjang. Penampilan barunya tersebut, menurutnya, sempat membuat adik laki-lakinya merasa malu di hadapan teman-temannya.

”Sementara sahabatku, pada awalnya sulit menerima kenyataan bahwa aku mengenakan penutup kepala,” paparnya. Namun, tantangan itu tak menyurutkan niatnya untuk tetap menutup aurat. Tak mudah memang menjalankan syariat di tengah masyarakat non-Muslim.

Amirah mengaku merasakan orang-orang di sekitarnya melihatnya dengan tatapan aneh dengan gaya berbusananya. ”Orang-orang banyak yang mengangguk dan tersenyum saat saya lewat di hadapan mereka. Bahkan, tak jarang anak-anak kecil tertawa ke arahku,” ungkap Amirah.

Kendati mendapat perlakuan kurang menyenangkan dari orang-orang di sekelilingnya, namun diakui Amirah, dirinya tidak pernah memiliki keinginan untuk membalas semua tindakan buruk tersebut. Ia menyadari betul bahwa sulit untuk hidup sebagai seorang muslim di tengah-tengah masyarakat yang sudah memberikan cap buruk terhadap Islam dan umat Islam.

Komunitas Muslim memang kerap menjadi korban dan mendapat perlakuan tidak adil. ”Tapi, perlakuan buruk mereka kepada kami tentunya akan dinilai oleh Allah, dan hanya Allah yang pantas memberikan balasan yang setimpal dengan perbuatan mereka,” ucapnya.

 

sumber: Kisah Mualaf

Surah Al-Baqarah Jawab Keraguan Rita Artha Kesuma

Keputusan Rita Artha Kesuma memeluk Islam bermula saat ia menikah dengan seorang pria Muslim pada 1999. Setelah berislam, perempuan berusia 39 tahun ini merasa kecewa dengan suami yang tidak kunjung membimbingnya. Rita justru belajar shalat dan puasa dari tetangganya.

Kondisi tersebut membuat keraguan terlintas di hati kecilnya. Ia masih labil. Ia sempat kembali ke keyakinan lamanya, Kristen. Padahal, usia keislamannya masih seumur jagung, belum genap tiga bulan. Rapuhnya akidah juga dilatarbelakangi fakta bahwa ia berikrar syahadat sebab faktor pernikahan, bukan kesadaran pribadi.

Pernikahan Rita dan sang suami hanya bertahan 11 tahun. Pada 2010 ia bercerai karena perbedaan prinsip. Dua buah hati mengikuti jejak Rita, memeluk Kristen dan bersekolah khusus di lembaga pendidikan Kristiani.

Setelah dua tahun bercerai, perempuan kelahiran Jakarta ini justru malah menemukan kebenaran dan mendapat hidayah Islam yang sesungguhnya. Saat itu, ia berencana ingin menikah kembali dengan pria Muslim.

 

Namun, saat akan berkunjung ke rumah calon mertua, ia mendapat penolakan dari calon mertua lantaran masih berbeda keyakinan. Rita begitu terkejut. “Saya terus bertanya-tanya sebenarnya apa sih Islam itu? Apalagi, saya benci dengan Muslimah yang memakai pakaian dan hijab serbalebar,” ujar Rita kepada Republika, Rabu (16/3).

Akhirnya ia memutuskan mencari tahu tentang Islam melalui kakak pertamanya yang selama ini sudah terlebih dahulu mempelajari semua agama, termasuk Islam. Ia diberi buku yang berjudul Berguru kepada Allah dan Cara Shalat yang Khusyuk karangan Abu Sangkan.

Dari sinilah kisah perjalanan religi ibu dua anak dimulai. Ia beranjak menemukan kebenaran Islam. Waktu bergulir, ia perlahan berpaling dari keyakinan lamanya, termasuk sulit menerima konsep dan doktrin ketuhanan yang ada di dalamnya.

Proses pencarian perempuan kelahiran 14 September 1977 ini dalam mencari kebenaran Islam tak memakan waktu lama. Hanya butuk waktu tiga bulan, Rita telah menemukan kebenaran Islam melalui diskusi dengan banyak pihak, termasuk guru spiritual.

Keraguannya terkait Alquran juga terjawab saat ia membaca surah al-Baqarah ayat ke-23. Tepat pada November 2012, ia kembali ke pangkuan Islam dan bertekad tak akan melepaskan anugerah terindah yang pernah ia dapatkan sepanjang hidupnya tersebut.

 

Meski telah memeluk Islam, Rita mengakui, pemahaman agama yang dimilikinya jauh dari kata sempurna. Ia merasa masih hanya berkutat pada ritual ibadah, seperti shalat dan mengaji. Timbul hasrat kuat, ia ingin belajar akidah Islam lebih. Namun, ia bingung. Bagaimana dan ke mana?

Muncul ide untuk berselancar di dunia maya. Ia tertarik dengan Mualaf Center Indonesia (MCI). Anak ketiga dari empat bersaudara ini mulai belajar tetang akidah Islam dengan seorang guru yang sangat ia kagumi. Guru tersebut ia panggil dengan sebutan Bunda Sri. Proses pembelajaran ini memberikan dampak perubahan yang sangat besar bagi dirinya. Khususnya hal yang berkaitan dengan akidah.

Dari proses pembinaan yang diikuti, Rita mulai mendapatkan ketenangan jiwa. Kendati begitu berat di awal, ia merasa saat ini kehidupannya menjadi menjadi lebih terarah dan bermakna.

Ujian berat yang dialami pun dapat ia lalui dengan penuh keyakinan dan kepasrahan pada Allah SWT. Rita sempat berada di titik nol untuk kehidupan ekonominya. Namun, ia berhasil melaluinya.

Dengan Islam, Rita belajar kepatuhan, kesederhanaan, tauhid, dan akidah. “Keislaman yang saat ini benar-benar membuatku nyaman. Dulu gampang panas, emosi. Itu hikmah terbesar yang aku rasakan saat masuk Islam,” katanya.

 

Sebagai orang tua tunggal, dukungan anak-anak sangat berarti dalam proses pencarian akidah yang diakukan oleh perempuan keturunan asal Yogyakarta ini. Keluarga besarnya sering mencibir keyakinan yang ia anut.

Dulu ia sempat merasa emosi dengan cibiran dari keluarga. Namun, seiring berjalannya waktu, ia sudah mulai mengabaikan cibiran itu. Bahkan, cibiran keluarga besar tak berdampak apa pun bagi dirinya.

Kendati demikian, hubungan silaturahim dengan orang tuanya tetap terus terjalin dengan baik. Walaupun pada awalnya orang tua sempat kecewa dengan keputusan Rita yang berpindah keyakinan. Bahkan, saat ini Rita masih tinggal bersama ibunya, meski berbeda keyakinan.

Kebanggaan ibu dua anak ini kepada putra-putrinya sungguh tak terbendung. Walaupun dulunya sempat bersekolah di sekolah khusus Kristen, kedua buah hatinya mampu memiliki prestasi di sekolah baru, yakni di madrasah dengan muatan pelajaran yang didominasi pendidikan Islam. Kedua buah hati memiliki nilai yang begitu memuaskan. Bahkan, putranya masuk peringkat tiga besar. 

 

Sumber: Republika Online

Sonia Soares: Islam Paling Tahu Keadaan Pemeluknya

Nama saya Sonia Soares, biasa dipanggil Sonia. Saya adalah gadis kelahiran Timor Leste, tanggal 08 Nopember 1999. Saya seorang mualaf yang saat ini sedang menempuh pendidikan formal di salah satu sekolah Islam swasta dan menjadi santri di Pesantren Pembinaan Muallaf Yayasan Annaba Center Indonesia.

Menjadi seorang mualafah bukanlah sesuatu yang begitu saja terjadi pada diri saya. Latar belakang keluarga yang beragama Katholik, menjadikan saya harus memikul beban yang tidak ringan karena saya berhadapan dengan mayoritas penganut Katholik dalam lingkungan keluarga.

Meski ayah hanyalah seorang yang bekerja sebagai tukang ojek dan ibu adalah pedagang sayur, tapi dalam diri mereka terdapat keimanan Katholik yang cukup kuat. Ini dapat dilihat dari keseharian mereka yang juga aktif dalam kegiatan ke-katholik-an.

Saya memilih masuk Islam ketika saya masih berumur sekitar dua belas tahun. Usia yang sangat muda, namun waktu itu saya sudah baligh, karena ukuran baligh dalam Islam bukan dilihat dari usia melainkan dari perkembangan organ reproduksi.

Waktu itu saat masih SD, saya berteman dengan seorang anak yang kebetulan beragama Islam. Meski hanya seorang diri di kelas yang beragama Islam, namun teman saya ini tetap konsisten menjalankan ajaran agamanya.

Mungkin pembaca bertanya, bagaimana saya bisa tahu jika teman saya tersebut konsisten terhadap agamanya? Jawabannya karena ketika kami semua hendak memulai pelajaran di sekolah, dan kemudian berdoa menurut agama Katholik, tapi teman saya itu berdoa dengan cara Islam meski hanya mengucapkannya dengan suara berbisik.

Pembaca mungkin menganggap bahwa hal itu merupakan sesuatu yang biasa. Ya! Memang itu sesuatu yang biasa bagi anda, tetapi tidak bagi saya. Mempertahankan keyakinan (agama) sebagai minoritas di lingkungan yang mayoritas bukanlah hal mudah, dan itulah yang terjadi pada teman saya.

Singkatnya, ini pula yang membuat saya bertanya mengapa begitu penting mempertahankan keyakinan (akidah) dalam Islam. Berawal dari kebiasaan dalam berdoa itulah kemudian terlintas dalam benak saya tentang aktifitas kebaktian yang selama ini saya lakukan.

Kalau dalam agama Islam, peribadatan diatur sesuai dengan porsinya, namun dalam Katholik agaknya tidak. Ibadah, khususnya shalat, dalam Islam dilakukan dengan ketentuan yang tidak menyulitkan penganutnya. Ketika hendak shalat misalnya, seorang Muslim terlebih dahulu berwudhu kemudian mengenakan pakaian yang bersih dan suci, tidak mesti baru apalagi yang mewah.

Berbeda dengan ajaran yang disampaikan oleh pastor kami dulu. Setiap berangkat ke gereja diharuskan menggunakan pakaian yang bagus, dan jika mungkin mengenakan pakaian yang baru. Tidak mesti suci, yang penting “wah” dipandang.

Oleh sebab itu, meski kami tinggal di desa, kebanyakan pria penganut Katholik di kampong kami memakai jas ketika datang ke gereja, sedangkan para wanita mengenakan kebaya. Perbedaan inilah yang akhirnya membuat saya berpikir, mengapa harus demikian.

Di tengah kesusahan dan kesulitan ekonomi yang kami rasakan di desa, agama justru semakin mempersulit umatnya untuk beribadah.

“Bagaimana logikanya, seorang yang susah secara ekonomi harus membeli pakaian dengan harga mahal hanya untuk beribadah? Bahkan mengganti pakaian ini dianjurkan setiap kali berangkat kebaktian di gereja, sedangkan untuk makan sehari-hari saja pun sudah susah. Belum lagi iuran yang harus dibayarkan setiap bulan sebagai bentuk kewajiban bagi kami.”, ujarku waktu itu. Sepertinya agama hanya untuk orang kaya saja, tidak bagi orang yang kekurangan seperti kami.

Alasan itulah yang membuat saya berpikir bahwa hanya Islam-lah satu-satunya agama yang mengerti akan keadaan pemeluknya. Bahwa ketakwaan seorang individu dilakukan sesuai kemampuan pemeluk agama, seperti yang ustaz di Annaba Center Indonesia jelaskan; “bertakwalah semampu kalian.” (Q.S. At-Taghabun : 16), bukan karena keterpaksaan.

Singkatnya, perpindahan agama yang saya alami didasari atas ketidaksesuaian antara perintah agama dengan kondisi yang kami alami, sehingga saya berpikir agama saya yang dulu tidaklah menjadi agama yang sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia.

 

 

sumber: Republika Online

Mike Tyson Masih Suka Terharu bila Ingat Shalat di Raudhah

Perjalanan ke Tanah Suci ternyata sungguh membekas di hati mantan petinju dunia, Mike Tyson. “Saya masih suka menangis bila ingat saya bisa datang ke Taman Surga di Madinah,” ujarnya, menceritakan saat-saat mengharukan ketika ia shalat di Raudhah, samping makam Rasulullah SAW. “Saya bahkan berpikir untuk tidak beranjak dari tempat suci itu.”

Secara bergurau pria yang dulu dijuluki sebagai “si leher beton” ini menyatakan tak ingin dikenali sebagai Mike Tyson oleh orang lain ketika berada di Tanah Suci. “Saya berharap mereka membiarkan saya menikmati saat-saat  saya penuh emosi dan sendirian berdoa.”

Tyson pergi berumrah bersama-sama dengan presiden misi perdamaian Kanada, beberapa duta besar Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan cendekiawan Muslim Shazad Muhammad. Di Madinah banyak fans menunggu berjam-jam untuk melihat dan berfoto bersama petinju terkenal di dunia itu.

Sumber : MMN/Republika Online

Kebahagiaan Dian Sastro Ketika Masuk Islam, Meski Ayahnya Buddha dan Ibunya Katolik

Raut wanita dalam foto itu serius. Tampak tekun. Kepala berbalut kerudung, tertunduk. Mata terkunci ke bawah. Khusyuk. Tangan kanan menggenggam mic. Disodorkan ke bibir yang terlihat tengah membaca. Demikian dilansir posmetro.

Dia tak sendiri. Di samping kanan, duduk perempuan paruh baya. Juga berkerudung. Wanita berkaca mata itu memaku pandangan ke arah kiri. Mengamati wanita muda di samping dengan lekat.

“Khataman Qur’an dan pengajian sebelum akad..” Demikian bunyi kalimat yang tertulis di sebelah kanan foto kedua perempuan tersebut.

Dua perempuan dalam foto itu adalah Dian Sastrowardoyo dan sang bunda, Dewi Parwati Setyorini. Dian tengah membaca Alquran sebelum akad nikah. “Mama aku yang Katolik benar -benar supportif dan mendukung aku untuk khatamin Qur’an sebelum menikah..”

Gambar itu diambil sebelum pernikahan Dian dengan Maulana Indraguna Sutowo pada 2010. Kemudian diunggah ke Instagram melalui akun @therealdisastr pertengahan tahun lalu.

Dian dan sang bunda memang beda agama. Pemeran Cinta dalam film Ada Apa Dengan Cinta (AADC) ini memutuskan masuk Islam. Mengucap Syahadat pada tahun 2006. Tepat pada malam peringatan Isra Mi’raj.

Kala itu, nama Dian sudah gemilang. Dikenal luas sebagai artis papan atas. Sukses menjadi pelakon film dan juga bintang iklan. Sehingga keputusan menjadi mualaf menjadi perhatian banyak orang. Diberitakan berbagai media.

Perempuan kelahiran Jakarta, 16 Maret 1982, ini mengaku keputusan masuk Islam datang dari jiwa. Tak ada yang membujuk. Apalagi memaksa. “Dari hatiku sendiri,” tutur Dian saat diwawancara sebuah media.

Namun, proses mualaf itu butuh perjalanan panjang. Mungkin inilah yang ditiru oleh Dian dari sang ayah, Ariawan Sastrowardoyo. Dulu, sang ayah juga mengembara mencari jati diri, sebelum akhirnya memeluk Buddha.

“Mungkin oleh proses yang sama sekarang aku memeluk Islam. Sementara mamaku tetap Katolik,” ujar Dian.

Tapi Dia yakin, menjadi mualaf bukanlah pilihan salah. Keputusan ini benar. Dan dengarlah kebahagiaan Dian setelah memeluk Islam.

“Perasaanku lega. Karena aku masuk Islam bukan karena popularitas. Yang membuat aku memilih Islam karena aku ingin berserah diri dan pasrah kepada Allah.”

Sebagai seorang mualaf, Dian terus belajar. Memperdalam ilmu Islam. Berbagai buku dia lahap. Termasuk tuntunan salat. Selain itu, dia juga bertanya pada orang yang lebih tahu tentang Islam.

“Ada guru juga yang ngajarin, tapi lebih banyak aku baca buku.”[RN]

 

 

sumber: Panji Mas